Sejarah panjang yang telah dilalui oleh sebuah bangsa akan berpengaruh pada karakter dan obsesi secara komunal. Orang hebat akan mewariskan karakter hebat dan impian besar kepada anak keturunannya. Sebaliknya, mereka yang lama terkungkung hidup sebagai budak dengan sendirinya akan mewariskan sifat inferior kepada anak cucunya pula. Hal seperti ini bukan hanya terjadi dalam skala personal, tapi juga pada skala bangsa dan negara.
Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai bangsa besar. Banyak hal-hal besar ada di Indonesia, mulai dari candi terbesar hingga tambang emas terbesar. Namun saat ini, kita seolah menjadi bangsa kerdil di tengah percaturan internasional. Kisah-kisah tentang kebesaran, kehebatan, dan kejayaan hanya sekedar romantisme sejarah di alam khayalan. Itu hanya kisah di masa lalu alias asaatirul awwaliin, bukan kisah maka kini. Karena itu, salah satu PR besar bagi para pemimpin dan generasi mendatang adalah mengembalikan harga diri dan kehormatan sebagai bangsa besar.
Fase-fase Kebesaran
Kehebatan, kejayaan, dan kebesaran awalnya diperjuangkan. Untuk meraihnya, mereka bahkan rela mengorbankan banyak kesenangan hidup. Seperti halnya Mahapatih Gadjah Mada yang mengucapkan “Sumpah Palapa”, bahwa dia tidak akan makan buah pala sebelum berhasil mempersatukan Nusantara. Buah pala di waktu itu adalah lambang kemakmuran, mungkin nilainya sama seperti nilai buah anggur di masa sekarang. Alhasil, kerajaan Majapahit tampil menjadi kerajaan nasional Indonesia kedua dengan teritori sangat luas. Gadjah Mada pun disejajarkan dengan para “Penakluk Dunia” lainnya seperti Hannibal, Jengis Khan, Iskandar Zulkarnain dll.
Setelah tercapai, kebesaran itu diwariskan. Ada yang bisa mempertahankan kebesaran sebagaimana Nabi Sulaiman mewarisi kebesaran kerajaan ayahnya (Nabi Daud). Nabi Sulaiman bukan hanya mempertahankan, tapi juga meningkatkan kebesarannya sehingga beliau dikaruniai kebesaran yang belum pernah diberikan kepada seorang pun, baik kepada orang sebelumnya maupun sesudahnya. Tapi ada juga yang tidak mampu mempertahankan kebesaran masa lalunya, sebagaimana Musthafa Kemal Attaturk yang memilih untuk menghancurkan khilafah Utsmani dan berkiblat ke Barat. Atau seperti kaum Yahudi yang lebih memilih untuk duduk menunggu ketimbang harus berperang demi meraih tanah yang dijanjikan untuknya.
Fase-fase kebesaran seperti ini harus dipahami benar oleh generasi penerus. Agar mereka memiliki identitas sebagai bangsa yang unggul meski kondisinya tengah terpuruk. Agar mereka tetap bisa melihat cahaya meski berada di tengah gua yang pekat. Agar mereka bisa optimis di tengah situasi krisis. Itulah hakekat dari kisah mukjizat pembuatan parit dalam perang Khondaq. Itulah esensi dari nubuwah kejayaan Islam, yakni akan tegaknya lagi khilafah ‘ala minhajin nubuwah di akhir zaman.
Menyemai Jalan Kejayaan
Melihat situasi yang dialami oleh bangsa Indonesia yang cukup terpuruk, wajar kiranya jika kita bermimpi memiliki pemimpin besar seperti di masa lalu atau seperti pemimpin dari negeri lain. Keduanya sangat mungkin bisa dicapai tanpa harus mengimpor dari luar atau harus menanti selama sekian generasi sebagaimana Bani Isroil menanti kelahiran Musa. Karena secara prinsip, seorang pemimpin adalah anak dari masyarakatnya. Masyarakatlah yang melahirkan pemimpin, sebelum pemimpin tersebut membawa masyarakatnya ke tingkatan tertentu.
Artinya, jika kita ingin melahirkan pemimpin hebat, terlebih dahulu kita harus berubah menjadi masyarakat yang unggul. Tidak mungkin kita memiliki pemimpin hebat jika masyarakatnya bobrok, hukumnya bisa dipermainkan, dan suara politiknya bisa dibeli. Karena perubahan sosial itu adalah hasil amal jama’i, bukan amal infirodhi. Menaklukkan Konstantinopel bukanlah prestasi Muhammad Al Fatih semata, tapi prestasi komunal dari generasinya Muhammad Al Fatih. Menaklukkan Palestina bukanlah kerja dari Sholahuddin Al Ayyubi seorang, tapi kerja komunal dari generasinya Sholahuddin Al Ayyubi.
Pemimpin hebat yang lahir dari masyarakat yang sakit akan berakhir tragis. Kita mengenal seorang Musa bin ‘Imron. Keistimewaannya sangat banyak, kekuatannya sangat dahsyat. Sekali memukul, prajurit Qibti langsung mati. Bahkan pada riwayat lain, pukulannya membuat malaikat maut sampai terlepas bola matanya. Semestinya, dia bisa tampil menjadi seorang panglima besar di medan perang seperti Tholut atau Kholid bin Walid. Tapi taqdir menentukan, dia hidup di zaman yang salah sehingga segala potensinya tidak bisa diledakkan secara maksimal, karena ketiadaan daya dukung dari masyarakatnya. Istilahnya, The right man in the wrong place (time).
Jalan kita untuk melahirkan pemimpin yang hebat mungkin masih panjang. Dalam konteks sekarang, perlu melalui beberapa proses pemilu dan pilkada. Sudah cukup pelajaran mahal bagi kita atas Tragedi Habibie. Dia sungguh orang yang hebat, tapi sayangnya naik tahta dari kendaraan yang salah, mewarisi stigma negatif serta memimpin di zaman edan. Sehingga hanya sedikit saja dari kehebatannya yang bisa tersalurkan dan diwujudkan dalam bentuk prestasi. Kita perlu menyemai jalan kejayaan, agar orang-orang besar seperti “The Next Habibie” bisa tampil dari kendaraan yang baik, tidak memiliki dosa warisan dari masa lalu serta rakyatnya mampu memberi daya dukung maksimal.
Khotimah
Sebagai bangsa dengan masa lalu yang panjang, kita tentu sangat paham dengan segala kebesaran, kehebatan dan kejayaan dari nenek moyang. Namun saat ini, kita juga kelak akan mewarisi sebuah negeri salah urus, dengan kondisi carut marut, dan setumpuk hutang yang menggunung. Sebagai generasi penerus, kita punya pilihan-pilihan peran dan karakter di masa depan. Mereka yang cinta dengan negeri ini pasti memilih untuk mewarisi hal-hal baik dan peran-peran positif untuk negeri ini. Jika kejayaan belum bisa terwujud di era kita, setidaknya kita sudah memberikan jalan yang lapang dan pondasi yang kuat untuk diteruskan oleh generasi berikutnya. Wallohu a’lam.
Eko Junianto, ST
Tidak ada komentar:
Posting Komentar