Rabu, 20 Maret 2019

Kronik Peralihan Nusantara (414-992 M)

414 M
Fa Hien, seorang pendeta dari Tiongkok, mengunjungi pulau Jawa dalam perjalanannya ke India antara tahun 399 sampai 414. Pengalamannya di tulis dalam buku “Fahuek”. Seratus tahun kemudian, Sun Yun dan Hwui Ning mengikutinya dengan melakukan ziarah dari Tiongkok ke India.

Ketika melakukan pelayaran ke India dan Srilanka, Fa Hien (337-422) juga terdampar dan pernah singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P’o-Hwang (Tulang Bawang), tepatnya di pedalaman Chrqse (Sumatera).

416 M
Catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno berjudul “Pustaka Raja Parwa” yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi, isinya antara lain menyatakan:

“Ada suara Guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke Timur menuju Gunung Kamula... Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera.”

Pakar geologi, Berend George Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks tersebut disebut Gunung Batuwara. Menurut buku “Pustaka Raja Parwa”, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.

Akibat ledakan yang hebat itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur dan menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang, dan Pulau Sertung; dalam catatan lain disebut sebagai Pulau Rakata, Pulau Rakata Kecil, dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini disinyalir bertanggung jawab atas terjadinya abad kegelapan di muka bumi. Penyakit sampar bibonic terjadi dikarenakan temperatur yang mendingin. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi.

Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi kerajaan Romawi ke kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arabia Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal, dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per-detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter dan menurunkan temperatur bumi sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.

625 M
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok menyebutkan, bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M ―hanya berbeda 15 tahun setelah Muhammad bin Abdulloh menerima wahyu kenabian pertama, atau sembilan setengah tahun setelah dirinya berdakwah secara terang-terangan pada bangsa Arab― di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah kerajaan Buddha Sriwijaya. Temuan ini diperkuat oleh Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M, telah menemukan sekelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera.

HAMKA pun menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University, Amerika Serikat.

671 M
Pendeta I Tsing berangkat dari Canton ke Nalanda melalui Sriwijaya. Seluruh pengalamannya diuraikan dengan cermat dalam bukunya, “Nan Hai Chi Kuei Fa Chuan” dan “Ta Tang Si Yu Ku Fa Kao Seng Chuan”.

Pendeta I Tsing mengembara di luar Tiongkok selama 25 tahun. Ia kembali ke Kwangtung pada pertengahan musim panas pemerintahan Cheng Heng (tahun 695) dengan membawa pulang 4.000 naskah yang terdiri dari 500.000 seloka. Dan dari tahun 700 sampai 712, ia menerjemahkan 56 buku dalam 230 jilid. Ia melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Buddha dan koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.

Hingga abad ke-7, hanya pendeta Buddha Tionghoa yang melakukan perjalanan ke India dan mengunjungi Sriwijaya. Disebutkan pula bahwa I Tsing berlayar dengan menggunakan perahu Sriwijaya.

Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa menyatakan bahwa pada abad ke-7 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas seluruh Sumatera, Jawa Barat, dan beberapa daerah di Semenanjung Melayu. Dominasi terhadap Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Palembang mengakumulasi kekayaannya dari pelabuhan dan gudang perlindungan yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India.

Dalam perkembangannya, Kerajaan Melayu di Jambi merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya dan akhirnya dapat ditaklukkan pada abad ke-7 dan ke-9. Di Jambi, pertambangan emas merupakan sumber ekonomi cukup penting; dan kata “Swarnadwipa” (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatera, Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian Barat.

732 M
Pada Prasasti Canggal yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal, berangka tahun 732 M, dalam bentuk Candrasangkala huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta, menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya. Di samping itu, diceritakan pula bahwa yang menjadi Raja mula-mula ialah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara perempuan Sanna).

Awalnya kerajaan Mataram diperintah oleh dua dinasti atau wangsa, yaitu Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa dan Wangsa Syailendra yang beragama Buddha. Menurut para ahli, keluarga Sanjaya terdesak oleh keluarga Syailendra, tetapi pergeseran kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti. Yang jelas, keduanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah.

Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syailendra seperti yang tertera dalam Prasasti Ligor, Nalanda, maupun Klurak, adalah Bhanu, Wisnu, Indra, dan Samaratungga atau Samaragrawira. Sedangkan raja-raja dari dinasti Sanjaya tertera dalam prasasti Mantyasih. Berdasarkan candi-candi peninggalan kerajaan Mataram dari abad ke-8 hingga 9, corak agama Hindu terletak di daerah Jawa Tengah bagian Utara dan yang bercorak Buddha terletak di Jawa Tengah bagian Selatan.

Kedua dinasti tersebut akhirnya bersatu dengan adanya pernikahan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani. Pramodawardhani adalah putri dari Samaratungga. Raja Samaratungga selain mempunyai putri Pramodawardhani, juga mempunyai putera, yaitu Balaputradewa (karena Samaratungga menikah dengan keturunan Raja Sriwijaya). Kegagalan Balaputradewa merebut kekuasaan dari Rakai Pikatan menyebabkan ia menyingkir ke wilayah kakeknya di Sumatera dan tak lama kemudian menjadi Raja di Sriwijaya.

Untuk selanjutnya, pemerintahan kerajaan Mataram dikuasai oleh dinasti Sanjaya dengan rajanya yang terakhir, yaitu Rakai Sumba Dyah Wawa. Kelak, pada masa pemerintahan Wawa ―sekitar abad ke-10, Mataram yang berlokasi di Jawa Tengah mengalami kemunduran, dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Mpu Sindok selanjutnya mendirikan dinasti baru, yaitu Dinasti Isyana dengan kerajaannya Medang Mataram.

Pendapat lain menyebutkan pula bahwasanya Balaputradewa kehilangan haknya untuk memerintah di Bhumi Jawa dikarenakan putra tertua kerajaan adalah Pangeran Samaratungga, sehingga Pangeran Samaratungga yang berhak memimpin kerajaan di Bhumi Jawa. Dengan begitu, Balaputradewa bukanlah putra tetapi merupakan adik dari Samaratungga. Sedangkan Samaratungga mempunyai seorang putri bernama Pramodawardhani yang kemudian menikah dengan Jatiningrat. Adapun penyebab Balaputradewa berada di Swarnadwipa adalah akibat dari lepasnya Kamboja dari kekuasaan Samaragrawira. Oleh karena itu, Samaragrawira memutuskan untuk membagi dua kekuasaan, yaitu: Samaratungga berkuasa di Jawa dan Balaputradewa berkuasa di Sriwijaya. Nama Balaputradewa juga disebut di dalam Prasasti Nalanda sebagai salah seorang raja di Swarnadwipa atau Sriwijaya.

760 M
Prasasti Dinoyo menjadi salah satu bukti keberadaan kerajaan Kanjuruhan. Prasasti Dinoyo saat ini berada di Museum Jakarta. Menurut para ahli purbakala, kerajaan Kanjuruhan berpusat di kawasan Dinoyo, kota Malang sekarang.

Prasasti Dinoyo ditemukan di desa Merjosari (5 km sebelah Barat kota Malang), di kawasan kampus III Universitas Muhammadiyah Malang saat ini. Prasasti Dinoyo merupakan peninggalan yang unik karena ditulis dalam huruf Jawa Kuno dan bukan huruf Pallawa sebagaimana prasasti sebelumnya. Keistimewaan lain adalah cara penulisan tahun berbentuk Candra Sengkala yang berbunyi “Nayana Vasurasa” (tahun 682 Saka) atau tahun 760 Masehi. Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut:

“Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha.
Setelah Raja meninggal, digantikan oleh putranya yang bernama Sang Liswa.
Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga istana besar bernama Kanjuruhan.
Sang Liswa memiliki putri yang disebut sebagai Sang Uttiyana.
Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketenteraman di seluruh negeri.
Raja dan rakyatnya menyembah kepada yang mulia Sang Agastya.
Bersama raja dan para pembesar negeri Sang Agastya (disebut Maharesi) menghilangkan penyakit.
Raja melihat arca Agastya dari kayu cendana milik nenek moyangnya.

Maka, raja memerintahkan membuat arca Agastya dari batu hitam yang elok. Salah satu arca Agastya ada di dalam kawasan Candi Besuki yang saat ini tinggal pondasinya saja. Bukti lain keberadaan kerajaan Kanjuruhan adalah Candi Badut yang hingga kini masih cukup baik keadaannya serta telah mengalami renovasi dari Dinas Purbakala. Peninggalan lain adalah patung Dewasimha yang berada di tengah pasar Dinoyo saat ini.

777 M
Berdasarkan silsilah keturunan Sultan-sultan Melayu yang dikeluarkan oleh kerajaan Brunei Darussalam dan kesultanan Sulu-Mindanao, kerajaan Islam Jeumpa dibangun pada 154 Hijriyah atau tahun 777 Masehi. Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Persia yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Putri Mayang Seuludong dan memiliki beberapa anak antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nawi, Syahri Dito, dan Putri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari Sultan pertama kerajaan Islam Perlak.

Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsy, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayyid, Syarif, Sunan, Teuku, dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husain bin Ali, Syahri Banun, anak Maha Raja Persia terakhir.

Syahrnawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan kerajaan Islam Perlak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 yang dipimpinnya langsung dan diserahkan kepada anak saudaranya, Maulana ‘Abdul ‘Aziz. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi kerajaan Islam Pasai dan mendapat kegemilangannya pada masa kerajaan Aceh Darussalam. Maka tidak mengherankan jika Syaikh Hamzah Fansuri mengatakan kelahirannya di bumi Syahrnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama pengazas kerajaan-kerajaan Islam Aceh yang dimulai dari kerajaan Islam Jeumpa.

Di dalam buku “The History of Java”, Sir Thomas Stamford Raffles menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara bukan terletak di Kamboja sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Karena Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Aceh yang terkenal dengan nama “Jeumpa”. Champa (Cempo) adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek Jawa. Jeumpa yang dinyatakan oleh Raffles sebagai “Cempo” sekarang berada di daerah sekitar kabupaten Bireuen, Aceh.

778 M
Pada Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778 M, ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta, menceritakan pendirian bangunan suci untuk Dewi Tara dan biara untuk pendeta oleh raja Panangkaran atas permintaan keluarga Syailendra dan Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan untuk para Sanggha (umat Buddha).

Dalam karya-karya kesusasteraan Mataram Kuno, terlihat sekali pengaruh kebudayaan India yang diadaptasi ke dalam karya kesusasteraan Jawa, seperti Mahabharata dan Ramayana yang berupa kakawin dalam bahasa Jawa Kuno.

782 M
Pada Prasasti Klurak yang ditemukan di desa Prambanan, berangka tahun 782 M, ditulis dalam huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta, menceritakan pembuatan arca Manjusri oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.

Menurut para ahli, bahwa yang dimaksud dengan arca Manjusri adalah Candi Sewu yang terletak di kompleks Prambanan, dan nama Raja Indra tersebut juga ditemukan pada Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan kerajaan Sriwijaya.

792 M
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Samaratungga tidak lagi melakukan ekspansi militer seperti pendahulunya, tetapi lebih memilih untuk mengokohkan penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa.

Menurut Prasasti Klurak (784 M), pembuatan Borobudur dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bangalore) bernama Kumaragancya yang sangat dihormati, dan seorang Pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddha Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dan dilanjutkan oleh putranya, Samaratungga, kemudian oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodawardhani.

820 M
Setelah terjadi kekacauan perdagangan di Canton ―antara tahun 820-850 M, pemerintahan Jambi menyatakan sebagai kerajaan merdeka dan mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 853 dan 871. Kemerdekaan Jambi bertepatan dengan diusirnya Balaputradewa dari Jawa setelah gagal menyingkirkan kekuasaan Rakai Pikatan yang merupakan iparnya dari Wangsa Sanjaya.

840 M
Sekitar tahun 840 M berdiri Kerajaan Perlak di sekitar kota Peureulak saat ini pada 1 Muharrom 225 H, dengan rajanya Sultan Alauddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah. Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Kholifah.

Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak; jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal. Dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, dan disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia.

Kesultanan Perlak berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur; Aceh sekarang; antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292.

860 M
Sriwijaya berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala. Sebuah prasasti bertahun 860 mencatat bahwa Raja Balaputra mendedikasikan seorang biarawan kepada perguruan Nalanda, Pala. Relasi Sriwijaya dengan dinasti Chola di India Selatan, cukup baik.

907 M
Pada prasasti Mantyasih yang diketemukan di Mantyasih, Kedu, Jawa Tengah berangka tahun 907 M yang ditulis menggunakan bahasa Jawa Kuno, menguraikan daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Balitung, yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalang, dan Rakai Watukura Dyah Balitung. Untuk itu, prasasti Mantyasih/Kedu ini juga disebut dengan prasasti Balitung.

929 M
Diduga akibat letusan gunung Merapi, Raja Mataram; Mpu Sindok; memindahkan pusat Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Menurut catatan sejarah, tempat baru tersebut adalah Watugaluh yang terletak di tepi sungai Brantas; sekarang kira-kira adalah wilayah kabupaten Jombang (Jawa Timur). Kerajaan baru ini tidak lagi disebut Mataram, melainkan Medang. Namun demikian, beberapa literatur masih menyebut Mataram.

Menurut data vulkanologi, gunung Merapi di sekitar awal abad 11 M atau akhir abad 10 M mempunyai sejarah letusan teramat besar, sehingga sanggup meruntuhkan dinding barat dayanya dan mengalirkan milyaran material vulkanik yang selanjutnya membentur pegunungan Menoreh, membentuk perbukitan Gendol dan mengubur Candi Borobudur.

Di sekitar tahun 929 M pula —di desa Candirejo Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk, Mpu Sindok memimpin perang gerilya dan terjadi pertempuran hebat antara prajurit Mpu Sindok melawan bala tentara Kerajaan Melayu (Sriwijaya). Mpu Sindok memperoleh kemenangan gemilang dan dinobatkan menjadi raja bergelar Sri Maharaja Mpu Sindok Isyana Wikrama Dharma Tunggadewa. Kemudian untuk menghindari serangan Sriwijaya berikutnya, Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan lebih ke timur.

Untuk mengenang kemenangan ini, didirikan sebuah tugu bernama Jaya Stamba dan sebuah candi atau Jaya Marta. Terhadap masyarakat desa —karena jasa-jasanya dalam membantu pertempuran, Mpu Sindok memberikan hadiah sebagai desa perdikan atau desa bebas pajak dengan status Anjuk Ladang pada tanggal 10 April 937M.

Semenjak abad ke-8, Kerajaan Melayu (Sriwijaya) selalu berusaha menjadikan kerajaan-kerajaan di pulau Jawa sebagai daerah taklukannya. Usaha tersebut terus berlangsung hingga Raja Medang terakhir; Dharmawangsa. Sekutu Kerajaan Melayu (Sriwijaya) di Jawa pada saat itu adalah Raja Sri Jayabhupati dan Raja Wurawari.

947 M
Mpu Sindok; Raja Mataram atau yang juga disebut Medang, meninggal dunia.

956 M
Pada tahun 362 H —setelah wafatnya Sultan ke-7; Sultan Makhdum Alauddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua: bagian pesisir dipimpin oleh Sultan Alauddin Syed Maulana Syah (986-988) kemudian Perlak Pedalaman dipimpin oleh Sultan Makhdum Alauddin Malik Ibrohim Syah Johan Berdaulat (986-1023).

960 M
Di Cina, kaisar pertama Dinasti Sung berhasil memulihkan ketertiban atas seluruh negerinya; dan Kanton dibuka kembali sebagai pelabuhan niaga terbuka. Sesudahnya, segera tercatat perutusan-perutusan yang datang dari Nusantara, di mana sembilan di antaranya datang dari Sriwijaya, sementara dua utusan berasal dari Jawa dan Bali.

Selain Cina, terdapat pula beberapa referensi dari saudagar dan ahli geografi Arab serta Persia. Referensi tersebut dibuat berdasarkan minat pada komoditi perdagangan. Produk Sriwijaya didaftarkan seperti timah, emas, gading, rempah-rempah, kayu berharga, dan kapur barus. Bahkan Ibn Al-Fakil; seorang penulis Arab; pada abad 10 mencatat dengan serius bahwa beo dari Sumatera punya reputasi tersendiri. Burung-burung itu disebutkannya sanggup bicara dengan bahasa Arab, Persia, Yunani, dan Hindustani. Pada masa itu, cula badak dari Sumatera dianggap punya kualitas pengobatan yang diakui sebagai komoditi sangat berharga.

988 M
Sultan Alaudin Syed Maulana Syah wafat suatu Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak. Oleh karena itu, seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alauddin Malik Ibrohim Syah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.

989 M
Ratu Sang Luhur Sri Gunapriyadharmapatni; putri Makutawangsawardhana dari Jawa Timur; memerintah Bali bersama suaminya; Sri Dharmodayana Warmadewa.

991 M
Muncul nama Dharmawangsa Teguh (991-1016) sebagai penerus Mpu Sindok. Ia gigih memerangi Sriwijaya. Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa adalah pengganti Makutawangsawardhana. Selain menghalau Sriwijaya, pengaruhnya juga sangat besar di Bali sebagaimana nampak pada prasasti-prasasti Bali yang semula berbahasa Bali, namun sejak tahun 989 —terutama sesudah tahun 1022— sebagian besar tertulis dalam bahasa Jawa Kuno.

Raja terakhir Medang; Dharmawangsa Teguh; dikenal pula sebagai patron penerjemahan Kitab Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuno, dan di masa pemerintahannya disusun pula sebuah kitab hukum Siwasasana pada tahun 991. Pada masa ini pula Carita Parahyangan ditulis dalam bahasa Sunda yang menceritakan Kerajaan Sunda dan Galuh. Dharmawangsa mengadakan sejumlah penaklukan termasuk ke Bali dan mendirikan koloni di Kalimantan Barat.

Pendapat lain perihal masa kekuasaan Dharmawangsa Teguh, yaitu antara 985-1006.

992 M
Duta-duta datang ke Cina dari Sriwijaya maupun Jawa. Duta dari Sumatera yang sudah meninggalkan Kanton pada musim semi, tiba-tiba kembali lagi. Ketika sampai di pantai Champa (Vietnam bagian selatan), diperoleh kabar bahwa negerinya sedang diserbu oleh Jawa. Duta tersebut segera meminta supaya Kaisar menyatakan bahwa Sriwijaya berada di bawah perlindungan kaisar Cina. Sementara duta Jawa memberikan kisah berbeda. Dikatakannya dalam nada protes, bahwa antara raja mereka dan Sriwijaya memang selalu ada perang terus-menerus.

Menurut Krom dan pakar-pakar sejarah Jawa yang lebih tua, Dharmawangsa disebutkan memulai suatu program penaklukan yang ambisius. Dia menaklukkan Bali dan menggempur Sriwijaya. Akan tetapi, Sriwijaya membalas serangan hingga ke wilayah Jawa Timur, dimana kraton dapat dihancurkan dan rajanya berhasil dibunuh. “Seluruh pulau Jawa ketika itu seperti lautan purba (lautan bencana)”.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar