Senin, 21 Maret 2016

Cicak di Dinding dan Keyakinan Utuh

Barangsiapa memperbagus hal-hal tersembunyi, niscaya Alloh jelitakan apa yang tampak dari dirinya.
Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Alloh, niscaya Alloh baikkan hubungannya dengan sesama.
Barangsiapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Alloh yang kan mencukupinya dalam perkara dunia.
('Umar ibn 'Abdil 'Aziz)

Seandainya kita adalah seekor cicak, mungkin sudah sejak dulu kita berteriak, "Ya Alloh, Kau salah rancang dan keliru cetak!"

Sebab cicak adalah binatang dengan kemampuan terbatas. Dia hanya bisa merayap meniti dinding. Langkahnya cermat. Jalannya hati-hati. Sedangkan semua yang ditakdirkan sebagai makanannya, memiliki sayap dan mampu terbang ke mana-mana. Andai dia berpikir sebagai manusia, betapa nelangsanya. "Ya Alloh," mungkin begitu dia mengadu, "bagaimana hamba dapat hidup jika begini caranya? Lamban saya bergerak dengan tetap harus memijak, sedang nyamuk yang lezat itu melayang di atas, cepat melintas, dan ke mana pun bebas." Betapa sedih dan sesak menjadi seekor cicak.

Namun, mari ingat sejenak bahwa ketika kecil dulu, orangtua dan guru-guru mengajak kita mendendang lagu tentang hakikat rezeki. Lagu itu berjudul, Cicak-cicak di Dinding.

Bahwa tugas cicak memang hanya berikhtiar sejauh kemampuan. Karena soal rezeki, Alloh-lah yang memberi jaminan. Maka kewajiban cicak hanya diam-diam merayap. Bukan cicak yang harus datang menerjang. Bukan cicak yang harus mencari dengan garang. Bukan cicak yang harus mengejar dengan terbang.

"Datang seekor nyamuk."

Alloh yang Maha Mencipta, tiada cacat dalam penciptaan-Nya. Alloh yang Maha Kaya, atas-Nya tanggungan hidup untuk semua yang telah dijadikan-Nya. Alloh yang Maha Memberi rezeki, sungguh lenyapnya seisi langit dan bumi tak mengurangi kekayaan-Nya sama sekali. Alloh yang Maha Adil, tak kan mungkin Dia bebani hamba-Nya melampaui kesanggupannya. Alloh Maha Pemurah, maka Dia jadikan jalan karunia bagi makhluk-Nya amatlah mudah.

"Datang seekor nyamuk."

Alloh yang mendatangkan rezeki itu. Betapa dibanding ikhtiyar cicak yang diam-diam merayap, perjalanan nyamuk untuk mendatangi sang cicak sungguh lebih jauh, lebih berliku, dan lebih dahsyat. Jarak dan waktu memisahkan keduanya, dan Alloh dekatkan sedekat-dekatnya. Bebas si nyamuk terbang ke mana jua, tapi Alloh bimbing ia supaya menuju pada sang cicak yang melangkah bersahaja. Ia tertakdur dengan bahagia, menjadi rezeki bagi sesama makhluk-Nya, sesudah juga menikmati rezeki sekama waktu yang ditentukan oleh-Nya.

Dan tiada dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan Alloh-lah rezekinya. Dia Maha Mengetahui tempat berdiam dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab Lauhul Mahfuzh yang nyata." (QS. Huud [11]: 6)

"Daabbah," demikian menurut sebagian mufassir, "adalah kata untuk mewakili binatang-binatang yang hina bersebab rendahnya sifat mereka, terbelakang cara bergeraknya, kotor keadaannya, liar hidupnya, dan bahkan bahaya dapat ditimbulkannya." Alloh menyebut daabbah di ayat ini, seakan-akan untuk menegaskan; jika binatang-binatang rendahan, terbelakang, kotor, liar, dan berbahaya saja Dia jamin rezekinya, apatah lagi manusia.

***
"Sesungguhnya rezeki memburu manusia," demikian sabda Rosululloh saw sebagaimana dicatat oleh Imam Ath-Thobroni dan Ibn Hibban, "lebih banyak dari kejaran ajal terhadapnya."

***
Betapa jarang kita mentafakuri rezeki. Seakan semua yang kita terima setiap hari adalah hak diri yang tak boleh dikurangi. Seakan semua yang kita nikmati setiap hari adalah jatah rutin yang murni dan tak boleh berhenti. Seakan semua yang kita asup setiap hari adalah memang begitulah adanya lagi tak boleh diganggu gugat.

Padahal, hatta sebutir garam pun adalah rezeki Alloh yang menuntut disyukuri.

Hatta sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan, untuk menemui pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang makan. Betapa kecil upaya kita, dibandingkan cara Alloh mengirimkan rezeki-Nya. Kita baru merenungkan sebutir garam, bagaimanakah bebijian, sayur, ikan, dan buahnya? Bagaimanakah katun, wol, dan sutranya? Bagaimanakah batu, kayu, pasir, dan gentingnya? Bagaimanakah besi, kaca, dan karet rodanya?

Maka seorang Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya yang amat bersahaja, "Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari Gaza, dan air Sungai Yordan. Betapa hamba hanya makhluk-Mu yang paling kaya, wahai Robbana!"

Dia mengingatkan kita pada sabda Rosululloh. "Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya bebarang harta," demikian yang direkam Imam Al Bukhori dan Imam Muslim, "kekayaan sesungguhnya adalah kayanya jiwa."

Akhirnya, mari kita dengarkan Sang Hujjatul Islam. "Boleh jadi kau tak tahu di mana rezekimu," demikian Imam Al Ghozali berpesan, "tetapi rezekimu tahu di mana dirimu. Jika ia ada di langit, Alloh akan memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Alloh akan menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Alloh akan menitahkannya timbul untuk menemuimu."

Di lapis-lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan, bahwa Alloh yang Menciptakan, Menjamin rezeki bagi ciptaan-Nya.

Credit: Salim A. Fillah; "Lapis-lapis Keberkahan"; Pro-U Media.2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar