414 M
Fa Hien, seorang pendeta
dari Tiongkok, mengunjungi pulau Jawa dalam perjalanannya ke India antara tahun
399 sampai 414. Pengalamannya di tulis dalam buku “Fahuek”. Seratus tahun
kemudian, Sun Yun dan Hwui Ning mengikutinya dengan melakukan ziarah dari
Tiongkok ke India.
Ketika melakukan
pelayaran ke India dan Srilanka, Fa Hien (337-422) juga terdampar dan pernah
singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P’o-Hwang (Tulang Bawang), tepatnya
di pedalaman Chrqse (Sumatera).
416 M
Catatan mengenai letusan
Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno berjudul “Pustaka
Raja Parwa” yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi, isinya
antara lain menyatakan:
“Ada suara Guntur yang menggelegar berasal dari
Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total,
petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan
seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari
Gunung Batuwara dan mengalir ke Timur menuju Gunung Kamula... Ketika air
menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera.”
Pakar geologi, Berend
George Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang
diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks tersebut
disebut Gunung Batuwara. Menurut buku “Pustaka
Raja Parwa”, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas
permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.
Akibat ledakan yang
hebat itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur dan menyisakan kaldera
(kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai
Pulau Rakata, Pulau Panjang, dan Pulau Sertung; dalam catatan lain disebut
sebagai Pulau Rakata, Pulau Rakata Kecil, dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini
disinyalir bertanggung jawab atas terjadinya abad kegelapan di muka bumi.
Penyakit sampar bibonic terjadi dikarenakan temperatur yang mendingin. Sampar
ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi.
Letusan ini juga
dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi
kerajaan Romawi ke kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arabia Selatan,
punahnya kota besar Maya, Tikal, dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan
yang penuh teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10
hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per-detik.
Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter dan
menurunkan temperatur bumi sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.
625 M
Sebuah dokumen kuno asal
Tiongkok menyebutkan, bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau
sekitar tahun 625 M ―hanya berbeda 15 tahun setelah Muhammad bin ‘Abdulloh menerima
wahyu kenabian pertama, atau sembilan setengah tahun setelah dirinya berdakwah
secara terang-terangan pada bangsa Arab― di sebuah pesisir pantai Sumatera
sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam
kekuasaan wilayah kerajaan Buddha Sriwijaya. Temuan ini diperkuat oleh Prof.
Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara
pada tahun 674 M, telah menemukan sekelompok bangsa Arab yang membuat kampung
dan berdiam di pesisir Barat Sumatera.
HAMKA pun menulis bahwa
penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama
Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini
kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University,
Amerika Serikat.
671 M
Pendeta I Tsing
berangkat dari Canton ke Nalanda melalui Sriwijaya. Seluruh pengalamannya
diuraikan dengan cermat dalam bukunya, “Nan Hai Chi Kuei Fa Ch’uan” dan “Ta T’ang Si Yu Ku
Fa Kao Seng Ch’uan”.
Pendeta I Tsing
mengembara di luar Tiongkok selama 25 tahun. Ia kembali ke Kwangtung pada
pertengahan musim panas pemerintahan Cheng Heng (tahun 695) dengan membawa
pulang 4.000 naskah yang terdiri dari 500.000 seloka. Dan dari tahun 700 sampai
712, ia menerjemahkan 56 buku dalam 230 jilid. Ia melakukan kunjungan ke
Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun
671 dan 695. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan
sarjana Buddha dan koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.
Hingga abad ke-7, hanya
pendeta Buddha Tionghoa yang melakukan perjalanan ke India dan mengunjungi
Sriwijaya. Disebutkan pula bahwa I Tsing berlayar dengan menggunakan perahu
Sriwijaya.
Meskipun catatan sejarah
dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa
menyatakan bahwa pada abad ke-7 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas
seluruh Sumatera, Jawa Barat, dan beberapa daerah di Semenanjung Melayu.
Dominasi terhadap Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai
pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya
atas setiap kapal yang lewat. Palembang mengakumulasi kekayaannya dari
pelabuhan dan gudang perlindungan yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan
India.
Dalam perkembangannya,
Kerajaan Melayu di Jambi merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing
Sriwijaya dan akhirnya dapat ditaklukkan pada abad ke-7 dan ke-9. Di Jambi,
pertambangan emas merupakan sumber ekonomi cukup
penting; dan kata “Swarnadwipa”
(pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Kerajaan Sriwijaya juga membantu
menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatera, Semenanjung Melayu, dan
Kalimantan bagian Barat.
732 M
Pada Prasasti Canggal
yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal, berangka tahun
732 M, dalam bentuk Candrasangkala huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta,
menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh
Raja Sanjaya. Di samping itu, diceritakan pula bahwa yang menjadi Raja
mula-mula ialah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara
perempuan Sanna).
Awalnya kerajaan Mataram
diperintah oleh dua dinasti atau wangsa, yaitu Wangsa Sanjaya yang beragama
Hindu Siwa dan Wangsa Syailendra yang beragama Buddha. Menurut para ahli,
keluarga Sanjaya terdesak oleh keluarga Syailendra, tetapi pergeseran kekuasaan
tersebut tidak diketahui secara pasti. Yang jelas, keduanya sama-sama berkuasa
di Jawa Tengah.
Raja-raja yang berkuasa
dari keluarga Syailendra seperti yang tertera dalam Prasasti Ligor, Nalanda,
maupun Klurak, adalah Bhanu, Wisnu, Indra, dan Samaratungga atau Samaragrawira.
Sedangkan raja-raja dari dinasti Sanjaya tertera dalam prasasti Mantyasih.
Berdasarkan candi-candi peninggalan kerajaan Mataram dari abad ke-8 hingga 9,
corak agama Hindu terletak di daerah Jawa Tengah bagian Utara dan yang bercorak
Buddha terletak di Jawa Tengah bagian Selatan.
Kedua dinasti tersebut
akhirnya bersatu dengan adanya pernikahan antara Rakai Pikatan dengan
Pramodawardhani. Pramodawardhani adalah putri dari Samaratungga. Raja Samaratungga selain
mempunyai putri Pramodawardhani, juga mempunyai putera, yaitu Balaputradewa
(karena Samaratungga menikah dengan keturunan Raja Sriwijaya). Kegagalan
Balaputradewa merebut kekuasaan dari Rakai Pikatan menyebabkan ia menyingkir ke
wilayah kakeknya di Sumatera dan tak lama kemudian menjadi Raja di Sriwijaya.
Untuk selanjutnya,
pemerintahan kerajaan Mataram dikuasai oleh dinasti Sanjaya
dengan rajanya yang terakhir, yaitu Rakai Sumba Dyah Wawa. Kelak,
pada masa pemerintahan Wawa ―sekitar abad ke-10, Mataram yang berlokasi di Jawa
Tengah mengalami kemunduran, dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Jawa Timur
oleh Mpu Sindok. Mpu Sindok selanjutnya mendirikan dinasti baru, yaitu Dinasti
Isyana dengan kerajaannya Medang Mataram.
Pendapat lain
menyebutkan pula bahwasanya Balaputradewa kehilangan haknya untuk memerintah di
Bhumi Jawa dikarenakan putra tertua kerajaan adalah Pangeran Samaratungga,
sehingga Pangeran Samaratungga yang berhak memimpin kerajaan di Bhumi Jawa.
Dengan begitu, Balaputradewa bukanlah putra tetapi merupakan adik dari
Samaratungga. Sedangkan Samaratungga mempunyai seorang putri bernama
Pramodawardhani yang kemudian menikah dengan Jatiningrat. Adapun penyebab
Balaputradewa berada di Swarnadwipa adalah akibat dari lepasnya Kamboja dari
kekuasaan Samaragrawira. Oleh karena itu, Samaragrawira memutuskan untuk
membagi dua kekuasaan, yaitu: Samaratungga berkuasa di Jawa dan Balaputradewa
berkuasa di Sriwijaya. Nama Balaputradewa juga disebut di dalam Prasasti
Nalanda sebagai salah seorang raja di Swarnadwipa atau Sriwijaya.
760 M
Prasasti Dinoyo menjadi
salah satu bukti keberadaan kerajaan Kanjuruhan. Prasasti Dinoyo saat ini
berada di Museum Jakarta. Menurut para ahli purbakala, kerajaan Kanjuruhan
berpusat di kawasan Dinoyo, kota Malang sekarang.
Prasasti Dinoyo
ditemukan di desa Merjosari (5 km sebelah Barat kota Malang), di kawasan kampus
III Universitas Muhammadiyah Malang saat ini. Prasasti Dinoyo merupakan peninggalan
yang unik karena ditulis dalam huruf Jawa Kuno dan bukan huruf Pallawa
sebagaimana prasasti sebelumnya. Keistimewaan lain adalah cara penulisan tahun
berbentuk Candra Sengkala yang berbunyi “Nayana
Vasurasa” (tahun 682 Saka) atau tahun 760 Masehi. Dalam Prasasti Dinoyo
diceritakan masa keemasan kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut:
“Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja
yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha.
Setelah Raja meninggal, digantikan oleh putranya
yang bernama Sang Liswa.
Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan
menjaga istana besar bernama Kanjuruhan.
Sang Liswa memiliki putri yang disebut sebagai
Sang Uttiyana.
Raja Gajayana dicintai para brahmana dan
rakyatnya karena membawa ketenteraman di seluruh negeri.
Raja dan rakyatnya menyembah kepada yang mulia
Sang Agastya.
Bersama raja dan para pembesar negeri Sang
Agastya (disebut Maharesi) menghilangkan penyakit.
Raja melihat arca Agastya dari kayu cendana
milik nenek moyangnya.”
Maka, raja memerintahkan
membuat arca Agastya dari batu hitam yang elok. Salah satu arca Agastya ada di
dalam kawasan Candi Besuki yang saat ini tinggal pondasinya saja. Bukti lain
keberadaan kerajaan Kanjuruhan adalah Candi Badut yang hingga kini masih cukup
baik keadaannya serta telah mengalami renovasi dari Dinas Purbakala.
Peninggalan lain adalah patung Dewasimha yang berada di tengah pasar Dinoyo
saat ini.
777 M
Berdasarkan silsilah
keturunan Sultan-sultan Melayu yang dikeluarkan oleh kerajaan Brunei Darussalam
dan kesultanan Sulu-Mindanao, kerajaan Islam Jeumpa dibangun pada 154 Hijriyah
atau tahun 777 Masehi. Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Persia yang bernama
Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Putri Mayang
Seuludong dan memiliki beberapa anak antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti,
Syahri Nawi, Syahri Dito, dan Putri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari
Sultan pertama kerajaan Islam Perlak.
Menurut penelitian Sayed
Dahlan al-Habsy, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi
Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayyid, Syarif,
Sunan, Teuku, dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husain bin ‘Ali, Syahri
Banun, anak Maha Raja Persia terakhir.
Syahrnawi adalah salah
satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan kerajaan Islam Perlak, bahkan
beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 yang
dipimpinnya langsung dan diserahkan kepada anak saudaranya, Maulana ‘Abdul ‘Aziz.
Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi kerajaan Islam Pasai dan
mendapat kegemilangannya pada masa kerajaan Aceh Darussalam. Maka tidak
mengherankan jika Syaikh Hamzah Fansuri mengatakan kelahirannya di bumi
Syahrnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama pengazas kerajaan-kerajaan
Islam Aceh yang dimulai dari kerajaan Islam Jeumpa.
Di dalam buku “The
History of Java”, Sir Thomas Stamford Raffles menyebutkan bahwa Champa
yang terkenal di Nusantara bukan terletak di Kamboja sekarang sebagaimana
dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Karena Champa adalah nama daerah di
sebuah wilayah di Aceh yang terkenal dengan nama “Jeumpa”. Champa (Cempo)
adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek Jawa. Jeumpa yang dinyatakan oleh
Raffles sebagai “Cempo” sekarang berada di daerah sekitar kabupaten Bireuen,
Aceh.
778 M
Pada Prasasti Kalasan
yang berangka tahun 778 M, ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan
bahasa Sansekerta, menceritakan pendirian bangunan suci untuk Dewi Tara dan
biara untuk pendeta oleh raja Panangkaran atas permintaan keluarga Syailendra
dan Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan untuk para Sanggha (umat
Buddha).
Dalam karya-karya
kesusasteraan Mataram Kuno, terlihat sekali pengaruh kebudayaan India yang
diadaptasi ke dalam karya kesusasteraan Jawa, seperti Mahabharata dan Ramayana
yang berupa kakawin dalam bahasa Jawa Kuno.
782 M
Pada Prasasti Klurak
yang ditemukan di desa Prambanan, berangka tahun 782 M, ditulis dalam huruf
Pranagari dan bahasa Sansekerta, menceritakan pembuatan arca Manjusri oleh Raja
Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.
Menurut para ahli, bahwa
yang dimaksud dengan arca Manjusri adalah Candi Sewu yang terletak di kompleks
Prambanan, dan nama Raja Indra tersebut juga ditemukan pada Prasasti Ligor dan
Prasasti Nalanda peninggalan kerajaan Sriwijaya.
792 M
Setelah Dharmasetu,
Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835.
Samaratungga tidak lagi melakukan ekspansi militer seperti pendahulunya, tetapi
lebih memilih untuk mengokohkan penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa
kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa.
Menurut Prasasti Klurak
(784 M), pembuatan Borobudur dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bangalore)
bernama Kumaragancya yang sangat dihormati, dan seorang Pangeran dari Kashmir
bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddha Tantra
Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang
bergelar Sri Sanggramadananjaya, dan dilanjutkan oleh putranya, Samaratungga,
kemudian oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodawardhani.
820 M
Setelah terjadi
kekacauan perdagangan di Canton ―antara tahun 820-850 M, pemerintahan Jambi
menyatakan sebagai kerajaan merdeka dan mengirimkan utusan ke Cina pada tahun
853 dan 871. Kemerdekaan Jambi bertepatan dengan diusirnya Balaputradewa dari
Jawa setelah gagal menyingkirkan kekuasaan Rakai Pikatan yang merupakan iparnya
dari Wangsa Sanjaya.
840 M
Sekitar tahun 840 M
berdiri Kerajaan Perlak di sekitar kota Peureulak saat ini pada 1 Muharrom 225 H,
dengan rajanya Sultan Alauddin Sayyid Maulana ‘Abdul ‘Aziz Syah. Ia
mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Kholifah.
Perlak atau Peureulak
terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak; jenis kayu yang sangat
bagus untuk pembuatan kapal. Dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama
Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang
sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, dan disinggahi oleh
kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia.
Kesultanan Perlak
berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur; Aceh sekarang; antara tahun
840 sampai dengan tahun 1292.
860 M
Sriwijaya berhubungan
dekat dengan kerajaan Pala di Benggala. Sebuah prasasti bertahun 860 mencatat
bahwa Raja Balaputra mendedikasikan seorang biarawan kepada perguruan Nalanda,
Pala. Relasi Sriwijaya dengan dinasti Chola di India Selatan, cukup baik.
907 M
Pada prasasti Mantyasih
yang diketemukan di Mantyasih, Kedu, Jawa Tengah berangka tahun 907 M yang
ditulis menggunakan bahasa Jawa Kuno, menguraikan daftar silsilah raja-raja
Mataram yang mendahului Balitung, yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai
Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalang,
dan Rakai Watukura Dyah Balitung. Untuk itu, prasasti Mantyasih/Kedu ini juga
disebut dengan prasasti Balitung.
929 M
Diduga akibat letusan gunung
Merapi, Raja Mataram; Mpu Sindok; memindahkan pusat Kerajaan Mataram dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur. Menurut catatan sejarah, tempat baru tersebut adalah Watugaluh
yang terletak di tepi sungai Brantas; sekarang kira-kira adalah wilayah
kabupaten Jombang (Jawa Timur). Kerajaan baru ini tidak lagi disebut Mataram, melainkan
Medang. Namun demikian, beberapa literatur masih menyebut Mataram.
Menurut data vulkanologi,
gunung Merapi di sekitar awal abad 11 M atau akhir abad 10 M mempunyai sejarah
letusan teramat besar, sehingga sanggup meruntuhkan dinding barat dayanya dan
mengalirkan milyaran material vulkanik yang selanjutnya membentur pegunungan
Menoreh, membentuk perbukitan Gendol dan mengubur Candi Borobudur.
Di sekitar tahun 929 M
pula —di desa Candirejo Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk, Mpu Sindok
memimpin perang gerilya dan terjadi pertempuran hebat antara prajurit Mpu
Sindok melawan bala tentara Kerajaan Melayu (Sriwijaya). Mpu Sindok memperoleh
kemenangan gemilang dan dinobatkan menjadi raja bergelar Sri Maharaja Mpu Sindok Isyana Wikrama Dharma Tunggadewa. Kemudian
untuk menghindari serangan Sriwijaya berikutnya, Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan
lebih ke timur.
Untuk mengenang
kemenangan ini, didirikan sebuah tugu bernama Jaya Stamba dan sebuah candi atau Jaya Marta. Terhadap masyarakat desa —karena jasa-jasanya dalam
membantu pertempuran, Mpu Sindok memberikan hadiah sebagai desa perdikan atau desa
bebas pajak dengan status Anjuk Ladang
pada tanggal 10 April 937M.
Semenjak abad ke-8,
Kerajaan Melayu (Sriwijaya) selalu berusaha menjadikan kerajaan-kerajaan di pulau
Jawa sebagai daerah taklukannya. Usaha tersebut terus berlangsung hingga Raja
Medang terakhir; Dharmawangsa. Sekutu Kerajaan Melayu (Sriwijaya) di Jawa pada saat
itu adalah Raja Sri Jayabhupati dan Raja Wurawari.
947 M
Mpu Sindok; Raja Mataram
atau yang juga disebut Medang, meninggal dunia.
956 M
Pada tahun 362 H —setelah
wafatnya Sultan ke-7; Sultan Makhdum Alauddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat,
terjadi lagi pergolakan yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan
menjadi dua: bagian pesisir dipimpin oleh Sultan Alauddin Syed Maulana Syah (986-988)
kemudian Perlak Pedalaman dipimpin oleh Sultan Makhdum Alauddin Malik Ibrohim
Syah Johan Berdaulat (986-1023).
960 M
Di Cina, kaisar pertama
Dinasti Sung berhasil memulihkan ketertiban atas seluruh negerinya; dan Kanton
dibuka kembali sebagai pelabuhan niaga terbuka. Sesudahnya, segera tercatat
perutusan-perutusan yang datang dari Nusantara, di mana sembilan di antaranya
datang dari Sriwijaya, sementara dua utusan berasal dari Jawa dan Bali.
Selain Cina, terdapat
pula beberapa referensi dari saudagar dan ahli geografi Arab serta Persia. Referensi
tersebut dibuat berdasarkan minat pada komoditi perdagangan. Produk Sriwijaya
didaftarkan seperti timah, emas, gading, rempah-rempah, kayu berharga, dan
kapur barus. Bahkan Ibn Al-Fakil; seorang penulis Arab; pada abad 10 mencatat
dengan serius bahwa beo dari Sumatera punya reputasi tersendiri. Burung-burung
itu disebutkannya sanggup bicara dengan bahasa Arab, Persia, Yunani, dan
Hindustani. Pada masa itu, cula badak dari Sumatera dianggap punya kualitas
pengobatan yang diakui sebagai komoditi sangat berharga.
988 M
Sultan Alaudin Syed
Maulana Syah wafat suatu Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak. Oleh karena itu, seluruh
Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alauddin Malik Ibrohim
Syah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun
1006.
989 M
Ratu Sang Luhur Sri Gunapriyadharmapatni;
putri Makutawangsawardhana dari Jawa Timur; memerintah Bali bersama suaminya; Sri
Dharmodayana Warmadewa.
991 M
Muncul nama Dharmawangsa
Teguh (991-1016) sebagai penerus Mpu Sindok. Ia gigih memerangi Sriwijaya. Sri
Dharmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa adalah pengganti Makutawangsawardhana.
Selain menghalau Sriwijaya, pengaruhnya juga sangat besar di Bali sebagaimana
nampak pada prasasti-prasasti Bali yang semula berbahasa Bali, namun sejak
tahun 989 —terutama sesudah tahun 1022— sebagian besar tertulis dalam bahasa Jawa
Kuno.
Raja terakhir Medang; Dharmawangsa
Teguh; dikenal pula sebagai patron penerjemahan Kitab Mahabharata ke
dalam bahasa Jawa Kuno, dan di masa pemerintahannya disusun pula sebuah kitab
hukum Siwasasana pada tahun 991. Pada masa ini pula Carita Parahyangan ditulis dalam bahasa
Sunda yang menceritakan Kerajaan Sunda dan Galuh. Dharmawangsa mengadakan
sejumlah penaklukan termasuk ke Bali dan mendirikan koloni di Kalimantan Barat.
Pendapat lain perihal
masa kekuasaan Dharmawangsa Teguh, yaitu antara 985-1006.
992 M
Duta-duta datang ke Cina
dari Sriwijaya maupun Jawa. Duta dari Sumatera yang sudah meninggalkan Kanton
pada musim semi, tiba-tiba kembali lagi. Ketika sampai di pantai Champa (Vietnam
bagian selatan), diperoleh kabar bahwa negerinya sedang diserbu oleh Jawa. Duta
tersebut segera meminta supaya Kaisar menyatakan bahwa Sriwijaya berada di bawah
perlindungan kaisar Cina. Sementara duta Jawa memberikan kisah berbeda. Dikatakannya
dalam nada protes, bahwa antara raja mereka dan Sriwijaya memang selalu ada
perang terus-menerus.
Menurut Krom dan pakar-pakar
sejarah Jawa yang lebih tua, Dharmawangsa disebutkan memulai suatu program
penaklukan yang ambisius. Dia menaklukkan Bali dan menggempur Sriwijaya. Akan
tetapi, Sriwijaya membalas serangan hingga ke wilayah Jawa Timur, dimana kraton
dapat dihancurkan dan rajanya berhasil dibunuh. “Seluruh pulau Jawa ketika itu
seperti lautan purba (lautan bencana)”.
Selanjutnya: KronikPeralihan Nusantara (1005-1079 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar