Indonesia adalah tanah air para pejuang. Dalam periode sejarah yang panjang, negeri ini telah melahirkan banyak pejuang yang memiliki semangat pembebasan, tidak mau tunduk pada penjajahan dan memiliki 'izzah untuk hidup terhormat. Ada yang berjuang angkat senjata seperti Panglima Besar Jenderal Soedirman, adapula yang melalui jalur diplomasi seperti Bung Karno dan Bung Hatta.
Jika periode sejarah kita tarik lagi jauh ke belakang, akan semakin banyak muncul nama Senopati pilih tanding dan para ulama hebat yang memimpin perang gerilya. Semangat pembebasan yang dimiliki anak negeri ini bisa kita kelompokkan ke dalam dua kategori, yakni pembebasan negeri sendiri dan pembebasan negeri asing.
Pembebasan Negeri Sendiri
Para pejuang bergerak melakukan perlawanan karena tidak ingin hidup dijajah. Harga kemerdekaan memang mahal, namun mereka siap membayarnya dengan darah dan air mata. Alhasil Belanda dan Inggris sudah pernah merasakan semangat perlawanan dari kaum bumi putra. Sedang Jepang yang mengenalkan diri sebagai “Saudara Tua” akhirnya merasakan gelombang perlawanan dari “Saudara muda”.
Pada fase ini, salah satu motif utama yang menjadi motor penggerak perlawanan adalah semangat jihad. Bahwa mereka tengah berperang melawan orang kafir, bahwa kematian di medan perang akan berbuah surga. Sebagaimana kata Bung Tomo, “Jika tidak ada kalimat takbir, niscaya aku bingung dengan apa akan menggerakkan semangat tempur rakyat Surabaya”. Fakta ini perlu disadari agar generasi penerus paham tentang bentuk pengorbanan yang dilakukan oleh para pejuang pendahulunya.
Pembebasan Negeri Asing
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia masih harus bekerja keras untuk mempertahankan kemerdekaan. Setelah kondisi mulai stabil, semangat pembebasan di ekspor keluar negeri. Diselenggarakanlah konferensi Asia Afrika di Bandung sebagai bentuk dukungan politik melawan penindasan. Lahirlah Gerakan Non Blok sebagai bentuk partisipasi mewujudkan tatanan internasional di luar Blok barat dan blok Timur. Termasuk kampanye “Ganyang Malaysia” sebenarnya juga didasari pemikiran yang senada, karena saat itu Soekarno menganggap Malaysia tidak lebih sebagai boneka Inggris.
Pada fase ini, motif yang lebih dominan adalah nilai-nilai yang bersifat universal. Didasari kesamaan nasib sebagai bangsa terjajah, didasari kesamaan tujuan untuk mewujudkan tatanan global yang tidak terkooptasi kepentingan negara superpower. Pada orde lama, Indonesia sempat mengalami disorientasi karena terlalu condong ke Beijing. Namun pada orde baru, Indonesia kembali mempertegas kedudukannya untuk ikut aktif melaksanakan ketertiban dunia. Baik dengan pengiriman kontingen pasukan garuda di bawah bendera PBB, hingga kunjungan Presiden Soeharto ke Bosnia. Diakhir era pemerintahannya, Presiden Soeharto memang memiliki perhatian terhadap persoalan kaum muslimin di dunia.
Mencari Generasi Penerus
Pasca era reformasi, Indonesia tenggelam dalam krisis. Tidak banyak berkontribusi untuk persoalan internasional, baik dalam konteks umum maupun komunitas Muslim dunia. Semakin ke sini, bahkan identitasnya sebagai bangsa bermental pejuang dan pembebas mulai hilang. Mulai ada pihak-pihak yang memasukkan Indonesia ke dalam kelompok “Negara Gagal”, baik gagal mengelola negeri hingga gagal membayar hutang luar negerinya.
Penyebabnya tentu sangat banyak. Salah satu yang terlihat sangat kasat mata adalah karena “Terbelit Belenggu Naga”. Di masa lalu, China pernah mau menjajah Indonesia, namun Raden Wijaya mampu memanfaatkan pasukan dari Tiongkok secara cerdik. Dengan strategi yang brilian, Raden Wijaya akhirnya mampu mendirikan kerajaan besar berskala Internasional dengan teritori sangat luas, yakni kerajaan Majapahit.
Saat ini, Sang Naga kembali menggeliat dan membelit bumi pertiwi. Pertanyaannya, siapakah yang mampu memainkan peran sebagai Raden Wijaya? Atau jangan-jangan, gen pejuang dan pembebas dari nenek moyang sudah tidak lagi diwariskan di DNA anak-anak negeri ini? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Eko Junianto, ST
Tidak ada komentar:
Posting Komentar