Kamis, 08 Agustus 2013

Dan Bersamalah, Di Sini

malam berlalu,
tapi tak mampu kupejamkan mata dirundung rindu
kepada mereka
yang wajahnya mengingatkanku akan surga
wahai fajar terbitlah segera,
agar sempat kukatakan pada mereka
“aku mencintai kalian karena Alloh.”

-‘Umar ibn al-Khoththob-




PADA SUATU HARI, tiga orang berjumpa di salah satu sudut Madinah. Kisahnya jadi canda. Tapi begini keadaannya: yang pertama menebar kepedulian, yang kedua membagi kebijaksanaan, dan yang ketiga memberi damai dengan pemahaman serta pemaknaan. Itulah ‘Umar ibn al-Khoththob berjumpa dengan Hudzaifah ibn al-Yaman dan ‘Ali ibn Abi Tholib. “Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Hudzaifah?” tanya ‘Umar.

“Wahai Amirul Mukminin,” jawabnya, “Pagi ini aku mencintai fitnah, membenci al-haq, sholat tanpa wudhu, dan aku memiliki sesuatu di muka bumi yang tidak dimiliki oleh Alloh di langit.”

“Demi Alloh,” kata ‘Umar, “Engkau membuatku marah!”

“Apa yang membuatmu marah, wahai Amirul Mukminin?” timpal ‘Ali ibn Abi Tholib.

Hudzaifah terdiam, dan tersenyum pada ‘Ali.

“Wahai Amirul Mukminin,” kata ‘Ali, “Sesungguhnya benar Hudzaifah, dan aku pun seperti dirinya. Adapun kecintaannya pada fitnah, maksudnya adalah harta dan anak-anak, sebagaimana firman Alloh:

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah cobaan.” (Qs. at-Taghobun [64]: 15)

“Adapun kebenciannya terhadap al-haq, maksudnya adalah dia membenci kematian. Sholatnya yang tanpa wudhu itu adalah sholawat kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun yang dimilikinya di bumi dan tidak dimiliki Alloh di langit adalah istri dan anak. Bukankah Alloh tak memiliki keduanya?”

                                                            ***

Bayangkanlah kita membersamai orang-orang macam mereka. Diamnya menjadi tasbih. Bicaranya ilmu. Ucapannya penuh do’a. tak ada yang sia-sia. Bahkan dalam candanya, terkandung ilmu dan kebenaran yang membuat kita merenung dalam-dalam. Mari berangan-angan untuk berada di tengah orang-orang yang terhubung dengan langit dan merasakan ukhuwah mereka mendekap hangat kita dalam kebenaran, kemuliaan, dan kebajikan.

“Berangan-anganlah kalian,” kata ‘Umar di waktu lain pada orang-orang di majelisnya.

Maka di antara mereka ada yang berangan-angan berjihad, lalu mati syahid, lalu dihidupkan lagi, lalu berjihad lagi, lalu mati syahid, lalu dihidupkan lagi, lalu berjihad, begitu seterusnya. Yang lain berangan-angan dikaruniai emas sebesar Gunung Uhud lalu dia menginfaqkannya di jalan Alloh.

“Adapun aku,” kata ‘Umar, “Mengangankan dunia ini dipenuhi orang-orang seperti Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarroh, Salim Maula Abi Hudzaifah, dan Mu’adz ibn Jabal, yang bersama mereka aku meninggikan kalimat Alloh.”

‘Umar benar. Mereka yang disebutnya adalah orang-orang benar. Sayang mereka semua sudah meninggal. Rosululloh menggelari Abu ‘Ubaidah sebagai “Orang terpercayanya ummat ini.” Salim, adalah bekas budak yang kepadanya Rosululloh perintahkan merujuk al-Qur’an di samping Ubay ibn Ka’ab dan ‘Abdulloh ibn Mas’ud. Dia seorang yang teguh hati dan tawadhu’, dan ‘Umar pernah merasakan ketulusannya saat dahulu Salim mendampinginya dalam beberapa urusan pemerintahan. Adapun Mu’adz, lelaki penuh ilmu dengan keperwiraan dan kejujuran yang tiada banding. Mereka adalah orang-orang benar, dan dalam dekapan ukhuwah, bersamalah orang-orang yang benar.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh dan bersamailah orang-orang yang benar.” (Qs. at-Taubah [9]: 119)

Inilah ayat, tentang keterhubungan dengan langit sekaligus bagaimana menebarkan cinta di bumi. Dengan taqwa, Alloh mengaruniakan kita furqon; kepekaan untuk membedakan kebenaran dari kebatilan sekaligus kekuatan untuk mengikutinya. Dia adalah cahaya terang yang membimbing kita menuju masa depan sejati. Hati kita memang berbolak-balik dan bergoyah-gayuh. Maka keajegan taqwa dalam hati akan terdukung dengan adanya orang-orang benar di sekeliling kita. Bahkan meski kebersamaan itu hanya sesekali, sesaat-sesaat. Hanzholah ibn ar-Robi’ berkisah tentang ini pada kita dalam riwayat Imam Muslim.

Satu hari, Abu Bakar ash-Shiddiq berkunjung dan menanyakan kabarnya. “Hanzholah telah menjadi munafiq!” katanya sendu.

“Subhanalloh,” hardik Abu Bakar, “Apa yang engkau ucapkan?”

“Aku sering bersama Rosululloh,” kata Hanzholah, “Beliau mengingatkan tentang surga dan neraka seolah-olah aku melihatnya dengan mata kepala. Namun ketika aku keluar dari sisi beliau, lalu bercengkerama dengan anak-anak serta sibuk dengan pekerjaan, aku pun banyak melupakannya. Semua bayangan tentang Alloh, surga dan neraka seakan tak bersisa.”

“Demi Alloh! Sesungguhnya kami juga merasakan hal seperti itu!” sahut Abu Bakar membenarkan.

Mereka kemudian mendatangi Rosululloh dan menanyakan urusannya. Dengan penuh semangat sekaligus kegelisahan mereka mengadukan keadaan dirinya yang serasa beda. Alangkah dekatnya Alloh, alangkah jelas gambaran surga di hadapan dan bentangan neraka di seputaran saat mereka bersama beliau. Dan celakanya semua rasa yang nikmat dan indah itu hilang ketika mereka ditelan kesibukan dan rutinitas harian.

Rosululloh tersenyum.

“Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya,” demikian sabda beliau, “Seandainya kalian selalu dalam keadaan sebagaimana ketika kalian ada di sisiku dan dalam berdzikir, niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat-tempat tidur, dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi sesaat demi sesaat, wahai Hanzholah! Sesaat demi sesaat, wahai Hanzholah! Sesaat demi sesaat!”

                                                            ***

Apa rambu yang kita jaga agar selaras dengan semangat kebersamaan dalam dekapan ukhuwah ini?

“Jangan kalian saling membenci,” begitu beliau bersabda seperti dikisahkan Abu Huroiroh dalam riwayat al-Bukhori, “Jangan saling menipu, janganlah kalian saling dengki, jangan saling memutuskan hubungan, dan janganlah sebagian menyerobot akad dagang sebagian yang lain.”

“Jadilah kalian hamba-hamba Alloh yang bersaudara,” lanjut beliau, “Seorang Muslim itu saudara Muslim yang lain. Tidak boleh menzholiminya, tidak boleh membiarkannya, dan tidak boleh menghinakannya. Taqwa itu di sini. Di sini. Di sini.” Beliau menunjuk dadanya tiga kali. “Cukuplah seseorang dianggap jahat karena melecehkan saudara Muslimnya. Setiap Muslim atas Muslim yang lain harom darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”

Mencermati hadits yang gamblang ini, lagi-lagi kita diingatkan bahwa keterhubungan dengan langit, yakni taqwa, menjadi pilar yang menyangga setiap interaksi dengan sesama Muslim dalam dekapan ukhuwah. Penjagaan taqwa itu dimulai dengan terlarangnya hal-hal yang bisa menyakiti hati dan merusak persaudaraan. Lalu Sang Nabi melanjutkannya dengan maklumat agung, “Setiap Muslim atas Muslim yang lain harom darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”

Karena taqwa adalah juga kepekaan hati, maka menjaga kehormatan dalam persaudaraan itu, difahami oleh para ulama sampai hal yang sekecil-kecilnya, sehalus-halusnya, sesamar-samarnya. Untuk menjadi renungan, adalah Ibnu Qoyyim al-Jauziyah yang meriwayatkan kisah yang dibawakan oleh al-Imam Ibnu Sirin berikut ini dalam karyanya, Madarijus Saalikin.

“Alangkah indahnya,” begitu Ibnu Sirin memulai cerita, “Kisah dua orang bersaudara di jalan Alloh yang pada mulanya saling mencintai. Lalu hubungan di antara mereka terganggu.

Satu waktu mereka bertemu. “Mengapa kiranya,” tanya lelaki pertama, “Hari-hari ini aku melihatmu seolah engkau berpaling dan menjauhiku?”

“Telah sampai padaku,” jawab orang yang kedua, “Sesuatu tentang dirimu. Dan engkau pasti tak menyukainya.”

“Kalau begitu, aku tak peduli,” lelaki pertama itu tersenyum.

“Mengapa?”

“Karena jika apa yang engkau dengar itu adalah benar sebuah kesalahan yang telah aku lakukan, aku tahu engkau pasti akan memaafkannya. Dan jika berita itu tidak benar, engkau pasti tidak akan menerimanya.”

“Setelah itu,” kata Ibnu Sirin menutup kisah, “Mereka kembali pada ukhuwah yang indah.”

                                                            ***

Dalam dekapan ukhuwah, mari kita telusuri keindahan itu bersama mereka, insya Alloh di lembar-lembar selanjutnya. Tapi sebelum itu, akan kita kenali dulu tanah-tanah gersang yang membuat ukhuwah sulit tumbuh, tak mampu berakar, dan mustahil mekar. Akan kita seksamai juga angin, api, dan air yang bisa saja menggersangkan tanah subur yang pernah kita punya. Kadang mereka datang untuk membuat ukhuwah tertiup hingga hilang, terbakar hingga hangus, dan terbanjir hingga larut. Dalam dekapan ukhuwah, kita mewaspadai ancaman-ancaman padanya.



Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar