Kamis, 21 Maret 2019

Kronik Peralihan Nusantara (1101-1248 M)

1101 M
Situs makam yang disebut dengan Pasucinan menunjukkan nama Fatimah binti Maimun dengan angka tarikh 495 H. Konon, Fatimah merupakan seorang putri Raja Cermen yang berasal dari Kedah.

Berita Pasucinan pada tahun 1225 dari Chou-Ju-Kua dalam karyanya Chu-Fan-Chi atau Zhufan Zhi menyebutkan bahwa Shefo (Jawa) juga disebut sebagai Pu-chia-lung yang terletak di laut selatan. Sedangkan menurut Slamet Mulyana, yang dimaksud Pu-chia-lung adalah Panjalu di Jawa Timur ―sekarang Gresik.

Akan tetapi, berita Ying-Yai-Shenglan memperjelas bahwasanya keberadaan Gresik di sini bukanlah Gresik yang sekarang, melainkan Gresik sebelum era kekuasaan Sunan Giri. Untuk itu, kemungkinannya adalah Pasucinan atau Leran yang semula diperkirakan sebagai salah satu pelabuhan Panjalu dan pada perkembangan selanjutnya menjadi Tse-Tsun atau Gresik.

Selain itu, hasil penelitian membuktikan bahwa di sekitar makam Fatimah binti Maimun juga terdapat sisa-sisa pemukiman. Bahkan sisa pemukiman tersebut tidak hanya terdapat di sekitar makam, tetapi berada sampai ke pinggiran sungai Manyar. Keanekaragaman temuan di lokasi tersebut memungkinkan adanya aktivitas perniagaan yang dulu berorientasi pada lalu lintas sungai.

Mengenai tarikh makam Fatimah binti Maimun, ada pula penelitian lain yang menafsirkan dengan tarikh tahun 1102, dan ada juga 1028.

1108 M
Menurut catatan kesultanan Tidore, kerajaan ini berdiri sejak Jou Kolano Sahjati naik tahta pada 12 Robiul Awal 502 H (1108 M). Akan tetapi sumber kesultanan Tidore tersebut tidak menjelaskan secara jelas lokasi pusat kerajaan di masa itu.

Dalam catatan, asal-usul Sahjati dirunut dari kisah kedatangan Ja’far Noh dari negeri Maghribi di Tidore. Noh kemudian mempersunting seorang gadis setempat bernama Siti Nursafa. Dari perkawinan tersebut, lahir 4 orang putra dan 4 orang putrid. Empat putra tersebut adalah Sahjati pendiri Kerajaan Tidore, Darajati pendiri Kesultanan Moti, Kaicil Buka pendiri Kesultanan Makian, Bab Mansur Malamo pendiri Kesultanan Ternate. Sedangkan empat orang putri adalah Boki Saharnawi yang menurunkan raja-raja Bangggai, Boki Sudarnawi yang menurunkan raja-raja Tobungku, Boki Sugarnawi yang menurunkan raja-raja Loloda, dan Boki Cita Dewi yang menurunkan Marsaoli dan Mardike.

Menurut kisah tradisional, di daerah Tidore sering terjadi pertikaian antar para momole (kepala suku) yang didukung pula oleh anggota komunitasnya masing-masing dalam memperebutkan wilayah kekuasaan persukuan. Pertikaian tersebut seringkali menimbulkan pertumpahan darah dan berbagai usaha yang dilakukan untuk mengatasi pertikaian tersebut terus menemui kegagalan.

Suatu ketika, diperkirakan tahun 846 M, rombongan Ibnu Khordazabah, utusan Kholifah Al-Mutawakkil dari kerajaan Abbasiyah di Baghdad tiba di Tidore. Pada saat itu, di Tidore sedang terjadi pertikaian antar momole. Maka untuk turut meredakan dan menyelesaikan pertikaian tersebut, salah seorang anggota rombongan Ibnu Khordazabah yang bernama Syekh Ya’qub turun tangan dengan memfasilitasi perundingan yang disebut dengan Togorebo. Pertemuan pun disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang.

Kesepakatannya adalah momole yang tiba paling cepat di lokasi pertemuan akan menjadi pemenang dan memimpin pertemuan. Dalam peristiwa itu, setiap momole yang sampai ke lokasi pertemuan selalu meneriakkan To ado re, karena merasa dialah yang datang pertama kali dan menjadi pemenang.

Beberapa orang momole yang bertikai tersebut ternyata tiba pada saat yang bersamaan, sehingga tidak ada yang kalah dan menang. Berselang beberapa saat kemudian, Syekh Ya’qub yang menjadi fasilitator juga tiba di lokasi dan berujar dengan dialek Iraknya: anta tadhori. Karena para momole datang pada saat yang bersamaan, maka tidak ada yang menjadi pemenang. Akhirnya yang diangkat sebagai pemimpin adalah Syekh Ya’qub. Konon, sejak saat itu mulai dikenal kata Tidore”, kombinasi dari dua kata ta ado re dan tadhori. Demikianlah konon kata Tidore akhirnya menggantikan kata Kie Duko dan menjadi nama sebuah kerajaan besar. Kerajaan Tidore kemudian menjadi salah satu pilar yang membentuk Kie Raha (empat gunung Maluku), dan yang lainnya adalah Ternate, Makian, dan Moti.

1116 M
Sri Bameswara (1116-1135), ayah dari Jayabhaya, pada masa pemerintahannya berhasil mengupayakan pemersatuan kembali Kediri dan Panjalu.

Setelah Sri Bameswara, Jayabhaya kemudian memerintah sekitar tahun 1135-1157 dengan gelar Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Masa pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kediri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).

Pada prasasti Hantang ―atau biasa juga disebut prasasti Ngantang― terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kediri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kediri selama perang melawan Jenggala. Kemenangan Kediri atas Jenggala ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Kurawa, sebagaimana yang dimaksudkan dalam perbuatan Kakawin Bharatayuddha oleh Mpu Sedah dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh ―selain Kakawin Mahabharata, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya.

Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini diperkirakan meliputi seluruh Jawa serta beberapa pulau di Nusantara yang mampu menandingi pengaruh Sriwijaya di Sumatera.

1178 M
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun (1178), Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-tsi (Sriwijaya) dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Buddha dan Hindu, sedangkan rakyat Sriwijaya memeluk Buddha. Pada masa itu, wilayah Sriwijaya meliputi Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an (?), Ji-lo-ting (Jelutong), Ts’ien-mai (?), Pa-ta’ (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi, bagian utara semenanjung Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), dan Si-lan (Kamboja). Dan berdasarkan sumber ini pula dikatakan, bahwa beberapa wilayah Kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di Utara Sumatera) dan beberapa koloni di Semenanjung Malaysia.

Namun demikian, istilah San-fo-tsi yang digunakan pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan Dharmasraya. Sebab, sebagaimana diberitakan dalam Pararaton, Raja Kertanegara dari Singhasari disebutkan mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada Raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya; sebagaimana yang tertulis pula pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian juga dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga Negarakrtagama, menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit yang sudah tidak lagi menyebutkan nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Selain itu, berkenaan dengan penyebutan nama Pa-lin-fongsebagai bentuk perkataan Cina bagi Palembang. Hal ini mengakibatkan kontra argumen untuk asal nama Palembang yang konon diambil dari nama Laksamana Pai-lian-bang (pengawal Putri Ong Tien ketika bertolak dari Tiongkok menuju Cirebon) yang akhirnya menetap sebagai viceroy atas nama gurunya; Syarif Hidayatullah; sehingga daerah tersebut bernama Palembang.

Kronik Cina yang berjudul Ling Wai Tai Ta karya Chou Ku-fei menerangkan bahwasanya negeri paling kaya selain Cina pada masa itu ―secara berurutan― adalah Arab, Jawa, dan Sumatera. Buku ini kemudian dikutip oleh Zhao Rugua, dalam karyanya yang berjudul Zhufan Zhi di tahun 1225.

1222 M
Di dalam Pararaton, Kertajaya disebut dengan nama Prabu Dandang Gendis. Dikisahkan, pada akhir pemerintahannya, ia menyatakan ingin disembah oleh para pendeta Hindu dan Buddha. Tentu saja keinginan itu ditolak.

Para pendeta memilih berlindung kepada Ken Arok; bawahan Dandang Gendis yang menjadi akuwu di Tumapel. Ken Arok lalu mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka; lepas dari Kediri.

Menurut kisah, Dandang Gendis sama sekali tidak takut, karena ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Syiwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain Syiwa) dan bergerak memimpin pasukan menyerang Kediri.

Perang antara Tumapel dan Kediri terjadi dekat Desa Ganter pada tahun 1222. Para panglima Kediri, yaitu Mahesa Walungan (adik Dandang Gendis) dan Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik ke Kahyangan.

Negarakrtagama juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam Dewalaya (tempat Dewa). Kedua naskah tersebut (Pararaton dan Negarakrtagama) memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam Dewata”. Kiranya yang dimaksud dengan keterangan tersebut bahwasanya Kertajaya kemudian bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi penghuni alam halus (alam roh).

Tetapi Paul Michel Munoz (2006) mengemukakan, bahwa sisa-sisa keluarga dan pengikut Kertajaya (raja terakhir Dinasti Sanjaya di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah Panjalu (Sukapura/Ciamis) pada tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok (Ken Arok); pendiri kerajaan Singhasari/dinasti Rajasa. Sementara itu, Kertajaya sendiri tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan pemberontakan akuwu Tumapel; Ken Angrok.

Di sisi lain, Negarakrtagama yang menyebutkan Maharaja Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat suci, memunculkan dugaan bahwa Maharaja Kertajaya sebenarnya tidak tewas di tangan Ken Arok, melainkan pergi melarikan diri menuju Kabataraan Gunung Sawal (Panjalu, Ciamis) yang merupakan tempat suci di mana bertahtanya Batara (Dewa) Tesnajati. Walaupun sumber-sumber sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada yang menyebutkan secara gamblang hubungannya dengan Kerajaan Panjalu Kediri, tetapi kesamaan nama bagi dua kerajaan ini sedikit-banyak menunjukkan adanya benang merah di antara keduanya. Apalagi nama Raja Panjalu Kediri; Maharaja Kertajaya (1194-1222); juga disebut-sebut dalam prasasti Galunggung (1194).

Sejak berhasil mengalahkan Kertajaya, Ken Arok lalu mendirikan Kerajaan Singhasari dan Kediri pun menjadi bawahannya, dimana Adipatinya adalah Jayasabha; putra Kertajaya. Akan tetapi mengenai siapa penguasa Kediri setelah Kertajaya, terdapat juga berita lain yang menyebutkan bahwa penguasa Kediri selanjutnya adalah Mahisa Wonga Teleng; putra Ken Arok sendiri.

Berdasarkan prasasti Kudadu, nama resmi kerajaan Singhasari yang sesungguhnya ialah kerajaan Tumapel. Sedangkan menurut Negarakrtagama, ketika pertama kali didirikan pada tahun 1222, ibukota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja. Selain itu, sebagai sebuah nama Negara, Tumapel juga muncul di dalam kronik Cina dari Dinasti Yuan, dengan ejaan Tu-ma-pan.

Selain tentang Ken Arok dan Dandang Gendis, kitab Pararaton yang dikarang ratusan tahun sesudah zaman Kediri dan Singhasari, mengisahkan pula seorang bernama Tunggul Ametung. Namun, nama Tunggul Ametung sendiri hanya dijumpai di dalam Pararaton.

Pada suatu hari, Tunggul Ametung singgah ke desa Panawijen, tempat ia berjumpa dengan Ken Dedes yang merupakan putri seorang pendeta bernama Mpu Purwa. Tunggul Ametung terpikat hatinya dan segera meminang Ken Dedes. Ken Dedes pun memintanya supaya menunggu kedatangan Mpu Purwa yang saat itu sedang berada di dalam hutan. Akan tetapi, Tunggul Ametung justru menculik Ken Dedes dan membawanya secara paksa ke Tumapel. Ketika Mpu Purwa pulang ke rumah, ia murka mendengar berita penculikan putrinya, sehingga ia mengucap kutukan bagi siapa yang telah menculik putrinya bakal mati karena tikaman keris.

Di Tumapel, Tunggul Ametung memiliki seorang pengawal kepercayaan bernama Ken Arok. Semula ia adalah penjahat buronan Kediri. Tetapi berkat bantuan seorang pendeta bernama Lohgawe, ia dapat diterima bekerja di Tumapel.

Ken Arok kemudian terpikat pada kecantikan Ken Dedes, yang oleh Lohgawe diramalkan bakal menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu membuat hasrat Ken Arok semakin besar. Maka dengan menggunakan keris buatan Mpu Gandring, Ken Arok menjalankan siasatnya untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dengan kambing hitam sahabatnya sendiri; Kebo Hijo.

Sepeninggal Tunggul Ametung, Ken Arok menikahi Ken Dedes serta mengangkat dirinya sebagai akuwu Tumapel. Waktu itu, Ken Dedes telah mengandung bayi hasil perkawinannya dengan Tunggul Ametung, yang setelah lahir diberi nama Anusopati. Pararaton melanjutkan bahwa Anusopati kemudian berhasil membunuh Ken Arok melalui tangan pembantunya dan menjadi Raja Tumapel yang kedua.

Perihal asal-usul Ken Arok, Hasanu Simon berpendapat bahwa Ken Arok yang ditemukan oleh Ken Endhok di tempat sampah hanyalah kisah kiasan belaka. Istilah sampah dimaksudkan sebagai masyarakat yang dianggap tidak terhormat, yaitu di zaman kekuasaan Raja Mamenang di Kediri, orang dari keturunan Jenggala merupakan sampah”. Dengan demikian, dapat diambil asumsi bahwa Ken Arok yang dikisahkan sebagai keturunan Dewa merupakan putra yang berasal dari trah keluarga Raja Jenggala.

Ken Arok mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Namun di dalam Negarakrtagama tidak disebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri Kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra, yang berhasil mengalahkan Kertajaya; Raja Kediri.

Selain berita dari Pararaton dan Negarakrtagama, prasasti Mula Malurung atas nama Kertanegara dari tahun 1255, menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Syiwa. Mungkin nama ini adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa karena di dalam Negarakrtagama arwah pendiri kerajaan Tumapel dipuja sebagai Syiwa. Selain itu, di dalam Pararaton juga disebutkan sebelum bergerak melawan Kediri, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Syiwa. Sebab, kesaktian Kertajaya konon hanya bisa dikalahkan oleh Dewa Syiwa. Selain mengenai siapa pendiri Singhasari, terdapat pula perbedaan antara Pararaton dan Negarakrtagama dalam menyebutkan urutan raja-raja Singhasari.

Mengenai bukti sejarah tentang keberadaan tokoh Kertajaya juga dapat dilihat pada prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), dan prasasti Wates Kulon (1205). Dari prasasti-prasasti tersebut juga dapat diketahui nama Abhiseka Kertajaya adalah Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa. Semasa Kediri berada dalam pemerintahan Kertajaya, terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.

1248 M
Wisnuwardhana (Seminingrat) naik memerintah Singhasari (1248-1254). Di dalam naskah Pararaton dan Negarakrtagama disebutkan pula tentang adanya pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan Narasinghamurti. Pararaton menyebutkan nama asli Narasinghamurti adalah Mahisa Campaka.

Apabila kisah kudeta berdarah di dalam Pararaton benar-benar terjadi, maka dapat dipahami maksud dari pemerintahan bersama ini sebagai upaya rekonsiliasi antara dua kelompok yang bersaing. Karena Wisnuwardhana merupakan cucu Tunggul Ametung, dan Narasinghamurti adalah cucu Ken Arok.

Kisah suksesi raja-raja Tumapel versi Pararaton diwarnai dengan pertumpahan darah yang dilatari balas dendam. Ken Arok mati dibunuh Anusopati (anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung). Anusopati mati dibunuh Tohjaya (anak Ken Arok dari selir). Tohjaya mati akibat pemberontakan Ranggawuni (anak Anusopati). Kemudian hanya suksesi Ranggawuni kepada Kertanegara (putranya) yang dapat dilakukan secara damai.

Setelah tewasnya Tohjaya, Ranggawuni diangkat menjadi Raja Tumapel dengan nama Wisnuwardhana, sedangkan Mahisa Campaka menjabat Ratu Angabhaya dengan nama Bhatara Narasinghamurti. Keduanya memerintah berdampingan. Pemerintahan bersama itu, di dalam Pararaton diibaratkan seperti dua ular dalam satu liang. Selain itu, nama Narasinghamurti juga terdapat dalam Negarakrtagama yang ditulis pada tahun 1365. Dan dikisahkan, bahwa Wisnuwardhana dan Narasinghamurti memerintah bersama di Tumapel bagaikan sepasang Dewata; Wisnu dan Indra.

Akan tetapi, versi Negarakrtagama tidak menyebutkan adanya pembunuhan antara raja pengganti terhadap raja sebelumnya. Agaknya, hal ini dikarenakan Negarakrtagama adalah sebuah kitab pujian (Pujasastra) yang dipersembahkan untuk Hayam Wuruk; Raja Majapahit. Sedangkan peristiwa berdarah yang menimpa leluhur Hayam Wuruk bisa jadi dianggap sebagai aib.

Di antara para Raja Singhasari di atas, hanya Wisnuwardhana dan Kertanegara saja yang didapati menerbitkan prasasti sebagai bukti kesejarahan mereka. Prasasti Mula Malurung (yang dikeluarkan Kertanegara atas perintah Wisnuwardhana) menyebutkan Tohjaya sebagai Raja Kediri, bukan Raja Tumapel. Hal ini tentunya memperkuat kebenaran berita di dalam Negarakrtagama.

Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Kertanegara pada tahun 1255 selaku raja bawahan di Kediri. Jadi, pemberitaan kalau Kertanegara naik tahta di tahun 1254 perlu dibetulkan. Yang benar adalah Kertanegara menjadi raja muda di Kediri terlebih dulu, dan baru pada tahun 1268 Kertanegara bertahta di Singhasari.

Dengan diketemukannya prasasti Mula Malurung maka sejarah Tumapel versi Pararaton nampaknya perlu untuk direvisi. Kerajaan Tumapel didirikan oleh Rajasa alias Bhatara Syiwa setelah menaklukkan Kediri. Kemudian, sepeninggalnya kerajaan terpecah menjadi dua; Tumapel yang dipimpin Anusopati, sedangkan Kediri dipimpin Bhatara Parameswara (alias Mahesa Wonga Teleng). Selanjutnya, Parameswara digantikan oleh Guningbhaya, kemudian Tohjaya. Sementara itu, Anusopati digantikan oleh Seminingrat yang bergelar Wisnuwardhana.

Prasasti Mula Malurung menyebutkan bahwa sepeninggal Tohjaya, Kerajaan Tumapel dan Kediri dipersatukan kembali oleh Seminingrat. Kediri kemudian menjadi kerajaan bawahan yang dipimpin oleh putra Seminingrat, yaitu Kartanegara.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar