Asal mula terjadinya perintah khitan (curcumcisio) terdapat dalam Taurot; Kejadian, 17: 11-14
"Haruslah dikerat kulit khatanmu dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu."
"Anak yang berumur delapan hari haruslah disunat, yakni setiap laki-laki di antara kamu, turun-temurun: baik yang lahir di rumahmu, maupun yang dibeli dengan uang salah seorang asing, tapi tidak termasuk keturunanmu."
"Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang harus disunat; maka dalam dagingmulah perjanjianKu itu menjadi perjanjian yang kekal."
"Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerat kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya: ia telah mengingkari perjanjianKu."
Dari Perjanjian Alloh ini kita menjadi tahu bahwa batas-batas hukumnya ialah:
1. Alloh memerintahkan adanya tanda perjanjian dalam tubuh fisik kita;
2. Yang diwajibkan berkhitan adalah anak laki-laki yang alat kelaminnya berkulup. (Tentang usia, rerata 8 hari. Sedangkan Isma'il putra nabi Ibrohim telah berusia 13 baru dikhitan, karena baru saja diturunkan perintah khitan itu);
3. Perjanjian khitan berlaku kekal;
4. Yang melanggar perjanjian ini dihukum penumpasan.
Dilihat dari hikmahnya, oleh sebab kulup itu menutupi jalan keluarnya kencing yang najis, maka khitan itu memudahkan penyuciannya. Sedangkan jika tetap berkulup, berpotensi menumpuknya kuman dan bakteri tersembunyi di dalamnya dan menyebarkan penyakit.
Segi Etnologi
Banyak kaum etnologi mengatakan bahwa khitan dari ajaran nabi Ibrohim as itu berasal dari pengaruh suku primitif di Afrika, Australia, Irian Jaya, dan Kalimantan menjalankan adat melukai kulit itu sesuai tujuan dan tradisi dari nenek moyang; ada yang berkaitan dengan batas kedewasaan atau lainnya.
Kalau perintah khitan sejak nabi Ibrohim itu dianggap sebagai penerus atau tiruan dari tradisi suku-suku sebelumnya di Babilon dan Assur di mana Ibrohim berkediaman sebelumnya, hal ini dibantah oleh Kaj Birket-Smith dalam bukunya, karena di sana tidak terdapat peninggalan tradisi tatuasi dan penyunatan.[1]
"Terjagalah, terjagalah!
Kenakanlah kekuatanmu seperti pakaian, hai Sion!
Kenakanlah pakaian kehormatanmu, hai Yerusalem, kota yang kudus!
Sebab tidak seorang pun yang tak bersunat atau yang najis akan masuk lagi ke dalammu. (Yesaya, 52: 1)
Terus-menerus Aku telah mengutus kepadamu semua hambaKu, para nabi, dengan mengatakan: Janganlah hendaknya kamu melakukan kejijikan yang Aku benci ini! (Yeremia, 44: 4)
Golongan Inkarussunnah (Penolak Hadits Nabi)
Sekitar tahun 1975, Penulis kedatangan seorang keturunan Arab dari Pasar Kliwon (Solo) yang menanyakan kepada Penulis, apakah bersedia menerima tamu dari golongan inkarussunnah. Dan Penulis jawab, "Bersedia".
Esok harinya betul, tibalah seorang keturunan Arab yang berbadan tinggi dan besar, dan kemudian dalam wawancara itu dia menyampaikan pendapatnya, demikian:
"Kita bersama tahu bahwa Alloh adalah Maha Cinta Kasih, seperti bacaan Basmalah, perlukah kita masih diwajibkan menjalankan khitanan?
Perintah Alloh dalam Al Qur'an toh tidak ada. Kami tidak mengikuti hadits nabi, sebab sudah tercakup nasehatnya bahwa akhlak nabi adalah Al Qur'an.
Sesungguhnya kasihanlah seorang anak dikhitan keluar darah dan menderita beberapa minggu kesakitan. Dalam hadits pun hanya disebut salah satu fitrah setingkat dengan cabut rambut ketiak, cukur rambut kepala, potong kuku, dan sebagainya."[2]
Jawaban di sini Penulis singkat menuju masalah khitan saja, tidak perlu membahas soal sholat 5 waktu dan lain-lainnya. Di antaranya Penulis tanggapi demikian,
"Saudara adalah seorang Arab. Apakah Saudara tahu bahwa bahasa Ibrani adalah mendahului bahasa Arab sebagai rumpunnya?
Saudara tentu tahu bahwa dalam Al Qur'an terdapat beberapa ayat yang menyebutkan kata millah atau millata Ibrohima. Kata ini sering dikaitkan dengan perintah ittabi', artinya: Turutilah! Millah ini oleh umat Islam biasanya diberi makna 'agama'. Kami telah membaca beberapa buku teologi Yahudi dan Nasrani yang menunjukkan makna kata Ibrani, millah adalah khitan. Boleh jadi karena yang paling menonjol dalam syari'at Ibrohim itu soal khitan semata-mata, maka dari kebiasaan yang terus-menerus dan turun-temurun, berkembanglah maknanya menjadi agama.
Jadi, apabila kita menyadari keaslian makna millah itu khitan, maka secara langsung Al Qur'an juga mengandung perintah khitan, sebab antara Ibrani yang menjadi bahasa harian nabi Ibrohim as dan bahasa Arab tidak perlu ada perbedaan."[3]
Dengan keterangan Penulis tersebut, tamu Arab itu Penulis duga kemudian menjadi sadar kembali seperti amalan umat Islam. Belakangan Penulis pernah menanyakan kepada seorang rekannya perihal sikap tamu Arab itu, dijawabnya sudah kembali seperti Muslim lainnya. Alhamdulillah.
Bani Isroil
Seluruh umat Bani Isroil mematuhi hukum khitan dari ajaran Taurotnya rata-rata dengan patuh, sebab tanda dalam tubuh itu (bekas khitan) bisa merupakan dorongan kekeluargaan yang kuat yang membawakan rasa solidaritas bersama. Di dalam sejarah dapat dibaca bagaimana beberapa nabi menghayati hukum khitan itu, diantaranya:
1. Nabi Musa as.
a. Ketika nabi Musa berusia 40 tahun, ia pergi ke Madyan, di mana ia mengabdi kepada nabi Syu'aib alias Yethro (dalam Taurot) 40 tahun pula dan dinikahkan dengan anaknya yang bernama Zapiro.
Setelah usia 80 tahun, Alloh memerintahkan agar nabi Musa kembali ke Mesir untuk menolong umatnya di sana. Karena putranya ada yang belum dikhitan, dan diancam oleh Alloh untuk dicabut nyawanya. Cepat-cepatlah Zipora bertindak seperti tersebut dalam Taurot - Keluaran, 4: 25 demikian:
Lalu Zipora mengambil pisau batu, dipotongnya kulit khatan anaknya, kemudian disentuhnya dengan kulit itu kaki Musa sambil berkata, "Sesungguhnya engkau pengantin darah bagiku."
Mengapa waktu itu untuk mengkhitani anak menggunakan pisau batu? Apakah belum ada pisau besi, ataukah batu itu lebih tajam? Ataukah menurut aturan pada saat itu harus menggunakan pisau dari batu itu meski harus dikerat walaupun alot kulupnya? Apakah pada waktu itu tidak ada anak yang pingsan mengingat pisaunya hanya terbuat dari batu?
b. Menjelang keberangkatan seluruh rakyat Bani Isroil ber-exodus (hijrah besar-besaran) keluar dari Mesir ke tanah yang dijanjikan, yaitu Kan'an, Alloh memerintahkan upacara Paskah 7 hari dengan makan sehari-harinya daging bakaran dari anak domba muda dan roti tanpa ragi. Dan Alloh memberikan janji akan memperkuat barisan Bani Isroil itu didalam perjalanan berikutnya untuk menghadapi berbagai suku yang melawannya.
Untuk mengikuti makan bersama Paskah ini, semua peserta harus sudah berkhitan, maka dijalankan khitanan massal.
Tetapi apabila seorang asing telah menetap padamu dan mau merayakan Paskah bagi Tuhan, maka setiap laki-laki yang bersama dengan dia wajiblah disunat; barulah ia boleh mendekat untuk merayakannya; ia akan dianggap sebagai orang asli. Tetapi tidak seorang pun yang tidak bersunat boleh memakannya. (Keluaran, 12: 48)
c. Sebelum nabi Musa wafat di atas gunung Nebo, telah diangkat Yusya' sebagai penggantinya, yaitu bekas abdinya yang setia. 40 tahun Bani Isroil merantau di padang Tiah dalam perjalanan mengembara makan sehari-harinya hanya manna yang turunkan Alloh dari langit.
Setelah sampai di Kan'an, Alloh memerintahkan kepada nabi Yusya':
"Buatlah pisau dari batu dan sunatlah lagi orang Israel itu untuk kedua kalinya." (Yusya', 5: 2)
Yusya' kemudian menyunati semua rakyatnya yang dalam perjalanan 40 tahun. Karena setelah menginjak tanah Kan'an itu, segala persiapan keagamaan harus diperbarui.
2. Nabi Yesaya (700 SM)
Dalam kitab Perjanjian Lama, dari nabi ini hanya didapat suatu kesan bahwa yang berhak masuk ke Ka'bah Yerusalem harus orang yang sudah berkhitan dan suci (tidak najis). (Yesaya, 52: 1)
3. Nabi Yeremia (600 SM)
Alloh bersabda kepada nabi Yeremia:
"Sunatlah dirimu bagi Tuhan, dan jauhkanlah kulit khatan hatimu, hai orang Yehuda dan penduduk Yerusalem, supaya jangan murkaKu mengamuk seperti api, dan menyala-nyala dengan tidak ada yang memadamkan, oleh karena perbuatan-perbuatanmu yang jahat!" (Yeremia, 4: 4)
Di sini juga ditegaskan bahwa khitan jasmani dan ruhani untuk menertibkan kesucian dan kebersihan badan, dan bagi kemurnian keikhlasan hati. Sebab Bani Isroil sudah dikenal suka rewel dan mengomel, keras kepala pula.
4. Raja Antiochus (176-164 SM)
Raja keturunan Yunani penjajah Syria yang beristana di Antiokia bernama Antiochus IV Epyphanus terkenal kekejamannya karena ia merencanakan penghapusan segala bentuk yang berbau Yahudi untuk diganti dengan Hellenisme secara mutlak. Ia melarang segala upacara khitanan, hari Sabat dan hari-hari raya lainnya.
Ka'bah Yerusalem dijadikan sebagai tempat pemujaan dewa bapak Zeus dari gunung Olympus, sebuah altar dewa Zeus dipasang atas altar korban Yahudi. Di mana-mana didirikan altar Yunani dan ditempatkan petugas-petugasnya untuk menggiring rakyat memuja dewa-dewanya. Maka timbullah pemberontakan kaum Yahudi yang terkenal dengan gerakan Makkabi dan berhasil merebut kemerdekaan. Jadi, penodaan berupa larangan berkhitan bisa menambah semangat perjuangan mengatasi penjajahan Yunani di Yerusalem.
5. Nabi Isa Al Masih (abad I M)
Ada dua ayat Injil yang menunjukkan bahwa Al Masih menunjukkan dirinya tetap patuh mengamalkan segala hukum Taurot sampai detail.
a. Sabdanya dalam Matius, 5: 17-18
"Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurot atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya."
"Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurot sebelum semuanya terjadi."
Ayat ini menegaskan bahwa Al Masih benar-benar konsisten hingga semuanya bisa dijalankan. Artinya, semuanya telah dipenuhi hukum syari'atnya.
b. Al Masih mengingatkan hukum khitan dari Musa yang berasal dari nabi Ibrohim as, juga memperingatkan bahwa khitanan tidak perlu dijatuhkan pada hari Sabat. Lagi, nabi itu membolehkan amal penyembuhan pada hari Sabat yang memang ada larangan untuk kerja pada hari itu. Demikian sabdanya dalam Yohanes, 7: 22-23
Jadi: Musa menetapkan supaya kamu bersunat -sebenarnya sunat itu tidak berasal dari Musa, tapi dari nenek moyang kita- dan kamu menyunat orang pada hari Sabat!
Jikalau seorang menerima sunat pada hari Sabat, supaya jangan melanggar hukum Musa, mengapa kamu marah kepadaKu, karena Aku menyembuhkan seluruh tubuh seorang manusia pada hari Sabat.
Ajaran Al Masih tersebut perlu kita ketahui sebab apakah kamu Nasrani di Barat tidak menjalankan khitanan, sedang Al Masih menunjukkan kepatuhannya terhadap Taurot?
6. Paulus Orang Yahudi Termakan Mistik Stoa
Paulus, nama Yahudinya adalah Saul. Lahir di kota Tarsus di Asia Kecil, anak dari seorang amtenar pemerintah Romawi yang sejak tahun 63 menjajah Yerusalem.
Pada masa kecilnya di kota itu terdapat suatu padepokan mistik Stoa yang gurunya bernama Athenodorus, rekan dan sekaligus guru kaisar Augustus. Jadi, guru itu cukup tersohor, apalagi tiap tahun diadakan pesta peringatan bagi mendiang tokoh guru tadi.
Pada masa remajanya, Paulus belajar di padepokan imam Gamaliel yang mengajar isi kitab Taurot dari golongan Parisi yang suka berdalil ayat kitab suci. Paulus yang sangat dewasa dididik dengan fanatisme agama Yahudi, namun ia juga mengerti aliran filsafat Yunani yang bermazhab Stoicisme dari sinisme yang pada suatu saat sifatnya bisa berbalik haluan.
Sepanjang ia masih belajar di pondok Gamaliel, tentu ia tak pernah melihat atau berjumpa dengan nabi Isa Al Masih, meski hidup sebaya.
Paulus yang latar belakang pengalamannya mengandung aneka ragam pandangan itu dianugerahi lancar bicara dan mudah meniru dialek-dialek bahasa populer Yunani.
Oleh karena seluruh ajaran Paulus diikuti oleh kaum Gereja, maka banyak pendapatnya tentang khitan yang menyebabkan kaum Nasrani Eropa cenderung memilih ajaran Paulus dibanding ajaran murid Al Masih, diantaranya sebagai berikut:
1) Nasib kaum Yahudi yang sering memberontak dan ditindas. Oleh rezim Yunani, kaum itu telah ditindas (Antiochus) pada abad II SM. Pada abad Masehi pertama pemberontakannya ditindas oleh tentara Romawi di bawah panglima Titus pada tahun 70, sehingga Ka'bah Yerusalem dihancurkan secara total.
2) Rezim Yunani. Rezim tersebut berusaha me-Yunani-kan kaum Yahudi. Dan ternyata pada kemudian hari Hellenisme diteruskan oleh bangsa Romawi, hingga penganiayaan yang bertubi-tubi itu mendorong kaum itu untuk terpaksa hidup terus dalam arus kebudayaan itu, termasuk aliran Stoa.
3) Stoicisme. Stoicisme yang tumbuh sejak beberapa abad sebelum Masehi, kemudian diperkembang dengan gagasan-gagasan Paulus yang mistiknya terfokus kepada Kristus (kristo-sentris pada abad I M), lalu disambut oleh aliran Gnosticisme (abad II) yang menolak segala yang berbau hukum Taurot untuk mengkhususkan kepada doktrin Paulus semata. Selanjutnya diperkembang dengan neo-Platonisme, disusul dengan Montanisme dengan idenya menyusun hierarchi pejabat kegerejaan. Manicheisme (filsafat Persi) yang menyuburkan trinitas, pada akhirnya diperkaya dengan tradisionalisme agama misteri (penyembah dewa-dewa yang dipatungkan) yang dipertahankan oleh kaisar Konstantin (288-237 SM) terutama dari tradisi penyembahan dewa Mithra dari Persi kemudian sampailah pada benruk Kristianisme. Sedang Konstantin sendiri merintis sikap antisemitisme yang berkepanjangan sampai pada pertengahan awal abad XX akhir-akhir ini.
Perlu dipahami kiranya tentang karakteristik golongan mistik Stoicisme -yang telah Penulis kumpulkan data-datanya dari berbagai buku karangan seorang teolog Belanda- yang biasanya dianggap radikal penemuannya oleh para teolog konservatif. Dia adalah Prof. DR. G. A. Van de Bergh van Eysinga yang telah berhasil membuat evaluasi pendirian Paulus, satu demi satu. (Bisa dibaca dalam buku "Nabi Palsu"). Tetapi kita di sini cukup membaca pendapat para teolog Katholik tentang kondisi mental ideologi Paulus serta mentalitas pribadinya.
Oleh buku Katholik, "Kitab Suci Perjanjian Baru" diterangkan bahwa:
Memanglah Paulus adalah seorang Yahudi, tetapi seorang Yahudi yang memiliki bagian kebudayaan Yunani cukup besar. Mungkin ini mulai diperolehnya semasa mudanya di Tarsus dan kemudian di perkaya karena Paulus sering berjumpa dengan dunia Yunani-Romawi. Pengaruh dari kebudayaan Yunani itu tercermin baik dalam jalan pikiran Paulus maupun dalam bahasa serta gaya bahasanya. Ada kalanya Paulus mengutip penulis-penulis Yunani, 1Kor 15:33; Tit 1:12; Kis 17:28, dan ia pasti mengenal filsafat populer yang berdasar atas mazhab Stoa; dari padanya ia meminjam gagasan-gagasan (misalnya: perginya jiwa yang terpisah dari badan ke dunia ilahi 2Kor 5:6-8; "pleroma" kosmis, Kol dan Ef) dan rumus-rumus tertentu (1Kor 5:6-8; Rom 11:36; Ef 4:6). Dari mazhab Stoa yang berhaluan sinis Paulus mengambil alih apa yang disebutkan sebagai "diatribe (kecaman tajam)."[4]
Juga buku Katholik lainnya, Injil, tentang kelemahan Paulus, yakni:
Sering pula dalam perangkaian kalimat, terlebih kalimat yang berbelit-belit atau unsur bahasa lain, sangat menghambat dan mengganggu pembacaan dan boleh dikatakan berlawanan dengan bahasa yang teratur.[5]
Bahasa Paulus jarang tenang, biasanya hidup dan bersemangat. Tetapi dengan itu juga sering berbelit dan kabur.[6]
7. Doktrin Paulus
Sekarang kita membaca tulisan Paulus sendiri sampai berapa jauh kekaburannya dalam bidang khitan yang dibelokkannya dari fungsi semula dari perintah Alloh dalam Taurot dan perjalanan nabi Isa sendiri.
a. Anggapan sepi terhadap perintah khitan
Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru itulah yang ada artinya. (Galatia, 6: 15)
Kalau seorang dipanggil dalam keadaan bersunat, janganlah ia berusaha meniadakan tanda-tanda sunat itu. Dan kalau seorang dipanggil dalam keadaan tidak bersunat, janganlah ia mau bersunat. (1Korintus, 7: 18)
Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting ialah mentaati hukum Allah. (1Korintus, 7: 19)
Paulus berarti mengajarkan dualisme negatif dalam agama dan mengerti bahwa khitan adalah hukum Alloh, namun ia membuatnya abstrak dan menganggapnya tak berharga dengan ungkapan kata-katanya, "tidak apa-apa" menjadilah simpang siur. Di satu tempat menganjurkan khitan, sedang di tempat lain melarangnya. Antara kebudayaan yang berbeda dan tentang larangan agama juga boleh dibuat permainan malah dijadikan satu ajaran dalam agamanya. Aneh tapi nyata, namun itu tidak dibenarkan.
b. Amalan nabi Ibrohim as di otak-atik
Paulus menulis:
Adakah ucapan bahagia ini hanya berlaku bagi orang bersunat saja atau juga bagi orang tak bersunat? Sebab telah kami katakan, bahwa kepada Abraham iman diperhitungkan sebagai kebenaran. (Roma, 4: 9)
Dalam keadaan manakah hal itu diperhitungkan? Sebelum atau sesudah ia disunat? Bukan sesudah disunat, tetapi sebelumnya. (Roma, 4: 10)
Di sini tampak Paulus tidak mau mengerti bahwa sesudah beriman lalu diharuskan menjalani khitan sebagai konsekuensi itu dikebirinya. Memang tampak getolnya untuk mempengaruhi bangsa asing (Yunani dan Romawi) agar mengikuti doktrinnya, bukan diperuntukkan bangsa Yahudi sendiri. Di mata orang asing dan kafir, khitanan itu memang bisa dianggap sebagai perbuatan mengalirkan darah yang tiada berfaedah atau tampak kejam. Memang suatu ujian bagi orang beriman.
c. Khitan hati yang dipilih
Khitan yang ia pilih ialah bukan khitan tubuh (daging kulup) yang diperintahkan Alloh. Ia menulis:
Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara ruhani, bukan secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah. (Roma, 2: 29)
Jelaslah bahwa Paulus sengaja mengebiri khitan tubuh untuk disisakan yang khitan hati; suatu perbuatan memilih enaknya sendiri. Maklumlah, telah termakan ilmu mistik filsafat Yunani.
d. Sengaja melanggar hukum khitan
Sesungguhnya aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu. (Galatia, 5: 2)
Di sini nama dirinya tampaknya dibuat menggertak, karena memandang adanya sekelompok orang yang akan melaksanakan khitan. Suatu gejala yang menunjukkan pahamnya yang sudah fanatik Stoicisme mistis.
e. Paulus pernah mengkhitani
Paulus pernah mengkhitani anak seorang perempuan Yahudi yang suaminya seorang Grik bernama Timotius. (Kisah Rasul, 16: 3)
Memang ia pernah mengatakan, di kalangan golongan bersunat ia bertindak seperti golongan berkhitan, sedang dalam lingkungan orang yang tak berkhitan ia mengikuti arus tanpa khitan.
Sikap plin-plan ini sering ditemukan di kalangan mistik yang mengutamakan ma'rifat dan hikmah untuk meninggalkan hukum syari'at. Seperti Paulus dengan tersalibnya Kristus yang dianggapnya sebagai penebus dosa, maka hukum syari'at Taurot sudah digantikannya. Paulus berkata:
Supaya hati mereka terhibur dan mereka bersatu dalam kasih, sehingga mereka memperoleh segala kekayaan dan keyakinan pengertian, dan mengenal rahasia Allah, yaitu Kristus. (Kolose, 2: 2)
Sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan. (Kolose, 2: 3)
Di sinilah Paulus berlindung pada kata ma'rifat dan hikmat yang bertumpu pada diri Kristus. Itu artinya, Kristo-sentris. Bermistik Kristo-sentris ini bisa dibaca gejalanya dalam ucapannya yang bernada Pantheisme:
Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diriNya untuk aku. (Galatia, 2: 20)
f. Khitan diganti dengan baptisan
Paulus menulis:
Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keAllahan. (Kolose, 2: 9)
Dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia. Dialah kepala semua perintah dan penguasa. (Ayat 10)
Dalam Dia kamu telah disunat. Bukan dengan sunat yang dilakukan manusia, tetapi dengan sunat Kristus yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa. (Ayat 11)
Karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah yang telah membangkitkan Dia dari orang mati. (Ayat 12)
Dengan tulisan Paulus ini, kedudukan Alloh sudah ditempatkan lebih rendah daripada Kristus yang dipujanya. Karena dinyatakan wujud Alloh berlembaga terhimpun dalam Kristus.
Soal pembaptisan ini -bila kita teliti- asal mulanya dan membaca buku karangan DR. Max Carry dan DR. T. J. Haarhoff, "Leven en Denken in de Klassieke Wereld" setelah menyatakan bahwa 25 Desember hari kelahiran dewa Mithra, kemudian menerangkan demikian:
"De aanhangers van Mithras kenden ook een doop en een confirmatie; pengikut dewa Mithra kenal juga pembaptisan dan sumpah penguatan."[7]
Baptisan sering juga disebut "pemandian" yang di kalangan Yahudi dilakukan ketika menerima mu'allaf dari konversi agama, dijalankan dengan penyelupan tubuhnya dalam air. Yang terkenal dalam Injil adalah Al Masih dibaptis oleh nabi Yahya Pembaptis. Artinya, Al Masih dipermandikan dalam kali Yordan.
Berbagai mazhab Gereja masing-masing berbeda cara dalam mengadakan pemandian. Ada yang dibaptis diharuskan menyelam dalam air bak sedalam hampir setinggi orang; ada lagi dengan memilih kali yang dianggap cocok. Sedang golongan Reformasi cukup dengan usapan air seperlunya, dan Katholik dengan usapan minyak khusus.
g. Kebiri dengan membuang kedua bola berikut kantongnya
Perbuatan mengebiri orang laki-laki ini biasanya ditemukan pada abad yang lampau dan sebelumnya, terutama di istana untuk menjaga putri-putri di keraton atau penjaga berbagai tempat suci atau kuil.
Dalam Injil Matius, Al Masih as menerangkan berbagai motivasi pengebirian,
Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti, hendaklah ia mengerti. (Matius, 19: 12)
Ayat ini mengingatkan Penulis sekitat tahun 1963 diminta oleh seorang mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang untuk berdialog dengan Pendeta Katholik yang sarjana/insinyur keturunan Perancis bernama Ir. Frans Dahler yang menjabat dosen di Undip.
Pada kenyataannya seolah-olah Penulis hanya ikut mendengarkan pembicaraan antara mahasiswa dengan Pendeta itu yang sama-sama bersemangat berargumen.
Pertanyaan-pertanyaan mahasiswa diantaranya adalah, "Sebab apakah orang Katholik banyak yang suka hidup kependetaan secara wadat?" Oleh di Pendeta, diambilkan dari ayat Matius tersebut.
Pembicaraan begitu asyik, hingga waktu terasa cepat habis. Dan Penulis sendiri belum mendapat giliran untuk memberi tanggapan.
Dalam perjalanan pulang, Penulis hanya memberitahukan kepada mahasiswa, bahwa Pendeta tadi tidak tepat menggunakan ayat itu untuk membela kepentingan hidup wadat kependetaan. Pertama, Pendeta tidak menjalani kebiri. Lagi pula ayat Injil itu tidak mengarah kepada arti kependetaan. Dan sabda Al Masih bukan merupakan perintah untuk diamalkan, hanya berupa pemberitaan saja bahwa ada 3 macam terjadinya kebiri.
Kalau diteliti asal mulanya kependetaan di kalangan Gereja adalah lewat aliran Stoa mazhab Sinisme yang berasal dari pengaruh filosuf Pythagoras (570-507 SM) dan filosuf ini mendapat pengaruh dari Persia dan India.
Paulus menulis demikian
Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku. (1Korintus, 7: 8)
Pada umumnya orang hidup sebagai rahib bertujuan untuk mencapai ketinggian nilai moral dengan memperbanyak puasa, hidup wadat serta renungan semedi di tempat yang sepi atau meninggalkan kesenangan kehidupan dunia. Akan hal ini, Alloh telah menyatakan bahwa sistem kerahiban itu bukan berasal dari ajaran Alloh,
"Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rosul-rosul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rohbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhoan Alloh, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. Al Hadid [57]: 27). Dan nabi Muhammad saw telah melarang perbuatan asketisme (kependetaan) yang hampir saja akan dijalankan Abu Darda'.
Semestinya makalah ini dilengkapi dengan perbuatan Paulus yang banyak diceritakan oleh muridnya -Lukas- tentang mu'jizat-mu'jizatnyavyang tampak kabur, tampangnya, perangai, dan kemegahannya serta wangsit yang disebut "wahyu Kristus".
Demikianlah persoalan perintah khitan yang mengalami westernisasi (helenisasi dan romanisasi), namun oleh Islam dikembalikan kedudukannya sesuai proporsi semula. Yang berhasil mengembalikannya bukan yang pandai membaca dan tulis seperti Ahli Kitab, bahkan sebaliknya yang tergolong ummi. Ialah nabi Muhammad saw yang ummi dari bangsa Quroisy demi untuk membuktikan eksistensi Alloh secara konkrit. Tetapi yang mampu membaca dan menulia justru mengebiri kontinuitas ajaran Alloh berabad lamanya. Hal ini baru masalah khitan saja. Ada lagi yang lebih gawat adalah yang menyangkut masalah ketuhanan.
Al Masih tegas-tegas menjelaskan bahwa orang yang menyeru dirinya dengan seruan: "Tuhan, Tuhan! Tidak akan masuk Kerajaan Sorga" sebagaimana yang tercantum dalam Matius, 7: 21. Namun ternyata Paulus bahkan mengajarkan bahwa, "Yesus Kristus adalah Tuhan", dan Alloh disebutnya Bapa (Filipi, 2: 11), hingga bisa merusak kedudukan eksistensi Alloh yang Maha Suci. Seolah-olah Paulus bisa dianggap seperti mengajak untuk tidak masuk surga saja.
Kesimpulan
Demikianlah nasib ajaran Alloh yang harus dijaga kesuciannya, karena sudah direncanakan akan berlangsung utuh murni, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa pengaruh kebudayaan Barat, Hellenisme, dan dominasi Romawi yang selamanya masih dijunjung tinggi oleh bangsa Barat lebih dominan. Layaklah dalam agamanya orang Barat itu banyak mengandung penyimpangan, perubahan, dan pengurangan terhadap keaslian wahyu yang diajarkan oleh Alloh lewat nabi-nabi. Maka bagi bangsa Timur yang ikut-ikut memeluk agamanya orang Barat dengan mengikuti apa saja yang diajarkan orang Barat tanpa mengerti mana yang asli, mana yang tidak, apa itu kritik ayat atau sumber tradisi polytheism dan filsafat yang serba spekulatif. Terjadilah korban westernisasi. Orang Barat pun tidak akan sempat membuka rahasianya. Walhasil, kontinuitas dengan nabi-nabi sendiri oleh orang Barat sangat kurang diberitahukan, meskipun ada kemampuan untuk memberitahukan soal itu semua.
Surakarta, 8 Juni 1985
Ky. Arkanuddin
______________
[1] Kaj Birket-Smith. De Weg der Beschaving; Inleideing tot de Ethnologie. (Antwerpen Amsterdam: Ditmar NV, 1950), page 172.
[2] Ky. Arkanuddin. Wawancara di rumah Penulis di Priyobadan 13, Solo. Januari-Desember 1975.
[3] ibid
[4] Kitab Suci Perjanjian Baru. (Ende-Flores: Penerbit Nusa Indah, 1974), hal. 340.
[5] Injil, (Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1965), hal. 530.
[6] ibid., hal. 527.
[7] DR. Max Carry dan DR. T. J. Haarhoff. Leven en Denken in de Klassieke Wereld. (Antwerpen: Utrecht Aula Boeken, 1964), page 400.
anehnya tuh sngtluar biasa dikitsb kitab suci mereka yg hari ini mereka yakini percayai banyaknya ayt ayat menjelaskan diperintahkannya untuk berkhitan sunat mengapa seleuruh umat yg memepercayai yesus tdk ada satu pun ysng melaksanakannya tdk ada satu pun yang disunat? malahan semua Umat Rasulullah yg disunat iyaa kana aneh sekalii sungguh aneh???!!! ��������
BalasHapusBeberapa alasan mengapa orang Kristen tidak sunat (diambil dari sudut pandang Kristen):
Hapus1. Yesus sudah dikhitan, maka cukup mewakili umatnya (umatnya tidak perlu khitan).
2. Pembaptisan dianggap sebagai pengganti khitan.
3. Khitan bukan hal prinsip dalam beragama.
4. Orang yang sudah dikhitan wajib melaksanakan seluruh hukum Taurot.
5. Anggapan Tuhan lebih melihat khitan di hati daripada di fisik.
Menurut saya yang di maksud khitan yang sebenarnya bukanlah yang berkaitan dengan darah dan daging. it's just symbolic. Tapi yang sebenarnya Khitan ialah bagaimana hidup kita di dalam Tuhan,apakah kita hidup dalam Tuhan in everything luar dan dalaman.dan pada masa itu Tuhan nak tunjukan kepada manusia,even pada waktu Yesus datang sebenarnya Dia mau menunjukan kepada manusia supaya manusia yang percaya kepadaNya make it different dari manusia lain.
BalasHapusBukan kita di sunat atau tidak,itu semua hanya berkaitan dengan darah daging saja.