Seorang raja Sriwijaya memerintahkan
pembangunan sebuah candi di Negapatnam, di wilayah penguasa Chola yang kuat di India.
Menurut Coedes, Chola terletak di pantai Coromandel (Cholamandala).
Selain itu, sumber Tibet
dan Nepal mencatat pula perihal kepopuleran candi-candi suci Buddhis di Sumatera.
Disebutkan, Atisya —reformator besar Buddhisme di Tibet— pergi belajar selama 12
tahun (1011-1023) di ibukota Sriwijaya di tepi sungai Musi. Duta-duta Sriwijaya
juga secara teratur mengunjungi Kanton, tempat dimana mereka meminta lonceng-lonceng
untuk candi yang mereka bangun untuk raja mereka. Dan, konon di situlah rakyat mereka
berdo’a agar kaisar Cina diberi umur panjang.
1006
M
Raja Wurawari dari Lwaram
(sekutu Sriwijaya) menyerang Watan; ibukota Kerajaan Medang; yang tengah mengadakan
pesta perkawinan. Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan keponakannya yang bernama
Airlangga lolos dalam serangan itu. Airlangga putra Mahendradatta; Raja Bali; berhasil
lolos waktu terjadi gelombang penyerangan tersebut. Saat itu, Airlangga berusia
16 tahun. Bersama Narottama, ia bersembunyi di hutan pegunungan (Wanagiri) mengikuti
para pertapa. Dan setelah dewasa, kawin dengan sepupunya, anak dari Dharmawangsa.
Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang
Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Pendapat lain menyebutkan,
penyerangan yang mengakibatkan Dharmawangsa Teguh pralaya terjadi pada tahun 1016
M. Tentang kehancuran kekuasaannya —menurut Prasasti batu Calcutta, seluruh Jawa
bagaikan satu lautan yang dimusnahkan oleh Raja Wurawari. Keras dugaan, bahwa yang
berdiri di belakang penyerangan terhadap Dharmawangsa sebenarnya Sriwijaya.
1010
M
Pada kisaran tahun 1010,
Mahendradatta meninggal, sehingga Udayana memerintah sendiri sampai tahun 1022.
Sementara itu, anak sulung Mahendradatta yang bernama Airlangga menggantikan Dharmawangsa
memerintah di Jawa Timur, dan anak bungsunya yang bernama Anak Wungsu memerintah
di Bali dengan gelar Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanotunggadewa.
1019
M
Airlangga dinobatkan oleh
pendeta Buddha-Syiwa dan Brahmana (pendeta Hindu) menjadi raja. Ketika naik tahta,
wilayah kerajaannya hanya meliputi sekitar daerah Sidoarjo dan Pasuruan sekarang.
Nampaknya, sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan
diri. Airlangga naik tahta dengan bergelar Sri
Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa.
Mengingat kota Watan sudah
hancur, Airlangga membangun ibukota baru bernama Watan Mas di dekat gunung Penanggungan.
Nama kota ini tercatat dalam Prasasti Cane (1021).
1023
M
Parakesarivarman alias Udaya Sri
Rajendra Choladewa; penguasa kerajaan di pantai Coromandel yang naik tahta pada
tahun 1012 dan awalnya sangat bersahabat; tiba-tiba menyerang kekuasaan Sriwijaya
(antara tahun 1023-1024). Menurut Prasasti Tanjore —yang dikeluarkan setelah penyerangan
ke Sriwijaya (1030), kerajaan Chola berhasil melawan Raja Kadaram (Kedah) yang bernama Sangramavijayatunggawarman dan menaklukkan
semua raja-raja bawahan Sriwijaya.
Prasasti Tanjore merupakan
sekumpulan dari 5 buah copper-plate yang
terdapat di kuil Parijatavanesvara di
Tirukkalar, berada pada distrik Tanjore (Thanjavur), India.
Prof. Nilakanta Sastri, seorang
guru besar pada Universitas Madras, telah membuat terjemahan dari Prasasti itu ke
dalam bahasa Inggris (Prof. Nilakanta Sastri: “Sri Vijaya”, BEFEO, 1940,
XV-2. Juga pada karyanya “A History of Sri Vijaya”, Madras, 1949)
sebagai berikut:
“(Rajendra) having
dispatched many ships in the midst of the rolling sea and having caught Sangramavijayatunggavarman,
the King of Kadaram, together with elephants in his glorious army, (took) the large
heap of treasures, which (that king) has rightfully accumulated; (captured) with
noise the (arch called) Vidhyadharatorana at the war gate of his extensive capital
(nagar); Cri Vijaya with the jewel wicket gate adorned with great splendor and the
gate of large jewels; Pannai with water in its bathing Ghats; the ancient Malajyur
with the strong mountain for its rampart, Mayuridigam, surrounded by the deep sea
(as) by a moat; Ilangasoka undaunted (in) fierce battles; Mappappalam having abundant
(deep) water as defense; Mevilimbangan guarded by beautiful walls; Valaippanduru
possessed of Vilaiponduru(?); Talaittakkolam praised by great men (versed in) the
sciences; The great Tamralinga (capable of) strong action in dangerous battle; Ilamuridesam,
whose fierce strength rose in war; the great Manakkavaram, in whose extensive gardens,
honey was collecting; and Kadaram of fierce strength, which was protected by the
deep sea.”
(“Setelah mengirimkan banyak kapal ke tengah lautan
yang bergulung-gulung dan dapat menawan Sangramawijayatunggawarman, Raja Kadaram,
sekaligus gajah tunggangannya di dalam pasukannya yang megah, (ia merebut juga)
timbunan harta benda yang sangat banyak, yang memang sedemikian dimiliki olehnya;
mendapatkan dengan jalan riuh pedang-pedang terangkat Widyadaratorana pada pembukaan
perang di ibukotanya yang luas, Sriwijaya dengan keagungan pintu berhias manik mutumanikam
yang semarak dan gerbang berisikan batu-batu permata besar; dengan air pada tangkahan
pemandian; Malajyur tua dengan gunung yang kokoh sebagai kubunya; Mayuridigam, dikelilingi
oleh laut yang dalam, laksana parit pertahanan; Ilangasoka tak tertahan (dalam)
pertempuran-pertempuran sengit; Mappappalam memiliki limpahan air yang dalam sebagai
pertahanan; Mewilimbangan, pertahankan oleh tembok-tembok yang cantik; Walaippanduri
mempunyai lahan budidaya dan hutan; Talaitakkolam terpuji oleh orang-orang besar
(dalam kepujanggaan) berpengetahuan; keagungan Tamlaringa yang keras bertindak dalam
pertempuran-pertempuran berbahaya; Ilamuridecam, yang kekuatan hebatnya selalu terbit
dalam peperangan; keagungan Manakkawaram, dengan kebun-kebun luas yang dimilikinya,
di mana madu tertampung; dan kekuatan dahsyat Kadaram, yang telah diperlindungi
oleh lautan dalam.”)
Namun demikian, berdasarkan
sumber Cina dan lainnya, menunjukkan bahwa Sriwijaya sama sekali tidak hancur dan
tetap menjadi pusat Buddhis yang penting. Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui
Yao, disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi
di tahun 1082 masih mengirimkan utusan ke Cina pada masa pemerintahan Kaisar Yuan
Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari Raja Kien-pi (Jambi) bawahan San-fo-tsi,
yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil
perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.
Sementara itu, terdapat pula
pendapat lain seputar waktu penyerangan Raja Chola, yaitu pada tahun 1017, 1023,
1025, dan 1068, di mana Sriwijaya telah diserang oleh Raja Chola dari kerajaan Cholamandala
(India).
Oleh berbagai bangsa, nama
Sriwijaya disebut dengan macam-macam sebutan. Orang Tionghoa menyebutnya “San-fo-tsi” atau “San-fo-qi”, dalam bahasa Sansekerta dan Pali, Kerajaan Sriwijaya disebut
“Javadesh” dan “Javadeh”. Bangsa Arab penyebutnya “Zabagh” dan Khmer menyebutnya “Melayu”.
Banyaknya nama untuk Sriwijaya juga merupakan alasan lain mengapa lokasi persis
Kerajaan Sriwijaya sangat sulit ditemukan.
1030
M
Airlangga berhasil mengalahkan
Wisnuprabhawa; Raja Wuratan, Wijayawarma; Raja Wengker, kemudian Panuda; Raja Lewa.
1031
M
Putra Panuda mencoba membalas
dendam. Namun dapat dikalahkan dan kotaraja Lewa ikut pula dihancurkan oleh Airlangga.
1032
M
Menurut Prasasti Tetep (1032),
seorang raja wanita dari daerah Tulungagung —sekarang— berhasil mengalahkan Airlangga.
Istana Watan Mas dihancurkan dan Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan
ditemani oleh Mapanji Tumanggala.
Airlangga lalu membangun
kotaraja baru di Kahuripan sampai akhirnya raja wanita dapat dikalahkannya. Masih
dalam tahun 1032, Airlangga dan Mpu Narotama juga berhasil mengalahkan Raja Wurawari,
membalaskan kekalahan Wangsa Isyana.
1035
M
Airlangga menumpas pemberontakan
Wijayawarma; Raja Wengker; yang pernah ditaklukkannya dulu. Wijayawarma melarikan
diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.
1037
M
Berdasarkan Prasasti Kamalagyan
(1037), ibukota Kerajaan Airlangga telah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).
1042
M
Anak perempuan Airlangga,
yaitu Sanggramawijaya ditetapkan sebagai Mahamantri I Hino (yang
berkedudukan tertinggi setelah Raja). Akan tetapi saat
tiba masanya menggantikan Airlangga, ia menolak
dan memilih menjadi pertapa. Maka oleh Airlangga, Sanggramawijaya
dibuatkan sebuah pertapaan di Pucangan (gunung Penanggungan) bergelar
Kili Suci. Nama asli putri tersebut
dalam Prasasti Cane (1021) sampai
Prasasti Turun Hyang (1035) adalah
Sanggramawijaya Tunggadewi.
Kemudian untuk menghindari
perebutan kekuasaan pada kisaran akhir tahun 1042, Airlangga
membagi kerajaannya menjadi dua: bagian
barat kerajaan kemudian bernama Panjalu (Kediri) yang beribukota
di Daha diserahkan kepada Sri Samarawijaya, sedangkan
bagian timur bernama Jenggala yang beribukota di Kahuripan
diserahkan kepada Mapanji Garasakan, di mana
gunung Kawi ke utara dan selatan menjadi batas bagi
kedua kerajaan baru tersebut. Pada masa ini, nama Kahuripan
telah lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Airlangga. Berita ini juga
sesuai dengan naskah serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai
Raja
Daha,
bahkan Nagarakrtagama juga menyebut
Airlangga sebagai Raja Panjalu yang berpusat di Daha. Namun tidak diketahui
dengan pasti mengapa Airlangga meninggalkan Kahuripan.
Sementara itu ada pula pendapat
lain yang mengatakan Airlangga mundur dari tahtanya dan memerintahkan untuk membagi
kekuasaan menjadi dua kerajaan melalui Mpu Bharada, yakni pada
tahun 1041 M
kedua kerajaan tersebut adalah Jenggala dengan ibukota di Daha, sedangkan
Airlangga sendiri berada di ibukota Kahuripan, Panjalu
(Kediri). Menurut serat Calon Arang, Airlangga pada mulanya
bingung untuk memilih pengganti, karena kedua putranya bersaing
memperebutkan tahta. Maka mengingat
dirinya juga putra Raja Bali, ia pun berniat
menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama
Mpu
Bharada
kemudian berangkat kembali untuk mengajukan niat tersebut, namun mengalami
kegagalan.
Fakta
sejarah juga menunjukkan,
bahwa Udayana digantikan oleh putra keduanya
yang bernama Marakata sebagai Raja Bali dan mereka
kemudian digantikan adik yang lain, yaitu Anak Wungsu.
Di dalam Nagarakrtagama, pembagian
wilayah dilakukan oleh Mpu Bharada; tokoh sakti yang juga
menjadi guru Airlangga.
Mpu Bharada menyanggupi dan melaksanakan
perintah tersebut dengan cara menuangkan air kendi dari ketinggian. Air tersebut lalu berubah menjadi
sungai yang memisahkan Kerajaan Panjalu (Kediri) dan Kerajaan
Jenggala. Dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai
sekarang.
Tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat, bahwa sungai
tersebut adalah sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya kali Lekso).
Pendapat
tersebut didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan oleh
kitab Pararaton.
Di dalam Prasasti Pamwatan, 20 November
1042,
Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan
dalam Prasasti Gandhakuti, 24 November
1042,
ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan
kerajaan diperkirakan terjadi diantara kedua tanggal tersebut.
Mengenai kapan Airlangga
meninggal, juga tidak diketahui dengan pasti. Prasasti Sumengka (1059) yang merupakan
peninggalan dari Kerajaan Jenggala hanya menyebutkan Resi
Aji Paduka Mpungku dimakamkan
di tirtha atau pemandian. Dan identifikasi
tentang kolam pemandian yang dianggap paling sesuai dengan berita Prasasti Sumengka tersebut
adalah Candi Belahan (Welahan) di lereng
gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan
Arca Wisnu disertai dua dewi. Pada candi Belahan ditemukan
angka tahun 1049,
namun tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun
kematian Airlangga ataukah tahun pembangunan candi pemandian
tersebut.
Dan
berdasarkan
Prasasti
Pucangan
(1041) diketahui
Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka ketiga patung tersebut
dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan
ibu Mapanji Garasakan.
Sebagian peneliti berasumsi, setelah
membagi kerajaannya, Airlangga lalu mengundur dan menjadi
pertapa dengan nama Resi Gentayu, seperti
terdapat dalam Babad Tanah Jawi. Sedangkan menurut
serat Calon Arang, ia kemudian
bergelar Resi Airlangga Jatiningrat. Namun kemungkinan
yang lebih dapat dipercaya adalah menurut Prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebutkan
gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Semasa hidupnya, Airlangga dianggap
sebagai titisan Wisnu dengan lencana kerajaan Garudamukha. Masa pemerintahannya
mengalami kejayaan di mana Airlangga mengadakan berbagai
pembangunan untuk kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang
dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain membangun Sri Wijaya Asrama (1036), membangun
Bendungan Waringin Sapta (1037) untuk mencegah
banjir musiman,
memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh yang
letaknya di Muara Kali Brantas ―dekat Surabaya (sekarang), membangun
jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat
kerajaan, meresmikan
pertapaan gunung Pucangan (1041), memindahkan
ibukota dari Kahuripan ke Daha. Selain pembangunan
material,
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Pada tahun 1035, Mpu Kanwa menulis
Arjuna Wiwaha yang diadaptasi
dari epik Mahabharata. Kitab tersebut
menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, yang juga
dianggap sebagai kiasan Airlangga ketika mengalahkan Wurawari.
1079
M
Kronik Tiongkok menyebutkan
pada tahun 1079,
Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
yang
disebut juga sebagai Raja San-fo-tsi mengirimkan utusan untuk memperbaiki candi
di dekat Canton,
kemudian mengirimkan pula utusannya pada tahun 1088.
Sebelumnya: KronikPeralihan Nusantara (414-992 M)
Selanjutnya: KronikPeralihan Nusantara (1101-1248 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar