Jumat, 16 Juni 2017

Romadhon Saatnya Bicara tentang Makanan

DI TENGAH terik membakar, peluh yang menetes-netes di pori, kita meresak jiwa akan sejuknya puasa. “Ajruki ‘ala qodri nashobik; pahalamu sesuai kadar payahmu.” Adakah hari di mana sepoian lembut angin padang membelai begitu nikmat? Adakah waktu di mana syaithon dibelenggu, hingga hirupan nafas pun terasa mengandung kesholihan?

Romadhon. Malam-malam yang ditingkahi syahdu kalam Ilahi. Kecuali jika kita adalah syaithon dari golongan manusia, alangkah indahnya hari-hari itu. Saat sholat malam adalah aktivitas yang benar-benar ‘menghidupkan’. Saat kita begitu rajin, karena kokok ayam didahului dering weker. Kita menjadi Al-Mustaghfiriina bil As-haar, yang menghiba ampun di waktu sahur. Dan kita menjadi pemburu kebaikan dalam penyegeraan berbuka bersama-sama, di Masjid. Ta’jilan.

Siang itu, betapa hati-hatinya kita, karena Alloh tak membutuhkan lapar dan hausnya lisan yang terus berdusta, menggunjing, mencela, dan ke sana kemari menabur bunyi-bunyi kesiaan. Betapa hati-hatinya kita, karena ini ibadah rahasia: hanya aku dan Alloh yang tahu. Lalu adakah kalimat syukur yang terasa begitu nikmat diucap seperti saat tetes pertama air membasah kerongkongan? Laka shumtu, yaa Robbiy, wa bika amantu.

Di sela-sela panggilan Ar-Royyan yang mengetuk-ngetuk, di tengah syahdu Kalamulloh bicara tentang puasa, di saat keriut membunyi lambung, di waktu misik mewangi mulut dan lemah bertambah-tambah, para sahabat Ridhwaanulloohi ‘Alaihim Jamii’an disapa oleh kelembutanNya. Geliang tubuh mereka di ladang-ladang, peluh yang menguras daya, dan jihad yang berdarah-darah di saat shoum, disambut Alloh dengan kalimat yang begitu dekat, begitu akrab, begitu mesra:

Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqoroh: 186)

Agungnya keakraban itu tampak dalam khithob (arah pembicaraan). Memang, orang beriman akan bertanya pada Rosululloh, “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku.” Tetapi untuk menjawab pertanyaan itu, Alloh tidak berfirman, “Faqul inni qoriib; maka katakanlah (hai Muhammad) bahwa Aku adalah dekat.” Alloh mengubah khithob menjadi begitu langsung dan merasuk kepada jiwa-jiwa imani, seolah tanpa perantara, “Fainni qoriib; maka sesungguhnya Aku ini dekat.”

Inilah kedekatan. Dan Alloh memilih kedekatan yang menggambarkan siapa Dia dan siapa kita. Alloh memilih kedekatan yang menunjukkan keagungan dan kasih sayangNya, sekaligus melukiskan hajat dan harap hamba pada Robbnya. Itulah doa. Itulah istijabah (respons, pengabulan). “Aku menjawab permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu.” Di saat puasa mengeringkan bibir, memayahkan jasad, namun memperkaya jiwa, berdoalah pada Alloh. Sebab RosulNya telah menjaminkan,

“Sesungguhnya, Alloh memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka di tiap siang dan malam bulan Romadhon, dan sesungguhnya tiap muslim yang berdoa, makn akan dikabulkan baginya.” (HR. Al-Bazzar [3142], Ahmad [2/254] dari Al-A’masy dari Abu Sholih dari Jabir, dan Ibnu Majah [1643] dari jalan lain yang kesemuanya shohih)

Dalam hadits lain disebutkan mereka-mereka yang tidak ditolak doanya: pemimpin yang adil, mujahid di jalan Alloh, dan orang yang berpuasa hingga dia berbuka. Atau riwayat lain lagi: pemimpin yang adil, musafir yang melakukan perjalanan bukan dalam rangka ma’shiat, dan orang yang berpuasa. Selalu ada orang yang berpuasa pada keduanya. Tetapi apa syarat kedekatan yang menenteramkan hati-hati imani ini?

Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqoroh: 186)

Istijabah dan iman. Iman telah kita fahami meski sedikit, walhamdu lillaah. Sedang istijabah bermakna memenuhi seruan-seruan Alloah saat ia memanggil kita menuju kebaikan, keberkahan, dan sesuatu yang membuat kita hidup sebenar hayat.

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Alloh dan seruan Rosul apabila Rosul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Alloh membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepadaNya-lah kamu akan dikumpulkan. (QS. Al-Anfal: 24)

Salah satu seruan yang menghidupkan itu adalah seruan kepada jiwa-jiwa beriman tentang makanan. Ya, tentang makanan.

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Alloh, jika benar-benar kepadaNya kamu menyembah. (QS. Al-Baqoroh: 172)

Suatu hari, Kanjeng Nabi membacakan ayat ini kepada para sahabatnya. Keagungan perintah ini, kata beliau Shollalloohu ‘Alaihi wa Sallam, adalah bahwa ia menjadi seruan yang Alloh tujukan pada para RosulNya (Al-Mukminun: 51), pada orang yang beriman (Al-Baqoroh: 172), dan juga pada sekalian manusia (Al-Baqoroh: 168). Betapa ia meliput semua. Pernah suatu hari, demikian Sang Nabi berkisah, ada seorang musafir kehabisan bekal dalam perjalanannya di tengah pepasir yang membarakan terik. Wajahnya penuh debu, tenaganya tinggal sisa-sisa dalam rangkakan yang dipenuhi harap-harap terakhir. Dengan kekuatan terakhir yang dimiliki, diangkatnya kedua lengannya tengadah, “Ya Robb… Ya Robb... Ya Robb...”

Sesungguhnya orang ini memiliki aneka syarat untuk dijawab dan dikabulkan doanya. Catat ini: musafir, bertauhid (hanya berharap pada Alloh), dan mengangkat tangannya pada Alloh, padahal Alloh malu jika ada tangan terangkat berharap padaNya lalu Ia tak memberi karunia. Hal-hal yang ada dalam dirinya telah memenuhi kondisi untuk terjawabnya doa. “Tetapi”, kata Sang Nabi, “Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan, sementara makanan yang ada di perutnya dari barang haram, pakaian yang dipakainya dari barang haram?”

Ya, soal makanan adalah soal dijawab atau tidaknya doa kita. Haram atau halalnya, thoyyib atau khobitsnya. Suatu hari, seorang sahabat yang dijanjikan surga, Sa’ad ibn Abi Waqqosh mengajukan permintaan cerdas –sangat cerdas menurut saya- kepada manusia yang paling dicintainya, Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. “Ya Rosulalloh,” katanya, “Doakanlah pada Alloh agar doa-doaku ini mustajabah!” Antum tahu betapa cerdasnya permintaan ini?

Bagaimanapun, manusia mulia itu tak langsung mengiyakan. Beliau tersenyum pada orang yang pernah beliau banggakan sebagai paman. -”Ini pamanku, ayo tunjukkan padaku paman-paman kalian!”-, dan yang dalam panahnya pernah ia kumpulkan ayah dan ibunya, -”Panahlah, hai Sa’ad, ayah dan ibuku menjadi tebusanmu!”-. Beliau lalu bersabda padanya, “Wahai Sa’ad, bantulah aku dengan memperbaiki makananmu. Bantulah aku dengan memperbaiki makananmu.”

Romadhon, dalam makna yang dekat dengan perut adalah saat kita mampu menjaga makanan kita agar terjaminkan kedekatan agung dengan Alloh. Di saat puasa, kita jaga pencernaan kita dari yang halal dan thoyyib sejak terbit fajar hingga terbenamnya mentari semata karena mentaati Alloh dan mencintaNya. Maka sungguh ia menjadi cermin, bahwa di luar Romadhon, kita harus menjaganya dari yang syubhat dan yang haram. Jika dari yang halal saja kita bisa menjaga –selama Romadhon-, maka dari yang syubhat, apalagi haram, insya Alloh kita bisa. Kita bisa! Maka itulah makna puasa. Itulah produknya. Itulah takwa dalam maknanya bagi perut kita: berhati-hatilah menjaga makananmu!

Karena sekerat daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka lebih layak baginya. Karena darah yang mengalir dari saripati makanan haram, syaithon berselancar ria di pembuluh-pembuluhnya. Karena anggota tubuh yang dialirinya, mudah teresonansi oleh frekuensi kema’shiyatan. Tergetar hati kita bukan oleh asma Alloh, tetapi oleh selainnya. Berdesir jantung kita bukan oleh kalimat-kalimatNya yang suci mulia, tetapi justru oleh huruf suara, dan rerupa yang menjijikkan nista.

Jagalah makananmu, begitu Romadhon berpesan. Karena, betapa setiap tetes barang haram menjauhkan kita dari Alloh selautan. Setiap keratnya, menghalangi doa-doa dan komunikasi mesra kita denganNya sekuat benteng beton berlapis sejuta. Di generasi kita, ada heran mendengar bahwa salah satu hal yang membatalkan puasa adalah muntah yang disengaja. “Maaf, setahu saya, hampir semua muntah nggak sengaja?” Kita lupa, bahwa para sahabat begitu menjaga pencernaannya, hingga jika tahu ada keraguan dalam suapan yang baru saja tertelan, mereka akan segera berlomba memuntahkan. Dulu, muntah dengan sengaja bukan hal aneh, tapi kini ia menjadi barang langka.

Semoga pesan Romadhon pada perut kita menggema hingga ke liuk-liuk usus. Allohumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii. Di sayup tilawah tadarus malam, proklamasi langit itu menggema, “Adapun puasa itu untukKu, dan Aku sendirilah yang akan memberikan pahalanya.” Kapanpun engkau datang, hatiku rindu menyambutmu, “Marhaban, ya Syahru Romadhon.”


Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar