Senin, 28 Maret 2016

Mendidik yang Bermartabat

Perhatikanlah murid-murid kita! Ya, mereka anak-anak peradaban. Anak-anak didik kita. Tubuh-tubuh yang mulai tumbuh itu ketika mereka berlarian, bercanda riang, tertawa renyah, menjerit pecah, kadang berantem, kadang akrab, kadang berselisih, kadang berkelakar.. dstnya. Mereka sangat ahli membuat asrama, rumah mereka di sekolah seperti kapal pecah, membuang sampah seenaknya, mengacak-acak tempat tidur, menarik sprei dan sarung bantal, menjadikan bantalnya untuk perang-perangan, saling lempar, saling gebuk, menjungkirbalikan kursi, menarik taplak meja di kelas, menempelkan upilnya di dinding, meja & kursi sekolah, sehingga merangkai mozaik yang "keren", kreatif dll.

Mungkin tidak ada properti yang awet dan tahan lama di sekolah kita, tidak ada inventaris yang bertahan lama, tidak ada dinding yang luput dari coretan kreatifnya, tidak ada perlengkapan kebersihan yang tidak patah, lecet, dan penyok akibat ulahnya, tidak ada benda yang diam, semua barang-barang senantiasa berpindah tempat dan susah dicari dstnya. Tidak ada isi lemari yang bisa tersusun rapih, semua di "aduk-aduk" tanpa kecuali.

Anak-anak kita yang luar biasa memusingkan dan kadang menyebalkan itu, sesungguhnya adalah calon khalifah (pemimpin) di muka bumi, yang dititipkan kepada kita, hanya bentuk dan ukurannya yang masih kecil saja. Biarkan mereka tumbuh alamiah, jujur apa adanya di hadapan kita. Merekalah tamu peradaban termulia di rumah kita dan sekolah kita.

Jangan terburu ingin melihat status sholeh anak-anak kita dengan melihatnya duduk manis, patuh, diam di tempat dengan kondisi kelas, asrama atau kamar yang kinclong bersih. Mereka yang baru belajar arti memiliki tanggungjawab, jangan diperlakukan seperti orang dewasa. Setelah usia mereka cukup matang, mereka perlahan akan memahami nilai-nilai kebenaran sebagai bagian dari fitrah keimanannya. Sabaaar, sabaaar, dan rileks. Jangan terburu-buru emosi..

Jangan khawatir, mereka tidak pernah berniat merusak ‘sarang-nya’ sendiri kok untuk bermetamorfosa, sama halnya tak mungkinnya mereka menghancurkan rumah kedua orangtuanya sendiri, mereka cuma sedang ber-eksperimen sebagai pertanda fitrah belajarnya tumbuh sehat. Pada saatnya, calon khalifah ini juga akan tahu nilai-nilai, karena sudah Allah tanamkan di dada mereka. Kita cuma perlu rileks dan ridha, syukur dan sabar. Tidak akan lama. Rumah peradaban kita akan sepi dan beku sepeninggal tamu zaman termulia ini manakala ia tumbuh dewasa.

Karena sesungguhnya para khalifah kecil yang suka kita pelototi, marahi mungkin cubiti, atau tanpa sengaja mereka mengamati teriakan-teriakan stres kita akibat ketidaksabaran kita, ketergesaan kita dstnya, adalah ciptaan-Nya yang disetting sebagai makhluk paling mulia di muka bumi.

Khalifah yang masih berukuran mini ini akan menjadi besar kelak, lalu seperti apa khalifah yang lahir dari rumah peradaban kita? Khalifah yang menumpahkan darah dan berbuat kerusakan? Atau Khalifah yang menebar rahmat dan perbaikan?

Semua tergantung lisan, mata, telinga, hati dan tangan serta kaki kita, orangtuanya, gurunya, pembinanya atau mentornya sebagai orangtua biologis atau ideologisnya. Fitrah mereka sudah Islam, sudah lurus hanya perlu dirawat dan dikembangkan saja. Jangan coba-coba merubah fitrahnya, maka mereka akan menyimpang dari takdir perannya, dari panggilan hidupnya.

Sungguh tersimpan dalam renyah tawa dan rengekan tak jelas itu, peran-peran peradaban yang sudah ditakdirkan Allah padanya. Tidak ada peran buruk yang Allah takdirkan bagi manusia, kecuali manusia merubahnya. Maka sentuhlah dengan lembut, belailah dengan sholawat, haluskan akhlak kita di hadapan mereka, jangan lukai jiwanya karena akan membuat luka peran peradabannyanya kelak.

Jiwa-jiwa yang berperan memuliakan manusia dan alam berangkat dari fitrah dan karakter yang dimuliakan tumbuhnya. Sungguh BERHASIL mereka yang memahaminya.

Kita-kita yang diberi amanah merawat fitrah anak-anak kita, tidak perlu dilebihi dan jangan dikurangi sedikitpun. Jangan ceroboh, ingat bahwa mereka, adalah khalifah di muka bumi, hanya bentuknya dan ukurannya masih kecil saja. 

Maka rawatlah fitrahnya, karena fitrahnya seperti benih yang perlu disirami dengan kasih sayang, penuh dekapan cinta, konsistensi yang berangkat dari kesyukuran, kesabaran dan optimisme sehingga benih itu akan tumbuh besar sebagai pohon yang kokoh (syajarotun thoyyibah), dimana dahan yang menaungi serta buah yang lezat dari pohon itu adalah peran guru peradabannya.

Sederhana merawatnya karena semuanya sudah ter-install, namun jika nafsu dan obsesi kita dominan maka urusannya bisa kacau dan bahaya. Kalau sudah paham maka hati-hatilah, pastikan kita selalu mengawalnya sampai menjelang usia balighnya. 

Ingatlah selalu bahwa Allah tidak akan memanggil mereka yang mampu, tetapi Allah akan memampukan mereka yang terpanggil. Maka, temanilah dan doronglah anak-anak kita untuk memenuhi panggilan Tuhannya, yaitu peran sebagai pengisi peradaban yang akan datang sesuai fitrahnya, maka Allah akan memampukan mereka. Penuhilah juga panggilan Allah kepada kita untuk mendidik mereka, maka yakinlah Allah akan memampukan kita.

#Salam sukses dari ayah ideologis anak-anak peradaban.

M. Ibrohim - Alkausar Head Dormitory Sukabumi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar