Rabu, 20 Maret 2019

Peralihan Hegemoni Nusantara ke Tangan Imperialis Eropa

Setelah gerakan Reconquista (1492) berhasil merebut kembali daerah-daerah yang telah dikuasai Muslim ―terutama di kawasan Iberia, lambat-laun Barat memulai ekspansi untuk memperluas daerah kekuasaannya. Puncaknya, selama lebih dari 300 tahun terjadi dominasi dunia oleh Barat.

Portugis berhasil merambah sampai ke Asia. Spanyol pun menyerbu ke arah Barat menguasai Amerika, di mana sampai pada akhir abad 18 dominasi kerajaan-kerajaan Eropa di Amerika baru mulai mengalami kemunduran; yakni ketika orang kulit putih Amerika mampu melepaskan diri dari Kolonial Inggris. Kemudian juga Haiti, yang menjadi awal lepasnya Amerika Latin dari kontrol Eropa. Namun di Asia, kekuatan-kekuatan kolonial Barat tetap bertahan hingga di akhir abad 19 dan awal abad 20.

Meskipun di abad 16 Indonesia ―mengacu pada istilah yang sesuai pada zamannya, yaitu Nusantara (B.M. Vleke), mempunyai peradaban yang setara dengan para kolonialis Eropa. Namun kesetaraan tersebut berangsur hilang sejak tahun 1500, dan perbedaannya makin membesar menjelang abad 20. Nusantara yang sebelumnya begitu menguasai teknologi perkapalan dan pembuatan senjata api secara drastis dapat ditaklukkan oleh Eropa yang berhasil membangun dan mengembangkan media persenjataan dimana hal tersebut tidak terjadi di wilayah lain. Kemampuan Eropa untuk membangun kekuatan tempur (khususnya di laut) dan juga disiplin militer yang kemudian diikuti dengan berbagai inovasi di bidang persenjataan, seperti meriam dan obat mesiu, disadari atau tidak sesungguhnya merupakan buah dari perang berkepanjangan yang selalu pecah diantara negara-negara Eropa sendiri. Meskipun di sisi lain sesungguhnya ―seperti kata Edward Moncton (EIC-Inggris) di dalam kesan-kesannya menanggapi permintaan perlindungan dari Sultan Kedah di tahun 1772, That the King of Kedah and all Malay Kings have got guns enough to drive all the European out of Indian if they know how to make use them.

Di tahun 1800, kekuasaan British Empire mencakup 3.885 juta km², dan menguasai 28,49 juta km² di tahun 1900. Sehingga Ratu Victoria pernah bertahta di kerajaan yang wilayahnya tidak mengenal matahari tenggelam. Pada periode ini, seluruh peradaban Anden di Amerika Tengah lenyap. Kebudayaan Afrika dan Islam dibelenggu, dan Kekaisaran Cina juga sudah kehabisan pengaruhnya.

Semenjak rentang akhir abad ke-16, pusat kekuasaan dunia mulai bergeser dari Selatan ke Utara. Dan, berkat persinggungannya dengan peradaban Muslim, Eropa telah mendapatkan pengetahuan tentang suatu wilayah di Selatan bola dunia yang sangat kaya dengan sumber daya alam, dan tidak terdapat di belahan dunia manapun.

Ketika Columbus berlayar pada tahun 1492, ia berusaha untuk mencapai Nusantara yang pada saat itu dikenal sebagai Kepulauan Rempah-rempah. Dan selama era kolonial, Nusantara dipandang sebagai harta benda yang jauh lebih berharga daripada Amerika. Pulau Jawa dengan kain tenunnya yang sangat kaya, rempah-rempahnya yang terkenal, dan kerajaannya yang mewah, merupakan mahkota dan kancah perebutan kekuasaan di antara petualang-petualang Spanyol, Belanda, Portugis, dan Inggris.

Dan ketika berbagai ekspedisi maritim Spanyol dan Portugis berjaya di segenap penjuru samudra, di antara tahun 1595-1597 Belanda turut pula meluncurkan armada lautnya. Jan Huygen van Linschoten, salah seorang Belanda yang pernah bekerja untuk pelaut-pelaut Portugis, di tahun 1595 menerbitkan buku berjudul Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien; Pedoman Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis yang disusun oleh Linschoten ini memuat berbagai peta dan deskripsi amat rinci mengenai jalur pelayaran Portugis ke Hindia Timur, lengkap pula dengan segala permasalahannya.

Buku tersebut laku keras di Eropa dan menuai kebencian Portugis. Berkat van Linschoten, Belanda bisa mengetahui banyak persoalan yang dihadapi Portugis di wilayah baru tersebut dan juga rahasia-rahasia kapal serta jalur pelayarannya. Setelah itu kapal-kapal dagang milik Compagnie van Verre di bawah komando Cornelis de Houtman dan Gerrit van Beuningen kemudian dikirim ke Hindia-Timur untuk mengakhiri monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku yang pada waktu itu berada di tangan Portugis. Namun armada itu tidak pernah sampai di Maluku meskipun telah dibekali dengan perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan untuk sebuah ekspedisi maritim. Armada tersebut justru berlabuh di Banten pada 22 Juni 1596.

Pelayaran pertama ke Hindia-Timur yang dilakukan oleh Compagnie van Verre itu harus pula dibayar mahal. Dari empat kapal yang meninggalkan Amsterdam pada 1 April 1595, hanya tiga yang berhasil pulang setelah menempuh pelayaran selama tiga tahun. Dari 247 awak kapal, hanya 87 orang yang berhasil selamat dalam pelayaran pulang. Lebih dari itu, kompeni tidak memperoleh keuntungan apa-apa.

Akan tetapi, kegagalan tersebut sama sekali tidak mengendurkan tekad bertualang yang waktu itu menjadi obsesi banyak orang di Negeri Belanda. Kegagalan yang dialami Compagnie van Verre justru menjadi tantangan bagi berbagai pihak untuk melakukan ekspedisi serupa. Berbagai pelabuhan di beberapa provinsi Belanda pun meluncurkan armada-armadanya menuju Hindia-Timur. Pada tahun 1598, salah satu armada di bawah Jacob van Neck dan Wybrand van Warwijck berhasil mencapai pulau rempah-rempah dan kembali ke Belanda dengan muatan yang sangat berharga. Pada tahun berikutnya ―setelah pelayaran panjangnya mengelilingi dunia, Olivier van Noort mendaratkan armadanya di Borneo.

Keberhasilan Van Neck, Warwijck, dan Noort, memicu timbulnya persaingan yang tajam di antara berbagai persekutuan datang di Belanda. Persekutuan-persekutuan itupun saling berlomba untuk memasok kebutuhan rempah-rempah ke pasar Eropa. Dampaknya, pasokan komoditas rempah-rempah di pasar Eropa melimpah. Hal ini berpengaruh buruk terhadap pasar dan menyebabkan harga rempah-rempah menjadi rendah.

Dengan pertimbangan bahwa banyaknya persekutuan dagang yang tidak terorganisasi hanya menyebabkan pemborosan finansial dan menghabiskan energi politik, pada Maret 1602 ―dalam perundingan antara De Staten Generaal (Dewan Perwakilan) dengan para saudagar dari provinsi Holland dan Zealand, disepakati pembentukan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), Persatuan Persekutuan Dagang Hindia-Timur.

Semula organisasi tersebut hanya dimaksudkan sebagai suatu persekutuan dagang. Hal ini tampak dari struktur organisasi yang sebagian besar terdiri atas para pedagang seperti opperkoopman (pedagang kepala), koopman (pedagang), dan onderkoopman (pedagang bawahan), di samping personil lain, seperti predikant (rohaniawan yang biasanya pendeta Calvinis), ziekentroosters (penghibur orang sakit), dan ambachtslieden (para perajin serta tukang). Sementara itu, sebelum Belanda ―pada 31 Desember 1600, Inggris telah lebih dulu mendirikan The British East India Company yang berpusat di Calcutta. Begitu juga Perancis ―yang setelah Belanda, juga mendirikan French East India Company pada tahun 1604.

Dalam upaya memperebutkan dominasi perdagangan, persaingan yang terjadi antara negara-negara Eropa seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Perancis, dan juga Belanda, kerap menimbulkan pecahnya peperangan terbuka. Oleh karena itu, Staten Generaal di Belanda memberi pula wewenang bagi VOC untuk memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Di samping itu, VOC juga mendapatkan hak atas nama Pemerintah Belanda ―yang waktu itu masih berbentuk Republik― untuk membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap negara lain. Wewenang semacam ini dengan sendirinya menjadikan suatu perkumpulan dagang seperti VOC dapat bertindak layaknya sebuah negara.

Berbekal hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602, VOC pun mulai melibatkan diri dalam penaklukan-penaklukan bersenjata. Misalnya, untuk memperkuat monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah, VOC harus memerangi baik itu para pesaing Eropa maupun penguasa lokal. Di seluruh Asia dan Hindia-Timur, VOC terus-menerus melakukan konsolidasi demi memperkuat kekuasaannya.

Sejak awal kedatangannya, kehadiran kapal-kapal Belanda di Nusantara telah memancing kejengkelan Portugis. Selain karena mendapatkan pesaing, antara Portugis dan Belanda pada masa itu memang saling bermusuhan. Raja Felipe II dari Spanyol dan Portugis telah melarang orang Belanda dan Inggris untuk datang ke Lisbon guna berbelanja rempah-rempah. Akibatnya,  Belanda harus mencari jalan sendiri ke tempat asal rempah-rempah, di mana hal itu juga berusaha dicegah oleh Portugis. Akan tetapi, walau secara dramatis telah menguasai Goa (di India), Malaka, dan kepulauan Maluku, pada akhirnya malah Portugis yang beringsut mundur dari Nusantara.

Bersamaan dengan surutnya kekuatan Portugis, abad 16 dan 17 menjadi era pertarungan hegemoni antara Belanda dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Dalam perseteruan ini, perlawanan bangsa Indonesia ternyata sangat alot. Menurut Ricklef, akibat dari berbagai perlawanan yang gigih, negara kolonial Nedherland Indie yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke baru bisa tercapai pada 1910, yakni ketika Belanda mulai memberlakukan Hukum Kekawulaan Belanda (Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap). Di tahun 1800, Belanda hanya dapat berkuasa di Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur, Ujung Pandang (Makassar), serta Ambon.

Seluruh Jawa baru bisa dijatuhkan pada 1830, yakni pada akhir Perang Diponegoro. Sedangkan untuk menghadapi Pangeran Diponegoro, Belanda bahkan harus menarik pasukannya yang dipakai dalam Perang Padri di Sumatera Barat setelah gencatan senjata berhasil disepakati pada tahun 1825. Maka sebagian besar pasukan Kolonial segera dialihkan ke Jawa. Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu, di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dan, ketika Perang Diponegoro berakhir (1830) ―di Sumatera Barat, Belanda juga mengakhiri gencatan senjata dan kembali menyerang Bonjol.

Perang Jawa (de Java Oorlog) menjadi akhir dari perlawanan terbuka yang dilakukan oleh bangsawan Jawa. Kedahsyatan perang ini memakan teramat banyak korban dan membuat defisit kas Belanda. Dan, dikarenakan Belanda tidak sanggup menutup biaya perang ―20 juta Gulden, kemudian lahirlah Cultuur Stellsel. Kebijakan Cultuur Stellsel di masa Gubernur Jenderal Van den Bosch mengharuskan petani Jawa selama 200 hari dalam satu tahun bekerja tanpa dibayar untuk perkebunan-perkebunan tebu, tembakau, teh, dan lain-lain. Selain itu, perkebunan industri di Eropa telah menuntun pula tangan-tangan imperialisme untuk mengambil sumber-sumber bahan baku dan minyak bumi.

Bilapun demikian, penderitaan warga jajahan pada akhirnya dapat terdengar dan mengetuk hati kaum Liberal yang bereaksi dengan mengkritik pemerintah di Belanda. Mr. Conrad Theodore van Deventer menulis artikel di majalah de Gids pada tahun 1899 berjudul A Debt of Honor. Artikel ini mengungkap bahwa Belanda telah mendapatkan berjuta-juta Gulden dari Hindia Belanda dengan cara tanam paksa, dan harus membayar kembali dengan membangun pendidikan di Hindia Belanda. Van Deventer memperkirakan hutang Belanda dalam bentuk uang kira-kira 187 juta Gulden.

Pada tahun 1901, Ratu Belanda pun berpidato tentang politik etis yang akan diterapkan di negeri jajahannya. Maka dimulailah pembukaan sekolah-sekolah pendidikan menengah selain sekolah ongko loro; angka dua dan sekolah dasar kelas dua untuk warga pribumi.

Paradoks. Belanda yang dulu belum menjadi apa-apa ketika raja-raja Nusantara sudah menjadi tuan bagi jalur niaga ke Persia, India, dan Cina, kemudian menjadi pemerintah atasan yang memikirkan pendidikan bagi orang-orang di Nusantara (Hindia Belanda).

Padahal, sejak kapal-kapal perdagangan dari Arab, Benggali, Persia, Gujarat hingga Portugis dan Belanda; dengan adanya perdagangan dan transaksi-transaksi keuangan yang tidak lagi bersifat lokal, Indonesia telah menjadi pusat perdagangan maritim di dunia (Lombard, 2005). Suatu era yang oleh Reid dinamakan sebagai the age of commerce. Sebuah masa di mana orang-orang Nusantara menjadi tuan bagi perdagangan multinasional. Melimpahnya kekayaan alam serta lokasi yang strategis telah menjadikan Nusantara sebagai main stage perebutan hegemoni antar negara-negara Barat dan Timur; di mana juga terlihat sejarah Nusantara yang sesungguhnya bukanlah drama adu pusaka atau tanding kesaktian antar panglima dan para Raja, bukan pula antara Barat yang lebih kuat dan modern mendatangi Timur yang lemah kuno.

Kepustakaan terangkum dalam Kronik Peralihan Nusantara; Liga Raja-raja Hingga Kolonial.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar