Selasa, 15 Desember 2015

Awas! Usianya Sudah 10 Tahun

Suatu ketika seorang laki-laki datang menemui saya. Usianya kira-kira 30 tahun atau sedikit kurang dari itu. Di teras masjid, ia bertanya perihal kemenakan perempuannya yang mulai menampakkan gejala aneh. Usia kemenakannya waktu itu sekitar 14 tahun; usia kelas 2 atau 3 SLTP.

“Dia kelihatan tidak suka kalau saya ada urusan yang berkait dengan akhwat atau pembicaraan saya menyinggung soal wanita,” demikian laki-laki itu mengeluh, “Sepertinya dia cemburu. Apa yang demikian ini wajar?”

Masih ada berbagai keluhan senada tentang kemenakannya yang semakin menunjukkan sikap menyukai paman, bukan dalam hubungan antara kemenakan terhadap pamannya. Tetapi antara seorang wanita muda yang tengah jatuh cinta kepada seorang lelaki pujaan hatinya. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana ini sebenarnya? Sebuah pertanyaan yang sangat luas.

Saya kemudian menanggapi pertanyaan laki-laki tersebut dengan mengajukan pertanyaan, “Apakah masih sering tidur dengan kemenakan ketika dia sudah berusia sepuluh tahun?”

Pertanyaan ini ternyata mengejutkan. Ia balik bertanya dengan raut muka menampakkan keheranan, “Kan wajar? Dia kemenakan saya. Masa paman mempunyai perasaan yang aneh-aneh terhadap kemenakannya sendiri? Apa itu berpengaruh? Lho, kok bisa usia sepuluh tahun?”

Itulah. Perkara ini kelihatan wajar. Ya, seorang paman tidak punya pikiran macam-macam ketika bercerita kepada kemenakan perempuan sambil tiduran dalam satu tempat tidur. Yang terbersit hanya menyenangkan kemenakan yang mungkin dilakukan sembari membacakan cerita-cerita menarik. Masalahnya adalah, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam telah melarang.

Rosululloh SAW bersabda, “Perintahkanlah anak-anakmu untuk sholat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah jika enggan melakukan sholat bila telah berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (Riwayat Abu Dawud).

Sangat jelas perintah dalam hadits ini. Kita hendaknya memisahkan tidur anak dari orangtua begitu usianya menginjak 10 tahun. Seorang anak perempuan hendaknya tidur terpisah dari saudaranya yang laki-laki. Ia pun tidak lagi boleh tidur bersama dengan orang dewasa laki-laki, sekalipun itu bernama pamannya sendiri. Satu lagi, seorang anak perempuan tidak boleh dalam satu selimut dengan anak perempuan. Seorang anak laki-laki juga tidak boleh tidur dalam satu sarung dengan sesama laki-laki, meskipun itu kakak atau adiknya sendiri.

Inilah petunjuk yang dapat kita petik dari hadits riwayat Abu Dawud tersebut. Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah yang telah dituntunkan oleh Rosululloh SAW. Melanggar ketentuan beliau mengenai hal ini akan sangat riskan. Penyimpangan perilaku seksual dapat terjadi pada diri anak. Bentuk penyimpangan itu dapat secara nyata terlihat dalam perilaku-perilaku seksual, misalnya dorongan untuk melakukan hubungan seksual dengan teman bermain, binatang atau boneka. Dapat pula dalam bentuk perilaku-perilaku agresif, semisal berkelahi atau menunjukkan keberanian meminum minuman keras di hadapan lawan jenis.

Berbagai kasus tindakan asusila yang dilakukan oleh remaja belasan tahun, tidak sedikit yang dapat kita runut akarnya dengan memahami hadits ini. Ada memang, dan itu tidak sedikit, anak-anak yang mengalami gejolak seksual sehingga melakukan kejahatan bersebab tayangan pornografis, baik dari melihat VCD porno maupun paparan pornografis yang ada di smartphone miliknya maupun orangtua. Ada orangtua yang menjauhkan diri dari mengakses pornografi, tapi membiarkan grup WA atau yang sejenisnya memuat konten pornografis.

Usia sekitar 9 atau 10 tahun (ingat, dalam hadits tersebut 10 tahun merupakan hitungan Qomariyah yang lebih pendek masanya), merupakan titik yang sangat rawan. Perempuan dapat mencapai aqil baligh pada usia ini dengan ditandai adanya menarche (menstruasi pertama). Sementara anak laki-laki pada umumnya akan mengalami ihtilam (mimpi basah) sekitar 2 atau 3 tahun sesudah usia itu. Sekalipun demikian, di masa sekarang semakin banyak anak yang mengalami ihtilam lebih awal dibanding anak-anak di masa sebelumnya. Usia 10 tahun pun boleh jadi sudah ada yang menjadi muhtalim (orang yang mengalami mimpi basah).

Pada masa ini, bayangan seksual mulai mengganggu pikiran anak, bahkan dapat berpengaruh sangat kuat jika anak tidak memiliki kebiasaan produktif, sementara pada saat yang sama kerap terpapar pornografi. Tumbuh dorongan dalam diri mereka untuk menyukai lawan jenis serta mengalami kemesraan dengannya. Di saat yang sama, lantaran dorongan untuk mengalami kemesraan tersebut, ada jurang yang dapat menggelincirkan mereka ke dalam penyimpangan sehingga mereka menyukai sesame jenis.

Itulah sebabnya, mereka tidak diperkenankan tidur dalam satu sarung dengan sesama jenis.

Inilah hal-hal yang perlu kita perhatikan ketika merenungi kenakalan anak-anak “masa kini” yang semakin mengkhawatirkan. Kejahatan seksual (saya tidak suka menyebutnya sebagai kenakalan) kerap berawal dari kecerobohan orang-orang dewasa di sekitarnya, termasuk orangtua. Na’dzubillahi min dzaalik. Karena itu, jangan segan-segan untuk meninggalkan grup WA dan sejenisnya apabila di dalamnya ada anggota yang kerap berkirim gambar maupun konten porno lainnya. Persahabatan dapat Anda jaga dengan cara lain (jika seandainya memang perlu dijaga), tetapi tidak dengan mengorbankan idealisme atas anak.

Semoga Alloh Ta’ala melindungi kita dan anak-anak kita serta keturunan kita dari fitnah syahwat maupun fitnah syubhat. Semoga Alloh Ta’ala sucikan kita dan keturunan kita hingga Yaumil-Qiyamah, betapa pun banyaknya dosa-dosa kita saat ini. Allohumma aamiin.

Saya tidak akan membicarakan berbagai kecerobohan orangtua di saat anak mulai memasuki usia 10 tahun hingga ke masa-masa remaja. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk merenungi kembali dua hal penting berkait dengan aurat dan pendidikan anak. Pertama, menegakkan perintah Alloh ‘Azza wa Jalla di dalam al-Qur’an surat An-Nuur ayat 58-60 berkait dengan waktu-waktu aurat yang tiga. Ini sangat perlu kita perhatikan. Kedua, menjaga anak-anak dari terpapar oleh maksiat, termasuk akibat primal-scene (melihat orangtua berhubungan) akibat tidak adanya kehati-hatian atau karena lengah.

Semoga catatan sederhana ini bermanfaat dan mendapatkan barokah dari Alloh Ta’ala. Wallohu a'lam.

Mohammad Fauzil Adhim

Sumber: hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar