“Wahai ‘Amr, sebaik-baik harta yang
sholih, adalah yang ada di tangan orang sholih.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
KETIKA Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani menjadi Qodhi di Mesir, beliau yang
sedang berdinas dengan keretanya pernah dicegat seorang Yahudi penjual minyak
dan ter dalam perjalanan. Kata si
Yahudi, “Nabimu mengatakan bahwa dunia ini penjara bagi orang mukmin dan surga bagi
orang kafir[1], tapi
kulihat dirimu hidup mewah berkecukupan sementara aku begitu nestapa dalam kepapaan.
Apa ini tidak terbalik?”
Harap tahu, penjual minyak adalah
pekerjaan paling menyedihkan saat itu. Identik dengan tubuh kotor, dekil, dan bau.
Ibnu Hajar tersenyum bijak
mendengarnya. Jawaban agung ia lontarkan, “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin
seperti kami, karena di akhirat kami akan mendapat kenikmatan agung yang jauh
lebih baik dari ini, yang tiada akan putus selamanya. Sementara, dunia ini adalah
surga bagi kalian karena di akhirat kalian akan mendapat kehinaan, siksa, dan kenestapaan
abadi yang jauh lebih mengerikan daripada yang kau alami saat ini!”. Kata si Yahudi,
“Asyhadu an laa ilaaha illalloh, wa asyhadu
anna Muhammadan Rosululloh!”
Ya. Siapa takut jatuh kaya?
“Malu apabila
telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Alloh.
Dan ingatlah Alloh sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)
Saya teringat sebuah doa yang
dinisbatkan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq Rodhiyallohu
‘Anhu, sahabat Rosululloh yang paling utama. Doa itu berbunyi, “Ya Alloh, jadikan
dunia di tanganku, dan jadikan akhirat di hatiku.”
Penggal pertama doa ini temyata mengajari
kita banyak hal. Tangan bermakna pengelolaan. Abu Bakar tidak ingin dunia masuk
ke dalam hatinya. Ia ingin dunia ada dalam genggamannya, dalam kuasanya, dan
dalam pengelolaannya. Ia tahu, kekayaan yang ditimbun, sebanyak apapun tak pernah
memuliakan pemiliknya. Seseorang, hanya akan mulia dengan kualitas dirinya, baik
di hadapan Alloh maupun di hadapan manusia lainnya.
©©©
Membandingkan dua hal kadang memudahkan
kita mendapatkan pemahaman. Nah, agar lebih seru, saya akan ajak antum memasuki
legenda nyata, sebuah adidaya tua di Timur Tengah: Imperium Persia. Suatu pagi,
sekitar tahun 30 Hijri, terdengar suara menggelegar dari dalam kelambu sutera kemah
sang Kisra.
“Celaka! Kini aku tinggal punya seribu
perawat kuda, seribu dayang-dayang dan seribu juru masak! Bagaimana aku bisa hidup?”
Inilah kata-kata yang meluncur gusar
dari mulut Yazdajird III, Kisra terakhir Imperium Persia dari keluarga Sassanid.
Istana putih Madain telah jatuh ke tangan kaum muslimin di bawah pimpinan sahabat
Nabi yang mulia, Sa’ad ibn Abi Waqqosh. Dan inilah ‘rintihan agung’ itu,
rintihan manusia yang tak bisa hidup meski dilayani 3000 manusia lainnya.
Mari sejenak membanding dengan
penggantinya. ‘Umar ibn Al-Khoththob, mengangkat Salman Al-Farisi sebagai Gubernur
yang membawahi bekas wilayah imperium Yazdajird III itu. Ya, orang yang tepat. Salman
adalah orang yang paling tahu tentang seluk beluk geografis, demografis, dan sosiologis
Persia. Karena ini tanah kelahiran dan tanah petualangannya.
Jadi, seperti apa hidup Salman saat
menjabat Gubernur dengan wilayah dan wewenang yang sama dengan Yazdajird III? Salman
ahli menganyam. Pekerjaan yang tak pernah ia tinggalkan karena gajinya sebagai
Gubernur selalu masuk Baitul Maal untuk kepentingan masyarakat. Dengan modal satu
dirham ia menganyam untuk dijual seharga tiga dirham. Hasil penjualan itu dibagi
tiga, satu dirham untuk kebutuhan sehari itu, satu dirham untuk modal esok
hari, dan satu dirham untuk bershodaqoh. Selesai. Begitu simpel hidupnya. Dan rakyat
Persia pun tercengang melihat Gubernurnya.
©©©
Alloh dan RosulNya ingin agar kita mendayagunakan
setiap kekayaan dunia untuk meningkatkan kualitas diri. Tentu kata ‘diri’ menunjuk
pada tiga bagian yang berkelindan dalam ‘diri’ kita: ruh, fikr, jasad. Jangan jadi hamba harta, jangan mempertuhan
dunia, begitu diulang-ulang para ‘ulama. Dan satu-satunya jalan menujunya
adalah memperhamba harta. Ya, memperhamba harta untuk peningkatan kualitas diri
kita, secara ruhi (spiritual), fikri (intelektual), dan jasadi (fisikal).
Sejenak, mari kita jumpai Bani Isroil
yang sedang dilanda frustasi massal. Penindasan berkepanjangan yang mereka
alami membangkit insyaf untuk berjihad. Dan jihad menghajatkan pemimpin. Maka berduyun
mereka menjumpai Nabi mereka –dalam suatu riwayat disebut nama
Danial ‘alaihis salaam- meminta ketetapan. Dan Alloh pun menurunkan keputusanNya.
“Sesungguhnya
Alloh telah memilihnya (Tholut) menjadi raja kalian dan menganugerahinya ilmu
yang luas dan tubuh yang perkasa.” (QS.
Al-Baqoroh: 247)
Tholut, yang dipilih oleh Allaoh
untuk memimpin komunitas paling rewel sepanjang sejarah umat manusia, memiliki kualifikasi
yang menarik untuk disimak. Semula, orang-orang kaya lagi berpengaruh di
kalangan Bani Isroil gedhe rasa akan dipilih sebagai pemimpin dengan
sumberdaya kekuasaan yang mereka punya. Kami lebih layak dan lebih berhak
daripada Tholut yang miskin! Mereka protes berat. Apakah Tholut memang lebih miskin
daripada kandidat yang lain? Yang jelas Alloh memilih Tholut, dan inilah rahasia
di balik itu:
1.
Alloh memilih Tholut. Artinya Tholut
memiliki kedekatan spiritual dengan Alloh. Tholut memiliki keakraban dengan Alloh
yang dibangun tak serta merta. Tholut membangunnya dengan ta’abbud (ibadah) yang memerlukan banyak harta, banyak waktu,
banyak fikiran, dan banyak tenaga dalam masa yang panjang. Ketika orang lain menggunakan
harta, waktu, fikiran, dan tenaganya untuk bekerja keras mengembangkan dan menikmati
pembelanjaan perniagaannya, Tholut mendayagunakannya untuk membina kedekatan yang
ikhlas dengan Alloh. Nah.
2. Alloh menganugerahinya ilmu yang luas. Tentu,
menjadi orang berilmu memerlukan anggaran yang besar. Di saat orang lain
menggunakan hartanya sebagai modal niaga atau untuk membelanja perkakas mewah, Tholut
mengalokasikannya untuk ilmu, untuk petualangan ke alam pengetahuan yang mengasyikkan.
3. Alloh menganugerahinya fisik yang perkasa. Ini
apalagi. Physical Exercise ini perlu kedisiplinan,
energi, waktu, dan sumberdaya yang kadang tidak sedikit. Di saat orang lain menggunakan
hartanya untuk menyediakan fasilitas mewah yang serba memudahkan, Tholut
menggunakannya untuk pembinaan kesehatan dan ketangkasan. Begitulah.
Inilah Tholut, behind the fact. Nah, Alloh ingin kita seperti Tholut, mengalih bentuk
kekayaan dari materi ke kualitas diri. Melalui contoh gemilang dari ucapan dan tindakan
utusan terakhirNya, Muhammad shollallohu ‘alaihi
wa sallam, kita belajar dengan lebih mudah.
Ketika ada yang bingung bagaimana bersikap
menghadapi perkembangan teknologi yang serba memudahkan, Rosululloh telah meneladankan
perihidup yang sangat menarik. Lho, Rosululloh itu hidupnya sederhana to? Betul. Tetapi tidak. Tidak untuk sebuah
pengembangan kualitas diri dan pemudahan jalan ibadah kepada Alloh.
Mudahnya begini. Untuk sesuatu yang
tidak begitu essensial bagi dua hal
yang telah kita sebut, Rosululloh menggunakan sesuatu yang sangat sederhana. Pakaian
Rosululloh, biasa-biasa saja, tidak istimewa, ‘memprihatinkan’ bahkan. Sandal beliau,
begitu juga. Suatu ketika rusak atau sobek, maka beliau menjahitnya sendiri.
Makanan, sederhana juga, tetapi gizinya sangat terjaga –ingat juga makanan favorit
beliau meski jarang dinikmati; paha kambing-. Rumah beliau –luas memang-, juga perkakas
rumah tangganya semua sederhana. Amat sangat sederhana sekali bahkan. Ini semua
tidak signifikan untuk pengembangan kualitas diri dan realisasi perintah-perintah
jihad dan ibadah dari Alloh kepada beliau.
Tapi coba mari periksa fasilitas
yang beliau pakai untuk memudahkan da’wah dan jihadnya. Kendaraan misalnya. Al-Qoshwa, unta putih beliau adalah unta
yang sangat tangkas, berkualitas tinggi, gesit, kecepatannya mengagumkan, dan sangat
sehat. Duldul, keledai beliau hadiah dari
Muqoiqus, sangat kuat dan kukuh jalannya. Bahkan berumur panjang hingga masa kepemimpinan
Mu’awiyah rodhiyallohu ‘anhu. Kuda
beliau juga adalah yang tertangkas, tergesit, dan tercepat.
Pedang komandonya: Dzul Lujjain. Jangan ragukan kualitas logamnya,
ketajamannya, tempaannya, dan kehalusan pembuatannya. Bahkan ada yang menyebutkan
beberapa kilogram emas diperlukan untuk membuat suatu lapisan komando. Ini adalah
bagian yang sangat berkilat jika ditimpa sinar mentari untuk memberi kode dan aba-aba
kepada pasukan di kejauhan. Apa ini sesuatu yang murah? Sama sekali tidak.
Ada pasti yang akan menyimpulkan. Kalau
begitu soal fasilitas yang memudahkan ibadah dan jihad kita harus pilih yang
terbaik. Ya. Meski tetap dalam proporsinya. Jika kebutuhan da’wah menghajatkan
shilaturrohim (kapasitas phanebook yang
besar umpamanya), komunikasi yang intens, dan kehandalan handset maka memilih handphone
dengan semata hiburan, game, kemudahan operasional, dan fitur-fitur tidak signifikan
bagi da’wah adalah kebodohan. Hmm, maaf, agaknya yang semata hiburan ini disediakan
oleh vendor ponsel asal Finlandia yang ikut mendanai Zionis Internasional.
Baiklah. Jika komputer adalah hajat
penting da’wah kita, memilih yang terbaik juga jadi tuntutan. Jika kecepatan mobilitas
adalah hajat penting bagi da’wah dan ibadah kita, memilih kendaraan yang berkulitas
tinggi adalah tuntutan. Jika rumah kita akan dijadikan tempat berda’wah yang
memerlukan banyak fasilitas, maka…
Kredit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar