Selasa, 06 Agustus 2013

Siapa yang Lebih Mengenal Kita

kita menilai diri sendiri berdasar apa yang BISA kita lakukan
orang lain menilai kita berdasar apa yang SUDAH kita lakukan

-Benjamin Franklin-


‘ALI IBN ABI THOLIB Rodhiyalloh ‘Anhu memang lelaki periang dan penuh kelakar. Bahkan menjelang wafatnya, ketika di shubuh itu pedang ‘Abdurrohman ibn Muljam baru saja memancungnya di mihrob sholat, beliau masih sempat bercanda, namun juga sungguh-sungguh.

“Aku telah membeli pedang itu seharga seribu dirham!” teriak ‘Abdurrohman ibn Muljam sambil meronta dalam rangketan para sahabat ‘Ali. “Lalu kulumuri dia dengan racun seharga seribu dirham! Demi Alloh, lalu aku memohon pada-Nya agar pedang itu bisa membunuh makhluk-Nya yang terburuk dan terkutuk!”

‘Ali tersenyum, “Pintamu insya Alloh terkabul.”

“Jadi engkau mengakui bahwa kaulah sejelek-jelek makhluk Alloh?”

“Tidak,” jawab ‘Ali. “Kaulah orangnya! Karena, duhai al-Hasan, putraku, jika aku mati setelah ini, bunuhlah lelaki Khowarij ini sebagai qishosh dengan pedangnya itu! Demi Alloh, aku pernah mendengar Rosululloh bersabda, ‘Maukah kuberitahukan padamu seburuk-buruk makhluk, hai ‘Ali? Dia adalah Ahimyar Tsamud yang membunuh unta Nabi Sholih, dan seorang lelaki yang mengayunkan pedang ke kepalamu hingga darah membasahi janggutmu!’”

                                                           ***

‘Ali, lelaki penuh ilmu dengan pemahaman mendalam, sekaligus periang dan penuh kelakar. Demikianlah ‘Umar ibn al-Khoththob suatu ketika mensifatinya. ‘Umar, meski memiliki sifat firasat tajam, bukanlah orang yang sekilas lalu memberikan penilaian. ‘Umar memiliki tiga ukuran untuk menimbang benarkah seseorang mengenali orang lain.

Satu saat ketika seseorang memuji kawannya dalam persaksian sebagai orang yang baik, ‘Umar bertanya padanya, “Apakah engkau pernah memiliki hubungan dagang atau hutang-piutang dengannya sehingga engkau mengetahui sifat jujur dan amanahnya?”

“Belum,” jawabnya ragu.

“Pernahkah engkau,” cecar ‘Umar, “Berselisih perkara dan bertengkar hebat dengannya sehingga tahu bahwa dia tidak fajir kala berbantahan?”

“Ehm, juga belum…”

Pernahkah engkau bepergian dengannya selama sepuluh hari sehingga telah habis kesabarannya untuk berpura-pura lalu kamu mengenali watak-watak aslinya?”

“Itu, itu juga belum.”

“Kalau begitu pergilah kau, hai hamba Alloh. Demi Alloh, kau sama sekali tidak mengenalnya!”

Ukuran-ukuran yang dipakai ‘Umar ini begitu dalam dan penuh makna.

                                                           ***

Menjelang wafat, ‘Umar memberikan penilaian pada keenam calon penggantinya, termasuk ‘Ali, dengan pengenalan yang jujur dan amat terus terang. Imam az-Zuhri meriwayatkan kejadian itu sebagaimana diuraikan oleh Ibnu Abil Hadiid dalam Kitab Syarh-nya. Ketika terbaring akibat lukanya,” begitu tulis beliau, “’Umar ibn al-Khoththob meminta agar keenam anggota Majelis Syuro yang ditunjuknya dihadirkan dan memulai musyawarah di dekatnya. Lalu beliau minta didudukkan.

“Apakah masing-masing di antara kalian,” tanya ‘Umar menyela, “Berambisi untuk menjadi kholifah setelahku?”

Semua yang hadir terdiam takut. Tapi mereka melihat ‘Umar menyeringai. Ketika dia berteriak, rupanya darah menyembur dari lukanya. Setelah terdiam sejenak, ‘Umar mengulangi pertanyaannya.

“Apakah masing-masing di antara kalian berambisi untuk menduduki kholifah sepeninggalku? Jawablah aku!”

Az-Zubair ibn al-‘Awwam memberanikan diri. “Benar,” ujarnya, “Memangnya apa yang menjauhkan dan menghalangi kami darinya, sedang engkau hai ‘Umar telah menjabat dan melaksanakannya? Padahal tidaklah kami lebih rendah daripada engkau di kalangan Quroisy, juga dalam hal siapa yang lebih dulu masuk Islam, demikian pula dalam hal kekerabatan dengan Rosululloh?”

‘Umar tersenyum. “Bersediakah kalian,” tanya ‘Umar, “Aku beritahukan tentang sifat-sifat diri kalian?”

Mereka menjawab, “Ya. Sebab kau jujur dan keras, dan kau takkan memaafkan kami ataupun meringankan penilaian jika kami meminta maaf!”

“Adapun engkau hai az-Zubair,” kata ‘Umar sembari menghela nafas, “Adalah orang yang cepat terbakar amarah, sempit dada, serta penuh ambisi. Engkau seorang mukmin di saat ridho, dan sekaligus seorang kafir di saat murka. Sehari sebagai manusia dan sehari sebagai syaithon. Bisa jadi jika aku memilihmu dan menyerahkan khilafah kepadamu, niscaya engkau akan berbuat aniaya bahkan meski hanya pada satu mud gandum. Pikirkanlah, hai az-Zubair. Jika aku memasrahkannya padamu, siapa yang akan menjadi pemimpin bagi manusia pada hari engkau menjadi syaithon dan pada saat kemurkaanmu meledak? Demi Alloh, Dia takkan menyerahkan urusan ummat Muhammad ini kepadamu sedang dalam dirimu masih bersemayam sifat-sifat ini.”

Az-Zubair tertunduk malu.

Kemudian ‘Umar menghadap ke arah Tholhah ibn ‘Ubaidillah. “Apakah aku akan bicara tentangmu atau diam?” tanyanya.

“Bicaralah. Tapi memang aku tahu, sesungguhnya engkau takkan bicara tentang kebaikanku sedikit pun!” jawab Tholhah.

“Demi Alloh, hai Tholhah. Aku tidak mengenalmu lagi sejak hilangnya jari-jarimu di Perang Uhud. Kau dirasuki bangga diri dan sombong. Telah wafat Rosululloh dalam keadaan murka atas apa yang kau katakan sehingga turunlah ayat hijab. Hai Tholhah, apakah akan aku tambah lagi ataukah aku diam?”

Tholhah nyaris menangis. “Diamlah! Itu cukup!” katanya terisak.

Kemudian ‘Umar menghadap ke arah Sa’d ibn Abi Waqqosh. “Adapun engkau, hai Sa’d. adalah tukang berburu, pemilik busur, anak panah, dan tombak. Engkau adalah bagian dari sekumpulan kuda perang dan pasukan. Engkau seorang panglima perang yang memiliki kuku-kuku singa. Namun kau bukan kholifah! Bahkan Bani Zuhroh pun takkan sanggup kau mengurusnya!”

Lalu ‘Umar menghadap ke arah ‘Ali ibn Abi Tholib.

“Dan adapun engkau, hai ‘Ali,” katanya, “Demi Alloh, seandainya bukan karena unsur kelakar dalam dirimu, niscaya engkau bisa membawa mereka pada tujuan yang terang dan kebenaran yang jelas ketika engkau memimpin mereka. Sayangnya, mereka takkan mau kau bawa ke sana. Mereka takkan melakukannya.”

Setelahnya, ‘Umar menghadap ke arah ‘Abdurrohman ibn ‘Auf.

“Dan engkau, wahai ‘Abdurrohman. Seandainya setengah iman seluruh kaum Muslimin ditimbang dengan imanmu, maka imanmu akan lebih berat. Akan tetapi dalam dirimu terdapat kelemahan. Dan hal khilafah ini, tidak akan baik jika dipegang oleh orang yang memiliki kelemahan seperti kelemahanmu!”

‘Abdurrohman ibn ‘Auf mengangguk-angguk dan tersenyum.

Terakhir, ‘Umar menghadap ke arah ‘Utsman dan memintanya mendekat.

“Sepertinya, hai ‘Utsman,” kata ‘Umar lembut, “Quroisy akan mempercayakan urusan khilafah ini kepadamu lantaran kecintaan mereka atasmu, ya Dzun Nuroin. Lalu engkau akan mempersamakan dan mengangkat Bani ‘Umayyah serta Bani Mu’aith atas manusia dan memuliakan mereka dengan fa’i. Lalu sekelompok serigala-serigala Arab akan menyerang dan membunuhmu di tempat tidurmu. Demi Alloh, seandainya mereka menyerahkan khilafah kepadamu, niscaya itulah yang akan kau alami. Dan seandainya engkau menerima, niscaya itulah yang akan terjadi.”

‘Umar mendekatkan kepalanya ke kepala ‘Utsman. Diusapnya ubun-ubun ‘Utsman penuh kasih, lalu dia berbisik di telinga ‘Utsman, “Ingatlah ucapanku ini. Sebab ia akan terjadi.”

                                                           ***

Dalam dekapan ukhuwah, Alloh akan menganugerahkan kepada kita sahabat-sahabat yang kadang lebih mampu menilai kita daripada diri kita sendiri. Secara pribadi, kadang kita memang bisa dan menjadi tak jujur dalam mengenali diri. Kita menilai diri sendiri berdasar apa yang bisa kita perbuat. Orang lain menilainya sesuai dengan apa yang telah kita lakukan.

Sungguh di antara nikmat terbesar dalam dekapan ukhuwah adalah keberanian kita untuk menerima penilaian itu sebagai sebuah masukan. Itu sikap agung yang telah diambil oleh az-Zubair. Oleh Tholhah. Oleh Sa’d ibn Abi Waqqosh. Oleh ‘Ali. Oleh ‘Abdurrohman ibn ‘Auf. Dan juga oleh ‘Utsman ibn ‘Affan.

Rosululloh dahulu memuji mereka masing-masing dengan keutamaannya. Az-Zubair adalah Hawari Rosulillah, penjaga setia Sang Nabi. Tholhah adalah syahid yang masih berjalan di muka bumi. Hari Uhud adalah harinya Tholhah. Sa’d ibn Abi Waqqosh adalah satu-satunya orang yang Rosululloh satukan ibu dan ayahnya untuk menjadi tebusan. “Panahlah, hai Sa’d,” kata Sang Nabi dalam berbagai pertempuran, “Ayah dan Ibuku menjadi tebusanmu.” Sa’d jugalah yang dibanggakan sebagai paman oleh Sang Nabi. “Ini pamanku!” seru beliau, “Ayo tunjukkan padaku paman-paman kalian!” ‘Abdurrohman ibn ‘Auf adalah dermawan tak tertandingi. ‘Ali ibn Abi Tholib adalah pintu kota ilmu, dan kedudukannya di sisi Rosululloh bagai Harun di sisi Musa. Sementara ‘Utsman ibn ‘Affan kita tahu, takkan membahayakannya sesudah apa yang disumbang-kannya untuk Perang Tabuk, wakafnya dengan sumur Roumah, hijrohnya yang dua kali, dan dua cahaya yang dinikahinya.

Tetapi di hari yang prihatin itu, ‘Umar dengan perut terluka menganga dan terus mengucurkan darah telah memberikan hal lain yang tak kalah berharga: sebuah penilaian! ‘Umar mengungkap sisi lain dari masing-masing kepribadian mereka. Dalam dekapan ukhuwah, mereka menerima itu semua dengan lapang dada.

                                                           ***

Memperhatikan penilaian orang-orang berhati jernih atas diri kita, lalu menerimanya sebagai masukan berharga akan membuat kita merasa nyaman dengan diri kita. Dalam tataran ilmu, kemampuan kita untuk penilaian itu lalu merasa nyaman atas diri sendiri, harus dimulai dengan memahami diri.

Apa pentingnya memahami diri terkait keterampilan kita untuk menjalin hubungan dalam dekapan ukhuwah? Ternyata sangat penting. Sebab, pertama-tama, siapa diri kita menentukan apa yang kita lihat.

Di Amerika Serikat, ada negara bagian Colorado yang bercirikan pegunungan tinggi, sungai-sungai berarus deras, lembah dan tebing curam, serta hutan cemara yang begitu sejuk dan asri. Dalam kebalikannya, ada negara bagian Texas yang kondisinya kebanyakan berupa dataran, tanah peternakan, dan padang rumput luas seakan tak terbatas.

Satu saat, demikian diilustrasikan seorang penulis, ada orang dari Texas yang pindah rumah ke Colorado. Dia membangun rumah dengan jendela besar menghadap ke arah pegunungan Rocky Mountains. Dia ditanya, apakah dia menyukai pemandangan indah di tempat barunya. “Satu-satunya masalah dengan tempat ini,” ujarnya gusar, “Adalah kau tak bisa melihat apa pun karena ada sebuah pegunungan besar yang menghalangi pandanganmu!”

Di saat yang sama, seorang dari Colorado pindah ke Texas. Rumahnya didirikan menghadap sebuah ranch yang sangat luas dengan lembu dan kuda yang tiap pagi serta sore digiring pulang dan pergi ke padang rumput. Dia juga ditanya, apakah dia menikmati pemandangan di sini. “Masalah terbesarnya adalah,” katanya kesal, “Tak ada apapun yang bisa dilihat!”

Siapa diri kita, juga menentukan bagaimana kita melihat orang lain.

Seorang wisatawan muda yang sedang memasuki sebuah kota besar, demikian ditulis oleh John C. Maxwell dalam Winning with People, bertanya kepada seorang lelaki tua yang duduk di pinggir jalan. “Bagaimana orang-orang di kota ini?”

Lelaki tua itu tersenyum. “Bagaimana orang-orang di kota tempatmu berasal?” balasnya balik bertanya.

“Mengerikan!” pekik si wisatawan muda, “Mereka licik, tak dapat dipercaya, dan menjijikkan dalam segala hal!”

“Ah ya,” timpal si orang tua, “Kau akan menemukan keadaan yang sama di kota ini!”

Ketika wisatawan muda itu berlalu pergi menyusuri kota yang baru dimasukinya, datanglah seorang wisatawan lain kepada si Pak Tua. Wisatawan yang kedua ini juga bertanya tentang orang-orang di kota yang dia tuju ini. Orang sepuh itu kembali balas menanyakan bagaimana keadaan orang-orang di kota asal yang ditinggalkannya.

“Wah,” ujar sang wisatawan, “Mereka adalah orang-orang yang menyenangkan, baik, jujur, rajin, dan suka memaafkan. Aku merasa sangat sayang meninggalkan kotaku.”

“Tenang saja,” kata si lelaki tua, “Engkau akan mendapati orang-orang di kota ini juga seperti itu.”

                                                           ***

Dalam dekapan ukhuwah, siapa kita juga menentukan bagaimana kita memandang dunia dan apa yang menjadi sikap kita atasnya. Maka di awal-awal, bagaimana cara kita memandang diri akan sangat berpengaruh terhadap segala sesuatu. Siapakah kita? Cobalah jawab pertanyaan ini. Tapi sebelum itu, mari kita perhatikan jawaban dari salah satu Muslim yang dinilai sangat berhasil menjalin hubungan indah dengan orang-orang di sekitarnya. Luasnya cakupan ukhuwah yang dia bangun membuatnya digelari Bapak Persaudaraan Islam abad keempatbelas Hijriah.

“Akulah petualang,” kata Hasan al-Banna, “Yang mencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiaannya di tengah Bani Adam. Akulah mujahid yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air di bawah naungan Islam yang hanif.”

“Akulah lelaki merdeka,” lanjutnya, “Yang telah mengetahui rahasia wujudnya, maka ia pun berseru, “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Alloh, Robb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Kepada yang demikian itulah aku diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.””

“Inilah aku. Dan kamu, kamu sendiri siapa?”



Sumber: “Dalam Dekapan Ukhuwah”, Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar