1257
M
Kerajaan Gapi atau yang kemudian
lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti nama ibukotanya) adalah salah
satu dari empat kerajaan Islam di Maluku, dan merupakan salah satu kerajaan Islam
tertua di Nusantara. Kesultanan Ternate didirikan oleh Baab Manshur Malamo.
Pada tahun 1257, Momole Ciko;
pemimpin Sampalu; terpilih dan diangkat sebagai raja pertama dengan gelar Baab Manshur
Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di Ternate yang dalam perkembangan selanjutnya
semakin besar dan ramai, sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo”
atau besar (belakangan orang menyebut “Gam Lamo” dengan
“Gamalama”).
Setelah makin besar, kota
Ternate kemudian lebih dikenal sebagai Kerajaan Ternate daripada Kerajaan Gapi.
Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari
sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil, menjadi kerajaan yang
berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia, khususnya Maluku.
1268
M
Kertanegara naik tahta Singhasari
menggantikan ayahnya; Wisnuwardhana (1248-1268). Ibu Kertanegara bernama Waning
Hyun yang bergelar Jayawardhani; putri dari Mahesa Wonga Teleng (putra Ken Arok
pendiri Singhasari). Abhiseka dipakai oleh Kertanegara ialah Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purusottama Wira
Asta Basudewadhipa Aniwariwiryanindita Parakrama Murddhaja Namottunggadewa.
Menurut Pararaton, ia adalah satu-satunya raja Singhasari yang naik tahta tanpa
menumpahkan darah.
Dari perkawinan Kertanegara
dengan Sri Bajradewi, lahir beberapa orang putri yang dinikahkan antara lain dengan
Raden Wijaya; putra Lembu Tal dan Ardharaja; putra Jayakatwang. Nama empat orang
putri Kertanegara yang dinikahi Raden Wijaya —menurut Negarakrtagama— adalah Tribhuwaneswari,
Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri.
Berdasarkan prasasti Mula
Malurung, sebelum menjadi raja Singhasari, bisa diketahui bahwasanya Kertanegara
lebih dulu diangkat sebagai yuwaraja (raja
muda) di Kediri tahun 1254. Ia merupakan sosok raja Jawa pertama yang berambisi
meluaskan kekuasaannya hingga mencakup wilayah Nusantara. Di dalam Pararaton, dikisahkan
Kertanegara memecat para pejabat yang berani menentang cita-citanya, antara lain
Mpu Raganata yang diturunkan dari jabatan rakryan Patih menjadi Ramadhyaksa, sebagai
penggantinya adalah Kebo Anengah dan Panji Angragani. Arya Wiraraja dimutasi dari
jabatan rakryan demung menjadi Bupati Sumenep. Menurut Pararaton dan Kidung Panji
Wijayakrama, perombakan susunan tersebut banyak menimbulkan ketidakpuasan.
Dalam bidang agama, Kertanegara
memperkenalkan penyatuan agama Hindu aliran Syiwa dengan Buddha aliran Tantrayana.
Oleh karena itu, di dalam Pararaton, Kartanegara juga sering disebut sebagai Bhatara
Syiwa Buddha. Sedangkan menurut Negarakrtagama, Kertanegara telah menguasai semua
ajaran agama Hindu dan Buddha. Lantaran itu, Kartanegara dikisahkan pula dalam naskah-naskah
kidung sebagai seorang yang bebas dari segala dosa. Bahkan salah satu yang menjadi
ritualnya adalah mengadakan pesta minuman keras. Gelar keagamaan Kertanegara di
dalam Negarakrtagama adalah Sri Jnanabjreswara,
sedangkan dalam prasasti Tumpang ia bergelar Sri Jnaneswarabajra.
Kertanegara diwujudkan dalam
sebuah patung Jina Mahakshobhya (Buddha) yang kini terdapat di Taman Apsari, Surabaya.
Patung yang merupakan simbol penyatuan Syiwa-Buddha itu sebelumnya berasal dari
situs Kandang Gajak, Trowulan, yang pada tahun 1817 dipindahkan ke Surabaya oleh
Residen Baron A.M. Th. De Salis. Oleh masyarakat, patung tersebut lebih dikenal
dengan nama “Joko Dolog”.
1269
M
Prasasti Penampihan yang
dikeluarkan oleh Kertanegara (putra Wisnuwardhana) menyebutkan, Narasinghamurti
meninggal dunia tahun 1269. Menurut Pararaton, Narasinghamurti memiliki putra bernama
Raden Wijaya yang telah mendirikan Kerajaan Majapahit. Sementara itu, Negarakrtagama
menyebut Raden Wijaya adalah cucu putra Lembu Tal, dan Lembu Tal adalah putra Narasinghamurti.
1270
M
Kalana Bhayangkara memberontak
(dalam Negarakrtagama ia disebut dengan nama Cayaraja) kepada Kertanegara dan dapat
segera dipadamkan.
1271
M
Sastrajaya; putra dari Jayasabha;
digantikan oleh putranya yang bernama Jayakatwang untuk memegang kekuasaan di Kediri.
Dari prasasti Kudadu diketahui bahwasanya Jayakatwang memiliki putra bernama Ardharaja
yang menjadi menantu Kertanegara; Raja Singhasari. Dengan demikian, hubungan antara
Jayakatwang dengan Kertanegara adalah sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan. Sebab,
di dalam prasasti Mula Malurung (1255), Jayakatwang disebut sebagai keponakan Seminingrat
(nama lain Wisnuwardhana). Prasasti itu juga menyebutkan nama istri Jayakatwang
adalah Turukbali; putri Seminingrat.
1275
M
Berdasarkan Babat Jawa versi
Mangkunegaran disebutkan bahwa Kertanegara menaklukkan Jambi pada tahun 1275 M,
yakni melalui ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Senopati Kebo Anabrang di masa
Kertanegara sebagai Raja Singhasari. Ekspedisi tersebut dilakukan guna menjalin
persekutuan diantara raja-raja di Nusantara, baik melalui penaklukan maupun persahabatan.
Ekspedisi Pamalayu bertujuan
untuk memperkuat pengaruh Singhasari di Selat Malaka yang merupakan jalur ekonomi
dan politik penting (Pamalayu berarti perang Melayu). Ekspedisi ini juga dimaksudkan
untuk menghadang pengaruh kekuasaan Mongol yang telah menguasai hampir seluruh Asia
daratan.
1280
M
Negarakrtagama menyebutkan
adanya pemberontakan Mahesa Rangkah atas pemerintahan Kertanegara di Singhasari.
Disebutkan bahwasanya Mahesa Rangkah adalah tokoh yang dibenci oleh penduduk Singasari.
1282
M
Kertanegara memberangkatkan
ekspedisi Pabali (penundukan Bali). Dan pada tahun 1284, Bali dapat ditundukkan
serta membawa rajanya sebagai tawanan menghadap ke Singhasari. Selain Bali, Negarakrtagama
menyebutkan daerah-daerah bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanegara,
antara lain Melayu, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.
Sumber informasi dari Dinasti
Yuan menyebutkan, bahwa pada tahun 1282, dua utusan dari Su-mu-ta (Samudra) tiba di istana Cina. Berita ini oleh De Jong dipakai
sebagai dasar menetapkan bahwa Kerajaan Pasai merupakan suatu kerajaan Islam di
pantai utara pulau Sumatera yang telah muncul kira-kira sebelum pengiriman utusan
tersebut.
Sedangkan sumber informasi
yang berasal dari abad ke-15, yakni Hikayat Raja-raja Pasai yang menyebutkan, bahwa
“Alkisah peri mengatakan
cerita yang pertama masuk agama Islam ini Pasai. Maka ada diceritakan oleh orang
yang empunya cerita ini negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa
iman akan Alloh dan akan Rosul Alloh.”
Mengenai masuknya ajaran
Islam ke Pasai, Buya Hamka meyakini kebenaran bahwa ajaran Islam yang masuk ke Kerajaan
Pasai diperoleh langsung dari jazirah Arab, yang sezaman dengan era penguasaan (Khodimul Haromain) dinasti Mamalik atas Haromain
(Makkah-Madinah). Sedangkan gelar “Malikus Saleh” dan “Malikuzh Zhahir” merupakan
gelar Kesultanan Mamalik yang kemudian juga dipakai oleh Pasai.
Di dalam Kitab Hikayat Raja-raja
Pasai tertulis kalimat yang dinyatakan sebagai sabda Rosululloh SAW, yakni
“Sepeninggal aku telah wafat kelak, akan muncul sebuah
negeri di bawah angin, Samudra namanya. Apabila terdengar kamu nama negeri itu,
maka suruhlah sebuah bahtera untuk membawa perkakas dan alat kerajaan ke negeri
itu, serta kamu Islamkan sekalian isi negeri itu, serta ajar mereka mengucap dua
kalimat syahadat. Karena dalam negeri itu kelak banyak orang yang akan menjadi wali
Alloh. Tetapi semasa kamu hendak pergi ke negeri itu, hendaklah kamu singgah mengambil
seorang fakir di negeri Mengiri, bawalah fakir itu bersama-sama berlayar ke negeri
Samudra itu.
Kitab Sulalatus
Salatin atau Sejarah Melayu (abad ke-17) karangan Tun Sri Lanang meriwayatkan
pula cerita yang sama, namun menyebut negeri itu dengan nama Muktabar. Di dalam
sejarah Melayu disebutkan, bahwasanya Meurah Silu menerima Islam dari Syekh Ismail
dan Fakir Muhammad; seorang keturunan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Kedua ulama ini dikabarkan
memang berniat datang ke “Negeri Bawah Angin” untuk membawa Islam kepada Meurah Silu
dan menyerahkan tanda-tanda kerajaan yang dibawa dari Makkah. Mereka juga menyinggahi
Fansur (Barus), Lamuri, dan Haru.
Berkenaan dengan penyebutan
nama “Samudra” yang juga dikenal oleh orang luar adalah “Samara”, dari Marcopolo. Kalau diperhatikan bahwa orang Itali ini datang
di zaman Sultan Malikus Saleh, di masa ketika nama itu diumumkan, maka ada cukup
alasan untuk membenarkan bahwa Samudra berasal nama yang diberikan oleh Sultan tersebut.
Selain itu, kelak di dalam tahun 1346, pelawat Arab Tangier bernama Ibnu Batutah
memperkenalkan pula nama ini dalam catatan perjalanannya, yaitu Samathroh atau Samuthroh. Dan, sepuluh tahun lebih dulu, pendeta Oderico de Portenone
yang sudah membuat perjalanan ke dari India ke Tiongkok telah menyebutkan pula dalam
catatan perjalanan yang ditinggalkannya tentang nama suatu kerajaan Sumolthra, terletak di selatan Lamuri. Hal
ini merupakan petunjuk bahwa Sumatera telah diambil dari asal nama Samudra, tapi
jelas sesudah masa Malikus Saleh.
1286
M
Kerajaan Dharmasraya dapat
ditundukkan oleh Singhasari. Kertanegara mengirim utusan yang dipimpin Adwayabrahma
membawa arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan dan hubungan diplomatik dengan
Raja Dharmasraya yang saat itu bernama Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa.
Konon, Raja dan rakyat Dharmasraya
menyambut gembira dan menerima persembahan dari Kertanegara. Kemudian, kepada Prabu
Kertanegara, oleh Raja Dharmasraya dikirimkan dua orang putrinya; Dara Jingga dan
Dara Petak; untuk dibawa ke Singhasari.
1289/90
M
Keberhasilan Singhasari mengusir
Sriwijaya dari Jawa, secara keseluruhan telah menjadi perhatian Kubilai Khan; penguasa
Dinasti Yuan di Tiongkok. Oleh karena itu, dikirimkan utusan Kubilai Khan yang bernama
Meng Khi untuk meminta Kertanegara tunduk di bawah kekuasaan Mongol dan menyerahkan
upeti setiap tahunnya. Namun Kertanegara menolak permintaan itu, bahkan melukai
wajah Meng Khi.
1292
M
Jayakatwang memberontak (1292)
dan berhasil meruntuhkan Kerajaan Singhasari. Kemudian ia membangun
kembali Kerajaan Kediri, tetapi hanya bertahan sampai tahun 1293.
Jayakatwang seringkali disebut
dengan nama Jayakatong, Aji Katong, atau Jayakatyeng. Di dalam berita Cina, ia disebut
Ha-ji-ka-tang. Di dalam Negarakrtagama,
Pararaton, Kidung Harsawijaya, dan Kidung Panji Wijayakrama disebutkan bahwa Jayakatwang
adalah raja bawahan di Kediri yang memberontak terhadap Kertanegara di Singhasari.
Dan disebutkan pula bahwasanya Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya; raja terakhir
Kediri yang dikalahkan oleh Ken Arok.
Naskah prasasti Kudadu dan
prasasti Penanggungan menyebut Jayakatwang di saat melakukan pemberontakan masih
menjabat sebagai Bupati Gelang-Gelang. Setelah Singhasari runtuh, baru kemudian
dirinya menjadi raja yang bertahta di Kediri.
Sempat muncul pendapat bahwa
Gelang-Gelang merupakan nama lain dari Kediri. Namun pendapat tersebut digugurkan
oleh naskah prasasti Mula Malurung (1255). Dalam prasasti itu dinyatakan dengan
tegas kalau Gelang-Gelang dan Kediri adalah dua wilayah yang berbeda. Prasasti tersebut
menyebutkan bahwa pada saat itu Kediri diperintah oleh Kertanegara yang masih menjabat
sebagai yuwaraja (raja muda), sedangkan
Gelang-Gelang diperintah oleh Turukbali dan Jayakatwang. Lagi pula, lokasi Kediri
berada di daerah Kediri sekarang, sedangkan Gelang-Gelang berada di daerah Madiun.
Kedua kota tersebut terpaut jarak puluhan kilometer.
Perihal pemberontakan Kediri
atas Singhasari, Pararaton dan kitab Harsawijaya menceritakan, bahwa Jayakatwang
menyimpan dendam karena leluhurnya (Kertajaya) dikalahkan Ken Arok; pendiri Singhasari.
Suatu hari, ia menerima kedatangan Warondaya; putra Arya Wiraraja; yang menyampaikan
surat dari ayahnya, yaitu berisi anjuran supaya Jayakatwang segera memberontak karena
di saat itu Singhasari telah ditinggal sebagian besar pasukannya ke luar Jawa (Ekspedisi
Pamalayu dan Pabali).
Jayakatwang pun melaksanakan
saran Arya Wiraraja. Ia mengirimkan pasukan kecil di bawah pimpinan Jaran Goyang
untuk menyerbu Singhasari dari utara. Mendengar hal itu, Kertanegara langsung mengerahkan
pasukan yang dipimpin oleh dua orang menantunya; Raden Wijaya (Nararya Sanggramawijaya)
dan Ardharaja; untuk menghadapi Jaran Goyang. Pasukan Jaran Goyang berhasil dikalahkan.
Akan tetapi pasukan kecil ini ternyata hanya pancingan agar pertahanan di dalam
kota Singhasari kosong. Kemudian pasukan kedua Jayakatwang yang dipimpin oleh Patih
Kebo Mundarang segera masuk menyerang Singhasari dari arah selatan. Akibat serangan
tak terduga ini, Kertanegara tewas di dalam istananya.
Menurut prasasti Kudadu,
Ardharaja; putra Jayakatwang; yang tinggal di Singhasari bersama istrinya ikut serta
dalam pasukan Raden Wijaya. Akan tetapi setelah mengetahui keberhasilan Kebo Mundarang,
Ardharaja berbalik meninggalkan Raden Wijaya dan bergabung dengan pasukan Gelang-Gelang.
Setelah Singhasari runtuh,
Raden Wijaya pergi mengungsi ke Sumenep (pulau Madura) untuk meminta perlindungan
Arya Wiraraja. Semasa mudanya dulu, Wiraraja pernah mengabdi pada Narasinghamurti;
kakek Raden Wijaya. Maka ia pun bersedia untuk membantu menggulingkan Jayakatwang.
Raden Wijaya berjanji, jika ia berhasil merebut tahta dari Kediri maka kekuasaannya
akan dibagi dua, yaitu untuk dirinya dan Wiraraja.
Naskah Pararaton juga mengisahkan
peran Sora yang ikut mengawal Raden Wijaya sewaktu menghindari kejaran pasukan Jayakatwang
di tahun 1292. Sedangkan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan, Sora dengan setia
menyediakan perutnya sebagai tempat duduk Raden Wijaya dan istrinya saat keduanya
beristirahat. Ia juga menggendong istri Raden Wijaya saat menyeberangi sungai dan
rawa-rawa. Di dalam beberapa karya sastra, Mpu Sora juga disebut dengan nama Lembu
Sora, Ken Sora, Andhaka Sora, atau terkadang hanya disingkat Sora saja.
Mula-mula Wiraraja menyarankan
agar Raden Wijaya pura-pura menyerah ke Kediri. Sebab, atas jaminan
darinya,
Raden Wijaya tentu dapat diterima dengan baik oleh Jayakatwang. Maka, berdasarkan
saran Arya Wiraraja, Jayakatwang bersedia
memberi pengampunan kepada Raden Wijaya yang datang menyerahkan diri. Raden
Wijaya bahkan dipersilakan babat alas di wilayah Alas Tarik (hutan sebelah
barat Tarik,
Sidoarjo sekarang) untuk membangun
sebuah desa baru.
Ketika membuka Alas
Tarik,
Raden Wijaya dibantu oleh orang-orang Madura kiriman Wiraraja. Ia pun
mendirikan desa Majapahit di dalamnya. Konon, desa itu dinamai
“Majapahit” berdasarkan
nama yang diambil dari buah “Maja” yang memiliki
rasa “pahit”. Ranggalawe; putra Arya Wiraraja; juga dikirim
guna membantu Raden Wijaya membuka Alas Tarik menjadi sebuah
desa pemukiman bernama Majapahit. Nama Ranggalawe
sendiri konon merupakan pemberian Raden Wijaya. Lawe
merupakan
sinonim dari wenang, yang berarti
“benang” atau dapat
juga bermakna “kekuasaan”. Maksudnya ialah
Ranggalawe diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut. Sedangkan
ada pula pendapat yang menyebutkan nama Ranggalawe merupakan pemberian dari Raden
Wijaya yang mengisyaratkan bahwasanya Ranggalawe
diperkenankan
oleh Raden Wijaya untuk bebas keluar atau masuk istana (balai penghadapan) tanpa harus
menunggu perintah dari Raja.
Pada tahun 1292 M, Marcopolo
tiba di Sumatera bagian timur laut dan singgah beberapa bulan guna menunggu cuaca
membaik.
Ia
merasa jijik dengan kondisi tak beradab yang merajalela di antara “kanibal” di wilayah
itu.
Namun, persinggahannya
telah memberi kesempatan untuk menyelidiki keadaan geografi dan ekonomi pulau-pulau
lain di sekitarnya.
Ia juga mencatat sejumlah
raja di berbagai wilayah yang dilalui maupun tempat yang dilewati. Ia melewati Sumatera
dan berlabuh di Samudra Pasai ketika kembali ke Eropa setelah sekian
lama tinggal di Cina.
Meski
tidak datang secara langsung, ia menyebutkan sebuah tempat bernama
Jawa. Dan Marcopolo juga tidak menyaksikan sendiri penduduk
Perlak yang telah memeluk Islam sebagaimana disebutkan dalam catatannya.
Marcopolo (1254-1324) adalah
pengelana pertama yang melacak sebuah
rute perjalanan ke Asia.
Ia adalah orang Venesia, Italia
yang biografinya pertama kali ditulis oleh kolektor benda-benda yang terkait dengan
geografi,
yaitu John Baptis Ramusio, yang menulis dua abad setelah
kematian Marcopolo.
Meski terdapat
fakta-fakta yang kontradiktif, namun Marcopolo menulis dengan
detil dan memang terdapat beberapa fakta yang sesuai.
Sebelumnya: KronikPeralihan Nusantara (1101-1248 M)
Selanjutnya: KronikPeralihan Nusantara (1293-1300 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar