DI TENGAH terik membakar, peluh yang
menetes-netes di pori, kita meresak jiwa akan sejuknya puasa. “Ajruki ‘ala qodri nashobik; pahalamu sesuai
kadar payahmu.” Adakah hari di mana sepoian lembut angin padang membelai begitu
nikmat? Adakah waktu di mana syaithon dibelenggu, hingga hirupan nafas pun terasa
mengandung kesholihan?
Romadhon. Malam-malam yang
ditingkahi syahdu kalam Ilahi. Kecuali jika kita adalah syaithon dari golongan manusia,
alangkah indahnya hari-hari itu. Saat sholat malam adalah aktivitas yang
benar-benar ‘menghidupkan’. Saat kita begitu rajin, karena kokok ayam didahului
dering weker. Kita menjadi Al-Mustaghfiriina
bil As-haar, yang menghiba ampun di waktu sahur. Dan kita menjadi pemburu kebaikan
dalam penyegeraan berbuka bersama-sama, di Masjid. Ta’jilan.
Siang itu, betapa hati-hatinya kita,
karena Alloh tak membutuhkan lapar dan hausnya lisan yang terus berdusta, menggunjing,
mencela, dan ke sana kemari menabur bunyi-bunyi kesiaan. Betapa hati-hatinya
kita, karena ini ibadah rahasia: hanya aku dan Alloh yang tahu. Lalu adakah
kalimat syukur yang terasa begitu nikmat diucap seperti saat tetes pertama air
membasah kerongkongan? Laka shumtu, yaa
Robbiy, wa bika amantu.
Di sela-sela panggilan Ar-Royyan
yang mengetuk-ngetuk, di tengah syahdu Kalamulloh
bicara tentang puasa, di saat keriut membunyi lambung, di waktu misik mewangi mulut
dan lemah bertambah-tambah, para sahabat Ridhwaanulloohi
‘Alaihim Jamii’an disapa oleh kelembutanNya. Geliang tubuh mereka di
ladang-ladang, peluh yang menguras daya, dan jihad yang berdarah-darah di saat
shoum, disambut Alloh dengan kalimat yang begitu dekat, begitu akrab, begitu mesra:
Dan apabila
hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah
mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqoroh: 186)
Agungnya keakraban itu tampak dalam
khithob (arah pembicaraan). Memang, orang
beriman akan bertanya pada Rosululloh, “Dan
apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku.” Tetapi untuk menjawab
pertanyaan itu, Alloh tidak berfirman, “Faqul
inni qoriib; maka katakanlah (hai Muhammad) bahwa Aku adalah dekat.” Alloh
mengubah khithob menjadi begitu langsung
dan merasuk kepada jiwa-jiwa imani, seolah tanpa perantara, “Fainni qoriib; maka sesungguhnya Aku ini
dekat.”
Inilah kedekatan. Dan Alloh memilih
kedekatan yang menggambarkan siapa Dia dan siapa kita. Alloh memilih kedekatan yang
menunjukkan keagungan dan kasih sayangNya, sekaligus melukiskan hajat dan harap
hamba pada Robbnya. Itulah doa. Itulah istijabah (respons, pengabulan). “Aku menjawab
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu.” Di saat puasa mengeringkan
bibir, memayahkan jasad, namun memperkaya jiwa, berdoalah pada Alloh. Sebab
RosulNya telah menjaminkan,
“Sesungguhnya, Alloh memiliki hamba-hamba
yang dibebaskan dari neraka di tiap siang dan malam bulan Romadhon, dan sesungguhnya
tiap muslim yang berdoa, makn akan dikabulkan baginya.” (HR. Al-Bazzar [3142], Ahmad [2/254] dari Al-A’masy dari Abu Sholih dari
Jabir, dan Ibnu Majah [1643] dari jalan lain yang kesemuanya shohih)
Dalam hadits lain disebutkan mereka-mereka
yang tidak ditolak doanya: pemimpin yang adil, mujahid di jalan Alloh, dan orang
yang berpuasa hingga dia berbuka. Atau riwayat lain lagi: pemimpin yang adil,
musafir yang melakukan perjalanan bukan dalam rangka ma’shiat, dan orang yang berpuasa.
Selalu ada orang yang berpuasa pada keduanya. Tetapi apa syarat kedekatan yang
menenteramkan hati-hati imani ini?
Maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman
kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqoroh: 186)
Istijabah dan iman. Iman telah kita
fahami meski sedikit, walhamdu lillaah.
Sedang istijabah bermakna memenuhi seruan-seruan Alloah saat ia memanggil kita
menuju kebaikan, keberkahan, dan sesuatu yang membuat kita hidup sebenar hayat.
Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Alloh dan seruan Rosul apabila Rosul
menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa
sesungguhnya Alloh membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya
kepadaNya-lah kamu akan dikumpulkan. (QS. Al-Anfal: 24)
Salah satu seruan yang menghidupkan
itu adalah seruan kepada jiwa-jiwa beriman tentang makanan. Ya, tentang makanan.
Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Alloh, jika benar-benar kepadaNya kamu
menyembah.
(QS.
Al-Baqoroh: 172)
Suatu hari, Kanjeng Nabi membacakan
ayat ini kepada para sahabatnya. Keagungan perintah ini, kata beliau Shollalloohu ‘Alaihi wa Sallam, adalah
bahwa ia menjadi seruan yang Alloh tujukan pada para RosulNya (Al-Mukminun: 51),
pada orang yang beriman (Al-Baqoroh: 172), dan juga pada sekalian manusia (Al-Baqoroh:
168). Betapa ia meliput semua. Pernah suatu hari, demikian Sang Nabi berkisah, ada
seorang musafir kehabisan bekal dalam perjalanannya di tengah pepasir yang membarakan
terik. Wajahnya penuh debu, tenaganya tinggal sisa-sisa dalam rangkakan yang dipenuhi
harap-harap terakhir. Dengan kekuatan terakhir yang dimiliki, diangkatnya kedua
lengannya tengadah, “Ya Robb… Ya Robb... Ya Robb...”
Sesungguhnya orang ini memiliki aneka
syarat untuk dijawab dan dikabulkan doanya. Catat ini: musafir, bertauhid (hanya
berharap pada Alloh), dan mengangkat tangannya pada Alloh, padahal Alloh malu jika
ada tangan terangkat berharap padaNya lalu Ia tak memberi karunia. Hal-hal yang
ada dalam dirinya telah memenuhi kondisi untuk terjawabnya doa. “Tetapi”, kata Sang
Nabi, “Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan, sementara makanan yang ada di
perutnya dari barang haram, pakaian yang dipakainya dari barang haram?”
Ya, soal makanan adalah soal dijawab
atau tidaknya doa kita. Haram atau halalnya, thoyyib atau khobitsnya. Suatu
hari, seorang sahabat yang dijanjikan surga, Sa’ad ibn Abi Waqqosh mengajukan
permintaan cerdas –sangat cerdas menurut saya- kepada manusia yang paling dicintainya,
Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
“Ya Rosulalloh,” katanya, “Doakanlah pada Alloh agar doa-doaku ini mustajabah!” Antum tahu betapa cerdasnya
permintaan ini?
Bagaimanapun, manusia mulia itu tak
langsung mengiyakan. Beliau tersenyum pada orang yang pernah beliau banggakan sebagai
paman. -”Ini pamanku, ayo tunjukkan padaku paman-paman kalian!”-, dan yang dalam
panahnya pernah ia kumpulkan ayah dan ibunya, -”Panahlah, hai Sa’ad, ayah dan ibuku
menjadi tebusanmu!”-. Beliau lalu bersabda padanya, “Wahai Sa’ad, bantulah aku dengan
memperbaiki makananmu. Bantulah aku dengan memperbaiki makananmu.”
Romadhon, dalam makna yang dekat dengan
perut adalah saat kita mampu menjaga makanan kita agar terjaminkan kedekatan agung
dengan Alloh. Di saat puasa, kita jaga pencernaan kita dari yang halal dan thoyyib sejak terbit fajar hingga
terbenamnya mentari semata karena mentaati Alloh dan mencintaNya. Maka sungguh
ia menjadi cermin, bahwa di luar Romadhon, kita harus menjaganya dari yang
syubhat dan yang haram. Jika dari yang halal saja kita bisa menjaga –selama
Romadhon-, maka dari yang syubhat, apalagi haram, insya Alloh kita bisa. Kita
bisa! Maka itulah makna puasa. Itulah produknya. Itulah takwa dalam maknanya
bagi perut kita: berhati-hatilah menjaga makananmu!
Karena sekerat daging yang tumbuh dari
barang haram, maka neraka lebih layak baginya. Karena darah yang mengalir dari saripati
makanan haram, syaithon berselancar ria di pembuluh-pembuluhnya. Karena anggota
tubuh yang dialirinya, mudah teresonansi oleh frekuensi kema’shiyatan. Tergetar
hati kita bukan oleh asma Alloh, tetapi oleh selainnya. Berdesir jantung kita
bukan oleh kalimat-kalimatNya yang suci mulia, tetapi justru oleh huruf suara, dan
rerupa yang menjijikkan nista.
Jagalah makananmu, begitu Romadhon berpesan.
Karena, betapa setiap tetes barang haram menjauhkan kita dari Alloh selautan. Setiap
keratnya, menghalangi doa-doa dan komunikasi mesra kita denganNya sekuat benteng
beton berlapis sejuta. Di generasi kita, ada heran mendengar bahwa salah satu hal
yang membatalkan puasa adalah muntah yang disengaja. “Maaf, setahu saya, hampir
semua muntah nggak sengaja?” Kita lupa, bahwa para sahabat begitu menjaga pencernaannya,
hingga jika tahu ada keraguan dalam suapan yang baru saja tertelan, mereka akan
segera berlomba memuntahkan. Dulu, muntah dengan sengaja bukan hal aneh, tapi kini
ia menjadi barang langka.
Semoga pesan Romadhon pada perut kita
menggema hingga ke liuk-liuk usus. Allohumma
innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii. Di sayup tilawah tadarus malam,
proklamasi langit itu menggema, “Adapun puasa itu untukKu, dan Aku sendirilah yang
akan memberikan pahalanya.” Kapanpun engkau datang, hatiku rindu menyambutmu, “Marhaban, ya Syahru Romadhon.”
Kredit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar