Jumat, 16 Juni 2017

Seperti Engkau Melihatnya

LELAKI tak dikenal yang sangat putih pakaiannya, sangat hitam rambutnya, dan tak menampakkan bekas perjalanan itu terus membuat heran para hadirin. Dalam posisi yang sangat dekat dengan Nabi, lutut yang saling menempel, dan tangan yang diletakkan di paha ia bertanya. Tetapi seperti seorang penguji, ia terus mengatakan, “Shodaqta, engkau benar!”, setiap kali Nabi memberikan jawaban.

Lelaki itu, belakangan ‘Umar yang mengisahkan fragmen ini tahu bahwa dialah Jibril, menanyakan salah satunya tentang Al-Ihsan. Apa itu? “An ta’budallooha ka-annaka taroohu. Fa in lam takun taroohu, fainnahuu yarooka; hendaklah engkau beribadah pada Alloh seakan-akan engkau melihatnya. Jika engkau tak bisa, maka yakinlah bahwa Alloh melihatmu.”

Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan AsmaNya kalian meminta satu sama lain dan bershilaturrohim. Sesungguhnya Alloh senantiasa mengawasi kalian. (QS. An-Nisaa’: 1)

Innallooha kaana ‘alaikum roqiibaa; sesungguhnyalah Alloh senantiasa mengawasi kalian. Saat kecil kita diperkenalkan pada Roqiib-’Atiid. Sifat dua malaikat pengawas yang duduk di kanan dan di kiri ini amat kita tenal. Roqoba-yarqubu-muroqobatan. Inilah muroqobah. Sebuah rasa bahwa kita senantiasa diawasi. Terekam setiap detik hidup kita sejak bangun sampai tidur lagi, bahkan juga saat tidur itu, sejak kita baligh hingga saat ruh diangkat.

Sewaktu kecil, lagi-lagi, bayangan kita tentang catatan amal adalah buku. Mengapa? Karena Al-Qur’an menyebutnya ‘Kitaab’. Tetapi benarkah ‘kitab’ berbentuk buku? Simpel sekali. Dan kita pastinya, mengasosiasikan buku catatan –termasuk buku catatan amal- sebagai sesuatu yang tidak lengkap, tidak bisa mencatat semua sisi, dan pasti ada yang terlewat. Lepas dari hebatnya malaikat pencatat, kita tetap akan merasa begitu. Karena –tentu saja- diri kita sendiri ini selalu keteteran kalau mencatat sesuatu, bahkan yang sederhana dan iramanya pelan sekalipun.

Tetapi sebentar. Sudah pernah dengar istilah ‘Audio Book’? Ada kan? Ada, bahkan ada Audio-Video Book. Lalu bagaimana kalau saya mengusulkan pemahaman baru bahwa buku catatan amal itu berbentuk ‘Audio-Video Book’? Sebuah gambaran tentang diri kita diambil dari –minimal- dua angle, kemudian disimpan dalam bentuk file audio-video lengkap, dan nanti di hari kiamat diperlihatkan kepada kita.

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat timbangan dzarroh-pun akan melihatnya. Dan barangsiapa mengerjakan keburukan seberat timbangan dzarroh pun akan melihatnya.” (QS. Az-Zilzal: 7-8)

Nah. Asosiasi kita tentang catatan amal jadi berubah kan? Dan saya merasa pasti, persepsi kita tentang akurasi catatan amal juga berubah. Kamera tersembunyi itu takkan keteteran men-shoot aktivitas kita. Lalu bayangkan sebuah layar superbesar di hadapan pengadilan Alloh. Di sanalah akan di-display segala rekaman perbuatan kita sejak baligh sampai mati. Lengkap, semuanya terekam dan terlihat. Saat kita sendiri maupun bersama, saat sunyi maupun riuh, saat tersembunyi maupun teramati manusia, di pojok kamar yang sempit maupun di lapangan yang luas. Semua tercatat, terekam. Lalu bertanyalah kita: rekaman itu dipenuhi maksiat atau taat?

Jangan terlalu meyakini gambaran saya tentang Kitaab ini, ya. Sungguh apa yang ada di sisi Alloh lebih dahsyat dan tak tergambarkan! Ingat, gambaran ini hanya untuk memberi sentuhan kesadaran minimal bagi kita yang terlanjur bermudah-mudah dan mengecilkan arti catatan amal. Sungguh, apa yang ada di sisi Alloh lebih dahsyat dan lebih agung!

Ketika amalan manusia diperlihatkan oleh Alloh kepadanya, begitu Rosululloh suatu ketika mensabdakan, maka mereka akan tenggelam dalam keringatnya karena merasa malu. Malu! Saking malunya karena semua yang pernah ia sembunyikan terkuak sudah, segala yang ia tutupi diungkap dengan sangat eksplisit. Persis! Di hadapannya sendiri! Allohumma!

Tenggelam dalam keringat. Ada yang semata kaki, ada yang selutut, ada yang sepinggang, ada yang sebahu, ada yang megap-megap, ada yang terbenam. Tergantung seberapa besar rasa malunya, tergantung seberapa memalukannya rekaman perbuatan itu. Allohumma!

Inilah muroqobah. Sebelum datangnya hari itu, kita diberi kesempatan untuk tahu. Bahwa ada catatan amal yang tak mungkin direkayasa, dan bahwa sesudah itu perhitungan balasan dari Alloh adalah sedetil- detilnya, seadil-adilnya.

Lihatlah kondisi mereka yang memahami hal ini dan menyikapinya dengan tepat:
Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata, “Ambillah, bacalah kitabku (ini).” Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhoi. Dalam surga yang tinggi. Buah-buahannya dekat. (Kepada mereka dikatakan), “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (QS. Al-Haqqoh: 19-24)

Dan bandingkan dengan yang tak memahaminya:
Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku daripadaku.” (Alloh berfirman): “Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.” (QS. Al-Haqqoh: 25-32)

Maka inilah muroqobah. Bolehlah engkau mengidentikkannya dengan ihsan: “Engkau ibadahi Alloh seakan-akan engkau melihatNya. Jika engkau tak melihatNya, yakinlah Ia melihatmu.”

Pernah nonton film Kiamat Sudah Dekat? Ya, ilmu ikhlas. Muroqobah adalah sisi lain dari pelajaran tentang ikhlas. Ini yang kita –saya dan antum- harus belajar lebih banyak lagi. Karena dalam perumpamaan Rosululloh, riya’ yang menghancurkan ikhlas bagaikan semut hitam di atas batu hitam di malam yang kelam. Samar sekali. Ikhlas. Betapa sempitnya kata ini, sampai-sampai tak menenggang sedikit geseran pun dalam niat. Ikhlas. Cukuplah Alloh yang melihat.

When you give with your right hand
Don’t let even your left hand
To know the good thing that you did
(SNADA: Just Giving Once!)

Tiba-tiba saya teringat kisah dari negeri para Azhari. Ustadz Hasan Al-Banna pernah menghadiri sebuah mu’tamar di Daqhaliah. Seusai mu’tamar, beliau bersama Ustadz ‘Umar At-Tilmisani beristirahat di sebuah kamar yang terdiri atas dua tempat tidur. Masing-masing pun kemudian berbaring di ranjangnya.

Beberapa menit kemudian, Ustadz Hasan Al-Banna bertanya, “Wahai ‘Umar, apakah engkau sudah tidur?”

Ustadz ‘Umar menjawab, “Belum.”

Beberapa saat kemudian, Ustadz Al-Banna mengulang pertanyaannya dan mendapat jawaban yang sama, “Belum!” Akhirnya Ustadz ‘Umar berkata dalam hati, “Jika beliau bertanya lagi, aku takkan menjawab.”

Benar, Ustadz Al-Banna bertanya lagi. Tak ada jawaban. Beliau mengira Ustadz ‘Umar telah terlelap. Kemudian beliau keluar dengan mengendap-endap, langkahnya berjingkat dan menenteng sandal di tangan kanan. Beliau pergi ke tempat wudhu’, berwudhu’, lalu menunaikan tahajjud.

“Dan pada sebagian malam bertahajjudlah engkau sebagai ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Robbmu membangkitkanmu pada tempat yang terpuji.(QS. Al Isro’: 79)

Jikala malam sunyi sepi, bani insan tenggelam dalam mimpi
Musafir yang malang ini pergi membasuh diri
Untuk menghadapMu, oh Tuhan
Lemah lututku berdiri dihadapanMu, tangisanku keharuan
hamba yang lemah serta hina
Engkau terima jua mendekati, bersimpuh di bawah duli kebesaranMu
(Hijjaz: Munajat Seorang Hamba)

Tetapi tentu saja, ibadah dan kebaikan tak selalu harus disembunyikan. Tak harus curi-curi kesempatan. Ikhlas adalah rasa tenteram ketika kita sadar dilihat Alloh. Alloh saja. Calon mertua, calon isteri, Pak Direktur, dan Pak Lurah boleh saja tahu. Tapi pada Alloh sajalah kita tujukan ibadah ini. Bukankah ikhlas juga berarti ketakpedulian kita pada pandangan manusia? Tak bertambah karena dipuji dan tak berkurang karena dicaci. Ini yang utama.

Lebih dari itu, kadang orang lain memerlukan contoh untuk ditiru, atau penyemangat, atau ‘ibroh. Ini, bisa juga diniatkan sebagai da’wah, mensunnahkan kebaikan di mana pahala orang yang mengikutinya akan masuk ke rekening kita tanpa mengurangi bagian mereka, insya Alloh.

Alangkah indah yang dicontohkan ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu dengan infaq empat dirhamnya: satu dirham untuk siang, satu dirham untuk malam, satu dirham terang-terangan, satu dirham sembunyi-sembunyi. Seiring sejalanlah dua makna keikhlasan dalam dirinya, lalu ia pun dipuji oleh ayat ini:

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. AL-Baqoroh: 274)

O ya, hampir lupa. Fudhail ibn ‘Iyadh juga mengingatkan, “Kalau kau meninggalkan ibadah karena khawatir dilihat orang, maka kau riya’. Dan kalau kau beribadah agar dilihat orang, kau berbuat syirik!” Nah.


Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar