Berbicara tentang pendekatan guru dan perilaku murid, menarik untuk merenungi angka kejahatan yang dilakukan oleh siswa di Amerika Serikat. Ada student crime (kejahatan siswa), yakni kejahatan siswa yang terjadi di sekolah maupun luar sekolah; ada classroom crime (kejahatan kelas), yakni kejahatan siswa yang dilakukan di kelas atau begitu keluar kelas (masih di area kelas). Kejahatan kelas sebenarnya merupakan salah satu bentuk kejahatan siswa, hanya saja melihat kejahatan siswa dalam lingkup lebih sempit, yakni kelas. Perlu dibedakan antara kejahatan (crime), alias kenakalan berat dan kenakalan biasa. Khusus kenakalan biasa, selama beberapa tahun terakhir ini para “pakar” parenting maupun pendidikan kerapkali menganggap tidak ada dan bahkan melarang kita menyimpulkan bahwa suatu perilaku termasuk kenakalan. Kita diajak untuk lari terlalu jauh dengan membuat eufimisme, menghaluskan apa yang sesungguhnya sedang terjadi sehingga kenakalan dibahasakan sebagai “terlalu kreatif” atau istilah lain sejenis. Akibatnya, kita tidak cepat tanggap dan tidak menganggap ada masalah bahkan ketika masalah itu sudah pada tingkat mengkhawatirkan. Di antara penyebab para pakar melarang menyimpulkan nakal adalah karena mereka sulit membedakan antara memahami masalah kenakalan dan memberi label nakal.
Ada laporan mengejutkan dari National Center for Education Statistics, sebuah lembaga yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan Amerika Serikat (U.S. Department of Education). Selama tahun 2013, angka kejahatan yang dilakukan oleh siswa di sekolah lebih tinggi daripada kejahatan di luar sekolah. Siswa rentang usia 12-18 tahun yang menjadi korban kejahatan berat di sekolah rata-rata 37 kasus per 1000 orang, dibandingkan 15 per 1000 orang korban kejahatan di luar sekolah. Yang membuat kita miris, penyebab kejahatan siswa itu umumnya persoalan-persoalan sepele, sementara kejahatannya terhitung berat dan bahkan menyebabkan kematian. Adapun siswa di rentang usia 12-18 tahun yang menjadi korban kejahatan ringan hingga sedang selama kurun waktu yang sama, yakni 2013, sebanyak 1.420.900 anak di sekolah, dibandingkan 778.500 di luar sekolah.
Data tersebut belum termasuk angka kejahatan siswa terhadap guru di kelas. Perilaku mengganggu proses pembelajaran (disruptive behavior) bukanlah termasuk kejahatan. Ia hanya tindakan tidak disiplin.
Bagaimana dengan Indonesia? Saya tidak menemukan data statistik terpercaya yang dapat saya sampaikan kepada Anda. Tetapi kasus-kasus kenakalan semakin banyak terjadi. Beberapa kasus kejahatan bahkan telah terjadi, meskipun masih saja disebut sebagai kenakalan. Ini merupakan peringatan agar kita sigap melakukan tindakan antisipasi agar data yang menakutkan di Amerika Serikat tidak terulang di Indonesia. Mencegah jauh lebih baik daripada mengatasi. Adapun jika kasusnya telah muncul, maka kita perlu sigap menangani agar tidak meluas dan bertambah parah.
Kita memahami perilaku anak, mengenali sebab-sebab kenakalan, dan melakukan tindakan segera ketika gejala kenakalan mulai muncul agar tidak berkembang menjadi kenakalan. Melalui upaya itu, kita sangat berharap agar tidak timbul kenakalan. Lebih-lebih kenakalan berat atau pun kejahatan. Selain merugikan bagi anak itu sendiri, kenakalan berat maupun kejahatan dapat merugikan dunia pendidikan secara keseluruhan.
Dunia yang mencekam itu dapat kita ubah dengan sigap menangani. Jauh lebih baik lagi kita melakukan langkah-langkah pencegahan. Masa remaja bukanlah saatnya anak mengalami keguncangan jika di masa kanak-kanak kita menyiapkan mereka dan menempanya agar senantiasa berperilaku yang patut. Memasuki masa remaja tanpa perlu mengalami keguncangan maupun krisis identitas sama sekali inilah yang kerap disebut sebagai identity foreclosure, meskipun kita seharusnya tidak perlu menunggu ada istilah ini untuk dapat mengantarkan anak-anak menjadi pribadi tangguh jika kita mempelajari jejak-jejak para salafush-sholih.
Mudah Tersinggung, Apa Sebabnya?
Kasus kejahatan siswa di Amerika banyak dipicu oleh persoalan-persoalan sepele. Pertanyaannya, mengapa mereka mudah terpicu emosinya? Ini penting untuk kita jawab agar anak-anak kita tidak perlu mengalami keadaan yang sama, yakni mudah terpicu emosinya sehingga kehilangan kendali. Jawaban sederhana atas pertanyaan tersebut adalah karena anak mudah tersinggung (irritable children). Anak yang memiliki tingkat mudah tersinggungnya cukup parah (chronically irritable) akan mudah frustrasi, depresi, dan tantrum.
Lalu apa yang menyebabkan anak mudah tersinggung? Banyak hal. Dalam tulisan ringkas ini, ada dua hal yang ingin saya bicarakan sekilas. Pertama, kurangnya adab (manners & etiquettes) pada diri anak, baik terhadap orangtua, guru, orang yang lebih muda maupun lebih tua usianya. Dan jika kita berpegang pada Islam, sungguh cakupan adab itu sangat luas. Adab merupakan panduan perilaku yang sangat penting. Ia bukan hanya berbicara tentang menghormati hak orang lain sambil pada saat yang sama menuntut orang lain menghormati hak kita. Bukan. Lebih dari itu, adab memandu kita untuk bersikap lebih baik lebih daripada sekadar soal hak. Tatkala anak hanya belajar menghormati hak, ia akan lebih peka manakala merasa bahwa yang ia terima kurang dari yang seharusnya. Di sinilah kita melihat betapa pentingnya menanamkan adab sebelum anak belajar menuntut ilmu. Dan adab bukan soal pengetahuan. Ia soal sikap yang ditanamkan.
Kedua, anak tidak terbiasa menghadapi perintah dan larangan sehingga ia hanya belajar menuruti keinginan sendiri. Ia tidak belajar mengendalikan keinginan menekan kemauan karena ada perintah maupun larangan yang lebih patut untuk ia perhatikan. Salah satu sebab orangtua maupun guru menghindari memberikan perintah dan larangan adalah karena syubhat dari pseudoscience seolah perintah maupun larangan merupakan dua keburukan komunikasi yang harus dijauhi sejauh-jauhnya dalam mendidik anak. Padahal nasehat terbaik orangtua yang Alloh Ta’ala abadikan justru berisi perintah dan larangan.
Nah, agar kita dapat menyampaikan perintah dan larangan dengan baik, sangat perlu kita mempelajari bagaimana kaidah memerintah dan melarang bagi para orangtua sebagaimana yang dituntunkan dalam agama ini.
Apa yang terjadi ketika anak tidak terbiasa mendengar perintah dan larangan? Dia dapat mudah tersinggung manakala mendapati hal tersebut dalam interaksi dengan masyarakat, termasuk teman-temannya di sekolah. Jika ia tidak terbiasa untuk mengendalikan keinginan, emosinya akan lebih mudah meledak manakala mendapati penolakan yang salah bentuknya adalah larangan. Padahal bukankah manusia, termasuk anak-anak kita, kelak harus menghadapi ujian dari Alloh Ta’ala berupa perintah dan larangan?
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (Al-Insaan [76]: 2)
Nah. Semoga catatan sangat ringkas ini bermanfaat dan berkah. Wallohu a’lam.
Mohammad Fauzil Adhim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar