Ketika nasehat, kritik, dan bahkan fitnah, tidak mengendorkan amalmu dan tidak membuat semangatmu punah.
Ikhlas itu…
Ketika hasil tak sebanding usaha dan harapan, tak membuatmu menyesali amal dan tenggelam dalam kesedihan.
Ikhlas itu…
Ketika amal tidak bersambut apresiasi sebanding, tak membuatmu urung bertanding.
Ikhlas itu…
Ketika niat baik disambut berbagai prasangka, kamu tetap berjalan tanpa berpaling muka.
Ikhlas itu…
Ketika sepi dan ramai, sedikit atau banyak, menang atau kalah, kau tetap pada jalan lurus dan terus melangkah.
Ikhlas itu…
Ketika kau lebih mempertanyakan apa amalmu dibanding apa posisimu, apa peranmu dibanding apa kedudukanmu, apa tugasmu dibanding apa jabatanmu.
Ikhlas itu...
Ketika ketersinggungan pribadi tak membuatmu keluar dari barisan dan merusak tatanan.
Ikhlas itu…
Ketika posisimu di atas, tak membuatmu jumawa, ketika posisimu di bawah tak membuatmu enggan bekerja.
Ikhlas itu…
Ketika khilaf mendorongmu minta maaf, ketika salah mendorongmu berbenah, ketika ketinggalan mendorongmu mempercepat kecepatan.
Ikhlas itu…
Ketika kebodohan orang lain terhadapmu, tidak kau balas dengan kebodohanmu terhadapnya, ketika kezholimannya terhadapmu, tidak kau balas dengan kezholimanmu terhadapnya.
Ikhlas itu…
Ketika kau bisa menghadapi wajah marah dengan senyum ramah, kau hadapi kata kasar dengan jiwa besar, ketika kau hadapi dusta dengan menjelaskan fakta.
Ikhlas itu…
Gampang diucapkan, sulit diterapkan. Namun tidak mustahil diupayakan.
Ikhlas itu...
Seperti surat Al-Ikhlas. Tak ada kata "ikhlas" di dalamnya.
Satria Hadi Lubis
Satria Hadi Lubis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar