Setelah gerakan Reconquista (1492) berhasil merebut
kembali daerah-daerah yang telah dikuasai Muslim ―terutama di kawasan Iberia,
lambat-laun Barat memulai ekspansi untuk memperluas daerah kekuasaannya.
Puncaknya, selama lebih dari 300 tahun terjadi dominasi dunia oleh Barat.
Portugis berhasil
merambah sampai ke Asia. Spanyol pun menyerbu ke arah Barat menguasai Amerika,
di mana sampai pada akhir abad 18 dominasi kerajaan-kerajaan Eropa di Amerika
baru mulai mengalami kemunduran; yakni ketika orang kulit putih Amerika mampu
melepaskan diri dari Kolonial Inggris. Kemudian juga Haiti, yang menjadi awal
lepasnya Amerika Latin dari kontrol Eropa. Namun di Asia, kekuatan-kekuatan
kolonial Barat tetap bertahan hingga di akhir abad 19 dan awal abad 20.
Meskipun di abad 16
Indonesia ―mengacu pada istilah yang sesuai pada zamannya, yaitu Nusantara (B.M.
Vleke), mempunyai peradaban yang setara dengan para kolonialis Eropa. Namun
kesetaraan tersebut berangsur hilang sejak tahun 1500, dan perbedaannya makin
membesar menjelang abad 20. Nusantara yang sebelumnya begitu menguasai
teknologi perkapalan dan pembuatan senjata api secara drastis dapat ditaklukkan
oleh Eropa yang berhasil membangun dan mengembangkan media persenjataan dimana
hal tersebut tidak terjadi di wilayah lain. Kemampuan Eropa untuk membangun
kekuatan tempur (khususnya di laut) dan juga disiplin militer yang kemudian
diikuti dengan berbagai inovasi di bidang persenjataan, seperti meriam dan obat
mesiu, disadari atau tidak sesungguhnya merupakan buah dari perang
berkepanjangan yang selalu pecah diantara negara-negara Eropa sendiri. Meskipun
di sisi lain sesungguhnya ―seperti kata Edward Moncton (EIC-Inggris) di dalam
kesan-kesannya menanggapi permintaan perlindungan dari Sultan Kedah di tahun
1772, “That the King
of Kedah and all Malay Kings have got guns enough to drive all the European out
of Indian if they know how to make use them.”
Di tahun 1800, kekuasaan
British Empire mencakup 3.885 juta km², dan menguasai 28,49 juta km² di tahun
1900. Sehingga Ratu Victoria pernah bertahta di kerajaan yang wilayahnya tidak
mengenal matahari tenggelam. Pada periode ini, seluruh peradaban Anden di
Amerika Tengah lenyap. Kebudayaan Afrika dan Islam dibelenggu, dan Kekaisaran
Cina juga sudah kehabisan pengaruhnya.
Semenjak rentang akhir
abad ke-16, pusat kekuasaan dunia mulai bergeser dari Selatan ke Utara. Dan,
berkat persinggungannya dengan peradaban Muslim, Eropa
telah mendapatkan pengetahuan tentang suatu wilayah di Selatan bola dunia yang
sangat kaya dengan sumber daya alam, dan tidak terdapat di belahan dunia
manapun.
Ketika Columbus berlayar
pada tahun 1492, ia berusaha untuk mencapai Nusantara yang pada saat itu
dikenal sebagai Kepulauan Rempah-rempah. Dan selama era kolonial, Nusantara
dipandang sebagai harta benda yang jauh lebih berharga daripada Amerika. Pulau
Jawa dengan kain tenunnya yang sangat kaya, rempah-rempahnya yang terkenal, dan
kerajaannya yang mewah, merupakan mahkota dan kancah perebutan kekuasaan di
antara petualang-petualang Spanyol, Belanda, Portugis, dan Inggris.
Dan ketika berbagai
ekspedisi maritim Spanyol dan Portugis berjaya di segenap penjuru samudra, di
antara tahun 1595-1597 Belanda turut pula meluncurkan armada lautnya. Jan Huygen
van Linschoten, salah seorang Belanda yang pernah bekerja untuk pelaut-pelaut
Portugis, di tahun 1595 menerbitkan buku berjudul “Itinerario
naer Oost ofte Portugaels Indien; Pedoman Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis” yang disusun
oleh Linschoten ini memuat berbagai peta dan deskripsi amat rinci mengenai
jalur pelayaran Portugis ke Hindia Timur, lengkap pula dengan segala
permasalahannya.
Buku tersebut laku keras
di Eropa dan menuai kebencian Portugis. Berkat van Linschoten, Belanda bisa mengetahui
banyak persoalan yang dihadapi Portugis di wilayah baru tersebut dan juga
rahasia-rahasia kapal serta jalur pelayarannya. Setelah itu kapal-kapal dagang
milik Compagnie van Verre di bawah komando Cornelis de Houtman dan Gerrit van
Beuningen kemudian dikirim ke Hindia-Timur untuk mengakhiri monopoli
perdagangan rempah-rempah di Maluku yang pada waktu itu berada di tangan
Portugis. Namun armada itu tidak pernah sampai di Maluku meskipun telah
dibekali dengan perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan untuk sebuah
ekspedisi maritim. Armada tersebut justru berlabuh di Banten pada 22 Juni 1596.
Pelayaran pertama ke
Hindia-Timur yang dilakukan oleh Compagnie van Verre itu harus pula dibayar
mahal. Dari empat kapal yang meninggalkan Amsterdam pada 1 April 1595, hanya
tiga yang berhasil pulang setelah menempuh pelayaran selama
tiga tahun. Dari 247 awak kapal, hanya 87 orang yang berhasil selamat dalam
pelayaran pulang. Lebih dari itu, kompeni tidak memperoleh keuntungan apa-apa.
Akan tetapi, kegagalan
tersebut sama sekali tidak mengendurkan tekad bertualang yang waktu itu menjadi
obsesi banyak orang di Negeri Belanda. Kegagalan yang dialami Compagnie van
Verre justru menjadi tantangan bagi berbagai pihak untuk melakukan ekspedisi
serupa. Berbagai pelabuhan di beberapa provinsi Belanda pun meluncurkan
armada-armadanya menuju Hindia-Timur. Pada tahun 1598, salah satu armada di
bawah Jacob van Neck dan Wybrand van Warwijck berhasil mencapai pulau
rempah-rempah dan kembali ke Belanda dengan muatan yang sangat berharga. Pada
tahun berikutnya ―setelah pelayaran panjangnya mengelilingi dunia, Olivier van
Noort mendaratkan armadanya di Borneo.
Keberhasilan Van Neck,
Warwijck, dan Noort, memicu timbulnya persaingan yang tajam di antara berbagai
persekutuan datang di Belanda. Persekutuan-persekutuan itupun saling berlomba
untuk memasok kebutuhan rempah-rempah ke pasar Eropa. Dampaknya, pasokan
komoditas rempah-rempah di pasar Eropa melimpah. Hal ini berpengaruh buruk
terhadap pasar dan menyebabkan harga rempah-rempah menjadi rendah.
Dengan pertimbangan
bahwa banyaknya persekutuan dagang yang tidak terorganisasi hanya menyebabkan
pemborosan finansial dan menghabiskan energi politik, pada Maret 1602 ―dalam
perundingan antara De Staten Generaal
(Dewan Perwakilan) dengan para saudagar dari provinsi Holland dan Zealand,
disepakati pembentukan Verenigde Oost
Indische Compagnie (VOC), “Persatuan Persekutuan
Dagang Hindia-Timur”.
Semula organisasi
tersebut hanya dimaksudkan sebagai suatu persekutuan dagang. Hal ini tampak
dari struktur organisasi yang sebagian besar terdiri atas para pedagang seperti
opperkoopman (pedagang kepala), koopman (pedagang), dan onderkoopman (pedagang bawahan), di
samping personil lain, seperti predikant
(rohaniawan yang biasanya pendeta Calvinis), ziekentroosters (penghibur orang sakit), dan ambachtslieden (para perajin serta tukang). Sementara itu, sebelum
Belanda ―pada 31 Desember 1600, Inggris telah lebih dulu mendirikan The British East India Company yang
berpusat di Calcutta. Begitu juga Perancis ―yang setelah Belanda, juga
mendirikan French East India Company
pada tahun 1604.
Dalam upaya
memperebutkan dominasi perdagangan, persaingan yang terjadi antara
negara-negara Eropa seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Perancis, dan juga
Belanda, kerap menimbulkan pecahnya peperangan terbuka. Oleh karena itu, Staten Generaal di Belanda memberi pula
wewenang bagi VOC untuk memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Di
samping itu, VOC juga mendapatkan hak atas nama Pemerintah Belanda ―yang waktu
itu masih berbentuk Republik― untuk membuat perjanjian kenegaraan dan
menyatakan perang terhadap negara lain. Wewenang semacam ini dengan sendirinya
menjadikan suatu perkumpulan dagang seperti VOC dapat bertindak layaknya sebuah
negara.
Berbekal hak-hak
istimewa yang tercantum dalam Oktrooi
(Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602, VOC pun mulai melibatkan diri dalam
penaklukan-penaklukan bersenjata. Misalnya, untuk memperkuat monopolinya
terhadap perdagangan rempah-rempah, VOC harus memerangi baik itu para pesaing Eropa
maupun penguasa lokal. Di seluruh Asia dan Hindia-Timur, VOC terus-menerus
melakukan konsolidasi demi memperkuat kekuasaannya.
Sejak awal
kedatangannya, kehadiran kapal-kapal Belanda di Nusantara telah memancing
kejengkelan Portugis. Selain karena mendapatkan pesaing, antara Portugis dan
Belanda pada masa itu memang saling bermusuhan. Raja Felipe II dari Spanyol dan
Portugis telah melarang orang Belanda dan Inggris untuk datang ke Lisbon guna
berbelanja rempah-rempah. Akibatnya,
Belanda harus mencari jalan sendiri ke tempat asal rempah-rempah, di
mana hal itu juga berusaha dicegah oleh Portugis. Akan tetapi, walau secara
dramatis telah menguasai Goa (di India), Malaka, dan kepulauan Maluku, pada
akhirnya malah Portugis yang beringsut mundur dari Nusantara.
Bersamaan dengan
surutnya kekuatan Portugis, abad 16 dan 17 menjadi era pertarungan hegemoni
antara Belanda dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Dalam perseteruan
ini, perlawanan bangsa Indonesia ternyata sangat alot. Menurut Ricklef, akibat
dari berbagai perlawanan yang gigih, negara kolonial Nedherland Indie yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke baru
bisa tercapai pada 1910, yakni ketika Belanda mulai memberlakukan Hukum
Kekawulaan Belanda (Wet op het
Nederlandsch Onderdaanschap). Di tahun 1800, Belanda hanya dapat berkuasa
di Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur, Ujung Pandang (Makassar),
serta Ambon.
Seluruh Jawa baru bisa
dijatuhkan pada 1830, yakni pada akhir Perang Diponegoro. Sedangkan untuk
menghadapi Pangeran Diponegoro, Belanda bahkan harus menarik pasukannya yang
dipakai dalam Perang Padri di Sumatera Barat setelah gencatan senjata berhasil
disepakati pada tahun 1825. Maka sebagian besar pasukan Kolonial segera
dialihkan ke Jawa. Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu
hal yang belum pernah terjadi ketika itu, di mana suatu wilayah yang tidak
terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dijaga oleh puluhan
ribu serdadu. Dan, ketika Perang Diponegoro berakhir (1830) ―di Sumatera Barat,
Belanda juga mengakhiri gencatan senjata dan kembali menyerang Bonjol.
Perang Jawa (de Java Oorlog) menjadi akhir dari
perlawanan terbuka yang dilakukan oleh bangsawan Jawa. Kedahsyatan perang ini
memakan teramat banyak korban dan membuat defisit kas Belanda. Dan, dikarenakan
Belanda tidak sanggup menutup biaya perang ―20 juta Gulden, kemudian lahirlah Cultuur Stellsel. Kebijakan Cultuur Stellsel
di masa Gubernur Jenderal Van den Bosch mengharuskan petani Jawa selama 200
hari dalam satu tahun bekerja “tanpa dibayar” untuk
perkebunan-perkebunan tebu, tembakau, teh, dan lain-lain. Selain itu,
perkebunan industri di Eropa telah menuntun pula tangan-tangan imperialisme
untuk mengambil sumber-sumber bahan baku dan minyak bumi.
Bilapun demikian,
penderitaan warga jajahan pada akhirnya dapat terdengar dan mengetuk hati kaum
Liberal yang bereaksi dengan mengkritik pemerintah di Belanda. Mr. Conrad
Theodore van Deventer menulis artikel di majalah “de Gids” pada tahun
1899 berjudul “A Debt of
Honor”. Artikel ini mengungkap bahwa Belanda telah
mendapatkan berjuta-juta Gulden dari Hindia Belanda dengan cara tanam paksa,
dan harus membayar kembali dengan membangun pendidikan di Hindia Belanda. Van
Deventer memperkirakan hutang Belanda dalam bentuk uang kira-kira 187 juta Gulden.
Pada tahun 1901, Ratu
Belanda pun berpidato tentang politik etis yang akan diterapkan di negeri
jajahannya. Maka dimulailah pembukaan sekolah-sekolah pendidikan menengah
selain sekolah “ongko loro; angka dua” dan sekolah
dasar kelas dua untuk warga pribumi.
Paradoks. Belanda yang
dulu belum menjadi apa-apa ketika raja-raja Nusantara sudah menjadi tuan bagi
jalur niaga ke Persia, India, dan Cina, kemudian menjadi pemerintah atasan yang
memikirkan pendidikan bagi orang-orang di Nusantara (Hindia Belanda).
Padahal, sejak
kapal-kapal perdagangan dari Arab, Benggali, Persia, Gujarat hingga Portugis
dan Belanda; dengan adanya perdagangan dan transaksi-transaksi keuangan yang
tidak lagi bersifat lokal, Indonesia telah menjadi pusat perdagangan maritim di
dunia (Lombard, 2005). Suatu era yang oleh Reid dinamakan sebagai “the age of commerce”. Sebuah masa
di mana orang-orang Nusantara menjadi tuan bagi perdagangan multinasional.
Melimpahnya kekayaan alam serta lokasi yang strategis telah menjadikan Nusantara
sebagai main stage perebutan hegemoni
antar negara-negara Barat dan Timur; di mana juga terlihat sejarah Nusantara
yang sesungguhnya bukanlah drama adu pusaka atau tanding kesaktian antar
panglima dan para Raja, bukan pula antara Barat yang lebih kuat dan modern
mendatangi Timur yang lemah kuno.
Kepustakaan terangkum
dalam “Kronik Peralihan Nusantara; Liga Raja-raja
Hingga Kolonial”.
Selanjutnya: KronikPeralihan Nusantara (414-992 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar