Sabtu, 23 Maret 2019

Kronik Peralihan Nusantara (1293-1300 M)

1293 M
Kubilai Khan dari Dinasti Yuan (Mongol 1280-1367) mengirim pasukannya untuk memberi balasan kepada Raja Kertanegara, Raja Singhasari yang telah berani menghina dan merusak muka utusannya; Meng Khi. Pasukannya terdiri dari 20.000 orang tentara yang direkrut dari Hokkian, Kiangsi, dan Hukuang.

Setelah Pasukan yang dipimpin oleh Shih-pi, Kau Hsing, dan Ike Mese tiba di Tuban, mereka segera memasuki kali Sedayu dan kali Mas. Akan tetapi mereka justru berhasil dibujuk dan dikelabui oleh Raden Wijaya agar bersedia membantunya menggulingkan Jayakatwang di Kediri. Menurut Kidung Panji Wijayakrama, dan Kidung Harsawijaya, pasukan Mongol diundang oleh Arya Wiraraja untuk membantu Raden Wijaya mengalahkan Kediri dengan imbalan dua orang putri untuk diperistri Kaisar Mongol; Kubilai Khan. Sedangkan Negarakrtagama hanya memberitakan kerjasama Raden Wijaya dengan pasukan Mongol secara singkat.

Negarakrtagama dan Pararaton sama-sama menyebut pasukan Mongol sebagai bangsa Tartar. Dikisahkan, Arya Wiraraja meminta bantuan Raja Tartar agar bersedia membantu Raden Wijaya mengalahkan Jayakatwang. Dan sebagai imbalannya, akan diserahkan dua orang putri Tumapel, yaitu Tribhuwaneswari dan Gayatri.

Kisah serangan Mongol terhadap Jawa juga tercantum di dalam Catatan Sejarah Dinasti Yuan yang telah diterjemahkan oleh W.P. Groeneveldt, dalam bukunya “Notes of the Malay Archipelago and Malaka”, Compiled from Chinese Sources (1880). Di dalam kronik Cina tersebut, nama-nama Jawa tertulis dalam ejaan Cina, antara lain Kertanegara disebut Ka-ta-ma-ka-la, Raja Wijaya disebut Tu-han-pi-ja-ya, Jayakatwang disebut Ha-ji-ka-tang, Gelang-Gelang disebut Ka-lang, Daha disebut Ta-ha, Tumapel disebut Tu-ma-pan, Tuban disebut Tu-ping-suh.

Pada mulanya, tentara Kediri sempat menyerang lebih dulu ke Majapahit dari tiga jurusan. Namun semuanya dapat dipukul mundur oleh pasukan Mongol. Kemudian Raden Wijaya yang dibantu pasukan Mongol, ganti menyerang Jayakatwang di Kediri (1293). Dalam pertempuran itu, Sora bertugas menggempur benteng selatan dan berhasil membunuh Patih Kediri; Kebo Mundarang. Sedangkan Ranggalawe yang menyediakan 27 ekor kuda dari Sumbawa sebagai kendaraan perang Raden Wijaya dan para pengikutnya dalam perang melawan Jayakatwang, ikut didalam pasukan yang menggempur benteng timur Kota Kediri. Ia berhasil menewaskan pimpinan benteng tersebut yang bernama Segara Winotan.

Sesudah Kediri berhasil dikalahkan, Raden Wijaya mohon diri untuk kembali ke Majapahit. Ike Mese dan Shih Pi mengizinkan, bahkan memberikan 200 orang tentara Mongol sebagai pengawal. Kau Hsing yang sempat curiga, tidak kuasa menentang keputusan atasannya. Setelah itu, Raden Wijaya pun berbalik menyerang pasukan Kubilai Khan yang tengah berpesta merayakan jatuhnya Kediri. Pada pertempuran itu, Sora dan keponakannya; Ranggalawe; bertindak sebagai pembantai tentara Mongol.

Walau berhasil dipukul oleh Raden Wijaya, pasukan Mongol pada akhirnya berhasil meninggalkan Jawa dengan membawa pulang lebih dari 100 orang tawanan, peta, daftar penduduk, surat bertulis emas dari Bali, dan barang berharga lainnya yang bernilai sekitar 500.000 tahil perak. Mereka juga sempat menghukum mati Jayakatwang dan putranya, yaitu Ardharaja di atas kapal. Dan sesampainya di Cina, Ike Mese dan Shih Pi pun diganjar dengan hukuman mati karena dinilai gagal menjalankan tugas.

Sementara itu, di Jawa, banyak pula pasukan Mongol yang ditawan atau dengan sukarela memilih tinggal daripada harus melakukan pelayaran kembali ke daratan Tiongkok yang keras dan berbahaya, serta menghindari ganjaran akibat gagalnya misi penghukuman. Selain menjadi pertanda dimulainya era Majapahit, pada masa itu juga terjadi pengalihan teknologi Tiongkok secara besar-besaran ke Jawa, terutama teknologi pembuatan kapal, senjata api (mesiu), dan uang.

Orang-orang dari Tiongkok yang tertinggal setelah gagalnya invasi pasukan Mongol, pada akhirnya memainkan peranan penting dalam memajukan perdagangan untuk kurun waktu yang lama. Sebagai kekuatan maritim, Majapahit segera mengalami kemajuan pesat dengan mengandalkan pelaut, nahkoda, dan pemilik kapal yang hafal akan rute-rute pelayaran di Asia Tenggara.

Di dalam buku surat kepada putrinya, Indira Gandhi, Glimpses of World History, Jawaharlal Nehru mengatakan, “Sesungguhnya ekspedisi Tiongkok akhirnya menjadikan Jawa atau kemaharajaan Majapahit lebih kuat. Ini disebabkan oleh karena orang Tionghoa mendatangkan senjata api ke Jawa, dan agaknya dengan senjata api inilah datang kemenangan berturut-turut kepada Majapahit.”

Orang-orang Tionghoa yang mengawini perempuan-perempuan setempat dan beranak-pinak di Jawa kemudian mengajari penduduk setempat cara-cara membuat batu bata, genteng, teknologi pertanian, serta memperkenalkan bibit-bibit palawija. Mereka mengembangkan budidaya tanaman kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, semangka, dan nila atau tarum untuk dijadikan bahan pewarna. Demikian juga cara menjahit pakaian, membuat tahu, penyulingan arak dari beras yang difermentasi, serta yang lainnya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwasanya orang-orang Tionghoa pada saat itu justru hidup tanpa sedikit pun mengalami resistensi dari penduduk setempat.

Setelah berhasil menggulingkan Jayakatwang dan mengusir pasukan Mongol, tanggal pasti yang digunakan sebagai hari kelahiran Raja Majapahit diambil dari waktu penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Raden Wijaya naik tahta dengan nama resmi Sri Kertarajasa Jayawardhana.

Mengenai silsilah Raden Wijaya —menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Lembu Tal atau Dyah Singhamurti yang disebut sebagai ayah Raden Wijaya adalah putri dari Mahesa Cempaka; putri Mahesa Wonga Teleng; putra Ken Arok yang merupakan pendiri Kerajaan Singhasari. Lembu Tal menikah dengan rakryan Jayadharma; putra Prabu Guru Darmasiksa; raja kerajaan Sunda-Galuh yang memerintah tahun 1175-1297. Dari perkawinan itu, lahir Raden Wijaya. Pada masa itu, rakryan Jayadharma menjadi putra mahkota yang berkedudukan di Pakuan. Akan tetapi ia meninggal dunia karena racun. Sepeninggal suaminya, Dyah Lembu Tal membawa Raden Wijaya pergi dari Pakuan. Keduanya lalu menetap di Singhasari; negeri kelahiran Lembu Tal. Dengan demikian, naskah tersebut menunjukkan kalau Raden Wijaya memiliki hubungan darah dengan keluarga kerajaan Sunda Galuh.

Akan tetapi, kisah lain terdapat di dalam Negarakrtagama yang mengatakan Dyah Lembu Tal bukan seorang perempuan, melainkan seorang laki-laki. Disebutkan, bahwa ayah Raden Wijaya bernama Lembu Tal; putra Narasinghamurti. Lembu Tal juga dikisahkan sebagai seorang Perwira Yudha (pemimpin perang) yang gagah berani. Sementara itu, Pararaton yang juga berkisah tentang sejarah Majapahit, menyebut Raden Wijaya sebagai putra Narasinghamurti.

Di antara naskah-naskah di atas, kiranya Negarakrtagama yang paling dapat dipercaya. Karena naskah ini ditulis tahun 1365 atau hanya berselang 56 tahun sejak kematian Raden Wijaya. Berita dalam Negarakrtagama juga diperkuat oleh Prasasti Balawi yang diterbitkan langsung oleh Raden Wijaya sendiri pada tahun 1305. Dalam prasasti itu, Raden Wijaya mengaku sebagai anggota asli Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang menurut Pararaton didirikan oleh Ken Arok; penguasa pertama kerajaan Singhasari.

Setelah Majapahit berdiri, sebagai kerajaan dari Prasasti Kudadu (1294) diketahui Arya Wiraraja kemudian menjabat sebagai pasangguhan yang bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Kemudian, Sora menjabat sebagai rakryan demung, seperti disebutkan dalam Pararaton. Namun berita di atas juga kurang tepat. Sebab, di dalam Prasasti Sukamreta (1296) tertulis nama rakryan demung Majapahit adalah Mpu Renteng, sedangkan Mpu Sora menjabat sebagai Rakryan Patih ri Daha atau Patih bawahan di Daha (Kediri). Dan Ranggalawe —menurut Kidung Ranggalawe— atas jasa-jasanya dalam perjuangan, ia diangkat sebagai Adipati Tuban yang merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu.

Namun dalam Prasasti Kudadu yang memuat daftar nama para pejabat Majapahit di awal berdirinya, ternyata tidak tercantum nama Ranggalawe, melainkan nama Arya Adikara atau Arya Wiraraja. Sedangkan menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Sedangkan Prasasti Kudadu menyebut dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua orang tokoh yang berbeda.

Prof. Slamet Muljana mengidentifikasi Arya Adikara sebagai nama lain Ranggalawe. Mengingat di dalam tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah kemudian dipakai oleh anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya Wiraraja kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika dirinya diangkat sebagai pejabat Majapahit. Dalam Prasasti Kudadu, ayah dan anak tersebut sama-sama menjabat sebagai Pasangguhan yang masing-masing bergelar Rakryan Manteri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara.

Sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit di tahun 1293 —menurut Pararaton, pasukan Kebo Anabrang yang pada tahun 1275 dikirim oleh Kertanegara ke Sumatera tiba kembali di Jawa. Pasukan tersebut membawa dua orang putri bernama Dara Jingga dan Dara Petak, yang dimaksudkan sebagai persembahan untuk Raja Kertanegara. Tetapi dikarenakan Kertanegara sudah tewas akibat serangan Kediri, maka Raden Wijaya dianggap sebagai penguasa yang berhak atas dua putri tersebut. Namun Raden Wijaya hanya memilih Dara Petak sebagai istri. Dari perkawinan ini, kemudian lahir Raden Kalagemet. Sedangkan Dara Jingga diserahkan kepada Adwayadhbrahma; seorang pejabat Singhasari yang dulu dikirim ke Sumatera pada tahun 1286. Pasangan Dara Jingga-Adwayadhbrahma memiliki putra bernama Tuanku Janaka Warmadewa alias Mantrolot. Tuanku Janaka juga dikenal sebagai Adityawarman, yang di kemudian hari menjadi raja Pagaruyung di Sumatera.

Menurut kronik Cina, pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293, sehingga dapat diperkirakan pertemuan antara Raden Wijaya dan Dara Petak terjadi tanggal 4 Mei 1293. Dara petak pandai mengambil hati Raden Wijaya, sehingga dijadikan sebagai stri tinuheng pura atau istri yang dituakan di istana. Padahal menurut Negarakrtagama, Raden Wijaya sudah memiliki empat orang istri yang semuanya putri Kertanegara. Pengangkatan Dara Petak sebagai istri tertua mungkin karena hanya dirinya saja yang melahirkan anak laki-laki, yaitu Jayanegara. Sedangkan menurut Negarakrtagama, ibu Jayanegara bernama Indreswari. Nama ini dianggap sebagai gelar resmi sekaligus “nama Jawa” dari Dara Petak.

Dalam Prasasti Kertarajasa (1305), Jayanegara disebut sebagai putra Tribhuwaneswari; permaisuri utama Raden Wijaya. Dari berita tersebut, dapat pula diperkirakan bahwasanya Jayanegara adalah anak kandung Indreswari alias Dara Petak yang kemudian menjadi anak angkat Tribhuwaneswari, sehingga ia dapat menjadi putra mahkota Majapahit.

1295 M
Kitab Pararaton menyebut perlawanan Ranggalawe yang merupakan pemberontakan pertama di Majapahit terjadi pada tahun 1295. Namun peristiwa tersebut dikisahkan berlangsung sesudah kematian Raden Wijaya. Menurut Pararaton, pemberontakan tersebut bersamaan dengan Jayanegara naik tahta. Sedangkan menurut Negarakrtagama, Raden Wijaya meninggal dunia dan digantikan kedudukannya oleh Jayanegara terjadi pada tahun 1309. Akibatnya, sebagian sejarawan berpendapat bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1309, bukan 1295. Dengan begitu, seolah-olah pengarang Pararaton melakukan kesalahan dalam penyebutan angka tahun.

Negarakrtagama juga mengisahkan bahwa pada 1295 Jayanegara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di istana Daha. Selain itu, Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe dengan jelas menceritakan bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada masa pemerintahan Raden Wijaya, bukan Jayanegara. Dan fakta lain juga menunjukkan nama Arya Wiraraja dan Arya Adikara sama-sama terdapat dalam Prasasti Kudadu tahun 1294, namun kemudian keduanya sama-sama tidak terdapat lagi dalam Prasasti Sukamreta tahun 1296. Ini pertanda bahwa Arya Adikara alias Ranggalawe kemungkinan besar memang meninggal pada tahun 1295, sedangkan Arya Wiraraja diduga mengundurkan diri dari pemerintahan setelah kematian anaknya itu.

Jadi, kematian Ranggalawe terjadi pada tahun 1295 yang bertepatan dengan pengangkatan Jayanegara; putra Raden Wijaya; sebagai yuwaraja atau raja muda. Dalam hal ini, pengarang Pararaton tidak melakukan kesalahan dalam menyebut tahun, hanya saja salah menempatkan pembahasan peristiwa tersebut.

Sementara itu, Negarakrtagama —yang dalam banyak hal memiliki data lebih akurat dibanding Pararaton— ternyata sama sekali tidak membahas pemberontakan Ranggalawe. Hal ini dapat dipahami karena sifat dari naskah tersebut yang merupakan sastra pujian, sehingga penulisnya; Mpu Prapanca; merasa tidak perlu menceritakan pemberontakan seorang pahlawan yang dianggapnya sebagai aib.

Pararaton mengisahkan, Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan Majapahit karena dihasut seorang pejabat licik bernama Mahapati. Kisah yang lebih panjang terdapat dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe. Pemberontakan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan Patih. Menurut Ranggalawe, jabatan Patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih berjasa dalam perjuangan ketimbang Nambi.

Ranggalawe yang bersifat pemberani dan emosional, suatu hari menghadap Raden Wijaya dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Sora. Tetapi Sora justru tidak menyetujui hal tersebut, dan mendukung Nambi sebagai Patih.

Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di halaman istana. Sora keluar menasihati Ranggalawe yang merupakan keponakannya sendiri untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe lebih memilih pulang ke Tuban. Oleh Mahapatih, Nambi diberi tahu bahwasanya Ranggalawe sedang menyusun kekuatan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi yang juga didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang berangkat memimpin pasukan Majapahit untuk menghukum Ranggalawe.

Setelah mengetahui kedatangan tentara Majapahit, Ranggalawe pun menyiapkan pasukannya. Ia menghadang pasukan Majapahit di dekat sungai Tambak Beras. Ranggalawe bertanding melawan Kebo Anabrang di dalam sungai. Kebo Anabrang yang lebih unggul di air, akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe secara kejam. Maka melihat keponakannya disiksa sampai mati, Lembu Sora merasa tidak tahan dan membunuh Kebo Anabrang dari belakang.

Mengenai sosok Ronggolawe kidung Ranggalawe dan Kidung Panji wijayakrama menyebut Ranggalawe memiliki dua orang istri bernama Martaraga dan Tirtawati. Mertuanya adalah gurunya sendiri bernama Ki Ajar Plandongan. Dari Martaraga lahir seorang putra bernama Kuda Anjampiani. Kedua naskah ini menyebut ayah Ranggalawe adalah Arya Wiraraja. Sementara itu, Pararaton menyebut Arya Wiraraja adalah ayah Nambi. Selain itu, Kidung Harsawijaya juga menyebutkan kalau putra Wiraraja yang dikirim untuk membantu pembukaan Alas Tarik adalah Nambi. Sedang Ranggalawe adalah perwira kerajaan Singhasari yang kemudian menjadi Patih pertama Majapahit. Akan tetapi, uraian Kidung Harsawijaya terbukti keliru, karena berdasarkan Prasasti Sukamreta tahun 1296, diketahui nama Patih pertama Majapahit bukanlah Ranggalawe melainkan Nambi. Sedangkan nama ayah Nambi —menurut Kidung Sorandaka— adalah Pranaraja. Brandes menganggap Pranaraja dan Wiraraja sebagai orang yang sama. Namun menurut Slamet Muljana, keduanya sama-sama disebut dalam Prasasti Kudadu sebagai dua tokoh yang berbeda. Menurut Muljana, Nambi adalah putra Pranaraja, sedangkan Ranggalawe adalah putra Wiraraja. Hal ini ditandai dengan kemunculan nama Arya Wiraraja dan Arya Adikara dalam Prasasti Kudadu, dan keduanya sama-sama menghilang dalam Prasasti Sukamreta.

Nama besar Ranggalawe rupanya telah sangat melekat di dalam ingatan masyarakat Jawa. Penulis Serat Damarwulan atau Serat Kanda mengenal adanya nama Ranggalawe. Namun tidak mengetahui dengan pasti bagaimana kisah hidupnya. Maka ia pun menempatkan tokoh Ranggalawe hidup sezaman dengan Damarwulan dan Menak Jinggo. Sedangkan Damarwulan sendiri merupakan tokoh fiksi, karena kisahnya tidak sesuai dengan bukti-bukti sejarah dan tidak memiliki prasasti pendukung.

Dalam versi dongeng ini, Ranggalawe dikisahkan sebagai Adipati Tuban yang juga merangkap sebagai panglima Angkatan Perang Majapahit pada masa pemerintahan Ratu Kencana Wungu. Ketika Majapahit diserang oleh Menak Jinggo; Adipati Blambangan; Ranggalawe ditugasi untuk menghadangnya. Dalam perang tersebut, Menak Jinggo tidak mampu membunuh Ranggalawe karena selalu terlindung oleh payung pusakanya. Maka Menak Jinggo pun terlebih dulu membunuh abdi pemegang payung Ranggalawe yang bernamaWangsapati, baru kemudian Ranggalawe dapat ditewaskan oleh Menak Jinggo. Tokoh Ranggalawe dalam kisah ini memiliki dua orang putra bernama Siralawe dan Buntarlawe, yang masing-masing disebutkan menjadi Bupati di Tuban dan Bojonegoro.

1296 M
Pada Prasasti Penanggungan (1296), nama Wiraraja sudah tidak lagi dijumpai. Penyebabnya ialah pada tahun 1295, salah satu putra Wiraraja yang bernama Ranggalawe melakukan pemberontakan dan menemui kematiannya. Peristiwa itu membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya. Ia lalu menuntut janji Raden Wijaya, yaitu setengah wilayah Majapahit. Dan Raden Wijaya mengabulkannya. Arya Wiraraja akhirnya mendapatkan Majapahit sebelah timur dengan ibukota di Lumajang.

1297 M
Meurah Silu yang bergelar Sultan Al-Malikus Saleh; raja pertama Kesultanan Samudra Pasai; wafat pada bulan Ramadhan tahun 696 Hijriyah. Putranya; Muhammad; kemudian naik tahta dengan gelar Sultan Al-Malikuzh Zhahir. Dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak, memperoleh dua orang putra.

1300 M
Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325) menjadi raja Kerajaan Kutai Kartanegara di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (ini menjadi sebuah desa di wilayah kecamatan Anggana). Di dalam Negarakertagama, kerajaan ini disebut pula dengan nama kerajaan Tanjung Kute, yaitu salah satu daerah di pulau Tanjungnegara yang ditaklukkan oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.

Namun demikian, bagi para peneliti terdapat pula sebutan perihal Kerajaan Kutai yang diperkirakan telah ada sejak abad ke-4 masehi, yakni Kerajaan Kutai Martadipura. Kutai Martadipura adalah salah satu kerajaan tertua bercorak Hindu di Nusantara atau pun Asia Tenggara. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di Hulu Sungai Mahakam. Nama “Kutai” diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Namun, nama “Kutai” diberikan oleh para ahli karena tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan tersebut dan sangat sedikit informasi yang diperoleh akibat kurangnya sumber sejarah.

Informasi mengenai adanya kerajaan tersebut diperoleh dari Yupa/Tugu dalam acara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4, di mana ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya terhadap kaum Brahmana. Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sansekerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kudungga adalah seorang pembesar yang datang dari kerajaan Champa (Kamboja). Kudungga sendiri diduga belum menganut ajaran Buddha.

Aswawarman mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri Dinasti Kerajaan Kutai, sehingga diberi gelar Wangsakerta yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki tiga orang putra, dan salah satunya adalah Mulawarman.

Dari yupa diketahui bahwa kerajaan Kutai mengalami masa keemasan pada masa pemerintahan Mulawarman. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur. Akan tetapi, Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar dan sangat sedikit yang mendengar namanya.

Kerajaan Kutai Martadipura berakhir di abad 16, di mana Raja Kutai Martadipura yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13; Aji Pangeran Anom Panji Mendapa. Setelah penaklukan tersebut, raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Kematian Sora —menurut kitab Pararaton— terjadi pada tahun 1300 yang juga diuraikan panjang-lebar dalam Kidung Sorandaka. Menurut Pararaton, kematiannya terjadi pada masa pemerintahan Jayanegara. Sedangkan menurut Kidung Sorandaka, terjadi pada pemerintahan Raden Wijaya. Dalam hal ini, nampaknya pengarang Pararaton kurang teliti. Karena menurut Negarakrtagama, Jayanegara naik tahta menggantikan Raden Wijaya baru pada tahun 1309.

Dikisahkan, bahwa Sora ikut serta dalam pasukan Majapahit yang bergerak menumpas pemberontakan Ranggalawe di Tuban pada tahun 1295. Dalam pertempuran di sungai Tambak Beras, Ranggalawe mati di tangan Kebo Anabrang. Dan Sora yang merasa sakit hati melihat keponakannya dibunuh secara kejam pun berbalik ganti membunuh Kebo Anabrang dari belakang.

Oleh Raden Wijaya, peristiwa pembunuhan Kebo Anabrang seperti didiamkan begitu saja. Agaknya keluarga Kebo Anabrang juga segan menuntut hukuman pengadilan lantaran Sora merupakan abdi kesayangan Raden Wijaya.

Suasana kusut itu akhirnya dapat dimanfaatkan oleh Mahapatih yang menghasut putra Kebo Anabrang yang bernama Mahesa Taruna supaya berani menuntut pengadilan untuk Sora. Ia juga melapor kepada Raden Wijaya bahwa para menteri merasa resah karena raja seolah-olah melindungi kesalahan Sora.

Raden Wijaya tersinggung karena dituduh berlaku tidak adil. Ia pun memberhentikan Sora dari jabatannya untuk menunggu keputusan lebih lanjut. Mahapatih mengusulkan supaya Sora jangan dihukum mati, mengingat jasa-jasanya yang sangat besar. Atas pertimbangan tersebut, Raden Wijaya pun memutuskan bahwa Sora akan di hukum buang ke Tulembang.

Sementara itu, dalam kesempatan lain Mahapatih juga menemui Sora di kediamannya untuk menyampaikan surat keputusan raja. Sora sedih atas keputusan itu dan berniat menghadap Raden Wijaya untuk meminta hukuman mati daripada harus diusir.

Akan tetapi sebelum kedatangan Sora, Mahapatih telah lebih dulu menghasut Nambi. Ia mengatakan bahwa Sora akan datang untuk membuat kekacauan karena tidak puas atas keputusan raja. Setelah mendesak Raden Wijaya, Nambi pun diizinkan menghadang Sora yang datang bersama dua orang sahabatnya, yaitu Gajah Biru dan Juru Demung. Maka terjadilah peristiwa di mana Sora dan kedua temannya mati dikeroyok tentara Majapahit di halaman istana.

Namun, kisah dalam Kidung Sorandaka di atas sedikit berbeda dengan Pararaton yang menyebut kematian Juru Demung terjadi pada tahun 1313, sedangkan Gajah Biru pada tahun 1314. Kematian kedua sahabat Sora tersebut baru terjadi setelah Jayanegara naik tahta Majapahit menggantikan ayahnya; Raden Wijaya.

Selanjutnya: Kronik Peralihan Nusantara (1303-1350 M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar