Jumat, 16 Juni 2017

Berthowaf Hamba-hamba

SETIDAKNYA tiga kali Alloh memanggil kita dengan sangat resmi. Panggilan sholat, panggilan haji, dan panggilan mati. Maka untuk bersiap menghadapi yang ketiga, mari kita sempurnakan jawaban kita untuk dua panggilan sebelumnya. Sholat ya, sang tiang agama. Dan haji?

Tak ada yang mampu melukiskan perasaannya sendiri saat pertama kali melihat Baitulloh Al-Harom. Selama ini, mendengar asmaNya disebut mungkin telah demikian menggetarkan. Tetapi memenuhi panggilanNya menjadi tamuNya, itu bukan lagi getar. Ini adalah sensasi dahsyat yang menderak-derak rasa, tubuh yang tiba-tiba terasa ringan, mata yang menitikkan linangan, nafas yang tiba-tiba menderu, dan jantung yang sesaat dheg, berhenti berdetak. Lidah pun kelu selain desir kata Labbaik. Allohumma labbaik. Betapa kecil kita di hadapan keagunganNya.

Alloh.
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqom Ibrohim; barangsiapa memasukinya (Baitulloh itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Alloh, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitulloh. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Alloh Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali ‘Imron: 97)

Saat kita telusur lorong-lorong Madinah, lorong yang pernah membangga lalunya manusia-manusia mulia. Dulu, Rosululloh, Abu Bakr, ‘Umar. Singgahlah berdoa di Roudhoh. Kunjungilah dan kenanglah Badr saat hari Furqon, hari bertemunya dua pasukan. Lalu Uhud, gunung yang mencintai kami dan kami pun mencintainya, kata Nabi. Saat kita saksikan wahai, sahabat, berjuta manusia. Ada yang tinggi dan hitam; terpaku kita mengenang Bilal, muadzin kecintaan Rosululloh. Ada pendek dan pesek, putih gagah, cantik manis, menyatu dalam rasa, menyatu dalam gerak, menyatu dalam kata. Innal hamda wa ni’mata laka wal mulk. Laa syarikalak.

Alloh.
Kita mendaki bukit cahaya, Jabal Nuur, betapa dekat rasa rindu pada saat Jibril membawa risalah untuk jagat, mendekap Muhammad. “Bacalah! Bacalah! Bacalah!” Saat melangkah ke gua Tsur membayang suasana teror dipenuhi rasa takut, lalu kalimat manusia mulia di samping kita begitu menenangkan, “Laa tahzan, innallooha ma’anaa; jangan takut, jangan sedih, Alloh bersama kita.” Antara Shofa dan Marwah, lari kecillah. Seperti Hajar kebingungan saat Isma’il kehausan. Lalu Zam! Zam! Hentakan kakinya memancarkan mata air. Cicipilah, karena ia diserahkan pada niat kita yang meminumnya. Buka lengan kanan saat thowaf, berlari-lari kecillah. Alloh suka pada hambaNya yang menunjukkan kekuatan, seperti para sahabat di hadapan Quroisy musyrikin.

Alloh.
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Alloh, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Alloh sangat cepat perhitungan-Nya. (QS. Al-Baqoroh: 200-202)

Alloh memang hanya meminta pada yang mampu untuk mengunjunginya sebagai tamu. Namun karena rindu yang mengetuk-ngetuk pintu kesempurnaan keislaman kita itu, kita menjadi manusia yang terus berusaha memampukan diri. Itulah cara kita menjawab panggilanNya, mengupayakan kemampuan kita dan memelihara rasa rindu di jiwa.


Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar