1101
M
Situs makam yang disebut
dengan Pasucinan menunjukkan nama Fatimah binti Maimun
dengan angka tarikh 495 H. Konon, Fatimah
merupakan seorang putri Raja Cermen yang
berasal dari Kedah.
Berita Pasucinan pada
tahun 1225 dari Chou-Ju-Kua dalam karyanya Chu-Fan-Chi atau Zhufan
Zhi menyebutkan bahwa Shefo
(Jawa) juga disebut
sebagai Pu-chia-lung yang terletak
di laut selatan.
Sedangkan
menurut Slamet Mulyana, yang dimaksud Pu-chia-lung adalah Panjalu di Jawa Timur ―sekarang Gresik.
Akan tetapi, berita Ying-Yai-Shenglan
memperjelas bahwasanya keberadaan Gresik di sini bukanlah Gresik
yang sekarang, melainkan Gresik sebelum era kekuasaan Sunan
Giri.
Untuk
itu, kemungkinannya adalah Pasucinan atau Leran
yang
semula diperkirakan sebagai salah satu pelabuhan Panjalu dan pada perkembangan
selanjutnya menjadi Tse-Tsun atau Gresik.
Selain itu, hasil
penelitian membuktikan bahwa di sekitar makam Fatimah binti Maimun juga
terdapat sisa-sisa pemukiman. Bahkan sisa pemukiman tersebut
tidak hanya terdapat di sekitar makam, tetapi berada sampai ke
pinggiran sungai Manyar.
Keanekaragaman
temuan di lokasi tersebut memungkinkan adanya aktivitas perniagaan yang dulu
berorientasi pada lalu lintas sungai.
Mengenai tarikh makam Fatimah
binti Maimun, ada pula penelitian lain yang menafsirkan
dengan tarikh tahun 1102, dan ada juga 1028.
1108
M
Menurut catatan
kesultanan Tidore, kerajaan ini berdiri sejak Jou Kolano Sahjati naik
tahta pada 12 Robi’ul Awal 502 H (1108 M). Akan tetapi
sumber kesultanan Tidore tersebut tidak menjelaskan secara jelas lokasi pusat kerajaan di
masa itu.
Dalam catatan, asal-usul Sahjati dirunut
dari kisah kedatangan Ja’far Noh dari negeri
Maghribi di Tidore.
Noh kemudian
mempersunting seorang gadis setempat bernama Siti Nursafa. Dari
perkawinan tersebut, lahir 4 orang putra dan 4
orang putrid.
Empat putra
tersebut adalah Sahjati pendiri Kerajaan
Tidore,
Darajati
pendiri Kesultanan Moti, Kaicil Buka pendiri
Kesultanan Makian,
Bab
Mansur Malamo pendiri Kesultanan Ternate. Sedangkan empat
orang
putri adalah Boki Saharnawi yang menurunkan
raja-raja Bangggai, Boki
Sudarnawi
yang menurunkan raja-raja Tobungku, Boki
Sugarnawi
yang menurunkan raja-raja Loloda, dan Boki Cita Dewi
yang menurunkan Marsaoli dan Mardike.
Menurut kisah
tradisional, di daerah Tidore sering terjadi pertikaian
antar para momole (kepala suku) yang
didukung pula oleh anggota komunitasnya masing-masing dalam memperebutkan
wilayah kekuasaan persukuan. Pertikaian tersebut
seringkali menimbulkan pertumpahan darah dan berbagai usaha yang dilakukan
untuk mengatasi pertikaian tersebut terus menemui kegagalan.
Suatu ketika, diperkirakan
tahun 846 M, rombongan Ibnu Khordazabah, utusan Kholifah Al-Mutawakkil
dari kerajaan Abbasiyah di Baghdad tiba di Tidore. Pada saat itu, di Tidore
sedang terjadi pertikaian antar momole. Maka untuk
turut meredakan dan menyelesaikan pertikaian tersebut, salah
seorang anggota rombongan Ibnu Khordazabah yang bernama
Syekh Ya’qub turun tangan dengan memfasilitasi perundingan
yang disebut dengan Togorebo. Pertemuan pun
disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang.
Kesepakatannya
adalah momole yang tiba
paling cepat di lokasi pertemuan akan menjadi pemenang dan memimpin pertemuan. Dalam
peristiwa itu,
setiap
momole yang sampai
ke lokasi pertemuan selalu meneriakkan To ado re, karena
merasa dialah yang datang pertama kali dan menjadi pemenang.
Beberapa orang
momole yang bertikai
tersebut ternyata tiba pada saat yang bersamaan, sehingga
tidak ada yang kalah dan menang. Berselang beberapa saat
kemudian, Syekh Ya’qub yang menjadi
fasilitator juga tiba di lokasi dan berujar dengan dialek Iraknya: anta tadhori. Karena para momole datang pada
saat yang bersamaan, maka tidak ada yang menjadi pemenang. Akhirnya yang
diangkat sebagai pemimpin adalah Syekh Ya’qub.
Konon, sejak saat itu
mulai dikenal kata “Tidore”, kombinasi dari dua kata
ta ado re dan tadhori. Demikianlah
konon kata “Tidore” akhirnya menggantikan
kata Kie Duko dan menjadi
nama sebuah kerajaan besar. Kerajaan Tidore
kemudian menjadi salah satu pilar yang membentuk Kie Raha (empat
gunung
Maluku), dan yang lainnya adalah Ternate, Makian, dan Moti.
1116
M
Sri Bameswara (1116-1135), ayah dari
Jayabhaya, pada masa
pemerintahannya berhasil mengupayakan pemersatuan kembali
Kediri dan Panjalu.
Setelah Sri Bameswara, Jayabhaya kemudian
memerintah sekitar tahun 1135-1157 dengan gelar Sri Maharaja Sang Mapanji
Jayabhaya Sri Warmeswara
Madhusudana Awataranindita
Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Masa
pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kediri. Peninggalan
sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan
(1136), dan prasasti
Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).
Pada prasasti Hantang ―atau
biasa juga disebut prasasti Ngantang― terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kediri
menang.
Prasasti
ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk
desa Ngantang yang setia pada Kediri selama perang melawan Jenggala. Kemenangan
Kediri atas Jenggala ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Kurawa, sebagaimana
yang dimaksudkan dalam perbuatan Kakawin Bharatayuddha oleh Mpu
Sedah dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh ―selain Kakawin
Mahabharata, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya.
Pada masa pemerintahan
Sri Jayabhaya inilah Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah
kerajaan ini diperkirakan meliputi seluruh Jawa serta beberapa pulau di Nusantara
yang mampu menandingi pengaruh Sriwijaya di Sumatera.
1178
M
Berdasarkan sumber
Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis
pada tahun (1178), Chou-Ju-Kua
menerangkan
bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan
yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-tsi
(Sriwijaya) dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia
menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Buddha dan Hindu, sedangkan
rakyat Sriwijaya memeluk Buddha. Pada masa itu, wilayah
Sriwijaya meliputi Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an (?),
Ji-lo-ting (Jelutong), Ts’ien-mai (?), Pa-ta’ (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor), Kia-lo-hi
(Grahi, bagian
utara semenanjung Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), dan Si-lan (Kamboja). Dan berdasarkan
sumber ini pula dikatakan, bahwa beberapa wilayah Kerajaan Sriwijaya ingin
melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di Utara Sumatera) dan beberapa
koloni di Semenanjung Malaysia.
Namun demikian, istilah San-fo-tsi yang digunakan pada
tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan
Dharmasraya.
Sebab, sebagaimana
diberitakan dalam Pararaton, Raja Kertanegara dari Singhasari
disebutkan mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu dan
kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada Raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya; sebagaimana
yang tertulis pula pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini
kemudian juga dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti
Grahi. Begitu juga
Negarakrtagama, menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit
yang sudah tidak lagi menyebutkan nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya
merupakan kawasan Sriwijaya.
Selain itu, berkenaan
dengan penyebutan nama “Pa-lin-fong” sebagai
bentuk perkataan Cina bagi Palembang. Hal ini
mengakibatkan kontra argumen untuk asal nama Palembang yang konon diambil dari
nama Laksamana Pai-lian-bang (pengawal Putri Ong Tien
ketika bertolak dari Tiongkok menuju Cirebon) yang akhirnya menetap
sebagai viceroy atas nama
gurunya; Syarif Hidayatullah; sehingga
daerah tersebut bernama “Palembang”.
Kronik Cina yang
berjudul Ling Wai Tai Ta karya
Chou
Ku-fei
menerangkan bahwasanya negeri paling kaya selain Cina pada masa itu ―secara
berurutan― adalah Arab, Jawa, dan Sumatera. Buku ini
kemudian dikutip oleh Zhao Rugua, dalam karyanya yang berjudul Zhufan Zhi di tahun
1225.
1222
M
Di dalam Pararaton, Kertajaya
disebut dengan nama Prabu Dandang Gendis. Dikisahkan, pada akhir
pemerintahannya, ia menyatakan ingin disembah oleh para pendeta
Hindu dan Buddha. Tentu saja
keinginan itu ditolak.
Para pendeta
memilih berlindung kepada Ken Arok; bawahan Dandang Gendis
yang menjadi akuwu di Tumapel. Ken Arok
lalu mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka; lepas dari
Kediri.
Menurut kisah, Dandang Gendis
sama sekali tidak takut, karena ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Syiwa. Mendengar
hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain Syiwa) dan bergerak
memimpin pasukan menyerang Kediri.
Perang antara
Tumapel dan Kediri terjadi dekat Desa Ganter pada tahun 1222. Para panglima
Kediri, yaitu Mahesa Walungan (adik Dandang Gendis) dan Gubar Baleman mati
di tangan Ken Arok. Dandang Gendis sendiri melarikan diri dan
bersembunyi naik ke Kahyangan.
Negarakrtagama juga
mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan
bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam Dewalaya (tempat Dewa). Kedua naskah
tersebut (Pararaton dan Negarakrtagama) memberitakan
tempat pelarian Kertajaya adalah “alam Dewata”. Kiranya yang
dimaksud dengan keterangan tersebut bahwasanya Kertajaya kemudian bersembunyi
di dalam sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya
tewas dan menjadi penghuni alam halus (alam roh).
Tetapi Paul Michel
Munoz
(2006) mengemukakan, bahwa
sisa-sisa keluarga dan pengikut Kertajaya (raja terakhir Dinasti
Sanjaya di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah Panjalu (Sukapura/Ciamis) pada tahun
1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok (Ken Arok); pendiri
kerajaan Singhasari/dinasti Rajasa. Sementara itu, Kertajaya
sendiri tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan pemberontakan akuwu Tumapel; Ken Angrok.
Di sisi lain, Negarakrtagama yang
menyebutkan Maharaja Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat
suci, memunculkan dugaan bahwa Maharaja Kertajaya
sebenarnya tidak tewas di tangan Ken Arok, melainkan
pergi melarikan diri menuju Kabataraan Gunung Sawal (Panjalu, Ciamis) yang merupakan
tempat suci di mana bertahtanya Batara (Dewa) Tesnajati. Walaupun
sumber-sumber sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada
yang menyebutkan secara gamblang hubungannya dengan Kerajaan Panjalu Kediri, tetapi
kesamaan nama bagi dua kerajaan ini sedikit-banyak menunjukkan
adanya benang merah di antara keduanya. Apalagi nama Raja Panjalu
Kediri; Maharaja Kertajaya (1194-1222); juga
disebut-sebut dalam prasasti Galunggung (1194).
Sejak berhasil
mengalahkan Kertajaya, Ken Arok lalu mendirikan Kerajaan Singhasari dan
Kediri pun menjadi bawahannya, dimana Adipatinya
adalah Jayasabha; putra Kertajaya. Akan tetapi
mengenai siapa penguasa Kediri setelah Kertajaya, terdapat
juga berita lain yang menyebutkan bahwa penguasa Kediri selanjutnya adalah
Mahisa Wonga Teleng; putra Ken Arok
sendiri.
Berdasarkan
prasasti Kudadu, nama resmi kerajaan
Singhasari yang sesungguhnya ialah kerajaan Tumapel. Sedangkan
menurut Negarakrtagama, ketika pertama kali didirikan pada tahun 1222, ibukota Kerajaan
Tumapel bernama Kutaraja. Selain itu, sebagai
sebuah nama Negara, Tumapel juga muncul di dalam kronik Cina dari Dinasti Yuan, dengan ejaan
Tu-ma-pan.
Selain
tentang
Ken
Arok
dan Dandang Gendis, kitab Pararaton
yang
dikarang ratusan tahun sesudah zaman Kediri dan Singhasari, mengisahkan
pula seorang bernama Tunggul Ametung. Namun, nama Tunggul Ametung sendiri
hanya dijumpai di dalam Pararaton.
Pada suatu
hari,
Tunggul Ametung singgah
ke desa Panawijen, tempat ia berjumpa
dengan Ken Dedes yang merupakan
putri seorang pendeta bernama Mpu Purwa. Tunggul Ametung
terpikat hatinya dan segera meminang Ken Dedes. Ken Dedes pun
memintanya supaya menunggu kedatangan Mpu Purwa yang
saat itu sedang berada di dalam hutan. Akan tetapi, Tunggul Ametung justru
menculik Ken Dedes dan membawanya
secara paksa ke Tumapel. Ketika Mpu Purwa pulang
ke rumah, ia murka mendengar berita
penculikan putrinya, sehingga ia mengucap kutukan
bagi siapa yang telah menculik putrinya
bakal mati karena tikaman keris.
Di
Tumapel, Tunggul Ametung memiliki
seorang pengawal kepercayaan bernama Ken Arok. Semula ia adalah
penjahat buronan Kediri. Tetapi berkat
bantuan seorang pendeta bernama Lohgawe, ia dapat
diterima bekerja di Tumapel.
Ken Arok kemudian terpikat
pada kecantikan Ken Dedes, yang oleh Lohgawe diramalkan bakal
menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu membuat hasrat
Ken Arok semakin besar.
Maka
dengan menggunakan keris buatan Mpu Gandring, Ken Arok menjalankan
siasatnya untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dengan kambing hitam sahabatnya
sendiri;
Kebo
Hijo.
Sepeninggal
Tunggul Ametung, Ken Arok menikahi Ken Dedes serta mengangkat
dirinya sebagai akuwu Tumapel. Waktu itu, Ken Dedes
telah mengandung bayi hasil perkawinannya dengan Tunggul Ametung, yang setelah
lahir diberi nama Anusopati. Pararaton melanjutkan
bahwa Anusopati kemudian berhasil membunuh Ken Arok melalui
tangan pembantunya dan menjadi Raja Tumapel yang kedua.
Perihal asal-usul Ken Arok, Hasanu Simon
berpendapat bahwa Ken Arok yang ditemukan oleh Ken Endhok di tempat
sampah hanyalah kisah kiasan belaka. Istilah “sampah” dimaksudkan
sebagai masyarakat yang dianggap tidak terhormat, yaitu di
zaman kekuasaan Raja Mamenang di Kediri, orang dari
keturunan Jenggala merupakan “sampah”. Dengan
demikian, dapat diambil asumsi bahwa Ken Arok yang
dikisahkan sebagai keturunan Dewa merupakan putra yang berasal dari
trah keluarga Raja Jenggala.
Ken Arok mengangkat
dirinya menjadi raja pertama Tumapel dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Namun di dalam
Negarakrtagama tidak
disebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri Kerajaan
Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra, yang
berhasil mengalahkan Kertajaya; Raja Kediri.
Selain berita
dari Pararaton dan Negarakrtagama, prasasti Mula Malurung atas
nama Kertanegara dari tahun 1255, menyebutkan kalau
pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Syiwa. Mungkin nama
ini adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa
karena di dalam Negarakrtagama arwah pendiri kerajaan
Tumapel dipuja sebagai Syiwa. Selain itu, di dalam Pararaton juga
disebutkan sebelum bergerak melawan Kediri, Ken Arok lebih dulu
menggunakan julukan Bhatara Syiwa. Sebab, kesaktian
Kertajaya konon hanya bisa dikalahkan oleh Dewa Syiwa. Selain
mengenai siapa pendiri Singhasari, terdapat
pula perbedaan antara Pararaton dan Negarakrtagama dalam menyebutkan
urutan raja-raja Singhasari.
Mengenai bukti
sejarah tentang keberadaan tokoh Kertajaya juga dapat dilihat pada prasasti
Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), dan prasasti
Wates Kulon (1205). Dari prasasti-prasasti
tersebut juga dapat diketahui nama Abhiseka Kertajaya adalah Sri
Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara
Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa. Semasa Kediri
berada dalam pemerintahan Kertajaya, terdapat pujangga
bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka
dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.
1248
M
Wisnuwardhana (Seminingrat) naik
memerintah Singhasari (1248-1254). Di dalam
naskah Pararaton dan Negarakrtagama disebutkan pula
tentang adanya pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan Narasinghamurti. Pararaton
menyebutkan nama asli Narasinghamurti adalah Mahisa Campaka.
Apabila kisah
kudeta berdarah di dalam Pararaton benar-benar terjadi, maka dapat
dipahami maksud dari pemerintahan bersama ini sebagai upaya rekonsiliasi antara
dua kelompok yang bersaing. Karena Wisnuwardhana
merupakan cucu Tunggul Ametung, dan Narasinghamurti adalah cucu
Ken Arok.
Kisah suksesi
raja-raja Tumapel versi Pararaton
diwarnai dengan pertumpahan darah yang dilatari balas dendam. Ken Arok
mati dibunuh Anusopati (anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung). Anusopati mati dibunuh
Tohjaya
(anak
Ken Arok dari selir).
Tohjaya
mati akibat pemberontakan Ranggawuni (anak Anusopati). Kemudian hanya
suksesi Ranggawuni kepada Kertanegara (putranya) yang dapat
dilakukan secara damai.
Setelah tewasnya
Tohjaya, Ranggawuni
diangkat menjadi Raja Tumapel dengan nama Wisnuwardhana, sedangkan
Mahisa Campaka menjabat Ratu Angabhaya
dengan nama Bhatara Narasinghamurti. Keduanya
memerintah berdampingan.
Pemerintahan
bersama itu, di dalam Pararaton diibaratkan seperti
dua ular dalam satu liang. Selain itu, nama Narasinghamurti
juga terdapat dalam Negarakrtagama yang ditulis
pada tahun 1365.
Dan dikisahkan, bahwa
Wisnuwardhana dan Narasinghamurti memerintah bersama di Tumapel
bagaikan sepasang Dewata; Wisnu dan Indra.
Akan tetapi, versi
Negarakrtagama tidak menyebutkan adanya pembunuhan antara raja pengganti
terhadap raja sebelumnya. Agaknya, hal ini
dikarenakan Negarakrtagama adalah sebuah kitab pujian (Pujasastra) yang
dipersembahkan untuk Hayam Wuruk; Raja Majapahit. Sedangkan
peristiwa berdarah yang menimpa leluhur Hayam Wuruk bisa jadi dianggap sebagai
aib.
Di antara para
Raja
Singhasari di atas, hanya Wisnuwardhana dan
Kertanegara saja yang didapati menerbitkan prasasti sebagai bukti kesejarahan
mereka.
Prasasti
Mula
Malurung
(yang
dikeluarkan Kertanegara atas perintah Wisnuwardhana) menyebutkan Tohjaya
sebagai Raja Kediri,
bukan
Raja Tumapel.
Hal
ini tentunya memperkuat kebenaran berita di dalam
Negarakrtagama.
Prasasti
tersebut dikeluarkan oleh Kertanegara pada tahun 1255 selaku raja bawahan
di Kediri.
Jadi,
pemberitaan kalau Kertanegara naik tahta di tahun 1254 perlu dibetulkan. Yang benar
adalah Kertanegara menjadi raja muda di Kediri terlebih dulu, dan baru
pada tahun 1268 Kertanegara bertahta di Singhasari.
Dengan
diketemukannya prasasti Mula Malurung maka sejarah
Tumapel versi Pararaton nampaknya perlu untuk direvisi. Kerajaan Tumapel
didirikan oleh Rajasa alias Bhatara Syiwa setelah
menaklukkan Kediri.
Kemudian,
sepeninggalnya kerajaan terpecah menjadi dua; Tumapel yang dipimpin Anusopati, sedangkan
Kediri dipimpin Bhatara Parameswara (alias Mahesa Wonga Teleng). Selanjutnya, Parameswara
digantikan oleh Guningbhaya, kemudian Tohjaya. Sementara itu, Anusopati digantikan
oleh Seminingrat yang bergelar Wisnuwardhana.
Prasasti Mula Malurung
menyebutkan bahwa sepeninggal Tohjaya, Kerajaan
Tumapel dan Kediri dipersatukan kembali oleh Seminingrat. Kediri
kemudian menjadi kerajaan bawahan yang dipimpin oleh putra Seminingrat, yaitu
Kartanegara.
Sebelumnya: Kronik PeralihanNusantara (1005-1079 M)
Selanjutnya: KronikPeralihan Nusantara (1257-1292 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar