Jumat, 01 April 2016

Ka'bah yang "Salah"

Banjir parah di Makkah itu terjadi sekira lima tahun sebelum bi’tsah dan turunnya wahyu pertama.

Dinding-dinding Ka’bah yang dibangun Ibrohim dan Isma'il 'Alaihimassalaam di atas pondasi aslinya turut rubuh. Al Walid ibn Al Mughiroh, pemimpin Bani Makhzum memimpin pembangunan kembali rumah suci itu dengan meminta Quroisy menyumbangkan hanya harta halal mereka.

Tetapi tipu-tipu, riba, penjualan barang haram, judi, dan melacurkan budak menjadi bahagian besar pendapatan para pemuka. Maka betapa sedikit harta halal yang dapat mereka kumpulkan.

Akibatnya, menjadi jauh lebih kecillah Ka’bah yang dapat mereka bangun dibanding aslinya. Hijir Isma'il yang semula berkedudukan di dalam menjadi ada di luarnya. Bahkan nyaris pertumpahan darah terjadi saat Hajar Aswad hendak dipasang kembali, andai saja Al Amin saw tidak menjadi pengadil yang ditaati. Pintunya pun lalu ditinggikan, dan tetua Quroisy mengatur siapa yang boleh masuk dan siapa yang tidak.

Lebih dari seperempat abad setelah itu, sembari bersandar mesra di pangkuan Ibunda kita ’Aisyah Rodhiyallohu ’Anha, Rosululloh saw menyampaikan isi hatinya sebagaimana dicatat oleh Imam Muslim.

“Kalaulah bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kesyirikan, niscaya aku perintahkan untuk membongkar dan meratakan Ka’bah, serta membangunnya kembali di atas asasan yang dibina Ibrohim ’Alaihissalaam. Kemudian pintunya aku buat menjadi sejajar dengan tanah setelah dulu kaummu meninggikannya dan membatasi sesiapa yang boleh masuk ke dalamnya. Dan aku akan membuat dua pintu baginya; pintu sebelah timur dan pintu sebelah barat. Lalu akan aku tambahkan untuk Ka’bah dari Hijir Isma’il sebanyak 6 hasta, karena sesungguhnya mereka menguranginya di saat membangunnya.”

Wasiat Rosululloh saw ini disampaikan ’Aisyah kepada para muridnya, termasuk putra saudarinya Asma’ yang amat beliau sayangi, ’Abdulloh ibn Az Zubair Rodhiyallohu ’Anhuma. Lelaki pemberani putra Hawari Rosulillah dan Dzatun Nithoqoin ini kelak dibai’at menjadi Kholifah di Makkah sepeninggal Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, karena penunjukan Yazid di Syam beliau anggap tidak sah dan tidak layak.

Sementara Yazid lalu digantikan Mu’awiyah ibn Yazid dan kemudian Marwan ibn Al Hakam memerintah dari Damaskus; daerah Hijjaz, Yaman, dan sebagian ’Iraq tetap setia pada ’Abdulloh ibn Az Zubair. Dan salah satu hal yang beliau lakukan sebagai Kholifah adalah merombak Ka’bah sesuai hadits Ibunda kita ’Aisyah. Maka Ka’bah kembali ke bentuk balok raksasa, bukan lagi kubus besar.

Roda sejarah berputar. ’Abdul Malik ibn Marwan yang memerintah di Damaskus menginginkan persatuan kembali kaum muslimin di bawah satu kholifah. Pilihannya pahit memang; menyingkirkan ’Abdulloh ibn Az Zubair. Dan dari ’Iraq, gubernur Al Hajjaj ibn Yusuf Ats Tsaqofi menyanggupi tugas itu dengan bersemangat. Dengan gegap gempita pasukannya mengepung Masjidil Haram. Manjaniq-manjaniqnya melontarkan batu-batu besar yang lagi-lagi merubuhkan Ka’bah. ’Abdulloh ibn Az Zubair gugur syahid, menggenapi sekira 120.000 lainnya korban Al Hajjaj yang dalam mimpi ’Umar ibn ’Abdil ’Aziz semua diizinkan mengqishoshnya di akhirat.

Al Hajjaj tak sudi membangun kembali Ka’bah yang seperti buatan ’Abdulloh ibn Az Zubair. Meski dikatakan berulangkali bahwa itu wasiat Rosululloh saw, dia membangunnya justru seperti buatan Quroisy pimpinan Al Walid ibn Al Mughiroh.

Roda sejarah berputar lagi. Kholifah Harun Ar Rosyid dari Daulah 'Abbasiyah menghadap Imam Malik. "Bagaimana pendapatmu, Ya Imam", ujarnya, "Sekiranya kubangun kembali Ka’bah sesuai binaan Ibrohim, sesuai wasiat Rosulillah saw, dan sesuai bangunan paman kami ’Abdulloh ibn Az Zubair?"

Imam Malik menjawab dengan berat, "Jangan lakukan itu, Ya Amirul Mukminin."

"Mengapa?"

"Aku khawatir setelahmu nanti datang penguasa lain yang membencimu, lalu dia robohkan Ka’bahmu dan bangun lagi berbeda, lalu datang lagi yang lain dan begitu seterusnya. Aku takut Baitulloh ini akan menjadi permainan para penguasa."

"Jadi?"

"Biarkanlah ia seperti ini. Agar tidak makin berkurang atau hilang wibawanya di dalam hati manusia."

Fatwa Imam Malik ditaati oleh Harun Ar Rosyid. Maka jadilah Ka’bah itu seperti hari ini, yang dibangun Al Hajjaj sesuai bangunan Al Walid ibn Mughiroh, bukan di atas asasan Ibrohim dan tak sesuai cita-cita Rosulillah saw. Ia dibiarkan "salah" demi mencegah hal yang lebih buruk: menjadinya ia mainan para penguasa. Dan demi hajat yang lebih besar: menjaga wibawanya di hati manusia.

Hingga kini, fatwa Imam Malik berdasar "saddudz dzar’iah" atau 'menutup pintu kerusakan' ini diterima sebagai ijma’ kaum muslimin. Tak ada yang mempersoalkannya kecuali sebagai catatan saja. Tak ada pula yang sampai hati menyebut beliau "menyelisihi sunnah".

Inilah keluwesan Fiqh itu. Ada yang lebih besar dari soal "tepat" atau "tidak tepat". Ada 'illat yang mesti dipertimbangkan dalam tiap penetapan hukum. Ada rasa-rasa yang harus dijaga di dalam dada manusia meski ada nash yang "terlanggar".

Ini barangkali hujjah sebagian saudara kita muslimin yang tetap memeluk tradisi 'amaliyahnya, yang mereka harap kita berkenan memahami lalu berlapang dada. Bagi mereka, jika soal seakbar Ka’bah, rumah Alloh dan kiblat muslimin sedunia saja ditoleransi, yang lebih ringan dari itu tentunya mendapat tempat. Dan bagi kita, bersatunya ummat dengan sama-sama menggenggam tali Alloh adalah salah satu hajat agung.

Ah, iya, ini tak kalah penting. Ada hikmah tambahan yang amat indah bagi kita dari fatwa Imam Malik ini. Yakni, kita dapat sholat di dalam Ka’bah tanpa perlu memasukinya. Ya, undangan Raja untuk masuk ke Ka’bah sangat terbatas. Maka sholatlah kita di dalam lengkung Hijir Isma’il; itulah bagian dalam dari Ka’bah yang terbuka. Terbuka bagi semua.

Semoga Sholih(in+at) semua dilimpahi rizqi menjadi tamuNya.

Salim A. Fillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar