Betawi tidak bisa dilepaskan dari Islam. Adakah Menara Jakarta sebagai simbol penaklukan basis Islam Jakarta oleh kekuatan Salib?
Banyak sejarawan menganggap nama Jakarta muncul pertama kali dalam naskah Joao de Barros, Da Asia; Xacatra por outro nome Caravam Xacatra yang disebut juga ‘Caravam’ (Karawang) terbitan tahun 1552.
Padahal pada tahun 1527, Fatahillah telah menamakan daerah pelabuhan yang ramai ini dengan sebutan Jayakarta. Kota kemenangan.
Setelah berhasil menghalau armada Portugis dari Sunda Kelapa, Fatahillah bersama 1452 orang laskar Islamnya menamakan kota pelabuhan tersebut dengan sebutan Jayakarta. Nama ini diambil dari salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang berarti kemenangan yang besar.
Sejarah Jakarta berawal dari pelabuhan Sunda Kelapa, pelabuhan utama kerajaan Hindu Sunda. Ibukota kerajaan ini Pakuan Padjadjaran terletak di Batutulis (Bogor). Sejak dulu, Sunda Kelapa adalah pelabuhan yang ramai. Kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makassar, Madura, bahkan pedagang-pedagang dari India, Tiongkok Selatan, dan Kepulauan Ryuku (Jepang) biasa berlabuh di sana.
“Kelapa” sama artinya dengan pohon kelapa. Pedagang dari Cina lazim menyebutnya kota Yecheng atau Kota Kelapa.
Pada tahun 1513, kapal Eropa pertama, yakni empat kapal Portugis mengunjungi Sunda Kelapa. Mereka datang dari Malaka untuk mencari rempah-rempah, khususnya lada.
Pada 12 Agustus 1552, suatu perjanjian persahabatan antara kerajaan Sunda dan pihak Portugis dijalin. Sebagai tanda perjanjian tersebut, sebuah batu besar ditanam di pantai, yang disebut Padrao.
Dengan perjanjian tersebut, Portugis mendapat izin untuk mendirikan sebuah gudang dan benteng di tepi sungai Ciliwung. Kerajaan Sunda Hindu memandang kehadiran Portugis ini mempunyai dua manfaat. Pertama, dapat memperkokoh posisi kerajaan Sunda Hindu dalam urusan niaga, terutama lada. Kedua, memperkokoh mereka dalam menghadapi laskar Islam dari kesultanan Demak.
Saat itu, laskar Demak sudah membebaskan Banten, kota pelabuhan kedua paling ramai setelah Sunda Kelapa.
Sebab itu, kerajaan Sunda Hindu merasa terancam. Mereka membutuhkan orang-orang Portugis untuk melindungi pelabuhannya yang penting itu.
Pada tahun 1527, Fatahillah yang kala itu sebagai Panglima Laskar Cirebon (yang bersekutu dengan Demak), mendatangi Sunda Kelapa. Fatahillah sangat membenci orang Portugis yang telah menjajah kota kelahirannya, Pasei di Aceh, pada tahun 1521.
Laskar Islam di bawah pimpinan Fatahillah berhasil mengusir penjajah Portugis dari Sunda Kelapa. Ini terjadi tanggal 22 Juni 1527. Sejak saat itu hingga kini, hari jadi kota Jakarta diperingati tiap tanggal 22 Juni sepanjang tahun.
Walau telah menjadi salah satu kantong Islam, bahasa Sunda tetap dipakai dalam kegiatan keseharian. Budaya dan adat istiadat lama pun tidak dirusak dan tetap dipelihara. Dakwah Islam dilakukan dengan cara-cara damai dan sejuk.
Inilah perbedaan besar antara pembebasan yang dilakukan kaum Muslimin di suatu daerah, dengan penaklukkan yang dilakukan tentara kafir di berbagai wilayah.
Sejarawan Sunda -Ayatrohaedi (1992) mencatat, walau nama Sunda kelapa diganti dengan sebutan Jayakarta, namun bahasa keseharian yang dipakai masih bahasa Sunda. Sisa-sisa bahasa Sunda itu setidaknya masih tersimpan dalam beberapa nama kampung di Jakarta sekarang, seperti Menteng, Gandaria, dan lainnya. Itu nama-nama buah dalam bahasa Sunda. Ada juga daerah yang berawalan suku kata awal Ci (cai), seperti Cililitan, Ci(hi)deng, dan Cipinang.
Sejak itu, Islam tumbuh pesat dengan damai di Jayakarta. “Islam masuk ke Nusantara lewat jalan damai, dibawa oleh para pedagang yang berinteraksi dengan penduduk pribumi. Namun Kristen masuk ke Nusantara lewat jalan darah, dibawa para penjajah yang masuk ke Nusantara,” ujar sejarawan Mansur Suryanegara.
Penguasaan Fatahillah -menantu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati- atas Jayakarta memang tidak lama (1527-1610). Namun ini kelak menunjukkan bahwa oada masa kekuasaannya, beliau berhasil menyebarkan Islam secara damai di Jayakarta. Sehingga kita pelabuhan ini menjadi salah satu basis Muslim terkuat di Nusantara.
Salah satu peninggalan kekuasaannya atas Jakarta antara lain bisa dilihat dari kehidupan masyarakat di daerah Jatinegara Kaum. Kampung ini merupakan peninggalan dari masa Pangeran Jayakarta. Di daerah tersebut terdapat sebuah perkampungan yang hingga kini masih berbahasa Sunda dalam pergaulan keseharian penduduknya.
Peninggalan-peninggalan bersejarah yang menjadi bukti keislaman masyarakat Betawi antara lain bentuk masjid-masjid yang masih berdiri hingga sekarang.
Pada 30 Mei 1610, pasukan Salib Belanda menyerbu dan menghancurkan kota Jayakarta yang sedang lemah karena pertikaian antara Banten dengan Pangeran Jayawikarta, putra dari Pangeran Tubagus Angke (Adipati Jayawikarta II). Setelah Jayakarta jatuh, Belanda mengubah nama Jayakarta jadi Batavia.
Komposisi penduduk Jakarta berubah total sejak kedatangan Belanda. Gubernur Jenderal VOC, Jan Pietterszoon Coen, mendirikan pagar tinggi sebagai batas antara kota Batavia dengan daerah pinggiran. Kota Batavia tertutup bagi penduduk asli yang banyak melarikan diri ke Selatan.
Dinding batas kota tersebut dijaga siang-malam oleh serdadu VOC. Hanya orang Belanda, para pengawal VOC, dan budak-budaknya saja yang diperbolehkan masuk. Setelah kedatangan pasukan Salib Belanda inilah, banyak penduduk asli Jayakarta dijadikan budak. Hal yang tidak ada selama Islam bersinar di Jayakarta.
Belanda juga banyak mendatangkan orang-orang dari Indonesia Timur. Coen mendatangkan mereka dalam rangka mempertahankan Jakarta dari serangan Sultan Agung (1628).
Orang asing lainnya adalah hadirnya orang-orang “Mardijkers”, yaitu orang-orang Portugis hitam yang sudah dimerdekakan dari status budak. Mereka juga memeluk agama Kristen, sama dengan Belanda. Oleh VOC, awalnya mereka diberi tempat di dalam kota. Gereja-gereja pun didirikan.
Beberapa tahun kemudian, nereka dipindahkan ke luar tembok kota dan diberi gereja yang dikenal dengan nama Portuguesche Buitenkerk; gereja di luar tembok kota. Gereja itu lebih dikenal dengan sebutan Gereja Sion.
Pakar sejarah Jakarta, Ridwan Saidi, memaparkan bahwa orang-orang Mardijker ini sesungguhnya orang Yahudi. Penamaan gereja mereka sebagai Gereja Sion adalah salah satu buktinya. Sion berasal dari kata “Zion”.
Didatangkannya orang-orang Yahudi Portugis ke Jakarta oleh pasukan Salib Belanda -oleh sejumlah kalangan, dinilai membuktikan adanya konspirasi kekuatan “Salib dan Bintang David” dalam menguasai Nusantara.
“Wa lan tardho ankal yahudu wa nashoro hatta tattabi'an millatahum; tak kan sudi kaum Yahudi dan Nashoro padamu hingga engkau mengikuti keyakinan mereka.” Maha Benar Alloh dengan segala firman-Nya.
Setelah kedatangan VOC, penduduk asli Jayakarta yang tidak mau jadi budak melarikan diri ke pinggir kota. Mereka membaur menjadi satu dengan laskar Islam yang dikirim Sultan Agung untuk menyerbu Batavia. Setelah menemui kegagalan, laskar yang berasal dari Jawa Tengah ini tidak kembali ke daerah asal, namun menetap di pinggir Batavia bersama-sama penduduk asli yang juga Muslim.
Betawi tidak terpisahkan dari Uslam. Islamlah pedoman hidup mereka. Ini tampak pada pakaian, upacara-upacara inisiasi, seni sastra, serta sebagian dari seni pertunjukan. Bahkan demikian kuatnya kepercayaan mereka, sehingga apa yang berbau Belanda dianggap kafir.
Sebab itu, adalah aneh bin ajaib jika Jakarta sebagai salah satu kantong Islam di Nusantara kelak akan memiliki ikon Menara Doa Jakarta, yang berfungsi sebagai pusat kebaktian Kristiani.
Apakah pembangunan proyek ini merupakan upaya penaklukan simbol Jakarta sebagai salah satu kantong Islam di Indonesia oleh kekuatan Salib? Bukankah hakikatnya sama persis dengan ditaklukkannya Muslim Jayakarta oleh pasukan Salib VOC beberapa abad lalu? Apa benar demikian? Wallohu a’lam.
Kredit: majalah Saksi no.15 tahun VI; 26 Mei 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar