Jumat, 22 Maret 2019

Kronik Peralihan Nusantara (1257-1292 M)

1257 M
Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti nama ibukotanya) adalah salah satu dari empat kerajaan Islam di Maluku, dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Kesultanan Ternate didirikan oleh Baab Manshur Malamo.

Pada tahun 1257, Momole Ciko; pemimpin Sampalu; terpilih dan diangkat sebagai raja pertama dengan gelar Baab Manshur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di Ternate yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai, sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama).

Setelah makin besar, kota Ternate kemudian lebih dikenal sebagai Kerajaan Ternate daripada Kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil, menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia, khususnya Maluku.

1268 M
Kertanegara naik tahta Singhasari menggantikan ayahnya; Wisnuwardhana (1248-1268). Ibu Kertanegara bernama Waning Hyun yang bergelar Jayawardhani; putri dari Mahesa Wonga Teleng (putra Ken Arok pendiri Singhasari). Abhiseka dipakai oleh Kertanegara ialah Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purusottama Wira Asta Basudewadhipa Aniwariwiryanindita Parakrama Murddhaja Namottunggadewa. Menurut Pararaton, ia adalah satu-satunya raja Singhasari yang naik tahta tanpa menumpahkan darah.

Dari perkawinan Kertanegara dengan Sri Bajradewi, lahir beberapa orang putri yang dinikahkan antara lain dengan Raden Wijaya; putra Lembu Tal dan Ardharaja; putra Jayakatwang. Nama empat orang putri Kertanegara yang dinikahi Raden Wijaya —menurut Negarakrtagama— adalah Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri.

Berdasarkan prasasti Mula Malurung, sebelum menjadi raja Singhasari, bisa diketahui bahwasanya Kertanegara lebih dulu diangkat sebagai yuwaraja (raja muda) di Kediri tahun 1254. Ia merupakan sosok raja Jawa pertama yang berambisi meluaskan kekuasaannya hingga mencakup wilayah Nusantara. Di dalam Pararaton, dikisahkan Kertanegara memecat para pejabat yang berani menentang cita-citanya, antara lain Mpu Raganata yang diturunkan dari jabatan rakryan Patih menjadi Ramadhyaksa, sebagai penggantinya adalah Kebo Anengah dan Panji Angragani. Arya Wiraraja dimutasi dari jabatan rakryan demung menjadi Bupati Sumenep. Menurut Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama, perombakan susunan tersebut banyak menimbulkan ketidakpuasan.

Dalam bidang agama, Kertanegara memperkenalkan penyatuan agama Hindu aliran Syiwa dengan Buddha aliran Tantrayana. Oleh karena itu, di dalam Pararaton, Kartanegara juga sering disebut sebagai Bhatara Syiwa Buddha. Sedangkan menurut Negarakrtagama, Kertanegara telah menguasai semua ajaran agama Hindu dan Buddha. Lantaran itu, Kartanegara dikisahkan pula dalam naskah-naskah kidung sebagai seorang yang bebas dari segala dosa. Bahkan salah satu yang menjadi ritualnya adalah mengadakan pesta minuman keras. Gelar keagamaan Kertanegara di dalam Negarakrtagama adalah Sri Jnanabjreswara, sedangkan dalam prasasti Tumpang ia bergelar Sri Jnaneswarabajra.

Kertanegara diwujudkan dalam sebuah patung Jina Mahakshobhya (Buddha) yang kini terdapat di Taman Apsari, Surabaya. Patung yang merupakan simbol penyatuan Syiwa-Buddha itu sebelumnya berasal dari situs Kandang Gajak, Trowulan, yang pada tahun 1817 dipindahkan ke Surabaya oleh Residen Baron A.M. Th. De Salis. Oleh masyarakat, patung tersebut lebih dikenal dengan nama “Joko Dolog”.

1269 M
Prasasti Penampihan yang dikeluarkan oleh Kertanegara (putra Wisnuwardhana) menyebutkan, Narasinghamurti meninggal dunia tahun 1269. Menurut Pararaton, Narasinghamurti memiliki putra bernama Raden Wijaya yang telah mendirikan Kerajaan Majapahit. Sementara itu, Negarakrtagama menyebut Raden Wijaya adalah cucu putra Lembu Tal, dan Lembu Tal adalah putra Narasinghamurti.

1270 M
Kalana Bhayangkara memberontak (dalam Negarakrtagama ia disebut dengan nama Cayaraja) kepada Kertanegara dan dapat segera dipadamkan.

1271 M
Sastrajaya; putra dari Jayasabha; digantikan oleh putranya yang bernama Jayakatwang untuk memegang kekuasaan di Kediri. Dari prasasti Kudadu diketahui bahwasanya Jayakatwang memiliki putra bernama Ardharaja yang menjadi menantu Kertanegara; Raja Singhasari. Dengan demikian, hubungan antara Jayakatwang dengan Kertanegara adalah sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan. Sebab, di dalam prasasti Mula Malurung (1255), Jayakatwang disebut sebagai keponakan Seminingrat (nama lain Wisnuwardhana). Prasasti itu juga menyebutkan nama istri Jayakatwang adalah Turukbali; putri Seminingrat.

1275 M
Berdasarkan Babat Jawa versi Mangkunegaran disebutkan bahwa Kertanegara menaklukkan Jambi pada tahun 1275 M, yakni melalui ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Senopati Kebo Anabrang di masa Kertanegara sebagai Raja Singhasari. Ekspedisi tersebut dilakukan guna menjalin persekutuan diantara raja-raja di Nusantara, baik melalui penaklukan maupun persahabatan.

Ekspedisi Pamalayu bertujuan untuk memperkuat pengaruh Singhasari di Selat Malaka yang merupakan jalur ekonomi dan politik penting (Pamalayu berarti perang Melayu). Ekspedisi ini juga dimaksudkan untuk menghadang pengaruh kekuasaan Mongol yang telah menguasai hampir seluruh Asia daratan.

1280 M
Negarakrtagama menyebutkan adanya pemberontakan Mahesa Rangkah atas pemerintahan Kertanegara di Singhasari. Disebutkan bahwasanya Mahesa Rangkah adalah tokoh yang dibenci oleh penduduk Singasari.

1282 M
Kertanegara memberangkatkan ekspedisi Pabali (penundukan Bali). Dan pada tahun 1284, Bali dapat ditundukkan serta membawa rajanya sebagai tawanan menghadap ke Singhasari. Selain Bali, Negarakrtagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanegara, antara lain Melayu, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.

Sumber informasi dari Dinasti Yuan menyebutkan, bahwa pada tahun 1282, dua utusan dari Su-mu-ta (Samudra) tiba di istana Cina. Berita ini oleh De Jong dipakai sebagai dasar menetapkan bahwa Kerajaan Pasai merupakan suatu kerajaan Islam di pantai utara pulau Sumatera yang telah muncul kira-kira sebelum pengiriman utusan tersebut.

Sedangkan sumber informasi yang berasal dari abad ke-15, yakni Hikayat Raja-raja Pasai yang menyebutkan, bahwa
“Alkisah peri mengatakan cerita yang pertama masuk agama Islam ini Pasai. Maka ada diceritakan oleh orang yang empunya cerita ini negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa iman akan Alloh dan akan Rosul Alloh.”

Mengenai masuknya ajaran Islam ke Pasai, Buya Hamka meyakini kebenaran bahwa ajaran Islam yang masuk ke Kerajaan Pasai diperoleh langsung dari jazirah Arab, yang sezaman dengan era penguasaan (Khodimul Haromain) dinasti Mamalik atas Haromain (Makkah-Madinah). Sedangkan gelar “Malikus Saleh” dan “Malikuzh Zhahir” merupakan gelar Kesultanan Mamalik yang kemudian juga dipakai oleh Pasai.

Di dalam Kitab Hikayat Raja-raja Pasai tertulis kalimat yang dinyatakan sebagai sabda Rosululloh SAW, yakni
“Sepeninggal aku telah wafat kelak, akan muncul sebuah negeri di bawah angin, Samudra namanya. Apabila terdengar kamu nama negeri itu, maka suruhlah sebuah bahtera untuk membawa perkakas dan alat kerajaan ke negeri itu, serta kamu Islamkan sekalian isi negeri itu, serta ajar mereka mengucap dua kalimat syahadat. Karena dalam negeri itu kelak banyak orang yang akan menjadi wali Alloh. Tetapi semasa kamu hendak pergi ke negeri itu, hendaklah kamu singgah mengambil seorang fakir di negeri Mengiri, bawalah fakir itu bersama-sama berlayar ke negeri Samudra itu.

Kitab Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu (abad ke-17) karangan Tun Sri Lanang meriwayatkan pula cerita yang sama, namun menyebut negeri itu dengan nama Muktabar. Di dalam sejarah Melayu disebutkan, bahwasanya Meurah Silu menerima Islam dari Syekh Ismail dan Fakir Muhammad; seorang keturunan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Kedua ulama ini dikabarkan memang berniat datang ke “Negeri Bawah Angin” untuk membawa Islam kepada Meurah Silu dan menyerahkan tanda-tanda kerajaan yang dibawa dari Makkah. Mereka juga menyinggahi Fansur (Barus), Lamuri, dan Haru.

Berkenaan dengan penyebutan nama “Samudra” yang juga dikenal oleh orang luar adalah “Samara”, dari Marcopolo. Kalau diperhatikan bahwa orang Itali ini datang di zaman Sultan Malikus Saleh, di masa ketika nama itu diumumkan, maka ada cukup alasan untuk membenarkan bahwa Samudra berasal nama yang diberikan oleh Sultan tersebut. Selain itu, kelak di dalam tahun 1346, pelawat Arab Tangier bernama Ibnu Batutah memperkenalkan pula nama ini dalam catatan perjalanannya, yaitu Samathroh atau Samuthroh. Dan, sepuluh tahun lebih dulu, pendeta Oderico de Portenone yang sudah membuat perjalanan ke dari India ke Tiongkok telah menyebutkan pula dalam catatan perjalanan yang ditinggalkannya tentang nama suatu kerajaan Sumolthra, terletak di selatan Lamuri. Hal ini merupakan petunjuk bahwa Sumatera telah diambil dari asal nama Samudra, tapi jelas sesudah masa Malikus Saleh.

1286 M
Kerajaan Dharmasraya dapat ditundukkan oleh Singhasari. Kertanegara mengirim utusan yang dipimpin Adwayabrahma membawa arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan dan hubungan diplomatik dengan Raja Dharmasraya yang saat itu bernama Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa.

Konon, Raja dan rakyat Dharmasraya menyambut gembira dan menerima persembahan dari Kertanegara. Kemudian, kepada Prabu Kertanegara, oleh Raja Dharmasraya dikirimkan dua orang putrinya; Dara Jingga dan Dara Petak; untuk dibawa ke Singhasari.

1289/90 M
Keberhasilan Singhasari mengusir Sriwijaya dari Jawa, secara keseluruhan telah menjadi perhatian Kubilai Khan; penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Oleh karena itu, dikirimkan utusan Kubilai Khan yang bernama Meng Khi untuk meminta Kertanegara tunduk di bawah kekuasaan Mongol dan menyerahkan upeti setiap tahunnya. Namun Kertanegara menolak permintaan itu, bahkan melukai wajah Meng Khi.

1292 M
Jayakatwang memberontak (1292) dan berhasil meruntuhkan Kerajaan Singhasari. Kemudian ia membangun kembali Kerajaan Kediri, tetapi hanya bertahan sampai tahun 1293.

Jayakatwang seringkali disebut dengan nama Jayakatong, Aji Katong, atau Jayakatyeng. Di dalam berita Cina, ia disebut Ha-ji-ka-tang. Di dalam Negarakrtagama, Pararaton, Kidung Harsawijaya, dan Kidung Panji Wijayakrama disebutkan bahwa Jayakatwang adalah raja bawahan di Kediri yang memberontak terhadap Kertanegara di Singhasari. Dan disebutkan pula bahwasanya Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya; raja terakhir Kediri yang dikalahkan oleh Ken Arok.

Naskah prasasti Kudadu dan prasasti Penanggungan menyebut Jayakatwang di saat melakukan pemberontakan masih menjabat sebagai Bupati Gelang-Gelang. Setelah Singhasari runtuh, baru kemudian dirinya menjadi raja yang bertahta di Kediri.

Sempat muncul pendapat bahwa Gelang-Gelang merupakan nama lain dari Kediri. Namun pendapat tersebut digugurkan oleh naskah prasasti Mula Malurung (1255). Dalam prasasti itu dinyatakan dengan tegas kalau Gelang-Gelang dan Kediri adalah dua wilayah yang berbeda. Prasasti tersebut menyebutkan bahwa pada saat itu Kediri diperintah oleh Kertanegara yang masih menjabat sebagai yuwaraja (raja muda), sedangkan Gelang-Gelang diperintah oleh Turukbali dan Jayakatwang. Lagi pula, lokasi Kediri berada di daerah Kediri sekarang, sedangkan Gelang-Gelang berada di daerah Madiun. Kedua kota tersebut terpaut jarak puluhan kilometer.

Perihal pemberontakan Kediri atas Singhasari, Pararaton dan kitab Harsawijaya menceritakan, bahwa Jayakatwang menyimpan dendam karena leluhurnya (Kertajaya) dikalahkan Ken Arok; pendiri Singhasari. Suatu hari, ia menerima kedatangan Warondaya; putra Arya Wiraraja; yang menyampaikan surat dari ayahnya, yaitu berisi anjuran supaya Jayakatwang segera memberontak karena di saat itu Singhasari telah ditinggal sebagian besar pasukannya ke luar Jawa (Ekspedisi Pamalayu dan Pabali).

Jayakatwang pun melaksanakan saran Arya Wiraraja. Ia mengirimkan pasukan kecil di bawah pimpinan Jaran Goyang untuk menyerbu Singhasari dari utara. Mendengar hal itu, Kertanegara langsung mengerahkan pasukan yang dipimpin oleh dua orang menantunya; Raden Wijaya (Nararya Sanggramawijaya) dan Ardharaja; untuk menghadapi Jaran Goyang. Pasukan Jaran Goyang berhasil dikalahkan. Akan tetapi pasukan kecil ini ternyata hanya pancingan agar pertahanan di dalam kota Singhasari kosong. Kemudian pasukan kedua Jayakatwang yang dipimpin oleh Patih Kebo Mundarang segera masuk menyerang Singhasari dari arah selatan. Akibat serangan tak terduga ini, Kertanegara tewas di dalam istananya.

Menurut prasasti Kudadu, Ardharaja; putra Jayakatwang; yang tinggal di Singhasari bersama istrinya ikut serta dalam pasukan Raden Wijaya. Akan tetapi setelah mengetahui keberhasilan Kebo Mundarang, Ardharaja berbalik meninggalkan Raden Wijaya dan bergabung dengan pasukan Gelang-Gelang.

Setelah Singhasari runtuh, Raden Wijaya pergi mengungsi ke Sumenep (pulau Madura) untuk meminta perlindungan Arya Wiraraja. Semasa mudanya dulu, Wiraraja pernah mengabdi pada Narasinghamurti; kakek Raden Wijaya. Maka ia pun bersedia untuk membantu menggulingkan Jayakatwang. Raden Wijaya berjanji, jika ia berhasil merebut tahta dari Kediri maka kekuasaannya akan dibagi dua, yaitu untuk dirinya dan Wiraraja.

Naskah Pararaton juga mengisahkan peran Sora yang ikut mengawal Raden Wijaya sewaktu menghindari kejaran pasukan Jayakatwang di tahun 1292. Sedangkan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan, Sora dengan setia menyediakan perutnya sebagai tempat duduk Raden Wijaya dan istrinya saat keduanya beristirahat. Ia juga menggendong istri Raden Wijaya saat menyeberangi sungai dan rawa-rawa. Di dalam beberapa karya sastra, Mpu Sora juga disebut dengan nama Lembu Sora, Ken Sora, Andhaka Sora, atau terkadang hanya disingkat Sora saja.

Mula-mula Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya pura-pura menyerah ke Kediri. Sebab, atas jaminan darinya, Raden Wijaya tentu dapat diterima dengan baik oleh Jayakatwang. Maka, berdasarkan saran Arya Wiraraja, Jayakatwang bersedia memberi pengampunan kepada Raden Wijaya yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya bahkan dipersilakan babat alas di wilayah Alas Tarik (hutan sebelah barat Tarik, Sidoarjo sekarang) untuk membangun sebuah desa baru.

Ketika membuka Alas Tarik, Raden Wijaya dibantu oleh orang-orang Madura kiriman Wiraraja. Ia pun mendirikan desa Majapahit di dalamnya. Konon, desa itu dinamai Majapahit berdasarkan nama yang diambil dari buah “Maja yang memiliki rasa pahit”. Ranggalawe; putra Arya Wiraraja; juga dikirim guna membantu Raden Wijaya membuka Alas Tarik menjadi sebuah desa pemukiman bernama Majapahit. Nama Ranggalawe sendiri konon merupakan pemberian Raden Wijaya. Lawe merupakan sinonim dari wenang, yang berarti benang atau dapat juga bermakna kekuasaan”. Maksudnya ialah Ranggalawe diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut. Sedangkan ada pula pendapat yang menyebutkan nama Ranggalawe merupakan pemberian dari Raden Wijaya yang mengisyaratkan bahwasanya Ranggalawe diperkenankan oleh Raden Wijaya untuk bebas keluar atau masuk istana (balai penghadapan) tanpa harus menunggu perintah dari Raja.

Pada tahun 1292 M, Marcopolo tiba di Sumatera bagian timur laut dan singgah beberapa bulan guna menunggu cuaca membaik. Ia merasa jijik dengan kondisi tak beradab yang merajalela di antara kanibal di wilayah itu. Namun, persinggahannya telah memberi kesempatan untuk menyelidiki keadaan geografi dan ekonomi pulau-pulau lain di sekitarnya.

Ia juga mencatat sejumlah raja di berbagai wilayah yang dilalui maupun tempat yang dilewati. Ia melewati Sumatera dan berlabuh di Samudra Pasai ketika kembali ke Eropa setelah sekian lama tinggal di Cina. Meski tidak datang secara langsung, ia menyebutkan sebuah tempat bernama Jawa. Dan Marcopolo juga tidak menyaksikan sendiri penduduk Perlak yang telah memeluk Islam sebagaimana disebutkan dalam catatannya.

Marcopolo (1254-1324) adalah pengelana pertama yang melacak sebuah rute perjalanan ke Asia. Ia adalah orang Venesia, Italia yang biografinya pertama kali ditulis oleh kolektor benda-benda yang terkait dengan geografi, yaitu John Baptis Ramusio, yang menulis dua abad setelah kematian Marcopolo. Meski terdapat fakta-fakta yang kontradiktif, namun Marcopolo menulis dengan detil dan memang terdapat beberapa fakta yang sesuai.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar