malam
berlalu,
tapi
tak mampu kupejamkan mata dirundung rindu
kepada
mereka
yang
wajahnya mengingatkanku akan surga
wahai
fajar terbitlah segera,
agar
sempat kukatakan pada mereka
“aku
mencintai kalian karena Alloh.”
-‘Umar
ibn al-Khoththob-
PADA
SUATU HARI,
tiga orang berjumpa di salah satu sudut Madinah. Kisahnya jadi canda. Tapi
begini keadaannya: yang pertama menebar kepedulian, yang kedua membagi
kebijaksanaan, dan yang ketiga memberi damai dengan pemahaman serta pemaknaan.
Itulah ‘Umar ibn al-Khoththob berjumpa dengan Hudzaifah ibn al-Yaman dan ‘Ali
ibn Abi Tholib. “Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Hudzaifah?” tanya ‘Umar.
“Wahai Amirul
Mukminin,” jawabnya, “Pagi ini aku mencintai fitnah, membenci al-haq, sholat tanpa wudhu, dan aku memiliki
sesuatu di muka bumi yang tidak dimiliki oleh Alloh di langit.”
“Demi
Alloh,” kata ‘Umar, “Engkau membuatku marah!”
“Apa yang
membuatmu marah, wahai Amirul Mukminin?” timpal ‘Ali ibn Abi Tholib.
Hudzaifah
terdiam, dan tersenyum pada ‘Ali.
“Wahai
Amirul Mukminin,” kata ‘Ali, “Sesungguhnya benar Hudzaifah, dan aku pun seperti
dirinya. Adapun kecintaannya pada fitnah, maksudnya adalah harta dan anak-anak,
sebagaimana firman Alloh:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu
hanyalah fitnah cobaan.” (Qs.
at-Taghobun [64]: 15)
“Adapun
kebenciannya terhadap al-haq,
maksudnya adalah dia membenci kematian. Sholatnya yang tanpa wudhu itu adalah
sholawat kepada Nabi Muhammad Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam. Adapun yang dimilikinya di bumi dan tidak dimiliki Alloh
di langit adalah istri dan anak. Bukankah Alloh tak memiliki keduanya?”
***
Bayangkanlah
kita membersamai orang-orang macam mereka. Diamnya menjadi tasbih. Bicaranya
ilmu. Ucapannya penuh do’a. tak ada yang sia-sia. Bahkan dalam candanya,
terkandung ilmu dan kebenaran yang membuat kita merenung dalam-dalam. Mari
berangan-angan untuk berada di tengah orang-orang yang terhubung dengan langit
dan merasakan ukhuwah mereka mendekap hangat kita dalam kebenaran, kemuliaan,
dan kebajikan.
“Berangan-anganlah
kalian,” kata ‘Umar di waktu lain pada orang-orang di majelisnya.
Maka di
antara mereka ada yang berangan-angan berjihad, lalu mati syahid, lalu
dihidupkan lagi, lalu berjihad lagi, lalu mati syahid, lalu dihidupkan lagi,
lalu berjihad, begitu seterusnya. Yang lain berangan-angan dikaruniai emas
sebesar Gunung Uhud lalu dia menginfaqkannya di jalan Alloh.
“Adapun
aku,” kata ‘Umar, “Mengangankan dunia ini dipenuhi orang-orang seperti Abu
‘Ubaidah ibn al-Jarroh, Salim Maula
Abi Hudzaifah, dan Mu’adz ibn Jabal, yang bersama mereka aku meninggikan
kalimat Alloh.”
‘Umar
benar. Mereka yang disebutnya adalah orang-orang benar. Sayang mereka semua
sudah meninggal. Rosululloh menggelari Abu ‘Ubaidah sebagai “Orang
terpercayanya ummat ini.” Salim, adalah bekas budak yang kepadanya Rosululloh
perintahkan merujuk al-Qur’an di samping Ubay ibn Ka’ab dan ‘Abdulloh ibn
Mas’ud. Dia seorang yang teguh hati dan tawadhu’, dan ‘Umar pernah merasakan
ketulusannya saat dahulu Salim mendampinginya dalam beberapa urusan
pemerintahan. Adapun Mu’adz, lelaki penuh ilmu dengan keperwiraan dan kejujuran
yang tiada banding. Mereka adalah orang-orang benar, dan dalam dekapan ukhuwah,
bersamalah orang-orang yang benar.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Alloh dan bersamailah orang-orang yang benar.” (Qs. at-Taubah [9]: 119)
Inilah
ayat, tentang keterhubungan dengan langit sekaligus bagaimana menebarkan cinta
di bumi. Dengan taqwa, Alloh mengaruniakan kita furqon; kepekaan untuk membedakan kebenaran dari kebatilan
sekaligus kekuatan untuk mengikutinya. Dia adalah cahaya terang yang membimbing
kita menuju masa depan sejati. Hati kita memang berbolak-balik dan
bergoyah-gayuh. Maka keajegan taqwa dalam hati akan terdukung dengan adanya
orang-orang benar di sekeliling kita. Bahkan meski kebersamaan itu hanya
sesekali, sesaat-sesaat. Hanzholah ibn ar-Robi’ berkisah tentang ini pada kita
dalam riwayat Imam Muslim.
Satu
hari, Abu Bakar ash-Shiddiq berkunjung dan menanyakan kabarnya. “Hanzholah
telah menjadi munafiq!” katanya sendu.
“Subhanalloh,”
hardik Abu Bakar, “Apa yang engkau ucapkan?”
“Aku
sering bersama Rosululloh,” kata Hanzholah, “Beliau mengingatkan tentang surga
dan neraka seolah-olah aku melihatnya dengan mata kepala. Namun ketika aku
keluar dari sisi beliau, lalu bercengkerama dengan anak-anak serta sibuk dengan
pekerjaan, aku pun banyak melupakannya. Semua bayangan tentang Alloh, surga dan
neraka seakan tak bersisa.”
“Demi
Alloh! Sesungguhnya kami juga merasakan hal seperti itu!” sahut Abu Bakar
membenarkan.
Mereka
kemudian mendatangi Rosululloh dan menanyakan urusannya. Dengan penuh semangat
sekaligus kegelisahan mereka mengadukan keadaan dirinya yang serasa beda.
Alangkah dekatnya Alloh, alangkah jelas gambaran surga di hadapan dan bentangan
neraka di seputaran saat mereka bersama beliau. Dan celakanya semua rasa yang
nikmat dan indah itu hilang ketika mereka ditelan kesibukan dan rutinitas
harian.
Rosululloh
tersenyum.
“Demi Zat
yang jiwaku di tangan-Nya,” demikian sabda beliau, “Seandainya kalian selalu
dalam keadaan sebagaimana ketika kalian ada di sisiku dan dalam berdzikir,
niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat-tempat tidur, dan di
jalan-jalan kalian. Akan tetapi sesaat demi sesaat, wahai Hanzholah! Sesaat
demi sesaat, wahai Hanzholah! Sesaat demi sesaat!”
***
Apa rambu
yang kita jaga agar selaras dengan semangat kebersamaan dalam dekapan ukhuwah
ini?
“Jangan
kalian saling membenci,” begitu beliau bersabda seperti dikisahkan Abu Huroiroh
dalam riwayat al-Bukhori, “Jangan saling menipu, janganlah kalian saling
dengki, jangan saling memutuskan hubungan, dan janganlah sebagian menyerobot
akad dagang sebagian yang lain.”
“Jadilah
kalian hamba-hamba Alloh yang bersaudara,” lanjut beliau, “Seorang Muslim itu
saudara Muslim yang lain. Tidak boleh menzholiminya, tidak boleh membiarkannya,
dan tidak boleh menghinakannya. Taqwa itu di sini. Di sini. Di sini.” Beliau
menunjuk dadanya tiga kali. “Cukuplah seseorang dianggap jahat karena
melecehkan saudara Muslimnya. Setiap Muslim atas Muslim yang lain harom
darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”
Mencermati
hadits yang gamblang ini, lagi-lagi kita diingatkan bahwa keterhubungan dengan
langit, yakni taqwa, menjadi pilar yang menyangga setiap interaksi dengan
sesama Muslim dalam dekapan ukhuwah. Penjagaan taqwa itu dimulai dengan
terlarangnya hal-hal yang bisa menyakiti hati dan merusak persaudaraan. Lalu
Sang Nabi melanjutkannya dengan maklumat agung, “Setiap Muslim atas Muslim yang
lain harom darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”
Karena
taqwa adalah juga kepekaan hati, maka menjaga kehormatan dalam persaudaraan
itu, difahami oleh para ulama sampai hal yang sekecil-kecilnya, sehalus-halusnya,
sesamar-samarnya. Untuk menjadi renungan, adalah Ibnu Qoyyim al-Jauziyah yang
meriwayatkan kisah yang dibawakan oleh al-Imam Ibnu Sirin berikut ini dalam
karyanya, Madarijus Saalikin.
“Alangkah
indahnya,” begitu Ibnu Sirin memulai cerita, “Kisah dua orang bersaudara di
jalan Alloh yang pada mulanya saling mencintai. Lalu hubungan di antara mereka
terganggu.
Satu
waktu mereka bertemu. “Mengapa kiranya,” tanya lelaki pertama, “Hari-hari ini
aku melihatmu seolah engkau berpaling dan menjauhiku?”
“Telah
sampai padaku,” jawab orang yang kedua, “Sesuatu tentang dirimu. Dan engkau
pasti tak menyukainya.”
“Kalau
begitu, aku tak peduli,” lelaki pertama itu tersenyum.
“Mengapa?”
“Karena
jika apa yang engkau dengar itu adalah benar sebuah kesalahan yang telah aku
lakukan, aku tahu engkau pasti akan memaafkannya. Dan jika berita itu tidak
benar, engkau pasti tidak akan menerimanya.”
“Setelah
itu,” kata Ibnu Sirin menutup kisah, “Mereka kembali pada ukhuwah yang indah.”
***
Dalam
dekapan ukhuwah, mari kita telusuri keindahan itu bersama mereka, insya Alloh
di lembar-lembar selanjutnya. Tapi sebelum itu, akan kita kenali dulu
tanah-tanah gersang yang membuat ukhuwah sulit tumbuh, tak mampu berakar, dan
mustahil mekar. Akan kita seksamai juga angin, api, dan air yang bisa saja
menggersangkan tanah subur yang pernah kita punya. Kadang mereka datang untuk
membuat ukhuwah tertiup hingga hilang, terbakar hingga hangus, dan terbanjir
hingga larut. Dalam dekapan ukhuwah, kita mewaspadai ancaman-ancaman padanya.
Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah;
Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar