Kemerdekaan rakyat dengan kemerdekaan bangsa kadang berjalan paralel, kadang tidak. Ada orang-orang yang hidup merdeka padahal bangsanya masih terjajah. Mereka terdiri dari dua golongan, yakni yang merdeka jiwanya dari penjajahan dan orang yang ingin mengenyam kenyamanan dari para penjajah. Orang yang merdeka jiwanya adalah kelompok para pahlawan yang tidak mau tunduk dan terus berjuang agar bangsanya merdeka. Mereka merasa merdeka bahkan saat tangan dan kakinya terbelenggu, terlebih saat bebas bergerak dan beraktivitas.
Sedang orang yang ingin mengenyam kenyamanan dari penjajah tidak lain adalah para penjilat dan pengkhianat. Pada negeri yang terjajah, pasti ada sebagian rakyatnya yang menjadi kaki tangan dan antek penjajah. Baik sebagai informan hingga tim negosiator perundingan sebagaimana kelakuan R. Abdulkadir Widjojoatmojo pada perjanjian Renville. Peran-peran “pengkhianat negara” seperti itu masih terus dipraktikkan hingga sekarang, baik oleh para akademisi, praktisi, politisi, LSM maupun pemimpin formal. Objeknya banyak, mulai dari negosiasi hak penambangan, negosiasi pelelangan aset negara hingga menggarap isu-isu gombal dan murahan sebagaimana yang terjadi pada Pengadilan Rakyat (IPT 1965) di Den Haag, Belanda.
Sebaliknya, ada pula rakyat yang belum merdeka meski setiap tahun memperingati kemerdekaan negaranya. Mari kita ambil contoh kasus di Amerika. Zaman dahulu, Amerika punya sejarah kelam dengan dunia perbudakan. Amerika juga punya catatan hitam dengan paham rasialis hingga memunculkan “Ku Klux Klan”. Film “Mississippi Burning” yang dibintangi Gene Hackman cukup bagus menggambarkan sentimen warga kulit putih terhadap kulit hitam. Butuh banyak waktu bagi Amerika untuk memberikan hak yang sama bagi warga negara kulit hitam agar diterima sepenuhnya sebagai warga negara sepenuhnya. Hingga akhirnya, ada warga berkulit hitam yang menjadi Presiden Amerika. Bukan hanya didunia film sebagaimana yang ditampilkan dalam film “2012”, tapi benar-benar di kehidupan nyata, yakni Barrack Obama.
Alhasil, apakah sebuah bangsa sudah merdeka sepenuhnya atau baru setengah merdeka? Jawabannya bisa beragam. Apakah sebuah bangsa sudah memerdekakan rakyatnya atau malah jadi penjajah atas sebagian rakyatnya? Ukurannya bisa berbeda. Karena itu, kita perlu mendefinisikan makna dan hakikat kemerdekaan agar bisa mengukur tingkat kemerdekaan yang sudah diraih oleh bangsa dan dirasakan oleh rakyatnya.
Mentadaburi Al-Quroisy
F.D. Roosevelt pernah menyampaikan konsep “The Four Freedom”, yakni Freedom of speech, Freedom of religion, Freedom from fear, dan Freedom from want. Konsepsi ini kemudian diadopsi oleh PBB dalam Universal Declaration of Human Rights.
Tapi kali ini, sejenak kita merenungkan ukuran kemerdekaan yang digambarkan pada surat Al-Quroisy. Jika wilayah Palestina silih berganti mengalami penjajahan sejak zaman kuno, tidak demikian halnya dengan daerah Hijjaz. Tidak ada catatan sejarah yang menjelaskan bahwa mereka pernah dijajah oleh negeri asing. Hal demikian sebenarnya wajar saja “Buat apa menjajah negeri yang isinya pasir dan unta?” Hal ini juga disampaikan dengan nada congkak oleh pemimpin Persia (Kisra) saat menerima surat dakwah dari nabi.
Jika ada kasus invasi pasukan kepada Bangsa Quroisy, maka pasukan bergajahlah pelakunya. Mereka telah dihancurkan oleh burung Ababil yang membawa kerikil panas. Setelah peristiwa itu, maka suku-suku jazirah Arab menyebut Bangsa Quroisy sebagai “Ahlulloh”, karena dibela Alloh dari serbuan tentara bergajah. Mereka tidak berperang dengan pasukan bergajah, Alloh-lah yang mengusir mereka. Situasinya agak mirip dengan peristiwa perang Khondaq, dimana Alloh sendiri yang mengusir pasukan Ahzab “wahazamal ahzaaba wahdah”.
Dalam surat Al-Quroisy, kita mendapatkan ada beberapa ukuran kemerdekaan sejati yang selayaknya dinikmati oleh rakyat dan harus dipenuhi oleh negara, diantaranya:
Nyaman Mencari Nafkah
Mereka nyaman bepergian ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Kasus-kasus perampokan kafilah dagang tentu saja terjadi, namun sifatnya sporadis. Mereka juga memiliki mekanisme yang disepakati antar berbagai qabilah jika terjadi peristiwa kriminal, mulai dari qishosh hingga diyat. Negeri-negeri di seluruh jazirah Arab juga menghormati suku Quroisy. Meski statusnya hanya kelompok kesukuan, tapi mereka benar-benar memiliki kemerdekaan dan kehormatan.
Jangan samakan dengan Indonesia yang TKI/TKW-nya sering terlantar dan teraniaya tanpa pembelaan yang jelas. Atau nelayannya ditangkap negeri asing dan sebagian warganya disandera kelompok gerilyawan. Kita bahkan tidak nyaman mencari nafkah di negeri sendiri, karena sumber-sumber penghidupan sudah banyak yang dikuasai asing, dari gunung emas hingga kuli bangunan.
Bebas Beribadah
Alloh ta’ala telah membebaskan bangsa Quroisy dari serangan tentara bergajah. Sebuah peristiwa yang membuat mereka semakin mengagungkan pemilik Ka’bah. Meski mereka menyembah berbagai macam berhala, tapi mereka sangat yakin bahwa yang mengusir tentara bergajah adalah Alloh dan bukan patung-patung berhala sesembahannya. Karunia besar seperti ini dimaksudkan agar “Fal ya’buduu robba haadzal bait”. Dan itulah tujuan azasi bagi Bangsa Quroisy, semenjak pertama kali Ismail ditinggalkan oleh Ibrohim hingga akhirnya digenapkan lagi pada peristiwa Fathul Makkah.
Apa yang dialami oleh Bangsa Quroisy bisa menjadi cerminan bangsa lainnya di dunia, termasuk Indonesia. Yakni “Wamaa umiruu illa liya’budullooha mukhlishiina lahuddiina hunafaa”. Bisa jadi dalam perjalanannya, bangsa tersebut mengalami fase gelap dengan animisme, dinamisme, politheisme, atheisme dll. Hingga akhirnya dakwah Islam sampai ke tanah mereka. Maka itulah saat sebuah bangsa menemukan lagi esensi kemerdekaannya, yakni untuk beribadah kepada Alloh semata.
Kebutuhan Pangan
Bangsa Quroisy memenuhi kebutuhannya terhadap pangan dengan berdagang. Mereka memang bangsa pedagang, termasuk nabi kita juga seorang pedagang. Sedang penduduk Madinah memenuhi kebutuhan pangan dengan cara bertani. Tidak ada intervensi pasar dari pemerintah, hanya berupa kesepakatan diantara sesama pedagang (istilah sekarang, kartel). Peran para ketua suku adalah menjamin agar seluruh Suku Quroisy dan seluruh pedagang yang masuk ke Hijaz bisa berdagang tanpa ada distorsi pasar dan kezholiman satu sama lain.
Dalam kondisi rakyat merdeka dan mandiri, peran pemerintah adalah membuat regulasi dan menjadi hakim atas permasalahan yang terjadi. Selain itu, pemerintah juga harus menciptakan iklim yang kondusif agar daya saing tercipta serta menyingkirkan berbagai macam hal yang akan mendistorsi pasar. Biarkan rakyat memilih caranya sendiri untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun dalam kondisi krisis atau bencana, negara harus berperan serta untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya. Dan negara yang berdaulat, hanya akan mencukupi kebutuhan pangan warganya dengan sesuatu yang memiliki gizi dan nutrisi baik, bukan dengan bahan makanan berkualitas rendah, berulat atau mengandung bakteri penyakit.
Kebutuhan Keamanan
Apa yang membuat Bangsa Quroisy relatif merasa aman? Diantaranya adalah sistem sosial yang dibangunnya. Pembunuhan dan tindak kriminal lainnya tentu saja ada, tapi konsekuensinya sangat berat. Termasuk keyakinan bahwa tanahnya berstatus sebagai “Tanah Haram” serta adanya tradisi “Syahrul Haram”. Perjanjian para ketua suku Quroisy dengan pemimpin dari negeri-negeri lain juga ikut berkontribusi memberikan rasa aman bagi warga suku Quroisy.
Khotimah
Dalam konteks bernegara, tertib sosial baru terlaksana jika hukum ditegakkan. Saat itulah seluruh warga akan merasa aman. Pelanggaran hingga tindak kriminal tentu masih ada, tapi semua tahu dengan konsekuensinya serta ketegasan aparat dalam menindaknya. Situasi negara benar-benar aman jika keamanan tercipta meski tidak ada polisi sekalipun. Jika polisi dan tentara disebar diberbagai sudut kota untuk menciptakan suasana aman, justru berarti situasinya sedang tidak aman.
Jika seluruh warga negara Indonesia merasa nyaman dalam mencari rezeki, bebas beribadah, terpenuhi kebutuhan pangannya serta merasa aman dimanapun berada, maka bangsa Indonesia benar-benar sudah merdeka lahir batin. Jika keempat parameter ini belum terpenuhi, mungkin kita masih harus banyak berjuang untuk memerdekakan bangsa Indonesia sekali lagi.
Bukan lagi dengan mengangkat senjata sebagaimana fase revolusi fisik, tapi dengan jalur diplomasi dan perumusan kebijakan bernegara. Dimanakah tempatnya? Di gedung-gedung pemerintah dan saat berada dibilik pemilu. Disitulah kita kembali harus memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Wallohu a’lam.
Eko Junianto, ST
Tidak ada komentar:
Posting Komentar