Minggu, 07 Agustus 2016

Menjadi Orang Indonesia; Esai Kemerdekaan

Kita mulai dengan pertanyaan kritis “Siapakah yang dimaksud dengan orang Indonesia asli?”. Pertanyaan ini seringkali menjebak kita dengan jawaban rasis, primordial, dan chauvinis. Situasinya pun sama ketika kata “Indonesia” diganti dengan negara lain. Di alam bawah sadarnya, orang India menganggap bahwa negaranya adalah Hindustan, sehingga Pakistan dan Bangladesh terpaksa harus memisahkan diri dari anak benua Asia itu. Orang Eropa menganggap tanahnya sebagai negeri Kristen sehingga selalu “menolak” permintaan Turki menjadi anggota Uni Eropa.

Di dalam negeri Indonesia sendiri, sentimen seperti ini juga terasa kuat. Misalnya Manado sebagai tanah Kristen, Jawa tanah Islam, Bali tanah Hindu dst. Dengan pendekatan keamanan yang ketat dan politik persuasif untuk menjaga harmoni sosial, pemerintah orde baru dianggap cukup berhasil membina keragaman masyarakat Indonesia sehingga tidak menjadi sumber konflik. Namun di era reformasi, konflik sosial berbau SARA meletus hebat menghiasi banyak pemberitaan. Mulai dari konflik di Ambon, Sampit hingga Tanjung Balai. Frase pribumi dan pendatang juga kembali sering digunakan, meskipun ini biasanya adalah frase khas yang digunakan oleh negeri-negeri yang terjajah.

Ujian Kenegarawanan
Merajut perbedaan menjadi harmoni sosial bukan perkara mudah. Semua elemen masyarakat menginginkan eksistensi diri, baik eksistensi secara politik maupun status sosial. Jika kita termasuk pegiat sosial, kita memiliki pilihan peran sebagai seorang analis handal yang merajut harmoni atau memperuncing perbedaan. Apakah mau menjadi politisi partisan atau negarawan.

Menjadi negarawan tidak selalu memainkan strategi “mengalah” terhadap setiap tuntutan pihak lain, sebagaimana yang disangka sebagian orang. Tapi dengan cara menegakkan keadilan sehingga semua orang merasa diperlakukan setara. Mereka yang bersalah harus dihukum, meski jumlahnya minoritas. Pengendara sepeda motor harus ditilang meski yang ditabrak adalah mobil. Menjadi negarawan berarti kita harus jernih melihat persoalan, tidak bias atas dominasi mayoritas maupun terjebak dalam tirani minoritas.

Menjadi negarawan berarti membawa kemajuan tanpa mengorbankan identitas. Penduduk asli Papua mungkin masih berpakaian minim (koteka), tapi kita berkewajiban mengangkat harkat dan martabat mereka sebagai manusia yang beradab. Jadi, bukan membiarkan mereka terus terkungkung dalam budaya primitifnya. Hal yang sama terjadi pada sebagian masyarakat adat di suku-suku pedalaman. Menjadi orang Indonesia bukan berarti menolak modernitas dan mengisolasi dari budaya global. Tetapi bukan pula mengeliminasi penduduk aslinya seperti yang terjadi di Afrika Selatan dan Australia. Kita harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Sulit dipungkiri bahwa banyak komunitas pendatang yang menghuni Indonesia, baik dari etnis China, Arab, Eropa dll. Mereka beranak cucu, bersosialisasi dengan penduduk lokal, berasimilasi dengan adat setempat dan mulai memegang peranan strategis khususnya di bidang ekonomi dan sosial. Saat ini, peranan tersebut meluas, hingga merambah dunia politik praktis. Diskursus pribumi dan pendatang muncul lagi dengan konotasi dan perspektif yang negatif. Karena itu, penting bagi kita untuk memberikan rumusan alternatif tentang orang Indonesia asli, agar tidak terjebak pada sentimen kesukuan dan paham primordial. Setidaknya ada 2 indikator yang bisa kita pakai, diantaranya:

Pertama, Bersama dalam Krisis
Orang Indonesia asli adalah mereka yang memilih bertahan meski situasinya tidak menguntungkan, bersama meski dalam situasi krisis. Mereka yang memilih untuk lari dan berpisah dari Indonesia dalam situasi krisis tidak boleh lagi dianggap sebagai orang Indonesia asli. Pada kasus-kasus korupsi besar, banyak konglomerat yang lari ke luar negeri. Pada situasi krisis, banyak yang memilih menyimpan harta dan asetnya di luar negeri padahal pemerintah sedang sekarat. Dalam situasi terjajah, ada yang lebih memilih jadi kaki tangan penjajah. Mereka tidak boleh lagi dianggap sebagai orang Indonesia asli, apapun suku dan etnisnya.

Situasi yang dimiliki oleh konglomerat sangat berbanding terbalik dengan TKI/TKW. Konglomerat menghisap kekayaan dalam negeri dengan banyak kemudahan, namun saat situasi krisis melarikan hartanya ke luar negeri. Agar mau mengembalikan simpanannya di luar, diiming-imingi dengan permen manis berupa tax amnesty. Sebaliknya, TKI/TKW mengais rejeki di negeri orang berbalut kisah duka dan penderitaan, namun mereka dengan sukarela menjadi pahlawan devisa bagi negerinya. Padahal mereka ke luar negeri, karena tidak memiliki kesempatan untuk mengadu nasib di negerinya sendiri. Jadi, orang Indonesia asli adalah mereka yang memilih bersama dengan Indonesia, meski di tengah situasi krisis sekalipun.

Kedua, Berkontribusi Membangun Negeri
Orang Indonesia asli adalah mereka yang membawa kemajuan di wilayah Indonesia, membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia, dan membawa kebanggaan bagi masyarakat Indonesia. Mereka yang memiliki dedikasi itu layak dianggap sebagai orang yang berjiwa nasionalis sejati, apapun suku, etnis, profesi, dan agamanya. Kita tidak ragu mengklaim Rudi Hartono, Liem Swie King, Susi Susanti dll sebagai orang Indonesia asli meskipun berasal dari etnis China. Namun sebaliknya, kita tidak ragu mempertanyakan nasionalisme Bob Hasan “Sang Raja Kayu” meski dia keturunan asli suku Indonesia. Ini bukan semata soal suku, tapi masalah dedikasi dan kontribusi kepada negeri.

Dalam situasi krisis seperti yang tengah dialami oleh Indonesia, ukuran kontribusi lebih layak dijadikan sebagai parameter untuk menakar rasa nasionalisme. Kontribusi disini bisa dimaknai secara luas, bukan hanya dalam bidang ekonomi tapi juga sosial, politik dll Mereka yang berkontribusi membangun Indonesia layak dianggap sebagai orang Indonesia asli, sedangkan mereka yang berkontribusi merusak, memecah belah serta menyulut kontroversi layak dipertanyakan jiwa nasionalismenya. Dititik ini sebenarnya banyak analis dan konsultan politik, lembaga survei, pemilik media, aktivis LSM, dan pegiat sosial yang layak dipertanyakan nasionalismenya. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Todung Mulya Lubis Cs dengan “makar halus” berupa penyelenggaraan pengadilan rakyat di Den Haag, dengan vonis Indonesia bersalah pada kasus 1965.

Ketiga, Pembelaan dan Keberpihakan
Orang Indonesia asli adalah mereka yang membela dan berpihak kepada Indonesia. Membela yang dimaksud tentu bukan dengan gaya lama di masa penjajahan seperti halnya slogan “Right or wrong, England is my country”. Membela dan berpihak disini lebih dimaksudkan sebagai upaya menegakkan kedaulatan dan menjaga harga diri Indonesia di kancah internasional serta melindungi kepentingan nasional dari cengkraman asing.

Mereka yang menyerahkan aset-aset bangsa kepada asing harus diragukan nasionalismenya, meski berstatus sebagai putri proklamator sekalipun. Mereka yang tunduk pada kepentingan asing dan mengorbankan kepentingan rakyat harus diragukan nasionalismenya, meski berasal dari suku Jawa dan beragama Islam sekalipun. Kita harus meniru ketegasan Rosululloh saw yang siap untuk menghukum putrinya sendiri jika berbuat salah. Atau ketegasan Amirul Mukminin 'Umar bin Khoththob ra yang menghukum salah satu anaknya karena ketahuan meminum khomr. Tidak ada sakral-sakralan saat mengurusi masalah bangsa.

Khotimah
Proses pendefinisian “Orang Indonesia asli” menjadi semakin penting khususnya di masa sekarang, di saat emosi masyarakat mudah tersulut, di saat banyak pihak menebar fitnah dengan berita hoax, di saat penggiringingan opini terjadi secara masif, di saat rakyat diberi kebebasan untuk memilih pemimpinnya sendiri. Dan kita memerlukan ukuran-ukuran yang lebih objektif dalam proses pendefinisian, agar tidak terjebak dalam masalah SARA. Karena jika Indonesia ingin menjadi negara besar, semua potensi harus bisa dirajut dan diharmonisasikan untuk hal-hal yang positif. Wallohu a’lam.

Eko Junianto, S5

1 komentar: