Rabu, 27 Januari 2016

Tokoh-tokoh Ulama Ahlussunnah Asal Iran

Di ujung malam aku termangu. Negeri itu namanya Iran. Alloh Ta’ala pernah limpahkan karunia yang amat sangat besar sehingga bermunculan para ulama ahlussunnah yang ilmunya kita petik hingga hari ini. Tidaklah kita belajar menjadi seorang Muslim yang sungguh-sungguh memahami sunnah, kecuali dengan mengambil sebagian ilmu dari orang-orang Iran yang telah berlalu.

Banyak ulama besar ahlussunnah yang pengaruhnya kokoh hingga hari ini, lahir dan besar di Iran. Dari Naisabur yang terletak di Provinsi Rozavi Khurosan misalnya, kita mengenal Imam Muslim. Di kota itu pula gurunya, yakni Imam Bukhori, pernah mengajar. Hari ini jika kita menyebut Shohihain (Dua yang Shohih), maka yang dimaksud adalah kitab masterpiece hadits yang disusun oleh Imam Bukhori dan masterpiece hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Kita juga mengenal dari kota ini sosok Imam Al-Hakim. Di sini juga muncul sosok berpengaruh dalam hadits, lelaki mulia dari Tirmidz, Jeihan (juga wilayah Iran) yang berguru kepada Imam Muslim maupun Imam Bukhori. Dia adalah Muhammad bin ‘Isa bin Sauroh bin Musa as-Sulami at-Tirmidzi atau lebih kita kenal dengan sebutan Imam At-Tirmidzi. Seorang ulama ahli hadits.

Dari Thus, kita mengenal sosok Imam Al-Ghozali yang penuh warna. Tulisannya sangat banyak dengan cakupan tema yang sangat luas. Salah satu kitabnya yang penuh manfaat ialah Jawahirul Qur’an.

Beberapa nama tersebut hanyalah sedikit dari sangat banyak tokoh ulama ahlussunnah yang sangat berpengaruh dari Iran. Selama berabad-abad lamanya, Iran banyak melahirkan para pembela sunnah yang sangat disegani. Tidak sedikit yang mewariskan pengaruhnya kepada muslimin ahlussunnah hingga masa kini.

Akan tetapi masa bertukar, zaman berganti. Tatkala ‘ashobiyah menggerogoti, hubbud dunya menguasai meskipun mereka mampu mewujudkan kejayaan material di masanya, perselisihan merebak dan dakwah terhenti, maka secara perlahan Iran berubah. Yang dulunya merupakan mercusuar perjuangan dan keilmuan ahlussunnah, sesudahnya justru berbalik. Hari ini, saya tidak tahu, masihkah kita mudah menemukan ahlussunnah di sana...

Apakah majelis ilmu sudah tidak ada sehingga ahlussunnah seolah tak pernah hadir di sana? Bukan. Majelis ilmu masih tumbuh subur. Tapi yang terhenti adalah dakwah. Majelis ilmu banyak digelar, musabaqoh (perlombaan) diselenggarakan, tetapi semakin sepi dari mereka yang berdiri mengingatkan.

Apakah salah menyelenggarakan majelis ilmu? Tidak. Bahkan sangat diperlukan, sebab ilmu mendahului perkataan dan amalan. Maka, kita tidak dapat melakukan amal sholih yang Alloh Ta’ala ridhoi, tidak pula dapat beribadah dengan benar, kecuali dengan mengilmui. Tetapi ketika majelis ilmu tak lagi menumbuhkan iltizam kepada dienulloh, maka orang-orang yang berilmu pun tak lagi menggemari saling mengingatkan dengan berpijak pada sebaik-baik ilmu, yakni pemahaman yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Kerusakan dan kesesatan diributkan, tetapi enggan tafaqquh tentang apa yang harus ditegakkan.

Jangan salah! Amru bil ma’ruf dan nahy munkar merupakan keharusan. Inilah jalan untuk mencapai tataran sebaik-baik ummat. Menyeru kepada yang ma'ruf dengan jalan yang ma'ruf, mencegah kemungkaran (termasuk di dalamnya adalah kesesatan dan kerusakan aqidah) serta beriman kepada Alloh Ta'ala dengan sebenar-benar iman. Tetapi nahy munkar sangat berbeda dengan sibuk meneriakkan munkar, sementara dakwah tauhid tidak ditegakkan. Wallohu a’lam bish-showab.

Inilah titik balik yang patut kita renungi. Di sisi lain, ada yang juga perlu kita renungi. Disebabkan hidupnya dakwah, maka Mesir yang awalnya sangat didominasi oleh Syi’ah, berubah menjadi ahlussunnah. Ini terjadi bakda kemenangan Sholahuddin Al-Ayyubi. Sekali lagi, hal penting yang berpengaruh adalah dakwah sunnah yang diilmui.

Nah, bagaimana dengan kita? Kadang kita merasa telah berdakwah, padahal hanya menyelenggarakan keramaian saja.

Mohammad Fauzil Adhim
(Pelayan Calon Da’i Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar