LELAKI tak dikenal yang sangat putih
pakaiannya, sangat hitam rambutnya, dan tak menampakkan bekas perjalanan itu terus
membuat heran para hadirin. Dalam posisi yang sangat dekat dengan Nabi, lutut
yang saling menempel, dan tangan yang diletakkan di paha ia bertanya. Tetapi seperti
seorang penguji, ia terus mengatakan, “Shodaqta,
engkau benar!”, setiap kali Nabi memberikan jawaban.
Lelaki itu, belakangan ‘Umar yang mengisahkan
fragmen ini tahu bahwa dialah Jibril, menanyakan salah satunya tentang Al-Ihsan. Apa itu? “An ta’budallooha ka-annaka taroohu. Fa in lam takun taroohu, fainnahuu
yarooka; hendaklah engkau beribadah pada Alloh seakan-akan engkau melihatnya.
Jika engkau tak bisa, maka yakinlah bahwa Alloh melihatmu.”
Dan bertakwalah
kepada Alloh yang dengan AsmaNya kalian meminta satu sama lain dan
bershilaturrohim. Sesungguhnya Alloh senantiasa mengawasi kalian. (QS. An-Nisaa’: 1)
Innallooha
kaana ‘alaikum roqiibaa;
sesungguhnyalah Alloh senantiasa mengawasi kalian. Saat kecil kita diperkenalkan
pada Roqiib-’Atiid. Sifat dua malaikat
pengawas yang duduk di kanan dan di kiri ini amat kita tenal. Roqoba-yarqubu-muroqobatan. Inilah muroqobah. Sebuah rasa bahwa kita
senantiasa diawasi. Terekam setiap detik hidup kita sejak bangun sampai tidur lagi,
bahkan juga saat tidur itu, sejak kita baligh hingga saat ruh diangkat.
Sewaktu kecil, lagi-lagi, bayangan kita
tentang catatan amal adalah buku. Mengapa? Karena Al-Qur’an menyebutnya ‘Kitaab’. Tetapi benarkah ‘kitab’ berbentuk
buku? Simpel sekali. Dan kita pastinya, mengasosiasikan buku catatan –termasuk buku
catatan amal- sebagai sesuatu yang tidak lengkap, tidak bisa mencatat semua sisi,
dan pasti ada yang terlewat. Lepas dari hebatnya malaikat pencatat, kita tetap akan
merasa begitu. Karena –tentu saja- diri kita sendiri ini selalu keteteran kalau
mencatat sesuatu, bahkan yang sederhana dan iramanya pelan sekalipun.
Tetapi sebentar. Sudah pernah dengar
istilah ‘Audio Book’? Ada kan? Ada,
bahkan ada Audio-Video Book. Lalu
bagaimana kalau saya mengusulkan pemahaman baru bahwa buku catatan amal itu berbentuk
‘Audio-Video Book’? Sebuah gambaran tentang
diri kita diambil dari –minimal- dua angle,
kemudian disimpan dalam bentuk file audio-video lengkap, dan nanti di hari
kiamat diperlihatkan kepada kita.
“Maka barangsiapa
mengerjakan kebaikan seberat timbangan dzarroh-pun akan melihatnya. Dan barangsiapa mengerjakan keburukan seberat timbangan
dzarroh pun akan melihatnya.” (QS. Az-Zilzal: 7-8)
Nah. Asosiasi kita tentang catatan amal
jadi berubah kan? Dan saya merasa pasti, persepsi kita tentang akurasi catatan amal
juga berubah. Kamera tersembunyi itu takkan keteteran men-shoot aktivitas kita. Lalu bayangkan sebuah layar superbesar di
hadapan pengadilan Alloh. Di sanalah akan di-display segala rekaman perbuatan kita sejak baligh sampai mati. Lengkap,
semuanya terekam dan terlihat. Saat kita sendiri maupun bersama, saat sunyi
maupun riuh, saat tersembunyi maupun teramati manusia, di pojok kamar yang sempit
maupun di lapangan yang luas. Semua tercatat, terekam. Lalu bertanyalah kita:
rekaman itu dipenuhi maksiat atau taat?
Jangan terlalu meyakini gambaran saya
tentang Kitaab ini, ya. Sungguh apa yang
ada di sisi Alloh lebih dahsyat dan tak tergambarkan! Ingat, gambaran ini hanya
untuk memberi sentuhan kesadaran minimal bagi kita yang terlanjur bermudah-mudah
dan mengecilkan arti catatan amal. Sungguh, apa yang ada di sisi Alloh lebih dahsyat
dan lebih agung!
Ketika amalan manusia diperlihatkan
oleh Alloh kepadanya, begitu Rosululloh suatu ketika mensabdakan, maka mereka akan
tenggelam dalam keringatnya karena merasa malu. Malu! Saking malunya karena semua
yang pernah ia sembunyikan terkuak sudah, segala yang ia tutupi diungkap dengan
sangat eksplisit. Persis! Di hadapannya sendiri! Allohumma!
Tenggelam dalam keringat. Ada yang semata
kaki, ada yang selutut, ada yang sepinggang, ada yang sebahu, ada yang
megap-megap, ada yang terbenam. Tergantung seberapa besar rasa malunya,
tergantung seberapa memalukannya rekaman perbuatan itu. Allohumma!
Inilah muroqobah. Sebelum datangnya hari itu, kita diberi kesempatan untuk
tahu. Bahwa ada catatan amal yang tak mungkin direkayasa, dan bahwa sesudah itu
perhitungan balasan dari Alloh adalah sedetil- detilnya, seadil-adilnya.
Lihatlah kondisi mereka yang memahami
hal ini dan menyikapinya dengan tepat:
Adapun
orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia
berkata, “Ambillah, bacalah kitabku (ini).” Sesungguhnya aku yakin, bahwa
sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada
dalam kehidupan yang diridhoi. Dalam surga yang tinggi. Buah-buahannya dekat.
(Kepada mereka dikatakan), “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal
yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (QS. Al-Haqqoh: 19-24)
Dan bandingkan dengan yang tak
memahaminya:
Adapun
orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata:
“Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku
tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang
menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat
kepadaku. Telah hilang kekuasaanku daripadaku.” (Alloh berfirman): “Peganglah
dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam
api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang
panjangnya tujuh puluh hasta.” (QS. Al-Haqqoh: 25-32)
Maka inilah muroqobah. Bolehlah engkau
mengidentikkannya dengan ihsan: “Engkau ibadahi Alloh seakan-akan engkau melihatNya.
Jika engkau tak melihatNya, yakinlah Ia melihatmu.”
Pernah nonton film Kiamat Sudah Dekat? Ya, ilmu ikhlas. Muroqobah adalah sisi lain dari pelajaran
tentang ikhlas. Ini yang kita –saya dan antum- harus belajar lebih banyak lagi.
Karena dalam perumpamaan Rosululloh, riya’ yang menghancurkan ikhlas bagaikan semut
hitam di atas batu hitam di malam yang kelam. Samar sekali. Ikhlas. Betapa sempitnya
kata ini, sampai-sampai tak menenggang sedikit geseran pun dalam niat. Ikhlas. Cukuplah
Alloh yang melihat.
When you give
with your right hand
Don’t let even
your left hand
To know the
good thing that you did
(SNADA: Just Giving Once!)
Tiba-tiba saya teringat kisah dari
negeri para Azhari. Ustadz Hasan Al-Banna pernah menghadiri sebuah mu’tamar di
Daqhaliah. Seusai mu’tamar, beliau bersama Ustadz ‘Umar At-Tilmisani beristirahat
di sebuah kamar yang terdiri atas dua tempat tidur. Masing-masing pun kemudian berbaring
di ranjangnya.
Beberapa menit kemudian, Ustadz
Hasan Al-Banna bertanya, “Wahai ‘Umar, apakah engkau sudah tidur?”
Ustadz ‘Umar menjawab, “Belum.”
Beberapa saat kemudian, Ustadz Al-Banna
mengulang pertanyaannya dan mendapat jawaban yang sama, “Belum!” Akhirnya Ustadz
‘Umar berkata dalam hati, “Jika beliau bertanya lagi, aku takkan menjawab.”
Benar, Ustadz Al-Banna bertanya lagi.
Tak ada jawaban. Beliau mengira Ustadz ‘Umar telah terlelap. Kemudian beliau keluar
dengan mengendap-endap, langkahnya berjingkat dan menenteng sandal di tangan kanan.
Beliau pergi ke tempat wudhu’, berwudhu’, lalu menunaikan tahajjud.
“Dan pada sebagian
malam bertahajjudlah engkau sebagai ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Robbmu
membangkitkanmu pada tempat yang terpuji.” (QS. Al Isro’: 79)
Jikala malam
sunyi sepi, bani insan tenggelam dalam mimpi
Musafir
yang malang ini pergi membasuh diri
Untuk menghadapMu,
oh Tuhan
Lemah
lututku berdiri dihadapanMu, tangisanku keharuan
hamba yang
lemah serta hina
Engkau
terima jua mendekati, bersimpuh di bawah duli kebesaranMu
(Hijjaz: Munajat Seorang Hamba)
Tetapi tentu saja, ibadah dan kebaikan
tak selalu harus disembunyikan. Tak harus curi-curi kesempatan. Ikhlas adalah rasa
tenteram ketika kita sadar dilihat Alloh. Alloh saja. Calon mertua, calon isteri,
Pak Direktur, dan Pak Lurah boleh saja tahu. Tapi pada Alloh sajalah kita tujukan
ibadah ini. Bukankah ikhlas juga berarti ketakpedulian kita pada pandangan manusia?
Tak bertambah karena dipuji dan tak berkurang karena dicaci. Ini yang utama.
Lebih dari itu, kadang orang lain memerlukan
contoh untuk ditiru, atau penyemangat, atau ‘ibroh.
Ini, bisa juga diniatkan sebagai da’wah, mensunnahkan kebaikan di mana pahala orang
yang mengikutinya akan masuk ke rekening kita tanpa mengurangi bagian mereka, insya Alloh.
Alangkah indah yang dicontohkan ‘Ali
Rodhiyallohu ‘Anhu dengan infaq empat
dirhamnya: satu dirham untuk siang, satu dirham untuk malam, satu dirham terang-terangan,
satu dirham sembunyi-sembunyi. Seiring sejalanlah dua makna keikhlasan dalam dirinya,
lalu ia pun dipuji oleh ayat ini:
Orang-orang
yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan
terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. AL-Baqoroh: 274)
O ya, hampir lupa. Fudhail ibn ‘Iyadh
juga mengingatkan, “Kalau kau meninggalkan ibadah karena khawatir dilihat orang,
maka kau riya’. Dan kalau kau beribadah agar dilihat orang, kau berbuat syirik!”
Nah.
Kredit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar