Banyak hal di dunia yang bisa menyilaukan manusia. Dari yang kecil hingga yang besar. Dari yang sederhana hingga yang luar biasa. Dunia adalah titian, ada yang sukses melewatinya, banyak pula yang gagal dan terlempar.
Beribu petuah telah dibuat. Berjuta nasehat telah diucap. Agar setiap orang berhati-hati dengan dunia. Tetapi tetap saja, banyak yang berguguran ditelan gemerlap dunia. Ini masalah serius. Karenanya, Al-Qur'an memberi penekanan khusus pada soal ini. Berkali-kali, dalam berbagai kesempatan berbeda, Al-Qur'an menegaskan tentang pentingnya berhati-hati dengan dunia, tidak mudah silau, apalagi terjebak di dalamnya. Beberapa catatan berikut, menunjukkan hal-hal yang secara khusus ditegaskan Al-Qur'an tentang apa-apa yang bisa menipu dan memukau manusia.
1. Segala Unsur Kuantitas yang Berjumlah Banyak
Soal kuantitas besar dan banyak -dalam hal apa saja- memang bisa mewakili dimensi apa saja. Bisa dimensi politik, ekonomi, atau hal-hal kecil yang kita jalani sehari-hari.
Pengertian inilah yang bisa kita hayati dari firman Alloh, "Sesungguhnya Alloh telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak. Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai." (QS. at-Taubah [9]: 25)
Ayat tersebut bertutur tentang kisah perang Hunain, di mana kaum muslimin berjumlah 12 ribu orang. Sebuah jumlah yang waktu itu sangat besar. Namun, kebesaran itu ternyata menyilaukan, hingga di antara mereka ada yang mengatakan, "Hari ini kita tidak dikalahkan oleh karena jumlah." Kenyataan kemudian membalik dan memporak-porandakan semuanya. Mereka lari kocar-kacir.
Pesona jumlah atau kuantitas -sekali lagi- berpeluang melenakan dan menjerumuskan orang ke jurang kehancuran. Ia tidak selalu harus perang. Ia bisa dalam konteks kelompok dan pengikutnya. Di pentas partai politik, di medan pertarungan bisnis, atau apa saja. Ia bisa jabatan, kekuasaan, kerajaan usaha, atau apa saja yang membuat orang punya segala sesuatu dengan kuantitas yang sangat melimpah.
Inti masalahnya -sekali lagi, pada soal sikap. Apakah orang menjadi congkak atas segala kekuatan pada sisi kuantitas yang ia miliki. Karena kuantitas adalah sarana dan kebutuhan yang logis, bagi keberlangsungan hidup apa saja. Tetapi, menjadikan kekuatan kuantitas segala-galanya adalah tindakan arogan. Ia bisa menjadi titik-titik awal keengganan untuk menyadari bahwa kemenangan dan kekuatan itu hanya datang dari Alloh swt. Inilah yang kemudian menjadi bibit kemusyrikan.
Maka, berhati-hatilah dengan segala sesuatubyang bersifat kuantitas. Terlebih bila volumenya sangat besar. Sekali penyakit sombong menghinggapi, ia bisa menggerogoti sendi-sendi kebesaran itu, untuk kemudian menghancurkannya hingga tak berbekas.
2. Performa Keindahan
Selain soal jumlah, Al-Qur'an juga bicara tentang performa keindahan sebagai salah satu sumber keterpukauan. Secara lebih spesifik, sumber performa yang dimaksud adalah kecantikan dan ketampanan. Sebab, keduanya merupakan pusaran bagi segala norma tentang keindahan jasadi yang mengiringinya. Yang kemudian berkembang pesat dan sangat revolusioner. Lalu melahirkan efek-efek negatif yang luar biasa.
Lihatlah bagaimana industri-industri raksasa tumbuh di mana-mana dengan bidikan produknya adalah wanita atau pria yang ingin tampil mempesona. Inilah yang mungkin bisa disebut rahasia, mengapa soal performa keindahan, Al-Qur'an mengambil setting kecantikan dan ketampanan. Meskipu secara umum itu sudah masuk dalam terminologi umum, Al-Qur'an menyebut kehidupan dunia sebagai senda gurau dan permainan belaka.
Alloh swt berfirman, "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Alloh mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Alloh menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran." (QS. al-Baqoroh [2]: 221)
Alangkah mulianya Al-Qur'an ketika ia menjadikan ukuran performa kesukaan kepada laki-laki atau perempuan itu adalah 'menarik hati'. Karena sesuatu yang menarik hati bisa bermacam-macam, bisa wajah yang cantik atau rupawan, bisa kepintaran, keterampilan, juga yang lainnya. Sementara ketertarikan kepada semua itu bisa saja didasarkan pada hawa nafsu. Di sinilah inti masalahnya. Sebab, ketertarikan berdasarkan hawa nafsu bisa mengaburkan sisi-sisi objektif keimanan, atau juga sisi rasional akal sehat. Itulah mengapa Rosululloh mewanti-wanti ummatnya agar berhati-hati dengan wanita cantik tetapi tumbuh dalam lingkungan yang buruk.
Pada contoh di atas, dengan mengambil dimensi ketertarikan untuk menikahi seseorang, suasananya memang sangat berlawanan secara diametral: musyrik dan beriman, budak dan orang merdeka. Ini merupakan puncak pertimbangan tertinggi yang harus disadari seorang mukmin. Lalu dari sana kita bisa menarik benang pelajaran, pada kasus-kasus performa keindahan lainnya.
Lebih jauh bahkan Al-Qur'an memuarakan semua itu pada dua ujung yang sangat jauh: surga dan neraka. Alangkah seriusnya masalah ini. Ya, dan memang ini masalah serius. Sebuah performa keindahan -apapun bentuknya- harus ditimbang dari sudut kesudahan yang jauh, surga atau neraka.
3. Performa Keburukan
Kadang, sesuatu yang buruk justru sangat memikat hati. Terlebih di zaman ini. Ketika keburukan menemukan kemasannya yang indah dan menawan. Ketika keburukan mendapatkan pembenaran dan pengakuan dari konvensi-konvensi sosial. Ini bisa menipu dan memperdaya. Karenanya, ini menjadi soal berikut yang dijelaskan Al-Qur'an, di antara sumber-sumber keterpukauan lainnya.
Dengan tegas, Alloh swt mengingatkan hal ini jauh-jauh hari. Seperti dinyatakan dalam firman-Nya, "Katakanlah, 'Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu maka bertakwalah kepada Alloh, hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. al-Maidah [5]: 100)
Ayat tersebut menggarisbawahi dua hal. Pertama, soal banyaknya keburukan. Artinya, bisa jadi keburukan itu sudah sangat banyak jumlahnya. Sudah tersebar dalam kehidupan masyarakat, atau bahkan sudah mendarahdaging dalam denyut kehidupan jutaan manusia. Tetapi ia tetap keburukan. Lalu, yang kedua, Al-Qur'an kembali menjadikan soal 'menarik hati' sebagai inti masalah yang harus diperhatikan.
Performa keburukan yang banyak dan menarik hati itu, saat ini bisa kita lihat dengan mudah di sekitar kita. Terlalu banyak untuk dicontohkan di sini. Dahulu orang malu-malu melakukan hal-hal yang buruk apalagi hina. Tetapi hari ini, justru banyak keburukan menjadi tren dan gaya hidup. Bahkan banyak perilaku-perilaku murahan yang justru dilombakan dengan kemasan sedemikian rupa.
Kenyataan memang menunjukkan demikian, keburukan kini mendapatkan dukungan dari banyak unsur. Bila diperluas, pembahasan soal performa keburukan yang menarik hati ini akan menyangkut banyak hal dalam hidup. Yang pasti tentu soal norma-norma, gaya hidup, dan tata nilai kehidupan yang kini banyak berantakan.
4. Orang-orang yang Suka Membuat Kerusakan
Lebih lanjut, Al-Qur'an meletakkan kelompok orang-orang yang suka membuat kerusakan sebagai salah satu sumber keterpukauan yang harus diwaspadai. Mereka orang-orang yang hatinya busuk, tetapi berusaha tampil dengan wajah yang manis. Di dalam diri mereka tersimpan gumpalan nafsu keserakahan, tetapi mereka berusaha nampak sopan dan bersahaja. Salah satu yang termasuk dalam kelompok ini adalah orang-orang munafik.
Alloh swt berfirman, "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan mempersaksikannya kepada Alloh (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya dan merusakkan tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Alloh tidak menyukai kebinasaan." (QS. al-Baqoroh [2]: 204-205)
Para ahli tafsir menjelaskan, tradisi merusak ternak dan tanaman itu untuk menggambarkan betapa mereka adalah golongan orang-orang yang hobinya membuat kerusakan dan mempersulit kehidupan kaum muslimin. Pada dasarnya, golongan ini adalah orang-orang yang pekerjaannya hanya menebarkan kerusakan di muka bumi dengan berbagai cara. Mereka adalah orang-orang yang hobinya menumpahkan darah di mana-mana. Tetapi berusaha menampakkan diri sebagai manusia pembangun, penjamin-penjamin keamanan. Mereka benar-benar serigala berbulu domba.
Dalam tataran hidup yang lebih luas, manusia-manusia seperti itu banyak berkeliaran di segala tempat. Mereka bisa menelusup ke mana saja. Lalu memainkan perannya sedemikian rupa.
Begitulah, sumber-sumber keterpukauan memang banyak. Al-Qur'an juga berbicara soal lainnya, selain empat hal di atas. Setiap kita harus waspada, jangan sampai terlena, terpukau dengan dunia yang hanya sementarabini. Mewaspadai silaunya dunia -lebih dari itu- adalah bekal penting agar kita bisa pulang ke kampung akhirat dengan selamat. Alloh swt berfirman, "Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. al-Qoshsosh [28]: 28)
Maka, pentingnya kita menjaga diri dari kesilauan dunia adalah kepentingan bagi bahagia atau sengsara kita di kampung akhirat kelak. Tempat setiap kita akan pulang kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar