SETIDAKNYA tiga kali Alloh memanggil
kita dengan sangat resmi. Panggilan sholat, panggilan haji, dan panggilan mati.
Maka untuk bersiap menghadapi yang ketiga, mari kita sempurnakan jawaban kita untuk
dua panggilan sebelumnya. Sholat ya, sang tiang agama. Dan haji?
Tak ada yang mampu melukiskan perasaannya
sendiri saat pertama kali melihat Baitulloh Al-Harom. Selama ini, mendengar asmaNya
disebut mungkin telah demikian menggetarkan. Tetapi memenuhi panggilanNya menjadi
tamuNya, itu bukan lagi getar. Ini adalah sensasi dahsyat yang menderak-derak rasa,
tubuh yang tiba-tiba terasa ringan, mata yang menitikkan linangan, nafas yang tiba-tiba
menderu, dan jantung yang sesaat dheg,
berhenti berdetak. Lidah pun kelu selain desir kata Labbaik. Allohumma labbaik.
Betapa kecil kita di hadapan keagunganNya.
Alloh.
Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqom Ibrohim; barangsiapa
memasukinya (Baitulloh itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Alloh, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitulloh. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Alloh Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali ‘Imron: 97)
Saat kita telusur lorong-lorong Madinah,
lorong yang pernah membangga lalunya manusia-manusia mulia. Dulu, Rosululloh, Abu
Bakr, ‘Umar. Singgahlah berdoa di Roudhoh. Kunjungilah dan kenanglah Badr saat
hari Furqon, hari bertemunya dua
pasukan. Lalu Uhud, gunung yang mencintai kami dan kami pun mencintainya, kata
Nabi. Saat kita saksikan wahai, sahabat, berjuta manusia. Ada yang tinggi dan
hitam; terpaku kita mengenang Bilal, muadzin kecintaan Rosululloh. Ada pendek dan
pesek, putih gagah, cantik manis, menyatu dalam rasa, menyatu dalam gerak, menyatu
dalam kata. Innal hamda wa ni’mata laka wal
mulk. Laa syarikalak.
Alloh.
Kita mendaki bukit cahaya, Jabal
Nuur, betapa dekat rasa rindu pada saat Jibril membawa risalah untuk jagat, mendekap
Muhammad. “Bacalah! Bacalah! Bacalah!” Saat melangkah ke gua Tsur membayang suasana
teror dipenuhi rasa takut, lalu kalimat manusia mulia di samping kita begitu menenangkan,
“Laa tahzan, innallooha ma’anaa; jangan
takut, jangan sedih, Alloh bersama kita.” Antara Shofa dan Marwah, lari
kecillah. Seperti Hajar kebingungan saat Isma’il kehausan. Lalu Zam! Zam! Hentakan kakinya memancarkan mata
air. Cicipilah, karena ia diserahkan pada niat kita yang meminumnya. Buka
lengan kanan saat thowaf, berlari-lari kecillah. Alloh suka pada hambaNya yang menunjukkan
kekuatan, seperti para sahabat di hadapan Quroisy musyrikin.
Alloh.
Apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Alloh,
sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau
(bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang
yang bendoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” dan tiadalah
baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang
yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” Mereka itulah orang-orang yang
mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Alloh sangat cepat
perhitungan-Nya.
(QS.
Al-Baqoroh: 200-202)
Alloh memang hanya meminta pada
yang mampu untuk mengunjunginya sebagai tamu. Namun karena rindu yang
mengetuk-ngetuk pintu kesempurnaan keislaman kita itu, kita menjadi manusia
yang terus berusaha memampukan diri. Itulah cara kita menjawab panggilanNya,
mengupayakan kemampuan kita dan memelihara rasa rindu di jiwa.
Kredit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar