Jumat, 16 Juni 2017

Mengalih Bentuk Kekayaan

“Wahai ‘Amr, sebaik-baik harta yang sholih, adalah yang ada di tangan orang sholih.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

KETIKA Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani menjadi Qodhi di Mesir, beliau yang sedang berdinas dengan keretanya pernah dicegat seorang Yahudi penjual minyak dan ter dalam perjalanan. Kata si Yahudi, “Nabimu mengatakan bahwa dunia ini penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir[1], tapi kulihat dirimu hidup mewah berkecukupan sementara aku begitu nestapa dalam kepapaan. Apa ini tidak terbalik?”

Harap tahu, penjual minyak adalah pekerjaan paling menyedihkan saat itu. Identik dengan tubuh kotor, dekil, dan bau.

Ibnu Hajar tersenyum bijak mendengarnya. Jawaban agung ia lontarkan, “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin seperti kami, karena di akhirat kami akan mendapat kenikmatan agung yang jauh lebih baik dari ini, yang tiada akan putus selamanya. Sementara, dunia ini adalah surga bagi kalian karena di akhirat kalian akan mendapat kehinaan, siksa, dan kenestapaan abadi yang jauh lebih mengerikan daripada yang kau alami saat ini!”. Kata si Yahudi, “Asyhadu an laa ilaaha illalloh, wa asyhadu anna Muhammadan Rosululloh!

Ya. Siapa takut jatuh kaya?
“Malu apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Alloh. Dan ingatlah Alloh sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Saya teringat sebuah doa yang dinisbatkan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq Rodhiyallohu ‘Anhu, sahabat Rosululloh yang paling utama. Doa itu berbunyi, “Ya Alloh, jadikan dunia di tanganku, dan jadikan akhirat di hatiku.”

Penggal pertama doa ini temyata mengajari kita banyak hal. Tangan bermakna pengelolaan. Abu Bakar tidak ingin dunia masuk ke dalam hatinya. Ia ingin dunia ada dalam genggamannya, dalam kuasanya, dan dalam pengelolaannya. Ia tahu, kekayaan yang ditimbun, sebanyak apapun tak pernah memuliakan pemiliknya. Seseorang, hanya akan mulia dengan kualitas dirinya, baik di hadapan Alloh maupun di hadapan manusia lainnya.
©©©

Membandingkan dua hal kadang memudahkan kita mendapatkan pemahaman. Nah, agar lebih seru, saya akan ajak antum memasuki legenda nyata, sebuah adidaya tua di Timur Tengah: Imperium Persia. Suatu pagi, sekitar tahun 30 Hijri, terdengar suara menggelegar dari dalam kelambu sutera kemah sang Kisra.

“Celaka! Kini aku tinggal punya seribu perawat kuda, seribu dayang-dayang dan seribu juru masak! Bagaimana aku bisa hidup?”

Inilah kata-kata yang meluncur gusar dari mulut Yazdajird III, Kisra terakhir Imperium Persia dari keluarga Sassanid. Istana putih Madain telah jatuh ke tangan kaum muslimin di bawah pimpinan sahabat Nabi yang mulia, Sa’ad ibn Abi Waqqosh. Dan inilah ‘rintihan agung’ itu, rintihan manusia yang tak bisa hidup meski dilayani 3000 manusia lainnya.

Mari sejenak membanding dengan penggantinya. ‘Umar ibn Al-Khoththob, mengangkat Salman Al-Farisi sebagai Gubernur yang membawahi bekas wilayah imperium Yazdajird III itu. Ya, orang yang tepat. Salman adalah orang yang paling tahu tentang seluk beluk geografis, demografis, dan sosiologis Persia. Karena ini tanah kelahiran dan tanah petualangannya.

Jadi, seperti apa hidup Salman saat menjabat Gubernur dengan wilayah dan wewenang yang sama dengan Yazdajird III? Salman ahli menganyam. Pekerjaan yang tak pernah ia tinggalkan karena gajinya sebagai Gubernur selalu masuk Baitul Maal untuk kepentingan masyarakat. Dengan modal satu dirham ia menganyam untuk dijual seharga tiga dirham. Hasil penjualan itu dibagi tiga, satu dirham untuk kebutuhan sehari itu, satu dirham untuk modal esok hari, dan satu dirham untuk bershodaqoh. Selesai. Begitu simpel hidupnya. Dan rakyat Persia pun tercengang melihat Gubernurnya.
©©©

Alloh dan RosulNya ingin agar kita mendayagunakan setiap kekayaan dunia untuk meningkatkan kualitas diri. Tentu kata ‘diri’ menunjuk pada tiga bagian yang berkelindan dalam ‘diri’ kita: ruh, fikr, jasad. Jangan jadi hamba harta, jangan mempertuhan dunia, begitu diulang-ulang para ‘ulama. Dan satu-satunya jalan menujunya adalah memperhamba harta. Ya, memperhamba harta untuk peningkatan kualitas diri kita, secara ruhi (spiritual), fikri (intelektual), dan jasadi (fisikal).

Sejenak, mari kita jumpai Bani Isroil yang sedang dilanda frustasi massal. Penindasan berkepanjangan yang mereka alami membangkit insyaf untuk berjihad. Dan jihad menghajatkan pemimpin. Maka berduyun mereka menjumpai Nabi mereka –dalam suatu riwayat disebut nama
Danial ‘alaihis salaam- meminta ketetapan. Dan Alloh pun menurunkan keputusanNya.

“Sesungguhnya Alloh telah memilihnya (Tholut) menjadi raja kalian dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” (QS. Al-Baqoroh: 247)

Tholut, yang dipilih oleh Allaoh untuk memimpin komunitas paling rewel sepanjang sejarah umat manusia, memiliki kualifikasi yang menarik untuk disimak. Semula, orang-orang kaya lagi berpengaruh di kalangan Bani Isroil gedhe rasa akan dipilih sebagai pemimpin dengan sumberdaya kekuasaan yang mereka punya. Kami lebih layak dan lebih berhak daripada Tholut yang miskin! Mereka protes berat. Apakah Tholut memang lebih miskin daripada kandidat yang lain? Yang jelas Alloh memilih Tholut, dan inilah rahasia di balik itu:

1.    Alloh memilih Tholut. Artinya Tholut memiliki kedekatan spiritual dengan Alloh. Tholut memiliki keakraban dengan Alloh yang dibangun tak serta merta. Tholut membangunnya dengan ta’abbud (ibadah) yang memerlukan banyak harta, banyak waktu, banyak fikiran, dan banyak tenaga dalam masa yang panjang. Ketika orang lain menggunakan harta, waktu, fikiran, dan tenaganya untuk bekerja keras mengembangkan dan menikmati pembelanjaan perniagaannya, Tholut mendayagunakannya untuk membina kedekatan yang ikhlas dengan Alloh. Nah.

2.    Alloh menganugerahinya ilmu yang luas. Tentu, menjadi orang berilmu memerlukan anggaran yang besar. Di saat orang lain menggunakan hartanya sebagai modal niaga atau untuk membelanja perkakas mewah, Tholut mengalokasikannya untuk ilmu, untuk petualangan ke alam pengetahuan yang mengasyikkan.

3.    Alloh menganugerahinya fisik yang perkasa. Ini apalagi. Physical Exercise ini perlu kedisiplinan, energi, waktu, dan sumberdaya yang kadang tidak sedikit. Di saat orang lain menggunakan hartanya untuk menyediakan fasilitas mewah yang serba memudahkan, Tholut menggunakannya untuk pembinaan kesehatan dan ketangkasan. Begitulah.

Inilah Tholut, behind the fact. Nah, Alloh ingin kita seperti Tholut, mengalih bentuk kekayaan dari materi ke kualitas diri. Melalui contoh gemilang dari ucapan dan tindakan utusan terakhirNya, Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, kita belajar dengan lebih mudah.

Ketika ada yang bingung bagaimana bersikap menghadapi perkembangan teknologi yang serba memudahkan, Rosululloh telah meneladankan perihidup yang sangat menarik. Lho, Rosululloh itu hidupnya sederhana to? Betul. Tetapi tidak. Tidak untuk sebuah pengembangan kualitas diri dan pemudahan jalan ibadah kepada Alloh.

Mudahnya begini. Untuk sesuatu yang tidak begitu essensial bagi dua hal yang telah kita sebut, Rosululloh menggunakan sesuatu yang sangat sederhana. Pakaian Rosululloh, biasa-biasa saja, tidak istimewa, ‘memprihatinkan’ bahkan. Sandal beliau, begitu juga. Suatu ketika rusak atau sobek, maka beliau menjahitnya sendiri. Makanan, sederhana juga, tetapi gizinya sangat terjaga –ingat juga makanan favorit beliau meski jarang dinikmati; paha kambing-. Rumah beliau –luas memang-, juga perkakas rumah tangganya semua sederhana. Amat sangat sederhana sekali bahkan. Ini semua tidak signifikan untuk pengembangan kualitas diri dan realisasi perintah-perintah jihad dan ibadah dari Alloh kepada beliau.

Tapi coba mari periksa fasilitas yang beliau pakai untuk memudahkan da’wah dan jihadnya. Kendaraan misalnya. Al-Qoshwa, unta putih beliau adalah unta yang sangat tangkas, berkualitas tinggi, gesit, kecepatannya mengagumkan, dan sangat sehat. Duldul, keledai beliau hadiah dari Muqoiqus, sangat kuat dan kukuh jalannya. Bahkan berumur panjang hingga masa kepemimpinan Mu’awiyah rodhiyallohu ‘anhu. Kuda beliau juga adalah yang tertangkas, tergesit, dan tercepat.

Pedang komandonya: Dzul Lujjain. Jangan ragukan kualitas logamnya, ketajamannya, tempaannya, dan kehalusan pembuatannya. Bahkan ada yang menyebutkan beberapa kilogram emas diperlukan untuk membuat suatu lapisan komando. Ini adalah bagian yang sangat berkilat jika ditimpa sinar mentari untuk memberi kode dan aba-aba kepada pasukan di kejauhan. Apa ini sesuatu yang murah? Sama sekali tidak.

Ada pasti yang akan menyimpulkan. Kalau begitu soal fasilitas yang memudahkan ibadah dan jihad kita harus pilih yang terbaik. Ya. Meski tetap dalam proporsinya. Jika kebutuhan da’wah menghajatkan shilaturrohim (kapasitas phanebook yang besar umpamanya), komunikasi yang intens, dan kehandalan handset maka memilih handphone dengan semata hiburan, game, kemudahan operasional, dan fitur-fitur tidak signifikan bagi da’wah adalah kebodohan. Hmm, maaf, agaknya yang semata hiburan ini disediakan oleh vendor ponsel asal Finlandia yang ikut mendanai Zionis Internasional.

Baiklah. Jika komputer adalah hajat penting da’wah kita, memilih yang terbaik juga jadi tuntutan. Jika kecepatan mobilitas adalah hajat penting bagi da’wah dan ibadah kita, memilih kendaraan yang berkulitas tinggi adalah tuntutan. Jika rumah kita akan dijadikan tempat berda’wah yang memerlukan banyak fasilitas, maka…

Kredit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media



[1] HR. Muslim no. 2956 dari Abu Huroiroh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar