Rabu, 20 Maret 2019

Kronik Peralihan Nusantara (1005-1079 M)

1005 M
Seorang raja Sriwijaya memerintahkan pembangunan sebuah candi di Negapatnam, di wilayah penguasa Chola yang kuat di India. Menurut Coedes, Chola terletak di pantai Coromandel (Cholamandala).

Selain itu, sumber Tibet dan Nepal mencatat pula perihal kepopuleran candi-candi suci Buddhis di Sumatera. Disebutkan, Atisya —reformator besar Buddhisme di Tibet— pergi belajar selama 12 tahun (1011-1023) di ibukota Sriwijaya di tepi sungai Musi. Duta-duta Sriwijaya juga secara teratur mengunjungi Kanton, tempat dimana mereka meminta lonceng-lonceng untuk candi yang mereka bangun untuk raja mereka. Dan, konon di situlah rakyat mereka berdo’a agar kaisar Cina diberi umur panjang.

1006 M
Raja Wurawari dari Lwaram (sekutu Sriwijaya) menyerang Watan; ibukota Kerajaan Medang; yang tengah mengadakan pesta perkawinan. Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan keponakannya yang bernama Airlangga lolos dalam serangan itu. Airlangga putra Mahendradatta; Raja Bali; berhasil lolos waktu terjadi gelombang penyerangan tersebut. Saat itu, Airlangga berusia 16 tahun. Bersama Narottama, ia bersembunyi di hutan pegunungan (Wanagiri) mengikuti para pertapa. Dan setelah dewasa, kawin dengan sepupunya, anak dari Dharmawangsa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.

Pendapat lain menyebutkan, penyerangan yang mengakibatkan Dharmawangsa Teguh pralaya terjadi pada tahun 1016 M. Tentang kehancuran kekuasaannya —menurut Prasasti batu Calcutta, seluruh Jawa bagaikan satu lautan yang dimusnahkan oleh Raja Wurawari. Keras dugaan, bahwa yang berdiri di belakang penyerangan terhadap Dharmawangsa sebenarnya Sriwijaya.

1010 M
Pada kisaran tahun 1010, Mahendradatta meninggal, sehingga Udayana memerintah sendiri sampai tahun 1022. Sementara itu, anak sulung Mahendradatta yang bernama Airlangga menggantikan Dharmawangsa memerintah di Jawa Timur, dan anak bungsunya yang bernama Anak Wungsu memerintah di Bali dengan gelar Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanotunggadewa.

1019 M
Airlangga dinobatkan oleh pendeta Buddha-Syiwa dan Brahmana (pendeta Hindu) menjadi raja. Ketika naik tahta, wilayah kerajaannya hanya meliputi sekitar daerah Sidoarjo dan Pasuruan sekarang. Nampaknya, sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Airlangga naik tahta dengan bergelar Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa.

Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga membangun ibukota baru bernama Watan Mas di dekat gunung Penanggungan. Nama kota ini tercatat dalam Prasasti Cane (1021).

1023 M
Parakesarivarman alias Udaya Sri Rajendra Choladewa; penguasa kerajaan di pantai Coromandel yang naik tahta pada tahun 1012 dan awalnya sangat bersahabat; tiba-tiba menyerang kekuasaan Sriwijaya (antara tahun 1023-1024). Menurut Prasasti Tanjore —yang dikeluarkan setelah penyerangan ke Sriwijaya (1030), kerajaan Chola berhasil melawan Raja Kadaram (Kedah) yang bernama Sangramavijayatunggawarman dan menaklukkan semua raja-raja bawahan Sriwijaya.

Prasasti Tanjore merupakan sekumpulan dari 5 buah copper-plate yang terdapat di kuil Parijatavanesvara di Tirukkalar, berada pada distrik Tanjore (Thanjavur), India.

Prof. Nilakanta Sastri, seorang guru besar pada Universitas Madras, telah membuat terjemahan dari Prasasti itu ke dalam bahasa Inggris (Prof. Nilakanta Sastri: “Sri Vijaya”, BEFEO, 1940, XV-2. Juga pada karyanya “A History of Sri Vijaya”, Madras, 1949) sebagai berikut:
“(Rajendra) having dispatched many ships in the midst of the rolling sea and having caught Sangramavijayatunggavarman, the King of Kadaram, together with elephants in his glorious army, (took) the large heap of treasures, which (that king) has rightfully accumulated; (captured) with noise the (arch called) Vidhyadharatorana at the war gate of his extensive capital (nagar); Cri Vijaya with the jewel wicket gate adorned with great splendor and the gate of large jewels; Pannai with water in its bathing Ghats; the ancient Malajyur with the strong mountain for its rampart, Mayuridigam, surrounded by the deep sea (as) by a moat; Ilangasoka undaunted (in) fierce battles; Mappappalam having abundant (deep) water as defense; Mevilimbangan guarded by beautiful walls; Valaippanduru possessed of Vilaiponduru(?); Talaittakkolam praised by great men (versed in) the sciences; The great Tamralinga (capable of) strong action in dangerous battle; Ilamuridesam, whose fierce strength rose in war; the great Manakkavaram, in whose extensive gardens, honey was collecting; and Kadaram of fierce strength, which was protected by the deep sea.”

(“Setelah mengirimkan banyak kapal ke tengah lautan yang bergulung-gulung dan dapat menawan Sangramawijayatunggawarman, Raja Kadaram, sekaligus gajah tunggangannya di dalam pasukannya yang megah, (ia merebut juga) timbunan harta benda yang sangat banyak, yang memang sedemikian dimiliki olehnya; mendapatkan dengan jalan riuh pedang-pedang terangkat Widyadaratorana pada pembukaan perang di ibukotanya yang luas, Sriwijaya dengan keagungan pintu berhias manik mutumanikam yang semarak dan gerbang berisikan batu-batu permata besar; dengan air pada tangkahan pemandian; Malajyur tua dengan gunung yang kokoh sebagai kubunya; Mayuridigam, dikelilingi oleh laut yang dalam, laksana parit pertahanan; Ilangasoka tak tertahan (dalam) pertempuran-pertempuran sengit; Mappappalam memiliki limpahan air yang dalam sebagai pertahanan; Mewilimbangan, pertahankan oleh tembok-tembok yang cantik; Walaippanduri mempunyai lahan budidaya dan hutan; Talaitakkolam terpuji oleh orang-orang besar (dalam kepujanggaan) berpengetahuan; keagungan Tamlaringa yang keras bertindak dalam pertempuran-pertempuran berbahaya; Ilamuridecam, yang kekuatan hebatnya selalu terbit dalam peperangan; keagungan Manakkawaram, dengan kebun-kebun luas yang dimilikinya, di mana madu tertampung; dan kekuatan dahsyat Kadaram, yang telah diperlindungi oleh lautan dalam.”)

Namun demikian, berdasarkan sumber Cina dan lainnya, menunjukkan bahwa Sriwijaya sama sekali tidak hancur dan tetap menjadi pusat Buddhis yang penting. Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao, disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi di tahun 1082 masih mengirimkan utusan ke Cina pada masa pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari Raja Kien-pi (Jambi) bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.

Sementara itu, terdapat pula pendapat lain seputar waktu penyerangan Raja Chola, yaitu pada tahun 1017, 1023, 1025, dan 1068, di mana Sriwijaya telah diserang oleh Raja Chola dari kerajaan Cholamandala (India).

Oleh berbagai bangsa, nama Sriwijaya disebut dengan macam-macam sebutan. Orang Tionghoa menyebutnya “San-fo-tsi” atau “San-fo-qi”, dalam bahasa Sansekerta dan Pali, Kerajaan Sriwijaya disebut “Javadesh” dan “Javadeh”. Bangsa Arab penyebutnya “Zabagh” dan Khmer menyebutnya “Melayu”. Banyaknya nama untuk Sriwijaya juga merupakan alasan lain mengapa lokasi persis Kerajaan Sriwijaya sangat sulit ditemukan.

1030 M
Airlangga berhasil mengalahkan Wisnuprabhawa; Raja Wuratan, Wijayawarma; Raja Wengker, kemudian Panuda; Raja Lewa.

1031 M
Putra Panuda mencoba membalas dendam. Namun dapat dikalahkan dan kotaraja Lewa ikut pula dihancurkan oleh Airlangga.

1032 M
Menurut Prasasti Tetep (1032), seorang raja wanita dari daerah Tulungagung —sekarang— berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkan dan Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani oleh Mapanji Tumanggala.

Airlangga lalu membangun kotaraja baru di Kahuripan sampai akhirnya raja wanita dapat dikalahkannya. Masih dalam tahun 1032, Airlangga dan Mpu Narotama juga berhasil mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan kekalahan Wangsa Isyana.

1035 M
Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma; Raja Wengker; yang pernah ditaklukkannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.

1037 M
Berdasarkan Prasasti Kamalagyan (1037), ibukota Kerajaan Airlangga telah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).

1042 M
Anak perempuan Airlangga, yaitu Sanggramawijaya ditetapkan sebagai Mahamantri I Hino (yang berkedudukan tertinggi setelah Raja). Akan tetapi saat tiba masanya menggantikan Airlangga, ia menolak dan memilih menjadi pertapa. Maka oleh Airlangga, Sanggramawijaya dibuatkan sebuah pertapaan di Pucangan (gunung Penanggungan) bergelar Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam Prasasti Cane (1021) sampai Prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi.

Kemudian untuk menghindari perebutan kekuasaan pada kisaran akhir tahun 1042, Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua: bagian barat kerajaan kemudian bernama Panjalu (Kediri) yang beribukota di Daha diserahkan kepada Sri Samarawijaya, sedangkan bagian timur bernama Jenggala yang beribukota di Kahuripan diserahkan kepada Mapanji Garasakan, di mana gunung Kawi ke utara dan selatan menjadi batas bagi kedua kerajaan baru tersebut. Pada masa ini, nama Kahuripan telah lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Airlangga. Berita ini juga sesuai dengan naskah serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai Raja Daha, bahkan Nagarakrtagama juga menyebut Airlangga sebagai Raja Panjalu yang berpusat di Daha. Namun tidak diketahui dengan pasti mengapa Airlangga meninggalkan Kahuripan.

Sementara itu ada pula pendapat lain yang mengatakan Airlangga mundur dari tahtanya dan memerintahkan untuk membagi kekuasaan menjadi dua kerajaan melalui Mpu Bharada, yakni pada tahun 1041 M kedua kerajaan tersebut adalah Jenggala dengan ibukota di Daha, sedangkan Airlangga sendiri berada di ibukota Kahuripan, Panjalu (Kediri). Menurut serat Calon Arang, Airlangga pada mulanya bingung untuk memilih pengganti, karena kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Maka mengingat dirinya juga putra Raja Bali, ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada kemudian berangkat kembali untuk mengajukan niat tersebut, namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah juga menunjukkan, bahwa Udayana digantikan oleh putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali dan mereka kemudian digantikan adik yang lain, yaitu Anak Wungsu.

Di dalam Nagarakrtagama, pembagian wilayah dilakukan oleh Mpu Bharada; tokoh sakti yang juga menjadi guru Airlangga. Mpu Bharada menyanggupi dan melaksanakan perintah tersebut dengan cara menuangkan air kendi dari ketinggian. Air tersebut lalu berubah menjadi sungai yang memisahkan Kerajaan Panjalu (Kediri) dan Kerajaan Jenggala. Dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang. Tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat, bahwa sungai tersebut adalah sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya kali Lekso). Pendapat tersebut didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan oleh kitab Pararaton.

Di dalam Prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam Prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi diantara kedua tanggal tersebut.

Mengenai kapan Airlangga meninggal, juga tidak diketahui dengan pasti. Prasasti Sumengka (1059) yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Jenggala hanya menyebutkan Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Dan identifikasi tentang kolam pemandian yang dianggap paling sesuai dengan berita Prasasti Sumengka tersebut adalah Candi Belahan (Welahan) di lereng gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan Arca Wisnu disertai dua dewi. Pada candi Belahan ditemukan angka tahun 1049, namun tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut. Dan berdasarkan Prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.

Sebagian peneliti berasumsi, setelah membagi kerajaannya, Airlangga lalu mengundur dan menjadi pertapa dengan nama Resi Gentayu, seperti terdapat dalam Babad Tanah Jawi. Sedangkan menurut serat Calon Arang, ia kemudian bergelar Resi Airlangga Jatiningrat. Namun kemungkinan yang lebih dapat dipercaya adalah menurut Prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebutkan gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Semasa hidupnya, Airlangga dianggap sebagai titisan Wisnu dengan lencana kerajaan Garudamukha. Masa pemerintahannya mengalami kejayaan di mana Airlangga mengadakan berbagai pembangunan untuk kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain membangun Sri Wijaya Asrama (1036), membangun Bendungan Waringin Sapta (1037) untuk mencegah banjir musiman, memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh yang letaknya di Muara Kali Brantas ―dekat Surabaya (sekarang), membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan, meresmikan pertapaan gunung Pucangan (1041), memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha. Selain pembangunan material, Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Pada tahun 1035, Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, yang juga dianggap sebagai kiasan Airlangga ketika mengalahkan Wurawari.

1079 M
Kronik Tiongkok menyebutkan pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) yang disebut juga sebagai Raja San-fo-tsi mengirimkan utusan untuk memperbaiki candi di dekat Canton, kemudian mengirimkan pula utusannya pada tahun 1088.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar