Minggu, 20 Maret 2016

Muslim Memang Lebih Baik

Bahkan ketika diadu dengan sesosok jin yang dikenal cerdik, seorang yang punya interaksi sangat baik dengan firman Alloh swt masih lebih baik. Seperti yang pernah terjadi di zaman Nabi Sulaiman a.s.

Menyambut kedatangan Ratu Balqis yang didampingi sekira 12.000 tentaranya, Nabi Sulaiman a.s. mengadakan “sayembara” kepada para pejabat di lingkungan kerajaan. Siapa di antara mereka yang sanggup menghadirkan singgasana Ratu Balqis di Saba’ yang terletak kurang lebih 2.022 km jauhnya dari kerajaan Sulaiman a.s. di Yerussalem.

Kejadian itu terekam dalam Al-Qur’an surat An-Naml ayat 38 sebagai berikut: “Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.””

Lantas sesosok makhluk dari bangsa Jin yang dijuluki Ifrit menyanggupi. “Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.”” (QS. An-Naml: 39)

Seorang ulama dari generasi tabi’in, Mujahid bin Jabir memberi keterangan bahwa makhluk tersebut adalah jin pembangkang. Ia memberi garansi mendatangkan singgasana Balqis lebih cepat dari proses Nabi Sulaiman a.s. bangkit dari duduknya.

Tapi kiranya tawaran catatan waktu itu belum memuaskan Nabi Sulaiman a.s. Ia ingin yang lebih cepat lagi. Sayembara dilanjutkan, barangkali ada yang bisa lebih baik dari Jin Ifrit tadi.

Kemudian Ashif bin Barkhiya tampil. Untuk melakukan seperti yang diminta Sulaiman a.s., ia memerlukan waktu lebih cepat dari kejapan mata. Catatan waktu yang dijanjikan oleh lelaki yang dideskripsikan oleh Al-Qur’an sebagai “seorang yang mempunyai ilmu dari Alkitab” itu memuaskan Nabi Sulaiman. Dan ialah yang kemudian ditunjuk untuk mentransfer singgsana Ratu Balqis ke tengah istana Nabi Sulaiman.

Al-Qur’an dalam surat An-Naml 40 menceritakannya seperti berikut:
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.”” (QS. An-Naml: 40)

Dan ayat itu telah menyuratkan bahwa muslim lebih baik.

Kita mungkin tercengang dengan kemampuan jin yang bisa memindahkan singgasana yang besar dan tak terbayangkan beratnya sejauh ribuan kilometer dalam waktu sekejap. Tercengang, tapi tidak heran karena kita tahu bahwa bangsa jin memang punya kekuatan lebih dari golongan manusia. Namun rupanya manusia yang beriman kepada Alloh mampu mengungguli kehebatan jin tadi.

Muslim Lebih Baik
Ya, Al-Qur’an menyebut Ashif bin Barkhiya sebagai seorang yang memahami kitab suci. Di zaman itu beredar kitab Taurat dan Zabur, yang berlaku khusus hanya untuk Bani Isroil, dan belum mengalami distorsi oleh tangan manusia.

Kini Al-Qur’an lah yang berlaku untuk seluruh umat manusia. Kitab yang masih terjaga ini pun terkandung ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan anak Adam. Kalau Ashif bin Barkhiya yang membaca kitab Zabur saja bisa berkemampuan hebat, bagaimana lagi kita yang membaca Al-Qur’an?

Memang, kemampuan Ashif bin Barkhiya tadi tak kan turun kepada generasi selanjutnya karena mentok oleh doa Nabi Sulaiman a.s. yang meminta kekuasaan yang tak dimiliki oleh pihak lain. “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi.” (QS. Ash-Shood: 35). Dari jin hingga angin tunduk kepada Nabi Sulaiman a.s. (QS. Ash-Shood 36-38). Teknologi yang berlaku di kerajaannya tak kan bisa ditiru oleh kerajaan atau umat lain. Begitu juga kemampuan seperti memindahkan singgasana Ratu Balqis.

Namun hikmah dari kisah sayembara Nabi Sulaiman a.s. tadi adalah bahwa muslim yang berinteraksi dengan firman Alloh swt akan dikaruniai kemampuan yang lebih baik dari manusia lain di zamannya.

Islam mengajarkan manusia untuk memburu ilmu di sepanjang hayatnya. Dari buaian hingga liang lahat (Alhadits). Visi implementasi ilmu dalam Al-Qur’an adalah menembus angkasa dan menerobos kedalaman bumi (QS. Ar-Rohman: 33). Visi itulah yang memotivasi muslim untuk menjadi digdaya.

Selain menumbuhkan semangat penguasaan ilmu pengetahuan, Islam juga menyiapkan mental pemeluknya untuk menaklukkan dunia. Lalu bergaunglah perkataan hikmah: “Letakkan dunia di tanganmu, dan akhirat di hatimu.” Mental seorang muslim terbentuk untuk tidak akan diperbudak oleh dunia, tapi justru ia yang mengendalikan dunia.

Rujuk saja dalam sejarah! Bangsa yang tergila-gila dengan syair pada 15 abad yang lalu tadinya tak diperhitungkan dalam peradaban dunia. Mereka tinggal di tanah yang tandus di kelilingi padang pasir. Namun beberapa tahun setelah Rosululloh diutus membawa Al-Qur’an, Persia yang saat itu merupakan negara super power bisa ditaklukkan mereka. Bahkan wilayah Syam yang meliputi Palestina yang tadinya dikuasai negara super power lain, Romawi, juga bisa direbut. Hingga kekuasaan Islam mencapai 1/3 dunia.

Di abad pertengahan, saat Eropa masih menjadi wilayah yang gelap, di jantung pemerintahan Abbasiyah di Baghdad umat muslim bermalam hari dengan kerlap lampu cahaya kota. Saat itu orang-orang Eropa harus berguru kepada umat muslim untuk mendapatkan ilmu yang tak kan beredar di Eropa.

Hingga akhirnya berlaku ketetapan Alloh swt. bahwa masa kejayaan itu dipergilirkan. “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)” (QS. Ali Imron: 140). Kini kejayaan Islam hanya menjadi cerita. Seiring dengan melemahnya kesadaran kolektif umat Islam untuk mendalami kitab sucinya.

Pemimpin Muslim Lebih Baik
Di era sekarang, menjadi keterpurukan yang bertubi-tubi tatkala umat Islam lemah karena kesadaran Islam yang buruk, ditambah lagi penyakit inferiority complex yang dideritanya. Rasa percaya diri umat muslim dalam posisi yang amat rendah saat mereka tak yakin ada saudaranya yang mampu memimpin. Mereka terpesona pada non muslim yang sebenarnya kinerjanya sendiri biasa saja namun terbantu eksagregasi pemberitaan media.

Menjadi mayoritas di negeri ini, tentu tak sulit mendapatkan sesosok orang yang kompeten dan muslim yang baik untuk dijadikan pemimpin. Sayangnya dihembuskan ungkapan “Lebih baik pemimpin kafir yang jujur daripada pemimpin muslim yang korup.” Kalimat itu seolah menegaskan tak adanya pemimpin muslim yang jujur sehingga pilihannya hanya kafir yang jujur atau muslim yang korup. Kalimat tadi juga mengandung pembodohan dan penipuan.

Kalau benar muslim, maka seseorang tidak akan menjadi pendusta. Pernah Rosululloh saw ditanya, “Apakah seorang mukmin bisa menjadi penakut?” Beliau menjawab: “Ya.” Kemudian ditanya lagi; “Apakah seorang mukmin bisa menjadi bakhil?” Beliau menjawab: “Ya.” Lalu ditanyakan lagi; “Apakah seorang mukmin bisa menjadi pembohong?” Beliau menjawab: “Tidak.” (HR. Imam Malik No. 1571) Karena itu, saat disebut “pemimpin muslim”, maka kategorinya adalah pemimpin yang tidak akan mengkhianati rakyatnya.

Dengan ajaran yang memerintahkan berlaku jujur, memotivasi untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menerapkannya, serta mengenyahkan nafsu dunia, apa yang kurang dari seorang muslim untuk menjadi pemimpin? Sebaik-baiknya seorang non muslim yang memimpin, akan lebih baik kepemimpinan muslim yang benar-benar menjalankan agamanya. Harusnya setiap umat Islam meyakini itu tanpa ada rasa rendah diri berlebihan.

Saya yakin, sosok seperti Ashif bin Barkhiya masih banyak. Mereka harus diberi kesempatan untuk memimpin agar bisa “mentransfer singgasana peradaban-peradaban maju” ke tengah umat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar