Ada sebuah buku menarik bertajuk Nurturing Eeman in Children karya Dr. Aisha Hamdan terbitan IIPH, Riyadh (2011). Terjemahan bebasnya kurang lebihnya Mendidikkan Iman Pada Anak-anak. Dr. Aisyah Hamdan –begitu penulisannya menurut transliterasi kita—menggunakan kata iman dan bukan faith, sebab iman dalam pemahaman Islam tidak sepenuhnya terwakili oleh kata faith maupun belief (keyakinan, kepercayaan). Kita mengenal kata tsiqoh yang berarti percaya, yaqin yang kita terjemahkan dengan kata yakin, tetapi keduanya tidak mencakup kedalaman dan keluasan makna iman.
Orang-orang Yahudi bukan hanya percaya, mereka bahkan sangat yaqin dengan apa yang Alloh Ta’ala firmankan. Mereka mengenali Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Alloh Ta’ala sebagaimana mereka mengenali anak kandungnya sendiri, tetapi mereka mengingkarinya karena tidak sesuai harapan. Mereka berharap rosul terakhir dari kalangan mereka –Bani Isroil—tetapi yang diutus Alloh Ta’ala ternyata dari kaum Quroisy. Maka mereka mengingkari Rosululloh Muhammad shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa alihi wa shohbihi wa sallam, meskipun mereka tahu betul dan sangat yakin dengan tanda-tanda kenabian yang ada pada diri Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Mereka yakin, tapi tidak beriman.
Salah satu aspek penting iman adalah kesediaan untuk mengakui, menerima, dan berserah diri kepada Alloh Ta’ala yang dinyatakan secara lisan. Meyakini kebaikan Islam tanpa bersedia mengucapkan kalimat syahadatain, maka keyakinan tersebut tidak ada nilainya di hadapan Alloh Ta’ala. Aspek lainnya adalah mengikatkan diri dengan Islam dan memiliki komitmen kepadanya. Ini membawa konsekuensi bahwa kita dituntut untuk memiliki komitmen (iltizam) kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Apakah mungkin seseorang memahami Islam tapi tidak mengimaninya? Bukan hanya mungkin, tapi bahkan telah banyak contohnya. Kita pun mengingat sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan derajat hasan:
أَكْثَرَ مُنَافِقِي أُمَّتِي قُرَّاؤُهَا
“Kebanyakan orang munafik dari ummatku adalah qurro’uha (penghafal Al-Qur’an).” (HR. Ahmad).
Siapakah yang dimaksud dengan para penghafal Al-Qur’an? Yang dimaksud ialah orang-orang yang menghafal tanpa memiliki komitmen kepada Al-Qur’an, tidak mengkaji kandungannya, tidak menjaga adabnya sebagai penghafal Al-Qur’an dan lebih parah lagi jika sedari awal niatnya memang telah salah. Dari sinilah kita perlu merenungi peringatan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu tentang tanda-tanda zaman fitnah yang salah satunya adalah “wa katsurot qurro’ukum wa qollat fuqoha’ukum; dan banyak penghafal Al-Qur’an kalian, tetapi sedikit fuqha kalian (orang yang sangat matang ilmu agamanya).”
Contoh mengenaskan di zaman kita adalah Dr. Salah Rashed, seorang qori’ (penghafal Al-Qur’an) asal Kuwait dan pernah menjadi imam di sana, tetapi sekarang justru tenggelam dalam berbagai cabang New Age Movement, suatu gerakan paganisme baru yang antara lain berpusat di Esalen, California. Ia hafal Al-Qur’an, tetapi rusak imannya. Ini merupakan tragedi yang memilukan sekaligus ada pelajaran besar yang patut kita renungi. Berkaitan dengan mendidik anak, pelajaran pentingnya adalah betapa perlu kita menanamkan iman serta iltizam kepada Al-Qur’an dan Pengetahuan dan hafalan memang sangat penting, tetapi jika iman tidak kita tanamkan dengan sungguh-sungguh sehingga mendorong anak untuk belajar mengikatkan diri (organizing values) kepada agama, maka pengetahuan dan hafalan tersebut justru menjadi hujjah atas pemiliknya. Yang dimaksud hujjah atas pemiliknya ialah, pengetahuan tersebut justru menjauhkan seseorang dari agama. Kita memohon semoga Alloh Ta’ala jadikan ilmu sebagai hujjah bagi kita, yakni ilmu yang Alloh Ta’ala anugerahkan membawa kita kepada keselamatan dan kejayaan akhirat.
Berkenaan dengan Al-Qur’an, mari sejenak kita ingat perkataan Jundub ibn Abdillah rodhiyallohu ‘anhu tatkala menegur seseorang dari generasi tabi’in. Kata Jundub ibn Abdillah rodhiyallohu ‘anhu, “Kami belajar iman sebelum belajar Al-Qur`an, kemudian belajar Al-Qur`an sehingga dengannya bertambahlah iman kami.”
Berapa banyak madrasah berdiri, tetapi murid-muridnya tidak bangga kepada Islam dan tidak pula tampak keyakinan yang kuat pada diri mereka. Justru sebaliknya, kita mendapati kenyataan betapa anak-anak itu bahkan berusaha lari dari kebiasaan yang ditanamkan oleh gurunya, baik yang ditanamkan semata-mata karena memang diharuskan oleh peraturan sekolah atau karena guru sungguh-sungguh ingin menanamkan kebiasaan yang baik. Sekedar memperoleh pembiasaan tanpa meyakini serta merasa bangga dengan kebiasaan baik tersebut, justru menjadikan anak semakin berusaha menjauh.
Lalu apa yang perlu kita lakukan? Mari kita pegangi sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa sebaik-baik perkataan adalah kitabulloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rosululloh Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Maka berkenaan dengan menanamkan iman ini, mari kita menelusuri kembali bagaimana Alloh Ta’ala menurunkan ayat-ayat untuk menanamkan iman serta bagaimana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menanamkannya di dada para sahabat rodhiyallohu ‘anhum ajma’in.
Sesungguhnya ayat-ayat yang memegang peranan penting menanamkan iman adalah ayat-ayat Makkiyah, yakni ayat yang turun pada periode Makkah. Di antara ciri-ciri ayat Makkiyyah ialah, kalimatnya ringkas, banyak memuat peringatan dan menggunakan ungkapan yang menggugah berupa perintah dan larangan tegas.
Kalimat yang bersifat imperatif, baik berupa perintah maupun larangan, akan lebih menghunjam ke dalam hati jika caranya tepat. Dan sebaik-baik pelajaran adalah Al-Qur’anul Kariim. Inilah perkataan yang lebih menumbuhkan keyakinan dan menggerakkan hati. Jika iman sudah tertanam, maka bertambahnya pengetahuan tentang iman akan menmbah kuatnya iman. Tetapi jika iman tidak ada, bertambahnya ilmu agama justru menjadi anak dan bahkan orang dewasa semakin menjauh dari agama.
Bagaimana dengan pendapat sebagian orang yang mengatakan perintah dan larangan tidak tepat bagi anak? Jawaban saya sederhana: marilah kita tidak menyibukkan dengan berbagai pendapat yang masih bersifat asumsi. Kita memegangi apa yang Alloh Ta’ala tuturkan dalam Al-Qur’anul Kariim. Dan kita mendapati bahwa perintah maupun larangan banyak memenuhi halaman Al-Qur’an. Bahkan nasehat terbaik yang Alloh Ta’ala abadikan dalam kitabulloh pun, yakni nasehat dari Luqman kepada putranya, menggunakan larangan yang tegas maupun perintah.
Kalimat yang bersifat berita hanya memberikan informasi secara kognitif. Bukan menghunjamkan keyakinan dan membangkitkan perasaan, kecuali bagi orang yang sudah ada iman atau pun keyakinan dalam dirinya. Kita perhatikan, kalimat bersifat berita (narasi) ini ada pada ayat-ayat Madaniyah. Itu pun diakhiri dengan pertanyaan retoris maupun peringatan. Jadi, bukan semata naratif.
Pertanyaannya, sudahkah kita mengakrabi tuntunan Al-Qur’an tentang bagaimana memerintah dan melarang anak-anak kita? Sudahkah kita mengambil pelajaran tentang bagaimana berkomunikasi dengan anak-anak dan keluarga kita?
Terakhir, yang harus kita tanamkan pada diri anak sesudah iman adalah adab. Inilah yang menjadi perhatian besar Imam Malik rohimahulloh ta’ala maupun para ulama salaf lainnya. Sesungguhnya iman dan adab itu mendahului ilmu.
Wallohu a’lam bish-showab.
Narasumber: Mohammad Fauzhil Adhim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar