SAAT itu,
dihadirkanlah Profesor Loebby Lukman sebagai saksi atas dakwaan makar terhadap Abu
Bakar Ba’asyir. Setelah saksi memberikan keterangan, majelis hakim memberi
kesempatan kepada terdakwa untuk mengajukan pertanyaan. Maka dengan ekspresi tenang,
tanpa berkonsultasi dahulu pada penasehat hukumnya Ustadz bicara. Kira-kira, inilah
dialog itu:
“Profesor
Loebby, berdasar UUD 1945 pasal 29 ayat 2, bukankah negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk memeluk agama untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya?”
“Ya, benar!”
“Apakah dalam
UUD 1945 ataupun penjelasannya terdapat definisi kata ‘ibadah’?”
“Emm… setahu
saya tidak ada.”
“Kalau begitu,
bukankah seharusnya makna ibadah dikembalikan kepada darimana ia diambil?"
“..Ya.”
“Nah. Sesungguhnya
kata ‘ibadah’ berasal dari bahasa Arab, dan tentu berasal dari apa yang diperintahkan
Alloh di dalam Al-Qur’an. Maka, definisinya harus dikembalikan kepada Al-Qur’an.
Menurut Al-Qur’an, ibadah adalah segala aktivitas yang ditujukan untuk mencari
keridhoan Alloh dan dilaksanakan sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Rosululloh.
Dan, ibadah yang tertinggi menurut Islam adalah menegakkan syari’at Alloh di
muka bumi. Dengan demikian, apakah yang saya lakukan selama ini, -mengupayakan tegaknya
syari’at Islam di Indonesia- bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin
kemerdekaan penduduk untuk menjalankan ibadah?”
“Kalau logikanya
begitu, tidak.”
“Baik. Pertanyaan
terakhir. Jika negara melanggar UUD 1945 –dengan merampas kemerdekaan beribadah-
apakah negara bisa dituntut?”
Subhanalloh…
Ya.
Seperti kata Ustadz Abu, ibadah adalah segala sesuatu yang ditujukan untuk mencari
ridho Alloh. Maka, ibadah adalah lapangan aktivitas yang melingkupi luasan tak terperi.
Luas sekali. Dan memang, Alloh Subhanahu wa
Ta’ala yang senantiasa mengawasi kita, menginginkan agar kita memakna ibadah
sebagaimana kita memaknai interaksi kita denganNya. Dan makna-makna interaksi kita
dengan Alloh, -sebutlah ia pilar-pilar ‘ubudiyah-, ada tiga: takut, harap, cinta.
Takut, harap,
dan cinta adalah pilar-pilar ‘ubudiyah yang saling menyangga, kait mengait, tak
bisa ditinggalkan salah satunya. Ia bukan jenjangan yang bertingkat-tingkat, bukanlah
satu pilar ditempuh dengan meninggalkan pilar sebelumnya. Bukan hirearki, tapi kesatuan
makna yang indah. Sebentar. Tunggu sebentar. Mungkin antum pernah mendengar
syair ini:
Alloh…
jika aku sembah Engkau karena takut pada nerakaMu
Masukkan
saja aku ke dalamnya
Jika
aku sembah Engkau karena berharap surgaMu
Jauhkan
saja aku darinya
Tetapi
jika
Aku
menyembahMu karena cinta
Maka
cintaMulah yang kuharapkan
Penisbatan
syair ibadah cinta ini kepada Robi’ah Al-’Adawiyah tak bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Ya. Tidak ada bukti kesejarahan yang bisa mendukungnya. Filologi,
ilmu tentang sanad, tak bisa melacaknya. Jadi, bukan berarti takut pada Alloh
itu semata mental budak yang rendah. Bukan berarti mengharap surga itu semata mental
pedagang yang culas. Dan bukan pula, orang yang hanya punya cinta selalu lebih mulia.
Tentang hal ini, dengan mengejutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
Barangsiapa
menyembah Alloh dengan cinta saja maka sungguh ia Zindiq.
Barangsiapa
menyembah Alloh dengan harap saja maka ia adalah Murji’.
Barangsiapa
menyembah Alloh dengan takut saja maka ia Haruri.
Mukmin
bertauhid menyembah Alloh dengan ketiganya; takut, harap, dan cinta.
Zindiq
adalah sebutan bagi tiap orang yang tertipu oleh perasaan dan angan kosongnya. Coba
analisis kalimat yang muncul dari seorang yang baru bergabung dalam thoriqot sufi
berikut ini, “Dalam dzikirku aku mengucap Alloh… Alloh… Alloh... lalu aku tenggelam
dalam nikmat munajat. Rasanya seperti memasuki sebuah alam tanpa dimensi... hanya
cahaya... kuat... dahsyat... begitu agung... begitu kudus... sebuah ekstase
suci… sampai tanpa sadar aku hanya mengucap Love… Love... Love... Ya. Tuhan telah
mewahyukan padaku, bahwa DiriNya adalah Cinta... Cinta... selain itu sungguh tak
berarti.”
Kira-kira
bagaimana? Bisikan Alloh atau bisikan syaithon?
Murji’
adalah orang yang menganggap iman cukup dengan pembenaran lisan sehingga memudah-mudahkan.
Kalau sudah syahadat, ya sudah. Mukmin. Pasti masuk surga. Jadi, begini boleh, begitupun
boleh. Nggak masalah. Kalau sudah mengatakan beriman, pasti masuk surga.
Sedang Haruri adalah sebutan lain Khowarij, kelompok yang mengkafirkan
pelaku dosa besar karena berlebihan dalam rasa takut. Sebuah ilustrasi menarik tentang
Khowarij diberikan oleh Rosululloh. Para sahabat, kata beliau akan menganggap kecil
dan remeh ibadah mereka sendiri kalau melihat kesungguhan Khowarij dalam ibadah.
Sholat mereka, puasa mereka... Tetapi, kata beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, mereka –orang-orang Khowarij- keluar
dari agama seperti anak panah meluncur dari busurnya. Mengapa? Mereka
berlebihan merentang busur itu. Terlalu kuat, terlalu ketat. Dan terjadilah pada
masa lalu, mereka mengkafirkan semua orang yang bertahkim di Daumatul Jandal mengkafirkan sahabat-sahabat
Rosululloh: ‘Ali, Mu’awiyah, ‘Amr ibn Al-’Ash dan orang-orang yang bersama
mereka.
Na’udzubillah...
Seorang mukmin
bertauhid, menjadikan takut, harap dan cinta sebagai energi jiwa. Ketiganya. Galian
yang tak habis-habis untuk menyalahidupkan tanggungjawab ‘ubudiyahnya. Di
sinilah ia dapati interaksi yang indah dengan Alloh.
Kami
takut, kami harap kepadaMu
Suburkanlah
cinta kami kepadaMu
Kamilah
hamba yang mengharap belas dariMu
(Raihan &
M. Yassin Sulaiman: I’tirof)
Takut
“Sesungguhnya
aku takut, jika aku mendurhakai Robbku, akan adzab di hari yang agung.”
(QS.
Al-An’aam: 75)
Ketakutan
adalah energi jiwa, untuk membentengi diri dan perbuatan yang mengundang murka Ilahi.
Rasa takut akan kengerian yang lebih besar, kengerian neraka, kengerian zaqqum, kengerian makan nanah dan darah,
kengerian malaikat Zabaniyah, kengerian malaikat yang ghilladhun syidaad, panas, perih, ngilu, kehausan abadi, minuman
yang membakar... Kengerian-kengerian ini membuat sambitan Abu Jahal, timpukan ‘Uqbah
ibn Abi Mu’ith, cambukan ‘Umayyah ibn Kholaf ejekan dan lemparan kotoran Abu Lahab...
semuanya hanya bagaikan gelitikan yang membuat para ahli iman tertawa. Bahkan ketika
kita saksikan mereka menitiskan air mata, yakinlah bahwa itu air mata karena
menahan tawa.
Alloh…
Mungkin
makna lain yang indah dari takut adalah ‘pengawasan’. Dalam pengawasan Alloh, kita
berusaha hidup dalam kesholihan. Karena kita lebih patut untuk malu dan takut kepada
Alloh yang selalu membersamai.
“Dan
sesungguhnya, kami telah menciptakan manusia, dan Kami mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
(QS.
Qoof: 16)
Ketakutan
kita pada Alloh bukanlah gigil kengerian. Ia adalah kesadaran. Ia adalah kehati-hatian.
Ia pun justru ketenteraman. Setenteram sejuknya ayat ini menghidupkan hati:
“Dan
adapun orang yang takut kepada kebesaran Robbnya, dan menahan diri dari keinginan
hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.”
(QS.
An-Nazi’at: 40-41)
Harap
“Ibrohim
berkata, “Tiada yang berputus asa dari rohmat Robbnya kecuali orang-orang yang
sesat.” (QS. Al-Hijr: 56)
Di padang
pasir yang tandus, terik mentarinya yang membakar, dan tanahnya yang kerontang,
para ahli iman menanam pohon harapannya. Menghijau ia menghampar, dengan
siraman air mata dan darah. Daun-daunnya lebat, tumbuh menjulang tegak di atas akar
keimanan yang kukuh, menyentuh langit-langit kemuliaan. Ia membawa sang penanam
meninggi, meninggalkan alam hina jahiliyah yang tak henti menggali kubangan lumpur.
“Tidakkah
kalian perhatikan bagaimana Alloh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) di langit, pohon itu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Robbnya... “
(QS.
Ibrohim: 24-25)
Betapa buah
itu telah dinikmati para penanamnya. Siapa peduli musim apa ini. Pokoknya Bilal
sedang berbaring di tengah kebun surganya, di sisi sungai-sungainya yang
mengalir, di atas dipan, berpakaian sutera, di bawah naungan pohon rindang yang
buahnya mudah dipetik. Bilal sedang bercanda dengan para bidadari, Bilal sedang
menatap para bujang hilir mudik, Bilal sedang menikmati minuman yang lebih manis
dari madu, lebih lembut dari susu, dan lebih sejuk dari krim beku.
Inilah
pandangan iman yang penuh harapan, tak usah pedulikan Umayyah bin Kholaf yang sedang
terkekeh menatap budaknya tersengat pasir panas, terbelenggu rantai, tertindih
batu, berbilur darah penuh luka cambukan. Tak usah pedulikan dia. Kita sedang menatap
Bilal bertelekan di atas dipan kencananya.
Kita menatap
dengan mata harapan akan sebuah pemandangan yang digambarkan detail oleh Alloh
dalam wahyu di hari-hari permulaan risalah. Imajinasi itu dihadirkan begitu
nyata, seolah surga menjadi ekosistem gaib yang melingkupi ke mana pun seorang mukmin
beranjak.
Kalau
penelitian di Amerika hari-hari ini mengatakan bahwa orang-orang yang tinggal di
lingkungan hijau memiliki angka harapan hidup di atas rata-rata, jelaslah bagi
kita bahwa para ahli iman yang mampu menghadirkan kehijauan surga dalam desah nafasnya,
memiliki energi daya hidup yang abadi. Bahkan, Masya Alloh, bahkan Alloh tak pernah
mengaruniakan kematian kepada mukmin yang terbunuh syahid memenuhi janji.
“Janganlah
kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Alloh itu mati, bahkan mereka
itu hidup di sisi Robb mereka dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira
disebabkan karunia Alloh yang Ia berikan kepada mereka.”
(QS.
Ali ‘Imron: 169-170)
Dan mungkin,
makna indah yang lain dari harap adalah kebersamaan. Kebersamaan dengan Alloh. Gerak
nafas bertauhid adalah sebuah tuntutan keimanan, sebuah sumbu hidup yang
menyala dan padam karena Alloh semata. Ada kenikmatan tiada tara, ketenteraman tak
terkira, ketika merasai kebersamaan Alloh, dalam sholat, dalam ‘ibadah, dalam hidup,
dan ketika meneguk gelas kematian.
“...Janganlah
kamu berduka cita, sesungguhnya Alloh bersama kita...”
(QS.
At-Taubah: 40)
Cinta
Cinta,
ruh yang mengalir
lembut, menyenangkan, bersinar, jernih, dan ceria…
Cinta,
luh yang
mengalir lembut, menyesakkan, berderai, jerih, dan badai...
“Dan
diantara manusia ada orang-orang yang mengambil tandingan-tandingan untuk Alloh.
Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh, padahal orang-orang yang
beriman amat sangat cintanya kepada Alloh.” (QS.
Al-Baqoroh: 165)
Jangan
ada tandingan untukNya dalam cinta! Apa jadinya bila Ia cemburu? Bukankah
cemburuNya jauh lebih dahsyat dari Sa’d ibn ‘Ubadah, pencemburu terberat di
seantero Madinah?
Cinta adalah
energi, yang membuat sang pencinta memiliki tatapan pinta kepada Robbnya.
Pandangan kasihnya jatuh jua ke retina cinta, takkan berpaling selamanya. Lalu senyumnya
pun merekah, mekar dari kuncup cinta. Bahkan di kala tangis, ia menimba luhnya dari
mata air cinta.
Fragmen menyejarah
seorang Arab gunung yang bertanya tentang kiamat kembali hadir dalam memori
kita. “Bilakah datangnya kiamat, yaa Rosulalloh?”, tanyanya. “Apa yang sudah kau
siapkan untuk menyambutnya?”, Sang Rosul balik bertanya. “Cinta kepada Alloh
dan RosulNya...,” jawabnya sepolos fitrah. “Engkau akan bersama dengan yang kau
cintai.” Ah betapa melegakan.
Energi cinta,
energi yang meredakan segala resah dan gelisah dengan mengingat Sang Kekasih. Ketenangan
di segala suasana, keteduhan di setiap terik, cinta ini berbuah dzikir naturi yang
menenteramkan.
(Yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Alloh. Ingatlah, hanya dengan mengingati Alloh-lah hati menjadi tenteram.
(QS.
Ar-Ro’d: 28)
Bergetarnya
hati di saat namaNya disebut, bertambahnya yakin saat ayatNya dilantunkan, menjadi
indikator-indikator cinta yang tak bisa dibantah apalagi dipalsukan. Ada
kenikmatan tersendiri ketika mereka pasrah, bertawakkal, menggantungkan segala urusan
kepada Robbnya saja.
“Sesungguhnya,
orang yang beriman itu adalah orang-orang yang ketika disebut asma Alloh bergetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya atas mereka bertambahlah iman mereka
karenanya. Dan kepada Robbnya mereka bertawakkal.” (QS.
Al-Anfal: 2)
Dan, cinta
yang hanya di hati belum membuktikan apa-apa. Amal sholih, kata Sayyid Quthb, adalah
buah alami dari keimanan, dan gerak yang bermula pada detik di mana hakikat keimanan
itu menghunjam di dalam hati. Maka keimanan dan cinta padaNya adalah hakikat
yang aktif dan energik. Begitu hakikat keimanan menghunjam dalam nurani, maka pada
saat itu pula ia bergerak mengekspresikan dirinya di luar dalam bentuk amal sholih.
Itulah iman
Islami! Itulah cinta pada Alloh! Tidak mungkin tinggal diam tanpa gerak, atau tersembunyi
tanpa menampakkan diri dalam bentuk yang dinamis di luar diri sang mu’min. Jika
tidak bisa melahirkan gerakan yang alami tersebut, maka keimanan dan cinta itu adalah
palsu atau mati. Sama seperti bunga yang tidak bisa menahan semerbak
wewangiannya. Ia pasti muncul secara alami. Jika tidak, bisa dipastikan tidak ada!
Katakanlah:
“Jika kalian mencintai Alloh, ikutilah aku. Niscaya Alloh mencintai kalian dan mengampuni
dosa-dosa kalian. Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS.
Ali ‘Imron: 37)
Gerak dan
gerak. ‘Amal dan ‘amal. Lalu di sanalah cinta menjadi permata, mengkilap oleh
air mata, menyala oleh darah, dan hidup dengan pengorbanan.
Take
me up with Your Love
Towards
Your Highness
And
give me Your Pleasant
And
Paradise…
(Raihan &
Mohammed El Husayyan: ‘Aroftuka)
Kredit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar