“Ya Rosulalloh,” demikian suatu hari para sahabat memberanikan diri mengajukan pinta, “Sekiranya sudi, berceritalah engkau kepada kami.”
Ini terjadi, demikian Mush’ab ibn Sa’d meriwayatkan dari ayahandanya, Sa’d ibn Abi Waqqosh Rodhiyallohu ‘Anhu, setelah Al-Quran turun beberapa waktu lamanya dan Nabi pun membacakan kesemuanya kepada para sahabat.
Inilah kitab yang seandainya diturunkan kepada gunung, niscaya gunung itu pecah berantakan karena rasa takutnya kepada Alloh. Maka pasti saja, hati para sahabat itu, sekokoh apapun, merasakan berat tak terperi terhadap kalamNya. Sebab firman itu telah menunjuk mereka untuk menjadi pendamping dan penyokong Muhammad, sang rahmat semesta, pembawa kabar gembira, pemberi peringatan, penyeru ke jalan Alloh, dan pelita yang mencahaya. Sebab wahyu itu menunjuk mereka untuk menjadi insan-insan pertama ummat terbaik yang ditampilkan pada manusia, menyuruh pada yang patut, mencegah dari yang lacut, meyakini Alloh dan mengingkari thoghut.
Mereka merasakan sesak dan sempit sehingga memerlukan penghiburan dari kisah-kisah ringan. “Ya Rosulalloh,” ujar mereka sebagaimana disampaikan Ibn ‘Abbas dan dituliskan Imam Ath-Thobary dalam Tafsirnya, “Berceritalah kepada kami.” Lalu turunlah Suroh Yusuf, deras bagai hujan mencurahi gersang dalam dada.
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu.” (QS. Yusuf [12]: 3)
Inilah kisah terbaik. Ialah kisah cinta. Ialah kisah tentang seorang bernasab termulia, Yusuf ibn Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrohim. Juga berparas terindah dan berakhlaq jelita; Yusuf yang digelari Al-Khoir, si baik, pembawa kebaikan.
Sayang sekali, ketika menyebut nama Yusuf, yang tercetak di benak kita hanya soal ketampanan wajahnya. Kita lupa bahwa dalam karunia ketampanan itu terkandung kasih ayahanda, dengki saudara, pembuangan ke sumur, pertolongan kafilah, dijual jadi sahaya, goda majikan jelita, fitnah dari yang salah, dijadikan bahan balas dendam hingga para wanita mengiris jarinya, memilih masuk penjara daripada berbuat nista, berdakwah di dalamnya, dilupakan kawan, diangkat menjadi pejabat tinggi, sibuk mengurus negara, berjumpa dan menahan diri terhadap saudara, membuat muslihat demi berjumpa orangtua, serta menahan diri dari mengungkit luka ketika mimpi masa kecilnya terbukti nyata.
Kisah terbaik, adalah kisah yang berliku-liku. Cerita terbaik, adalah hidup yang berwarna-warni.
***
“Ihdinash shirothol mustaqim; Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.”
Tidak sah sholat kita tanpa membaca Suroh Al-Fatihah di tiap roka’atnya. Dan dalam senarai 7 ayat terdahsyat ini, usai kita memuji Alloh, memuliakan, dan mengagungkanNya, dengan tunduk kita menadah karuniaNya. Ialah doa kita agar Alloh karuniakan petunjuk ke jalan yang lurus. Kita membacanya setiap hari sekurangnya tujuh belas kali, sebab ialah doa terpenting, permohonan terpokok, dan pinta paling utama.
Jalan yang lurus.
Terjemah itu mungkin membuat sebagian kita membayangkan bahwa jalan lurus itu bagus, halus, dan mulus. Kita mengira bahwa shirathal mustaqim adalah titian yang gangsar dan tempuhan yang lancar. Kita menganggap bahwa ia adalah jalan yang bebas hambatan dan tiada sesak, tanpa rintangan dan tiada onak. Kita menyangka bahwa di jalan itu, segala keinginan terkabul, setiap harapan mewujud, dan semua kemudahan dihamparkan.
Frasa ‘jalan yang lurus’ membuat kita mengharapkan jalur yang tanpa deru dan tanpa debu.
Maka kadang kita terlupa, bahwa penjelasan tentang jalan lurus itu tepat berada di ayat berikutnya. Jalan lurus itu adalah, “Jalan orang-orang yang telah Kauberi nikmat. Bukan jalan orang-orang yang Kaumurkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat.”
Maka membentanglah Al-Quranul Karim sepanjang 113 surat bakda Al-Fatihah untuk memaparkan bagi manusia jalan orang-orang yang telah diberi nikmat itu. Ialah jalan Adam dan Hawa; jalan Nuh, Hud, dan Sholih; jalan Ibrohim hingga Ya’qub sekeluarga; jalan Musa dan saudaranya; jalan Dawud dan putranya; jalan Ayyub dan Yunus; jalan Zakariyya dan Yahya, serta Maryam dan ‘Isa. Kisah jalan indah itu sesekali ditingkahi gambaran tentang jalan mereka yang dimurka dan sesat; jalan Iblis dan Fir’aun, Samiri dan Qorun, Bal’am dan Haman, hingga Ahli Kitab Yahudi-Nasrani dan ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul.
Ceritera kehidupan Adam hingga ‘Isa itu, adalah lapis-lapis keberkahan.
Kisah mereka berkelindan, mengulurkan makna-makna yang mengokohkan cipta, rasa, serta karsa Sang Rosul terakhir dan ummatnya yang bungsu. Kisah mereka bertautan, melahirkan artian-artian yang menguatkan iman dan perjuangan sang penutup rangkaian kenabian beserta para pengikutnya; menghadapi kekejaman Abu Jahl, kekejian Abu Lahab, keculasan Al-‘Ash ibn Wail, tuduhan Al-Walid ibn Al-Mughiroh, dongengan An-Nazhor ibn Harits, rayuan ‘Utbah ibn Robi’ah, cambukan ‘Umayyah ibn Kholaf, hingga timpukan ‘Uqbah ibn Abi Mu’aith.
Lalu kehidupan Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang bersamanya yang dicahayai wahyu dan menjadi bagian cerita, menggenapkan kisah jalan lurus itu untuk kita.
Adalah Rosululloh memerah wajahnya pada suatu hari, ketika beliau bangkit dari berbaring berbantal surban di dekat Ka’bah. Adalah Khobbab ibn Al-Art; lelaki pandai besi yang kerap disiksa Abu Jahl dengan diikat pada selongsong logam dan dipanggang di atas bara peleleh besi; hari itu menghadap dan berbisik. “Ya Rosulalloh,” demikian lirih dia berkata, seakan masih merasakan bagaimana punggungnya melepuh lalu pecah, dan arang penyiksa terpadam oleh tetesan cairan luka bakarnya, “Tidakkah engkau berdoa atau menolong kami?”
Di antara kedua alis bertaut junjungannya, ada pembuluh yang kian membiru. Itu pertanda bahwa manusia yang paling pengasih ini marah karena Robbnya. “Demi Alloh,” ujar beliau bergetar, “Orang-orang sebelum kalian ada yang disisir dengan sikat besi hingga terpisah daging dari tulangnya, ada yang digergaji tubuhnya hingga terbelah badannya; tapi itu semua tak memalingkan mereka dari ‘La ilaha illalloh; tiada sesembahan yang benar selain Alloh.”
Khobbab sama sekali tidak bersalah ketika bertanya. Khobbab sungguh harus difahami kerisauannya. Khobbab telah mengorbankan seluruh dirinya; dengan sakit dan luka, dengan disiksa dan dinista, demi risalah yang dibawa Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Tetapi demikianlah Sang Nabi hendak mengajarkan padanya dan kepada kita, apa makna jalan lurus.
“Dan sesungguhnya Alloh adalah Robbku dan Robb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Maryam [19]: 36)
Jalan lurus itu diikat oleh satu hakikat. Yakni beribadah hanya kepada Alloh satu-satunya, tiada sekutu bagiNya. Bahwa di dalamnya ada nestapa dan derita, ia hanya penggenap bagi kebersamaan dan cinta. Bahwa di dalamnya ada kehilangan dan duka, ia hanya penguat bagi sikap syukur dan menerima. Bahwa di dalamnya ada pedih dan siksa, ia hanya penyempurna bagi rasa nikmat dan mulia.
“Demi Alloh, Dia pasti akan menyempurnakan urusan ini”, demikian Sang Nabi melanjutkan sabdanya pada Khobbab, kini dengan senyum yang bercahaya, “Hingga seseorang berjalan dari Shon’a ke Hadhromaut dan tiada yang ditakutinya selain Alloh. Tetapi kalian tergesa-gesa.”
***
“Saat kita bicara tentang Islam”, demikian Dr. ‘Abdul Karim Az-Zaidan dalam salah satu pengantar kitabnya, Al-Mustafad min Qoshoshil Quran, “Yang tergambar paling mula-mula adalah Fiqh. Ini tak salah. Sebab bukan fiqh itu tak baik, bukan fiqh itu tak penting, bukan fiqh itu tak bermanfaat. Fiqh adalah panduan bagi kita untuk melangkah menapaki dunia hingga ke pintu akhirat. Dengan fiqh, hidup kita terbimbing dan terarah, tergamit dan terjaga. Tetapi kita harus mencatat satu hal; fiqh hanya akan jadi jasad kosong dan kerangka mati, jika tak dihidupkan dengan ruh ketaatan.”
Jadi bagaimana menghadirkan ruh itu bagi tiap ‘amalan kita?
Al-Quran menjawab dengan susunan isinya yang menakjubkan. Syaikh ‘Abdul Wahhab Kholaf menghitung bahwa ayat hukum dalam Al-Quran tak lebih dari 150 buah. Pun, Ahmad Amin menyatakan hanya sekitar 200 ayat saja. Artinya, yang menempati bagian terbesar muatan Kalamulloh ini justru bukanlah fiqh, melainkan cerita.
Dari Sa’id ibn Jubair, dari Ibn ‘Abbas, beliau menyatakan, “Al-Quran ini, 6000 ayatnya adalah kisah, 600 ayatnya berupa tanda kebesaran Alloh, 60 ayatnya adalah aturan mu’amalah, dan 6 ayatnya berisi hukum-hukum hudud.” Atsar ini yang mungkin secara keliru sering disalahfahami untuk dijumlahkan, sehingga dikatakan jumlah ayat Al-Quran ada 6666. Sedangkan dalam riwayat ini dapat saja satu ayat berisi irisan lebih dari 1 kandungan, sehingga menurut perhitungan para ‘ulama jumlahnya sekira 6236.
Maka semua ‘ulama sepakat bahwa bagian terbesar dari kandungan Al-Quran adalah kisah. Ialah kisah yang menjadi penjelasan bagi kita tentang jalan yang lurus. Kisah yang menjadi petunjuk bagi kita untuk meniti jalan yang lempang. Kisah yang menjadi pembeda bagi kita untuk memisahkan jalan yang shohih dari jalan sesat. Kisah yang menjadi kabar gembira dan peringatan untuk teguh di jalan Kisah yang menjadi cahaya, ketika mata batin kita terkaburkan debu yang hinggap di jalan kebenaran. Kisah yang menjadi penyembuh luka-luka, kala hati kita dirancah duri di jalan kebajikan.
Maka Ya Alloh, susurkan dan susulkan kami di jalan mereka yang Kau limpahi cinta; dalam sempit maupun lapangnya, senyum dan juga lukanya.
Maka Ya Alloh, walau tak Kau kayakan kami seberlimpah Sulaiman; karuniai kami syukur dan tawadhu’nya, yang hormati semut serta burung Hud-hud.
Maka Ya Alloh, walau tak Kau beri kami daya raga dan keajaiban seperkasa Musa, curahi kami keberanian dan keteguhannya memimpin kaum yang sering membuat kecewa. Maka Ya Alloh, walau usia tak sepanjang Nuh mulia, tegarkan kami dengan kegigihan da’wah dan tekad bajanya untuk terus menyampaikan kebenaran dalam aneka cara.
Maka Ya Alloh, walau paras tak setampan Yusuf rupawan, kuatkan diri kami menahan semua goda dan derita, tajamkan nuraninya hingga mampu membaikkan negeri. Maka Ya Alloh, walau keajaiban tak selalu sertai perjalanan, penuhi hati kami dengan kasih mesra seperti ‘Isa, hingga tunduklah musuh dalam cinta.
Maka Ya Alloh, walau tak perlu ditelan ikan di gelap lautan, hiasi jiwa kami dengan kepasrahan Yunus yang rintih doanya Kaudengarkan. Maka Ya Alloh, walau tak usah mengalami kehilangan, dicekik sakit, miskin, dan musibah; sejukkan hati kami dengan sabar dan dzikir seperti Ayyub yang tabah.
Maka Ya Alloh; walau ujian cinta tak seberat Ibrohim, Hajar, dan Sarah; limpahi keluarga kami dengan sakinah, mawaddah, dan rohmah, dengan keturunan yang shalih serta sholihah. Maka Ya Alloh, walau ibadah tak seterpelihara Zakaria dan kesucian tak seterjaga Maryam; nikmatkan bagi kami bakti anak mulia seperti Yahya dan ‘Isa.
Maka Ya Alloh, walau belum pernah mencicipi surga bak Adam dan Hawa, jadikan rumah kami terasa surga sebelum surga, terimalah taubat atas segala dosa. Maka Ya Alloh, walau hidup tak sepedas-pedih warna-warni hayat Ya’qub, jadikan kami hanya mengadu padaMu semata, hingga menampilkan kesabaran cantik yang mencahaya.
Maka Ya Alloh, walau tak harus lari dan bersembunyi sebagaimana para Ashabul Kahfi, beri kami keberanian dan perlindungan saat tegas mengatakan Al-Haq di depan tirani. Maka Ya Alloh, walau kerajaan tak seluas Dzul Qornain, curahi kami akhlaq pemimpin; yang senantiasa menyeru pada iman, membebaskan ummat, serta menebar manfaat.
Maka Ya Alloh, walau jangan sampai Kau karuniai pasangan yang mirip Fir’aun, teguhkan kami bagai Asiyah yang mukminah, anugerahkan rumah di sisiMu di dalam surga. Maka Ya Alloh, walau persoalan hidup tak sepelik yang dialami Ibunda Musa, bisikkan selalu kejernihanMu di firasat kami saat menghadapi musykilnya hari-hari.
Maka Ya Alloh, walau ilmu dan kebijaksanaan tak seutuh Luqman Al-Hakim; tajamkan fikir dan rasa kami untuk mengambil ‘ibroh di setiap kejadian.
Maka Ya Alloh, susurkan dan susulkan kami di jalan lurus, di lapis-lapis keberkahan.
***
Di lapis-lapis keberkahan, jalan lurus itu berkelok dan menikung, menanjak dan melongsor, membentang dan menghimpit. Di lapis-lapis keberkahan, jalan lurus itu curam dan terjal, deras dan gemuruh, keras dan runcing.
Di lapis-lapis keberkahan; tugas hidup kita adalah mengemudi hati menuju Alloh di jalan yang lurus. Maka pangkal kelurusan itu pertama-tama adalah hati yang tak pernah berbelok dari Allah sebagai sesembahan yang haq. Lurus, sebab hanya pada Alloh tunduknya, taatnya, dan tentramnya. Lurus, sebab hanya untuk Alloh yakinnya, pasrahnya, dan kebajikannya. Lurus, sebab hanya bersama Alloh gigil takutnya, gerisik harapnya, dan getar cintanya.
Salim A. Fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar