Saya pernah bertanya kepada peserta pelatihan: "Misalnya Anda bangun terlambat menuju ke bandara. Secara kalkulasi, jelas tidak mungkin terkejar. Tapi Anda teruskan itu perjalanan ke bandara. Eh lha kok macet parah. Menurut Anda, sial atau beruntung?"
Peserta: "Sial, pak. Udah bangun telat eh kena macet."
Saya: "Lha... Ternyata pesawat Anda delay penerbangannya 4 jam. Tapi Anda bisa naik pesawatnya, alias tidak ketinggalan. Ini Anda sial atau beruntung?"
Peserta: "Wah ya beruntung, pak."
Saya: "Nah di ruang tunggu yang sama, ada orang yang mengejar kerjasama bisnis. Kalau terlambat, ia kehilangan proyek bernilai milyaran rupiah. Gara-gara delay pesawatnya, dia kehilangan proyek itu. Menurut Anda, orang itu sial atau beruntung?"
Peserta: "Sial, pak."
Saya: "Nah, tapi beberapa bulan kemudian, ternyata teman orang itu -yang memenangkan proyek karena orang itu pesawatnya delay- ternyata temannya kena tipu milyaran rupiah. Gara-gara pesawat delay 4 jam, orang itu tidak kena tipu. Orang itu sial atau beruntung?"
Peserta: "Ya beruntung, pak."
Dari percakapan di atas, nampak bahwa sebenarnya penilaian kita atas peristiwa bisa berubah seiring waktu. Ya, seiring waktu. Lalu ada kejadian lain setelahnya, maka judgement kita atas peristiwa, bisa berbalik 180 derajat.
Sebuah peristiwa yang kita katakan sial pada suatu waktu, 6 bulan, 1 tahun, 10 tahun mendatang, bisa jadi malah kita syukuri.
Mungkin saja, ada kejadian pagi ini, kemaren, 1 tahun lalu, 5 tahun lalu yang masih sulit Anda terima. "Beruntung dimananya? Jelas-jelas saya disakiti." Mungkin begitu penilaian Anda. Tapi, lihat saja seiring waktu berlalu. Karena semua hal dalam hidup tidaklah tetap. Semuanya mengalir. Semuanya berubah.
Penderitaan dimulai, saat kita kaku dalam menilai. Kita terus menerus memegang penilaian atas sebuah peristiwa yang tidak enak. Dan menutup mata, terhadap peristiwa kelanjutannya. Yang mana sebenarnya peristiwa kelanjutannya itu, menjelaskan fungsi dari peristiwa tidak enak yang sebelumnya.
Kita akan tersesat di Jakarta, kalau menelusuri kota Jakarta tahun 2015, dengan menggunakan peta Jakarta tahun 1950.
Kita perlu meng-update peta kota Jakarta yang kita miliki. Karena Jakarta terus berubah. Kita pun akan tersesat dalam hidup, saat kita tidak meng-update peta penilaian kita atas peristiwa.
Kita melihat orang, dengan peta penilaian jadul. Kita menilai peristiwa dengan peta yang kadaluarsa. Bisa jadi orang yang kita benci 5 tahun lalu, sekarang dia berubah 180 derajat jadi orang baik. Lalu mengapa masih jadi penderitaan bagi kita? Karena kita masih memegang erat peta lama dalam menilai orangnya.
Mari kita update peta kehidupan kita.
Semoga Alloh berkahi sisa usia kita, Alloh berkahi kesehatan kita, Alloh berkahi rezeki kita, dan Alloh berkahi keluarga kita. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar