Jumat, 16 Juni 2017

Tiga Pilar

SAAT itu, dihadirkanlah Profesor Loebby Lukman sebagai saksi atas dakwaan makar terhadap Abu Bakar Ba’asyir. Setelah saksi memberikan keterangan, majelis hakim memberi kesempatan kepada terdakwa untuk mengajukan pertanyaan. Maka dengan ekspresi tenang, tanpa berkonsultasi dahulu pada penasehat hukumnya Ustadz bicara. Kira-kira, inilah dialog itu:

“Profesor Loebby, berdasar UUD 1945 pasal 29 ayat 2, bukankah negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agama untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya?”

“Ya, benar!”

“Apakah dalam UUD 1945 ataupun penjelasannya terdapat definisi kata ‘ibadah’?”

“Emm… setahu saya tidak ada.”

“Kalau begitu, bukankah seharusnya makna ibadah dikembalikan kepada darimana ia diambil?"

“..Ya.”

“Nah. Sesungguhnya kata ‘ibadah’ berasal dari bahasa Arab, dan tentu berasal dari apa yang diperintahkan Alloh di dalam Al-Qur’an. Maka, definisinya harus dikembalikan kepada Al-Qur’an. Menurut Al-Qur’an, ibadah adalah segala aktivitas yang ditujukan untuk mencari keridhoan Alloh dan dilaksanakan sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Rosululloh. Dan, ibadah yang tertinggi menurut Islam adalah menegakkan syari’at Alloh di muka bumi. Dengan demikian, apakah yang saya lakukan selama ini, -mengupayakan tegaknya syari’at Islam di Indonesia- bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan penduduk untuk menjalankan ibadah?”

“Kalau logikanya begitu, tidak.”

“Baik. Pertanyaan terakhir. Jika negara melanggar UUD 1945 –dengan merampas kemerdekaan beribadah- apakah negara bisa dituntut?”

Subhanalloh…

Ya. Seperti kata Ustadz Abu, ibadah adalah segala sesuatu yang ditujukan untuk mencari ridho Alloh. Maka, ibadah adalah lapangan aktivitas yang melingkupi luasan tak terperi. Luas sekali. Dan memang, Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa mengawasi kita, menginginkan agar kita memakna ibadah sebagaimana kita memaknai interaksi kita denganNya. Dan makna-makna interaksi kita dengan Alloh, -sebutlah ia pilar-pilar ‘ubudiyah-, ada tiga: takut, harap, cinta.

Takut, harap, dan cinta adalah pilar-pilar ‘ubudiyah yang saling menyangga, kait mengait, tak bisa ditinggalkan salah satunya. Ia bukan jenjangan yang bertingkat-tingkat, bukanlah satu pilar ditempuh dengan meninggalkan pilar sebelumnya. Bukan hirearki, tapi kesatuan makna yang indah. Sebentar. Tunggu sebentar. Mungkin antum pernah mendengar syair ini:

Alloh… jika aku sembah Engkau karena takut pada nerakaMu
Masukkan saja aku ke dalamnya
Jika aku sembah Engkau karena berharap surgaMu
Jauhkan saja aku darinya
Tetapi jika
Aku menyembahMu karena cinta
Maka cintaMulah yang kuharapkan

Penisbatan syair ibadah cinta ini kepada Robi’ah Al-’Adawiyah tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ya. Tidak ada bukti kesejarahan yang bisa mendukungnya. Filologi, ilmu tentang sanad, tak bisa melacaknya. Jadi, bukan berarti takut pada Alloh itu semata mental budak yang rendah. Bukan berarti mengharap surga itu semata mental pedagang yang culas. Dan bukan pula, orang yang hanya punya cinta selalu lebih mulia. Tentang hal ini, dengan mengejutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
Barangsiapa menyembah Alloh dengan cinta saja maka sungguh ia Zindiq.
Barangsiapa menyembah Alloh dengan harap saja maka ia adalah Murji’.
Barangsiapa menyembah Alloh dengan takut saja maka ia Haruri.
Mukmin bertauhid menyembah Alloh dengan ketiganya; takut, harap, dan cinta.

Zindiq adalah sebutan bagi tiap orang yang tertipu oleh perasaan dan angan kosongnya. Coba analisis kalimat yang muncul dari seorang yang baru bergabung dalam thoriqot sufi berikut ini, “Dalam dzikirku aku mengucap Alloh… Alloh… Alloh... lalu aku tenggelam dalam nikmat munajat. Rasanya seperti memasuki sebuah alam tanpa dimensi... hanya cahaya... kuat... dahsyat... begitu agung... begitu kudus... sebuah ekstase suci… sampai tanpa sadar aku hanya mengucap Love… Love... Love... Ya. Tuhan telah mewahyukan padaku, bahwa DiriNya adalah Cinta... Cinta... selain itu sungguh tak berarti.”

Kira-kira bagaimana? Bisikan Alloh atau bisikan syaithon?

Murji’ adalah orang yang menganggap iman cukup dengan pembenaran lisan sehingga memudah-mudahkan. Kalau sudah syahadat, ya sudah. Mukmin. Pasti masuk surga. Jadi, begini boleh, begitupun boleh. Nggak masalah. Kalau sudah mengatakan beriman, pasti masuk surga.

Sedang Haruri adalah sebutan lain Khowarij, kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar karena berlebihan dalam rasa takut. Sebuah ilustrasi menarik tentang Khowarij diberikan oleh Rosululloh. Para sahabat, kata beliau akan menganggap kecil dan remeh ibadah mereka sendiri kalau melihat kesungguhan Khowarij dalam ibadah. Sholat mereka, puasa mereka... Tetapi, kata beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, mereka –orang-orang Khowarij- keluar dari agama seperti anak panah meluncur dari busurnya. Mengapa? Mereka berlebihan merentang busur itu. Terlalu kuat, terlalu ketat. Dan terjadilah pada masa lalu, mereka mengkafirkan semua orang yang bertahkim di Daumatul Jandal mengkafirkan sahabat-sahabat Rosululloh: ‘Ali, Mu’awiyah, ‘Amr ibn Al-’Ash dan orang-orang yang bersama mereka.
Na’udzubillah...

Seorang mukmin bertauhid, menjadikan takut, harap dan cinta sebagai energi jiwa. Ketiganya. Galian yang tak habis-habis untuk menyalahidupkan tanggungjawab ‘ubudiyahnya. Di sinilah ia dapati interaksi yang indah dengan Alloh.
Kami takut, kami harap kepadaMu
Suburkanlah cinta kami kepadaMu
Kamilah hamba yang mengharap belas dariMu
(Raihan & M. Yassin Sulaiman: I’tirof)

Takut
“Sesungguhnya aku takut, jika aku mendurhakai Robbku, akan adzab di hari yang agung.” (QS. Al-An’aam: 75)

Ketakutan adalah energi jiwa, untuk membentengi diri dan perbuatan yang mengundang murka Ilahi. Rasa takut akan kengerian yang lebih besar, kengerian neraka, kengerian zaqqum, kengerian makan nanah dan darah, kengerian malaikat Zabaniyah, kengerian malaikat yang ghilladhun syidaad, panas, perih, ngilu, kehausan abadi, minuman yang membakar... Kengerian-kengerian ini membuat sambitan Abu Jahal, timpukan ‘Uqbah ibn Abi Mu’ith, cambukan ‘Umayyah ibn Kholaf ejekan dan lemparan kotoran Abu Lahab... semuanya hanya bagaikan gelitikan yang membuat para ahli iman tertawa. Bahkan ketika kita saksikan mereka menitiskan air mata, yakinlah bahwa itu air mata karena menahan tawa.

Alloh…

Mungkin makna lain yang indah dari takut adalah ‘pengawasan’. Dalam pengawasan Alloh, kita berusaha hidup dalam kesholihan. Karena kita lebih patut untuk malu dan takut kepada Alloh yang selalu membersamai.

“Dan sesungguhnya, kami telah menciptakan manusia, dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qoof: 16)

Ketakutan kita pada Alloh bukanlah gigil kengerian. Ia adalah kesadaran. Ia adalah kehati-hatian. Ia pun justru ketenteraman. Setenteram sejuknya ayat ini menghidupkan hati:

“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Robbnya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40-41)

Harap
“Ibrohim berkata, “Tiada yang berputus asa dari rohmat Robbnya kecuali orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr: 56)

Di padang pasir yang tandus, terik mentarinya yang membakar, dan tanahnya yang kerontang, para ahli iman menanam pohon harapannya. Menghijau ia menghampar, dengan siraman air mata dan darah. Daun-daunnya lebat, tumbuh menjulang tegak di atas akar keimanan yang kukuh, menyentuh langit-langit kemuliaan. Ia membawa sang penanam meninggi, meninggalkan alam hina jahiliyah yang tak henti menggali kubangan lumpur.

“Tidakkah kalian perhatikan bagaimana Alloh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) di langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Robbnya... “ (QS. Ibrohim: 24-25)

Betapa buah itu telah dinikmati para penanamnya. Siapa peduli musim apa ini. Pokoknya Bilal sedang berbaring di tengah kebun surganya, di sisi sungai-sungainya yang mengalir, di atas dipan, berpakaian sutera, di bawah naungan pohon rindang yang buahnya mudah dipetik. Bilal sedang bercanda dengan para bidadari, Bilal sedang menatap para bujang hilir mudik, Bilal sedang menikmati minuman yang lebih manis dari madu, lebih lembut dari susu, dan lebih sejuk dari krim beku.

Inilah pandangan iman yang penuh harapan, tak usah pedulikan Umayyah bin Kholaf yang sedang terkekeh menatap budaknya tersengat pasir panas, terbelenggu rantai, tertindih batu, berbilur darah penuh luka cambukan. Tak usah pedulikan dia. Kita sedang menatap Bilal bertelekan di atas dipan kencananya.

Kita menatap dengan mata harapan akan sebuah pemandangan yang digambarkan detail oleh Alloh dalam wahyu di hari-hari permulaan risalah. Imajinasi itu dihadirkan begitu nyata, seolah surga menjadi ekosistem gaib yang melingkupi ke mana pun seorang mukmin beranjak.

Kalau penelitian di Amerika hari-hari ini mengatakan bahwa orang-orang yang tinggal di lingkungan hijau memiliki angka harapan hidup di atas rata-rata, jelaslah bagi kita bahwa para ahli iman yang mampu menghadirkan kehijauan surga dalam desah nafasnya, memiliki energi daya hidup yang abadi. Bahkan, Masya Alloh, bahkan Alloh tak pernah mengaruniakan kematian kepada mukmin yang terbunuh syahid memenuhi janji.

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Alloh itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Robb mereka dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Alloh yang Ia berikan kepada mereka.” (QS. Ali ‘Imron: 169-170)

Dan mungkin, makna indah yang lain dari harap adalah kebersamaan. Kebersamaan dengan Alloh. Gerak nafas bertauhid adalah sebuah tuntutan keimanan, sebuah sumbu hidup yang menyala dan padam karena Alloh semata. Ada kenikmatan tiada tara, ketenteraman tak terkira, ketika merasai kebersamaan Alloh, dalam sholat, dalam ‘ibadah, dalam hidup, dan ketika meneguk gelas kematian.

“...Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Alloh bersama kita...” (QS. At-Taubah: 40)

Cinta
Cinta,
ruh yang mengalir lembut, menyenangkan, bersinar, jernih, dan ceria…
Cinta,
luh yang mengalir lembut, menyesakkan, berderai, jerih, dan badai...

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang mengambil tandingan-tandingan untuk Alloh. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh, padahal orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Alloh.” (QS. Al-Baqoroh: 165)

Jangan ada tandingan untukNya dalam cinta! Apa jadinya bila Ia cemburu? Bukankah cemburuNya jauh lebih dahsyat dari Sa’d ibn ‘Ubadah, pencemburu terberat di seantero Madinah?

Cinta adalah energi, yang membuat sang pencinta memiliki tatapan pinta kepada Robbnya. Pandangan kasihnya jatuh jua ke retina cinta, takkan berpaling selamanya. Lalu senyumnya pun merekah, mekar dari kuncup cinta. Bahkan di kala tangis, ia menimba luhnya dari mata air cinta.

Fragmen menyejarah seorang Arab gunung yang bertanya tentang kiamat kembali hadir dalam memori kita. “Bilakah datangnya kiamat, yaa Rosulalloh?”, tanyanya. “Apa yang sudah kau siapkan untuk menyambutnya?”, Sang Rosul balik bertanya. “Cinta kepada Alloh dan RosulNya...,” jawabnya sepolos fitrah. “Engkau akan bersama dengan yang kau cintai.” Ah betapa melegakan.

Energi cinta, energi yang meredakan segala resah dan gelisah dengan mengingat Sang Kekasih. Ketenangan di segala suasana, keteduhan di setiap terik, cinta ini berbuah dzikir naturi yang menenteramkan.

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Alloh. Ingatlah, hanya dengan mengingati Alloh-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ro’d: 28)

Bergetarnya hati di saat namaNya disebut, bertambahnya yakin saat ayatNya dilantunkan, menjadi indikator-indikator cinta yang tak bisa dibantah apalagi dipalsukan. Ada kenikmatan tersendiri ketika mereka pasrah, bertawakkal, menggantungkan segala urusan kepada Robbnya saja.

“Sesungguhnya, orang yang beriman itu adalah orang-orang yang ketika disebut asma Alloh bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya atas mereka bertambahlah iman mereka karenanya. Dan kepada Robbnya mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal: 2)

Dan, cinta yang hanya di hati belum membuktikan apa-apa. Amal sholih, kata Sayyid Quthb, adalah buah alami dari keimanan, dan gerak yang bermula pada detik di mana hakikat keimanan itu menghunjam di dalam hati. Maka keimanan dan cinta padaNya adalah hakikat yang aktif dan energik. Begitu hakikat keimanan menghunjam dalam nurani, maka pada saat itu pula ia bergerak mengekspresikan dirinya di luar dalam bentuk amal sholih.

Itulah iman Islami! Itulah cinta pada Alloh! Tidak mungkin tinggal diam tanpa gerak, atau tersembunyi tanpa menampakkan diri dalam bentuk yang dinamis di luar diri sang mu’min. Jika tidak bisa melahirkan gerakan yang alami tersebut, maka keimanan dan cinta itu adalah palsu atau mati. Sama seperti bunga yang tidak bisa menahan semerbak wewangiannya. Ia pasti muncul secara alami. Jika tidak, bisa dipastikan tidak ada!

Katakanlah: “Jika kalian mencintai Alloh, ikutilah aku. Niscaya Alloh mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imron: 37)

Gerak dan gerak. ‘Amal dan ‘amal. Lalu di sanalah cinta menjadi permata, mengkilap oleh air mata, menyala oleh darah, dan hidup dengan pengorbanan.

Take me up with Your Love
Towards Your Highness
And give me Your Pleasant
And Paradise…
(Raihan & Mohammed El Husayyan: ‘Aroftuka)


Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar