Menjelang akhir hayatnya, sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq rodhiyallohu ‘anhu berpesan kepada anaknya, Ummul Mukminin ‘Aisyah istri Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. “Tolong periksa seluruh hartaku setelah aku mati. Jika ada pertambahan harta, tolong kembalikan kepada negara melalui Kholifah yang diangkat setelahku.”
Ummul Mukminin ‘Aisyah hanya menangis mendengar wasiat sang ayah. Kesedihannya belum tuntas sebab kematian sang suami yang juga merupakan teladan sepanjang zaman. Apalagi jika harus ditambah dengan kematian ayah yang sangat menyayanginya itu.
Akan tetapi, ajal tak bisa dibendung. Belum genap tiga puluh enam bulan setelah wafatnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq menghadap Alloh Ta’ala. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Tak lama setelah kelar urusan terkait jenazah, Ummul Mukminin ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anhuma pun melakukan perhitungan. Ditelitilah semua kekayaan ayahnya. Dengan cermat, akhirnya didapati kelebihan harta dari laki-laki berwatak lembut dan santun ini.
‘Aisyah rodhiyallohu ‘anhuma pun mendatangi Kholifah ‘Umar bin Khoththob sembari membawa seekor unta dan seorang hamba sahaya. Lepas bertanya keperluannya dan maksud bawaannya kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah, ‘Umar bin Khoththob yang terkenal perkasa, gagah, dan tegas itu tak kuasa membendung tangis. Air matanya tumpah.
“Alloh Ta’ala merohmati Abu Bakar ash-Shiddiq,” ujar ‘Umar bin Khoththob setelah mendengar penjelasan ‘Aisyah dan menerima unta serta budak sahaya itu, “Ia telah menyusahkan orang-orang setelahnya.”
“Unta ini,” terang ‘Aisyah, “digunakan untuk menyirami kebun. Sedangkan budak ini dibeli oleh Ayah, tanpa dipekerjakan. Hanya agar dia nyaman menggendong anaknya yang masih kecil.”
Kisah ini bak mimpi bagi kita. Adakah pejabat dan pimpinan yang bersikap seperti ini menjelang wafatnya? Adakah kita menemui pejabat atau pemimpin yang mengembalikan selisih hartanya setelah memimpin dengan sebelum menjadi pemimpin? Adakah di antara para pejabat-pejabat itu yang kekayaannya tetap? Hanya mengandalkan gaji dan tidak tertarik dengan bisnis-bisnis lain yang berbau kecurangan dan syubhat?
Kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, seharusnya kita malu. Apalagi beliau merupakan saudagar cerdas yang amat mungkin bertambah hartanya selama memimpin, sebab perniagaan dan bisnisnya senantiasa berjalan.
Andai langkah ini benar-benar dijalankan oleh mereka yang mengampu kekuasaan dan menjadi pelayan rakyat, Insya Alloh korupsi tidak akan menjadi momok bagi bangsa ini. Sayangnya, tak ada lagi sosok selayak Abu Bakar ash-Shiddiq di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini.
Wallohu a’lam.
Sumber: www.kisahikmah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar