Kamis, 10 Desember 2015

Menetralkan Jiwa yang Sedang Silau

Harus ada upaya membenahi jiwa agar tak gampang terpesona dengan segala yang menyilaukan. Ini memang tidak ringan. Tetapi sebuah kesuksesan memerlukan perjuangan yang tidak ringan. Beberapa langkah berikut semoga bisa menjadi bahan renungan.

Pertama, Ingatlah bahwa Kesempurnaan Ini Hanya Milik Alloh
Semua yang ada di sekeliling kita adalah makhluk. Setiap makhluk mempunyai keterbatasan. Tidak ada yang sempurna. Termasuk kita. Bisa jadi kita begitu hebat di suatu bidang ilmu. Tetapi tentu kita mengakui bawa kita tidak mampu di bidang yang lain. Alam ini terlalu luas untuk bisa dijangkau oleh akal kita yang terbatas kemampuan dan kapasitasnya.

Setiap kita juga pernah terjatuh ke dalam suatu kesalahan dan khilaf. Sekecil apapun itu. Para nabi saja kelak merasa keberatan untuk memberikan syafaatnya dikarenakan mereka masing-masing  merasa pernah berbuat sesuatu yang tidak diridhoi Alloh. Maka, marilah bertanya dan mengaca, sesungguhnya siapakah diri kita ini?

Kesempurnaan memang hanya milik Alloh. Kita tidak bisa menuntut kesempurnaan dari siapa pun. Sebagaimana kita tidak dapat menuntutnya dari diri kita. Walau itu bukan legitimasi untuk tidak semakin baik. Kita harus tetap berusaha untuk selalu baik dan semakin baik seiring dengan perjalanan waktu.

Gemerlap nama orang-orang besar, dari artis hingga pejabat, dari politikus hingga konglomerat, seringkali membuat kita terpukau. Seorang mukmin harus memberi catatan, bahwa kebesaran mereka hanya punya arti dan nilai manakala mereka memiliki ketakwaan. Kesadaran ini perlu kita tanamkan agar seorang mukmin tidak lantas murung, patah semangat, dan bahkan tergoda untuk luluh dalam arus kehidupan mereka dengan cara yang kotor.

Di balik gemerlap kehidupan para selebritis yang menggiurkan, misalnya, tidak sedikit yang ternyata menyimpan luka mendalam pada sisi-sisi kehidupan mereka yang sangat pribadi. Tidak semuanya, memang. Tetapi ini hanya gambaran, betapa tidak semua yang tampil gemerlap di luarnya adalah juga gemerlap di dalamnya. Banyak kerikil dan batu ganjalan yang membuat kehidupan mereka seperti lukisan yang retak-retak. Ada yang terkena kasus narkoba, pergaulan bebas, perselingkuhan, dan kasus lain yang secara nurani tidak dapat kita terima.

Di balik kekuatan negara-negara adidaya yang kini menguasai dunia, seorang mukmin tidak boleh terpukau dengan cara yang tidak dibenarkan. Segala kecanggihan teknologi tidak bisa mengalahkan kehendak Alloh swt. Ini, sekali lagi soal keimanan. Sarana fisik memang perlu, tetapi tidak akan berguna bila tidak dilandasi iman. Alloh berkuasa atas segala hamba dan makhluk-Nya. Pada jari-jari-Nya bergantung nasib jiwa-jiwa manusia.

Bukan berarti kita tidak boleh mempelajari kecanggihan teknologi mereka. Atau mengadopsi keilmuan yang memang hari ini mereka kuasai. Tetapi, rasa silau yang berlebihan dan melampaui batas harus kita hilangkan dari benak kita. Agar kita tidak terjerumus kepada budaya menelan mentah-mentah setiap yang datang dari mereka. Atau bahkan kemudian kita menjadi corong-corong mereka.

Ketika kita sempat terperangah dengan setiap yang mereka miliki, cepatlah sadar bahwa kesempurnaan hanya milik Alloh. Semua teori dan usaha manusia bisa macet dalam sesaat, ketika sudah berbenturan dengan kemurkaan Alloh. Segala yang besar adalah kecil bila berhadapan dengan kekuasaan-Nya.

Alloh swt berfirman, "Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Alloh-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya. Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Alloh akan menyalahi janji-Nya kepada Rosul-rosul-Nya. Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi mempunyai Balasan." (QS. Ibrohim [14]: 46)

Kedua, Kikislah Kecintaan yang Berlebihan terhadap Dunia
Mengikis kecintaan terhadap dunia yang berlebihan. Ya, itulah salah satu caranya. Agar diri ini tidak cepat silau. Keinginan untuk mengumpulkan harta sebanyak mungkin, sering menjerumuskan orang. Dia akan selalu melihat ke atas. Kecintaan yang tak terbendung itu, bisa membuatnya menghalalkan segala cara. Tidak peduli walaupun cara itu haram. Tidak peduli walau harus menginjak orang lain. Tidak peduli walau tertawa di atas derita dan tangis orang lain.

Dunia hanya tempat kita untuk singgah. Ada saatnya perjalanan ini harus dilanjutkan. Kita harus meninggalkan dunia itu. Setelah itu, dunia hanya akan menambah beban kita di akhirat kelak. Beban, manakala dunia yang pernah kita nikmati ternyata tidak halal. Padahal yang halal sekali pun, dunia akan menjadi beban, karena ia akan memperlambat hisab seseorang. Rosululloh menjelaskan, orang kaya akan masuk surga lebih lambat dibandingkan orang miskin selama limaratus tahun.

Hajjaj al-Khurosany suatu hari berada di sekumpulan orang yang sedang berdo'a di tanah suci. Di antara mereka hadir seseorang yang memang sangat mencolok kekayaannya. Bisa dilihat dari penampilannya. Hajjaj kemudian berdo'a, "Ya Alloh, jangan engkau fitnah kami dengan rezeki dinar dan dirham." Do'a itu diamini oleh semua yang hadir kecuali oleh satu orang, yaitu orang kaya itu. Dengan do'a itu, Hajjaj bukan hanya sekadar ingin mengajarkan cara hidup sederhana. Lebih dari itu, ia ingin memberikan pelajaran bagaimana agar orang-orang itu tidak cepat silau dengan penampilan orang kaya yang ada di samping mereka.

Bukan berarti kita tidak boleh kaya. Tetapi kecintaan berlebihan terhadap kekayaan itulah yang harus dikikis. Islam selalu menjaga keseimbangan.

Keseimbangan antara mencari dunia dan mengejar kehidupan akhirat. Dunia adalah jembatan menuju akhirat. Di sini kita menanam dan di sana kelak kita memetiknya.

Dengan mengikis kecintaan terhadap dunia yang membara di hati, maka kita akan merasa biasa saja ketika melihat mereka yang besar. Apalagi Alloh telah memperingatkan kita tentang kehebatan orang-orang fasik, "Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Alloh menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir." (QS. At-Taubah [9]: 55)

Ya, banyak yang tersiksa justru di saat hartanya banyak. Banyak yang merasa gelisah dan terbuang di saat anak-anaknya sukses. Banyak yang merasa hidupnya semakin hampa ketika ia sedang naik daun. Banyak yang merasa bingung ketika usaha duniawinya justru sedang berkembang pesat.

Ketiga, Renungkanlah Kisah Mereka yang Hancur Setelah Sukses
Di dunia ini semua diberi kesempatan untuk besar dan sukses. Muslim, fasik, munafik, dan kafir sekali pun. Kita tahu bahwa kebesaran itu ada batas waktunya. Ada saatnya mereka harus hancur dan terkubur untuk selamanya. Bahkan terkadang harus meninggalkan nama buruk dalam sejarahnya.

Qorun, misalnya. Adalah gambaran manusia terkaya saat itu. Kekayaannya tam terhitung. Kunci-kunci gudang hartanya berat untuk dipikul oleh pegawai-pegawainya yang kuat. Sebagian masyarakatnya sangat silau dengan kekayaannya. Mereka hanya bisa berdecak kagum dengan kesuksesan duniawi Qorun. Apalagi Qorun berusaha untuk selalu menjaga penampilannya. Ditambah lagi dengan pengakuannya, bahwa segala keberhasilannya itu diraihnya dengan teori dan ilmu bisnis serta kehebatan manajerial yang dimilikinya.

Dengarlah apa yang dikatakan mereka yang silau, "Semoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qorun. Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar. (QS. Al-Qoshosh [28]: 79)

Ternyata Alloh ingin menegur mereka yang silau. Bahwa tidak semua yang sukses akan selalu sukses dan berakhir dengan kesuksesan. Terlebih kesuksesan yang kemudian berbuah kecongkakan, seperti pengakuan Qorun bahwa semua kesuksesan itu semata karena kehebatan dirinya. "Maka Kami benamkanlah Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadao azab Alloh. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)." (QS. Al-Qoshosh [28]: 81)

Dengan merenungi kisah di atas, kita sadar bahwa kesilauan terhadap orang atau institusi atau negara besar harus dinetralkan. Kita butuh ketenangan sikap seperti sikap sebagian masyarakat Qorun yang berkata, "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Alloh adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal sholih. Dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar." (QS. Al-Qoshosh [28]: 80)

Keempat, Carilah Sisi Lain dari yang Menyilaukan Itu
Kekuatan diri setiap kita berbeda. Masing-masing mengetahui seberapa kuat kemampuan dirinya. Ketika kita merasa bahwa diri kita lemah di tengah badai gelombang, maka seharusnya kita tidak menantang badai itu.

Kalau jiwa kita masih sering silau dan latah terhadap sesuatu, maka berhati-hatilah. Cobalah mencari sisi lain dari sesuatu yang menyilaukan itu. Bersabarlah, lalu perhatikan dengan betul, apakah yang menyilaukan itu benar-benar murni ada cahaya kebenaran di baliknya. Atau justru ada banyak kenistaan di baliknya. Dengan menggali lebih dalam, dengan kesabaran yang tulus, insya Alloh, Alloh akan membuka jalan petunjuk-Nya, lalu menyadarkan kepada kita apakah yang memukau itu baik atau buruk.

Melihat sisi lain dari hal-hal yang memukau, terutama sisi-sisi buruknya, akan menguatkan jiwa. Untuk tidak terlalu gagap dan mudah terpedaya.

Imam Abu Walid al-Baji pernah menasehati anaknya agar tidak latah mempelajari ilmu filsafat. Alasannya bukan karena tidak ada manfaat sama sekali dalam ilmu filsafat. Tetapi ia menjelaskan alasannya, "Anakku, kalian masih terlalu kecil. Tunggulah saatnya kalian sudah dewasa dan sudah mapan secara keilmuan. Saat itu bacalah buku-buku filsafat dan buktikan sendiri kelemahan ilmu itu."

Bila dengan cara itu masih juga tidak bisa, apa boleh buat. Cara lainnya adalah kita harus meminimalisir berinteraksi dengan hal-hal yang bisa menyilaukan. Lebih karena kita harus menyelamatkan jiwa kita sendiri. Ibaratnya, yang tidak tahan panas jangan main-main dengan api. Yang tidak kuat dingin jangan bermain-main dengan hujan.

Kita harus terus menguatkan jiwa, agar bisa memandang biasa sebuah kehebatan dan kebesaran, bila ia tidak berdasar iman. Karena dari sana sumber mata air kebahagiaan yang sesungguhnya. Dengarlah ucapan seorang salafushsholih, Harits ibn Miskin, "Segala puji bagi Alloh yang telah membuat kami istirahat dari interaksi dengan para pejabat. Hingga kami bisa menjulurkan kaki semau kami. Kami bisa menangis tanpa ada yang menghalangi. Dan kami bisa berbuat semau kami tanpa intervensi."

KelimaMohonlah Kekuatan Kepada Alloh yang Maha Kuat
Langkah lain yang tak boleh dilupakan adalah berdo'a. Ya, setiap mukmin harus memohon kekuatan kepada Alloh, sumber segala kekuatan. Termasuk untuk menghadapi dunia yang melenakan, beserta segala isinya itu, kita harus memohon kekuatan kepada Alloh.

Karenanya, salah satu do'a penting yang diajarkan Rosululloh adalah memohon agar kita tidak diuji dengan fitnah dalam urusan agama. Selain itu juga memohon agar Alloh tidak menjadikan dunia sebagai tujuan dan puncak kemauan kita.

Maka dalam segala aktifitas duniawi yang kita lakukan, kita tidak boleh lupa untuk berdo'a. Memohon kepada Alloh agar ia berada di jalan yang diridhoi-Nya. Belajar, bekerja, berusaha, berdagang, mengasuh, dan mendidik anak, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya harus senantiasa di'bismillah'kan. Selain agar pekerjaan itu diterima Alloh, juga agar dalam proses teknisnya, kita tetap terjaga dari kemungkinan terjerumus ke jalan yang salah.

Do'a adalah kekuatan, senjata, sekaligus perisai bagi seorang mukmin. Jangan pernah lupa untuk berdo'a. Terlebih di kala dunia semakin kacau seperti saat ini.

Keseluruhan upaya di atas mungkin hanya sebagian kecil. Dari segala cara yang bisa dilakukan seorang mukmin untuk tidak silau dengan segala gemerlap dunia. Masih banyak cara lain yang juga bisa dilakukan. Yang pasti, sebuah perjuangan menaklukkan dunia sama pentingnya dengan perjuangan menaklukkan hati, agar tak terpedaya oleh dunia itu.

Dinukil dari Tarbawi edisi 55 tahun 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar