Kubilai Khan dari Dinasti
Yuan (Mongol 1280-1367) mengirim pasukannya untuk memberi balasan kepada Raja
Kertanegara, Raja Singhasari yang telah berani menghina dan merusak muka
utusannya; Meng Khi. Pasukannya terdiri dari 20.000 orang tentara yang direkrut
dari Hokkian, Kiangsi, dan Hukuang.
Setelah Pasukan yang
dipimpin oleh Shih-pi, Kau Hsing, dan Ike Mese tiba di Tuban, mereka segera
memasuki kali Sedayu dan kali Mas. Akan tetapi mereka justru berhasil dibujuk
dan dikelabui oleh Raden Wijaya agar bersedia membantunya menggulingkan Jayakatwang
di Kediri. Menurut Kidung Panji Wijayakrama, dan Kidung Harsawijaya, pasukan
Mongol diundang oleh Arya Wiraraja untuk membantu Raden Wijaya mengalahkan
Kediri dengan imbalan dua orang putri untuk diperistri Kaisar Mongol; Kubilai
Khan. Sedangkan Negarakrtagama hanya memberitakan kerjasama Raden Wijaya dengan
pasukan Mongol secara singkat.
Negarakrtagama dan Pararaton
sama-sama menyebut pasukan Mongol sebagai bangsa Tartar. Dikisahkan, Arya Wiraraja
meminta bantuan Raja Tartar agar bersedia membantu Raden Wijaya mengalahkan Jayakatwang.
Dan sebagai imbalannya, akan diserahkan dua orang putri Tumapel, yaitu Tribhuwaneswari
dan Gayatri.
Kisah serangan Mongol
terhadap Jawa juga tercantum di dalam Catatan Sejarah Dinasti Yuan yang telah
diterjemahkan oleh W.P. Groeneveldt, dalam bukunya “Notes of the Malay Archipelago
and Malaka”, Compiled from
Chinese Sources (1880). Di dalam kronik Cina tersebut, nama-nama Jawa
tertulis dalam ejaan Cina, antara lain Kertanegara disebut Ka-ta-ma-ka-la,
Raja Wijaya disebut Tu-han-pi-ja-ya, Jayakatwang disebut Ha-ji-ka-tang,
Gelang-Gelang disebut Ka-lang, Daha disebut Ta-ha, Tumapel
disebut Tu-ma-pan, Tuban disebut Tu-ping-suh.
Pada mulanya, tentara
Kediri sempat menyerang lebih dulu ke Majapahit dari tiga jurusan. Namun
semuanya dapat dipukul mundur oleh pasukan Mongol. Kemudian Raden Wijaya yang
dibantu pasukan Mongol, ganti menyerang Jayakatwang di Kediri (1293). Dalam
pertempuran itu, Sora bertugas menggempur benteng selatan dan berhasil membunuh
Patih Kediri; Kebo Mundarang. Sedangkan Ranggalawe yang menyediakan 27 ekor
kuda dari Sumbawa sebagai kendaraan perang Raden Wijaya dan para pengikutnya dalam
perang melawan Jayakatwang, ikut didalam pasukan yang menggempur benteng timur Kota
Kediri. Ia berhasil menewaskan pimpinan benteng tersebut yang bernama Segara Winotan.
Sesudah Kediri berhasil
dikalahkan, Raden Wijaya mohon diri untuk kembali ke Majapahit. Ike Mese dan Shih
Pi mengizinkan, bahkan memberikan 200 orang tentara Mongol sebagai pengawal. Kau
Hsing yang sempat curiga, tidak kuasa menentang keputusan atasannya. Setelah
itu, Raden Wijaya pun berbalik menyerang pasukan Kubilai Khan yang tengah
berpesta merayakan jatuhnya Kediri. Pada pertempuran itu, Sora dan keponakannya;
Ranggalawe; bertindak sebagai pembantai tentara Mongol.
Walau berhasil dipukul
oleh Raden Wijaya, pasukan Mongol pada akhirnya berhasil meninggalkan Jawa
dengan membawa pulang lebih dari 100 orang tawanan, peta, daftar penduduk, surat
bertulis emas dari Bali, dan barang berharga lainnya yang bernilai sekitar 500.000
tahil perak. Mereka juga sempat menghukum mati Jayakatwang dan putranya, yaitu Ardharaja
di atas kapal. Dan sesampainya di Cina, Ike Mese dan Shih Pi pun diganjar
dengan hukuman mati karena dinilai gagal menjalankan tugas.
Sementara itu, di Jawa, banyak
pula pasukan Mongol yang ditawan atau dengan sukarela memilih tinggal daripada
harus melakukan pelayaran kembali ke daratan Tiongkok yang keras dan berbahaya,
serta menghindari ganjaran akibat gagalnya misi penghukuman. Selain menjadi
pertanda dimulainya era Majapahit, pada masa itu juga terjadi pengalihan
teknologi Tiongkok secara besar-besaran ke Jawa, terutama teknologi pembuatan
kapal, senjata api (mesiu), dan uang.
Orang-orang dari
Tiongkok yang tertinggal setelah gagalnya invasi pasukan Mongol, pada akhirnya
memainkan peranan penting dalam memajukan perdagangan untuk kurun waktu yang
lama. Sebagai kekuatan maritim, Majapahit segera mengalami kemajuan pesat
dengan mengandalkan pelaut, nahkoda, dan pemilik kapal yang hafal akan
rute-rute pelayaran di Asia Tenggara.
Di dalam buku surat
kepada putrinya, Indira Gandhi, Glimpses of World History, Jawaharlal Nehru
mengatakan, “Sesungguhnya ekspedisi Tiongkok akhirnya menjadikan Jawa atau
kemaharajaan Majapahit lebih kuat. Ini disebabkan oleh karena orang Tionghoa
mendatangkan senjata api ke Jawa, dan agaknya dengan senjata api inilah datang
kemenangan berturut-turut kepada Majapahit.”
Orang-orang Tionghoa
yang mengawini perempuan-perempuan setempat dan beranak-pinak di Jawa kemudian
mengajari penduduk setempat cara-cara membuat batu bata, genteng, teknologi
pertanian, serta memperkenalkan bibit-bibit palawija. Mereka mengembangkan
budidaya tanaman kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, semangka, dan nila
atau tarum untuk dijadikan bahan pewarna. Demikian juga cara menjahit pakaian, membuat
tahu, penyulingan arak dari beras yang difermentasi, serta yang lainnya. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwasanya orang-orang Tionghoa pada saat itu justru hidup
tanpa sedikit pun mengalami resistensi dari penduduk setempat.
Setelah berhasil
menggulingkan Jayakatwang dan mengusir pasukan Mongol, tanggal pasti yang
digunakan sebagai hari kelahiran Raja Majapahit diambil dari waktu penobatan
Raden Wijaya sebagai raja, yaitu bertepatan dengan tanggal 10 November 1293.
Raden Wijaya naik tahta dengan nama resmi Sri Kertarajasa Jayawardhana.
Mengenai silsilah Raden
Wijaya —menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Lembu Tal atau Dyah Singhamurti
yang disebut sebagai ayah Raden Wijaya adalah putri dari Mahesa Cempaka; putri
Mahesa Wonga Teleng; putra Ken Arok yang merupakan pendiri Kerajaan Singhasari.
Lembu Tal menikah dengan rakryan Jayadharma; putra Prabu Guru Darmasiksa; raja
kerajaan Sunda-Galuh yang memerintah tahun 1175-1297. Dari perkawinan itu, lahir
Raden Wijaya. Pada masa itu, rakryan Jayadharma menjadi putra mahkota yang
berkedudukan di Pakuan. Akan tetapi ia meninggal dunia karena racun. Sepeninggal
suaminya, Dyah Lembu Tal membawa Raden Wijaya pergi dari Pakuan. Keduanya lalu
menetap di Singhasari; negeri kelahiran Lembu Tal. Dengan demikian, naskah
tersebut menunjukkan kalau Raden Wijaya memiliki hubungan darah dengan keluarga
kerajaan Sunda Galuh.
Akan tetapi, kisah lain
terdapat di dalam Negarakrtagama yang mengatakan Dyah Lembu Tal bukan seorang
perempuan, melainkan seorang laki-laki. Disebutkan, bahwa ayah Raden Wijaya
bernama Lembu Tal; putra Narasinghamurti. Lembu Tal juga dikisahkan sebagai
seorang Perwira Yudha (pemimpin perang) yang gagah berani. Sementara itu,
Pararaton yang juga berkisah tentang sejarah Majapahit, menyebut Raden Wijaya
sebagai putra Narasinghamurti.
Di antara naskah-naskah
di atas, kiranya Negarakrtagama yang paling dapat dipercaya. Karena naskah ini
ditulis tahun 1365 atau hanya berselang 56 tahun sejak kematian Raden Wijaya. Berita
dalam Negarakrtagama juga diperkuat oleh Prasasti Balawi yang diterbitkan
langsung oleh Raden Wijaya sendiri pada tahun 1305. Dalam prasasti itu, Raden
Wijaya mengaku sebagai anggota asli Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang menurut Pararaton
didirikan oleh Ken Arok; penguasa pertama kerajaan Singhasari.
Setelah Majapahit
berdiri, sebagai kerajaan dari Prasasti Kudadu (1294) diketahui Arya Wiraraja
kemudian menjabat sebagai pasangguhan yang bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja
Makapramuka. Kemudian, Sora menjabat sebagai rakryan demung, seperti
disebutkan dalam Pararaton. Namun berita di atas juga kurang tepat. Sebab, di
dalam Prasasti Sukamreta (1296) tertulis nama rakryan demung Majapahit adalah
Mpu Renteng, sedangkan Mpu Sora menjabat sebagai Rakryan Patih ri Daha
atau Patih bawahan di Daha (Kediri). Dan Ranggalawe —menurut Kidung Ranggalawe—
atas jasa-jasanya dalam perjuangan, ia diangkat sebagai Adipati Tuban yang
merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu.
Namun dalam Prasasti Kudadu
yang memuat daftar nama para pejabat Majapahit di awal berdirinya, ternyata
tidak tercantum nama Ranggalawe, melainkan nama Arya Adikara atau Arya Wiraraja.
Sedangkan menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Sedangkan
Prasasti Kudadu menyebut dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua orang
tokoh yang berbeda.
Prof. Slamet Muljana
mengidentifikasi Arya Adikara sebagai nama lain Ranggalawe. Mengingat di dalam
tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah kemudian dipakai
oleh anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya Wiraraja
kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika dirinya diangkat sebagai
pejabat Majapahit. Dalam Prasasti Kudadu, ayah dan anak tersebut sama-sama
menjabat sebagai Pasangguhan yang masing-masing bergelar Rakryan Manteri
Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara.
Sepuluh hari setelah
pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit di tahun 1293 —menurut Pararaton,
pasukan Kebo Anabrang yang pada tahun 1275 dikirim oleh Kertanegara ke Sumatera
tiba kembali di Jawa. Pasukan tersebut membawa dua orang putri bernama Dara Jingga
dan Dara Petak, yang dimaksudkan sebagai persembahan untuk Raja Kertanegara. Tetapi
dikarenakan Kertanegara sudah tewas akibat serangan Kediri, maka Raden Wijaya
dianggap sebagai penguasa yang berhak atas dua putri tersebut. Namun Raden
Wijaya hanya memilih Dara Petak sebagai istri. Dari perkawinan ini, kemudian
lahir Raden Kalagemet. Sedangkan Dara Jingga diserahkan kepada Adwayadhbrahma; seorang
pejabat Singhasari yang dulu dikirim ke Sumatera pada tahun 1286. Pasangan Dara
Jingga-Adwayadhbrahma memiliki putra bernama Tuanku Janaka Warmadewa alias Mantrolot.
Tuanku Janaka juga dikenal sebagai Adityawarman, yang di kemudian hari menjadi
raja Pagaruyung di Sumatera.
Menurut kronik Cina, pasukan
Mongol yang dipimpin Ike Mese meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293, sehingga
dapat diperkirakan pertemuan antara Raden Wijaya dan Dara Petak terjadi tanggal
4 Mei 1293. Dara petak pandai mengambil hati Raden Wijaya, sehingga dijadikan
sebagai stri tinuheng pura atau istri yang dituakan di istana. Padahal
menurut Negarakrtagama, Raden Wijaya sudah memiliki empat orang istri yang
semuanya putri Kertanegara. Pengangkatan Dara Petak sebagai istri tertua
mungkin karena hanya dirinya saja yang melahirkan anak laki-laki, yaitu
Jayanegara. Sedangkan menurut Negarakrtagama, ibu Jayanegara bernama Indreswari.
Nama ini dianggap sebagai gelar resmi sekaligus “nama Jawa” dari Dara Petak.
Dalam Prasasti Kertarajasa
(1305), Jayanegara disebut sebagai putra Tribhuwaneswari; permaisuri utama Raden
Wijaya. Dari berita tersebut, dapat pula diperkirakan bahwasanya Jayanegara
adalah anak kandung Indreswari alias Dara Petak yang kemudian menjadi anak
angkat Tribhuwaneswari, sehingga ia dapat menjadi putra mahkota Majapahit.
1295
M
Kitab Pararaton menyebut
perlawanan Ranggalawe yang merupakan pemberontakan pertama di Majapahit terjadi
pada tahun 1295. Namun peristiwa tersebut dikisahkan berlangsung sesudah
kematian Raden Wijaya. Menurut Pararaton, pemberontakan tersebut bersamaan
dengan Jayanegara naik tahta. Sedangkan menurut Negarakrtagama, Raden Wijaya
meninggal dunia dan digantikan kedudukannya oleh Jayanegara terjadi pada tahun
1309. Akibatnya, sebagian sejarawan berpendapat bahwa pemberontakan Ranggalawe
terjadi pada tahun 1309, bukan 1295. Dengan begitu, seolah-olah pengarang Pararaton
melakukan kesalahan dalam penyebutan angka tahun.
Negarakrtagama juga
mengisahkan bahwa pada 1295 Jayanegara diangkat sebagai yuwaraja atau
raja muda di istana Daha. Selain itu, Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung
Ranggalawe dengan jelas menceritakan bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi
pada masa pemerintahan Raden Wijaya, bukan Jayanegara. Dan fakta lain juga
menunjukkan nama Arya Wiraraja dan Arya Adikara sama-sama terdapat dalam Prasasti
Kudadu tahun 1294, namun kemudian keduanya sama-sama tidak terdapat lagi dalam Prasasti
Sukamreta tahun 1296. Ini pertanda bahwa Arya Adikara alias Ranggalawe
kemungkinan besar memang meninggal pada tahun 1295, sedangkan Arya Wiraraja
diduga mengundurkan diri dari pemerintahan setelah kematian anaknya itu.
Jadi, kematian
Ranggalawe terjadi pada tahun 1295 yang bertepatan dengan pengangkatan Jayanegara;
putra Raden Wijaya; sebagai yuwaraja atau raja muda. Dalam hal ini, pengarang
Pararaton tidak melakukan kesalahan dalam menyebut tahun, hanya saja salah
menempatkan pembahasan peristiwa tersebut.
Sementara itu, Negarakrtagama
—yang dalam banyak hal memiliki data lebih akurat dibanding Pararaton— ternyata
sama sekali tidak membahas pemberontakan Ranggalawe. Hal ini dapat dipahami karena
sifat dari naskah tersebut yang merupakan sastra pujian, sehingga penulisnya; Mpu
Prapanca; merasa tidak perlu menceritakan pemberontakan seorang pahlawan yang
dianggapnya sebagai aib.
Pararaton mengisahkan, Ranggalawe
memberontak terhadap Kerajaan Majapahit karena dihasut seorang pejabat licik
bernama Mahapati. Kisah yang lebih panjang terdapat dalam Kidung Panji Wijayakrama
dan Kidung Ranggalawe. Pemberontakan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan
Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan Patih. Menurut Ranggalawe, jabatan
Patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih berjasa
dalam perjuangan ketimbang Nambi.
Ranggalawe yang bersifat
pemberani dan emosional, suatu hari menghadap Raden Wijaya dan langsung
menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Sora. Tetapi Sora justru tidak
menyetujui hal tersebut, dan mendukung Nambi sebagai Patih.
Karena tuntutannya tidak
dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di halaman istana. Sora keluar menasihati
Ranggalawe yang merupakan keponakannya sendiri untuk meminta maaf kepada raja.
Namun Ranggalawe lebih memilih pulang ke Tuban. Oleh Mahapatih, Nambi diberi
tahu bahwasanya Ranggalawe sedang menyusun kekuatan di Tuban. Maka atas izin raja,
Nambi yang juga didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang berangkat memimpin
pasukan Majapahit untuk menghukum Ranggalawe.
Setelah mengetahui
kedatangan tentara Majapahit, Ranggalawe pun menyiapkan pasukannya. Ia menghadang
pasukan Majapahit di dekat sungai Tambak Beras. Ranggalawe bertanding melawan Kebo
Anabrang di dalam sungai. Kebo Anabrang yang lebih unggul di air, akhirnya
berhasil membunuh Ranggalawe secara kejam. Maka melihat keponakannya disiksa
sampai mati, Lembu Sora merasa tidak tahan dan membunuh Kebo Anabrang dari
belakang.
Mengenai sosok
Ronggolawe kidung Ranggalawe dan Kidung Panji wijayakrama menyebut Ranggalawe
memiliki dua orang istri bernama Martaraga dan Tirtawati. Mertuanya adalah
gurunya sendiri bernama Ki Ajar Plandongan. Dari Martaraga lahir seorang putra
bernama Kuda Anjampiani. Kedua naskah ini menyebut ayah Ranggalawe adalah Arya Wiraraja.
Sementara itu, Pararaton menyebut Arya Wiraraja adalah ayah Nambi. Selain itu,
Kidung Harsawijaya juga menyebutkan kalau putra Wiraraja yang dikirim untuk
membantu pembukaan Alas Tarik adalah Nambi. Sedang Ranggalawe adalah perwira
kerajaan Singhasari yang kemudian menjadi Patih pertama Majapahit. Akan tetapi,
uraian Kidung Harsawijaya terbukti keliru, karena berdasarkan Prasasti Sukamreta
tahun 1296, diketahui nama Patih pertama Majapahit bukanlah Ranggalawe
melainkan Nambi. Sedangkan nama ayah Nambi —menurut Kidung Sorandaka— adalah Pranaraja.
Brandes menganggap Pranaraja dan Wiraraja sebagai orang yang sama. Namun
menurut Slamet Muljana, keduanya sama-sama disebut dalam Prasasti Kudadu
sebagai dua tokoh yang berbeda. Menurut Muljana, Nambi adalah putra Pranaraja, sedangkan
Ranggalawe adalah putra Wiraraja. Hal ini ditandai dengan kemunculan nama Arya Wiraraja
dan Arya Adikara dalam Prasasti Kudadu, dan keduanya sama-sama menghilang dalam
Prasasti Sukamreta.
Nama besar Ranggalawe
rupanya telah sangat melekat di dalam ingatan masyarakat Jawa. Penulis Serat
Damarwulan atau Serat Kanda mengenal adanya nama Ranggalawe. Namun tidak
mengetahui dengan pasti bagaimana kisah hidupnya. Maka ia pun menempatkan tokoh
Ranggalawe hidup sezaman dengan Damarwulan dan Menak Jinggo. Sedangkan Damarwulan
sendiri merupakan tokoh fiksi, karena kisahnya tidak sesuai dengan bukti-bukti
sejarah dan tidak memiliki prasasti pendukung.
Dalam versi dongeng ini,
Ranggalawe dikisahkan sebagai Adipati Tuban yang juga merangkap sebagai
panglima Angkatan Perang Majapahit pada masa pemerintahan Ratu Kencana Wungu. Ketika
Majapahit diserang oleh Menak Jinggo; Adipati Blambangan; Ranggalawe ditugasi
untuk menghadangnya. Dalam perang tersebut, Menak Jinggo tidak mampu membunuh
Ranggalawe karena selalu terlindung oleh payung pusakanya. Maka Menak Jinggo
pun terlebih dulu membunuh abdi pemegang payung Ranggalawe yang bernamaWangsapati,
baru kemudian Ranggalawe dapat ditewaskan oleh Menak Jinggo. Tokoh Ranggalawe
dalam kisah ini memiliki dua orang putra bernama Siralawe dan Buntarlawe, yang
masing-masing disebutkan menjadi Bupati di Tuban dan Bojonegoro.
1296
M
Pada Prasasti
Penanggungan (1296), nama Wiraraja sudah tidak lagi dijumpai. Penyebabnya ialah
pada tahun 1295, salah satu putra Wiraraja yang bernama Ranggalawe melakukan
pemberontakan dan menemui kematiannya. Peristiwa itu membuat Wiraraja sakit
hati dan mengundurkan diri dari jabatannya. Ia lalu menuntut janji Raden Wijaya,
yaitu setengah wilayah Majapahit. Dan Raden Wijaya mengabulkannya. Arya Wiraraja
akhirnya mendapatkan Majapahit sebelah timur dengan ibukota di Lumajang.
1297
M
Meurah Silu yang
bergelar Sultan Al-Malikus Saleh; raja pertama Kesultanan Samudra Pasai; wafat
pada bulan Ramadhan tahun 696 Hijriyah. Putranya; Muhammad; kemudian naik tahta
dengan gelar Sultan Al-Malikuzh Zhahir. Dari perkawinannya dengan putri Raja
Perlak, memperoleh dua orang putra.
1300
M
Aji Batara Agung Dewa
Sakti (1300-1325) menjadi raja Kerajaan Kutai Kartanegara di daerah yang
bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (ini menjadi sebuah desa di wilayah
kecamatan Anggana). Di dalam Negarakertagama, kerajaan ini disebut pula dengan
nama kerajaan Tanjung Kute, yaitu salah satu daerah di pulau Tanjungnegara yang
ditaklukkan oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.
Namun demikian, bagi
para peneliti terdapat pula sebutan perihal Kerajaan Kutai yang diperkirakan
telah ada sejak abad ke-4 masehi, yakni Kerajaan Kutai Martadipura. Kutai Martadipura
adalah salah satu kerajaan tertua bercorak Hindu di Nusantara atau pun Asia
Tenggara. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di
Hulu Sungai Mahakam. Nama “Kutai” diambil dari nama tempat ditemukannya
prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Namun, nama “Kutai” diberikan
oleh para ahli karena tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama
kerajaan tersebut dan sangat sedikit informasi yang diperoleh akibat kurangnya
sumber sejarah.
Informasi mengenai
adanya kerajaan tersebut diperoleh dari Yupa/Tugu dalam acara pengorbanan yang
berasal dari abad ke-4, di mana ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama
bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah
satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu
adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya terhadap
kaum Brahmana. Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga. Nama
Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sansekerta bila
dilihat dari cara penulisannya. Kudungga adalah seorang pembesar yang datang
dari kerajaan Champa (Kamboja). Kudungga sendiri diduga belum menganut ajaran
Buddha.
Aswawarman mungkin
adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui
sebagai pendiri Dinasti Kerajaan Kutai, sehingga diberi gelar Wangsakerta yang
artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki tiga orang putra, dan salah
satunya adalah Mulawarman.
Dari yupa diketahui
bahwa kerajaan Kutai mengalami masa keemasan pada masa pemerintahan Mulawarman.
Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat
Kutai hidup sejahtera dan makmur. Akan tetapi, Kerajaan Kutai seakan-akan tak
tampak lagi oleh dunia luar dan sangat sedikit yang mendengar namanya.
Kerajaan Kutai Martadipura
berakhir di abad 16, di mana Raja Kutai Martadipura yang bernama Maharaja
Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13; Aji
Pangeran Anom Panji Mendapa. Setelah penaklukan tersebut, raja kemudian
menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Kematian Sora —menurut
kitab Pararaton— terjadi pada tahun 1300 yang juga diuraikan panjang-lebar
dalam Kidung Sorandaka. Menurut Pararaton, kematiannya terjadi pada masa
pemerintahan Jayanegara. Sedangkan menurut Kidung Sorandaka, terjadi pada
pemerintahan Raden Wijaya. Dalam hal ini, nampaknya pengarang Pararaton kurang
teliti. Karena menurut Negarakrtagama, Jayanegara naik tahta menggantikan Raden
Wijaya baru pada tahun 1309.
Dikisahkan, bahwa Sora
ikut serta dalam pasukan Majapahit yang bergerak menumpas pemberontakan
Ranggalawe di Tuban pada tahun 1295. Dalam pertempuran di sungai Tambak Beras, Ranggalawe
mati di tangan Kebo Anabrang. Dan Sora yang merasa sakit hati melihat
keponakannya dibunuh secara kejam pun berbalik ganti membunuh Kebo Anabrang
dari belakang.
Oleh Raden Wijaya, peristiwa
pembunuhan Kebo Anabrang seperti didiamkan begitu saja. Agaknya keluarga Kebo Anabrang
juga segan menuntut hukuman pengadilan lantaran Sora merupakan abdi kesayangan
Raden Wijaya.
Suasana kusut itu
akhirnya dapat dimanfaatkan oleh Mahapatih yang menghasut putra Kebo Anabrang
yang bernama Mahesa Taruna supaya berani menuntut pengadilan untuk Sora. Ia
juga melapor kepada Raden Wijaya bahwa para menteri merasa resah karena raja
seolah-olah melindungi kesalahan Sora.
Raden Wijaya tersinggung
karena dituduh berlaku tidak adil. Ia pun memberhentikan Sora dari jabatannya
untuk menunggu keputusan lebih lanjut. Mahapatih mengusulkan supaya Sora jangan
dihukum mati, mengingat jasa-jasanya yang sangat besar. Atas pertimbangan
tersebut, Raden Wijaya pun memutuskan bahwa Sora akan di hukum buang ke Tulembang.
Sementara itu, dalam
kesempatan lain Mahapatih juga menemui Sora di kediamannya untuk menyampaikan
surat keputusan raja. Sora sedih atas keputusan itu dan berniat menghadap Raden
Wijaya untuk meminta hukuman mati daripada harus diusir.
Akan tetapi sebelum
kedatangan Sora, Mahapatih telah lebih dulu menghasut Nambi. Ia mengatakan
bahwa Sora akan datang untuk membuat kekacauan karena tidak puas atas keputusan
raja. Setelah mendesak Raden Wijaya, Nambi pun diizinkan menghadang Sora yang
datang bersama dua orang sahabatnya, yaitu Gajah Biru dan Juru Demung. Maka
terjadilah peristiwa di mana Sora dan kedua temannya mati dikeroyok tentara
Majapahit di halaman istana.
Namun, kisah dalam Kidung
Sorandaka di atas sedikit berbeda dengan Pararaton yang menyebut kematian Juru
Demung terjadi pada tahun 1313, sedangkan Gajah Biru pada tahun 1314. Kematian
kedua sahabat Sora tersebut baru terjadi setelah Jayanegara naik tahta
Majapahit menggantikan ayahnya; Raden Wijaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar