Apa itu iman? Iman yang sempurna adalah bentuk pembenaran dari hati, diikrarkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal keseluruhan.
Ketidakutuhan aspek iman adalah sebuah cacat bagi keimanan itu sendiri.
Iman adalah ketika setiap orang merasa aman baginya, nyaman, dan bermanfaat baginya.
Mukmin itu adalah orang yang menghadirkan rasa aman bagi sesama.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Alloh dan hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Barangsiapa beriman kepada Alloh dan hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Alloh dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Seorang mukmin bukan ancaman. Tidak membawa bahaya, tidak mengganggu, tidak membawa mafsadat, kerusakan-kerusakan pada orang lain.
Bahkan dalam hal berperang pun, Alloh membedahnya:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci...” (QS. Al-Baqoroh [2]: 216)
Ayat ini turun untuk Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Al ‘allamah ‘Abdurrohman bin Nashir as-Sa’di dalam tafsirnya Taisir Karimirrohman fit Tafsiri Kalamil Mannan mengatakan, “Sifat sejati seorang mukmin: tidak suka berperang”. Jadi, jika ada orang yang suka perang, berarti dia bermasalah pada keimanannya.
Karena ayat ini turun untuk menegaskan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang imannya paling kuat, imannya paling mulia, iman yang paling indah tentang sifat dasar kaum mukmin yang sejatinya tidak menyukai perang. “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.”
Tetapi jika Alloh yang memerintahkan maka ilmu Alloh di atas ilmu kalian (orang mukmin), cinta kepada Alloh harus di atas kebencian kalian kepada perang itu.
...وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُون
“...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Alloh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 216)
Maka tugas kita adalah mengikuti petunjuk Alloh swt.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada sahabatnya Abu Dzar Al-Ghifari rodhiyallohu ‘anhu:
“Jangan sekali-kali engkau meremehkan perkara kebaikan walaupun hanya berwajah cerah ketika engkau bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim)
Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh dalam syarohnya terhadap Shohih Muslim: “Disenanginya berwajah cerah ketika bertemu.”
Al-Qodhi Iyadh rohimahulloh berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa berwajah cerah/berseri-seri kepada kaum muslimin dan menunjukkan rasa senang kepada mereka merupakan perkara yang terpuji, disyari’atkan, dan diberikan pahala bagi pelakunya.”
Beliau rohimahulloh juga mengatakan, “Cukuplah bagi kita akhlak Nabi kita shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini dan sifat beliau yang Alloh subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam Al-Qur’an, dan Alloh subhanahu wa ta’ala bersihkan beliau dari sifat yang sebaliknya seperti dalam tersebut dalam firman-Nya (yang artinya): “Sekiranya engkau bersikap keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali ‘Imron: 159) [Ikmalul Mu’allim bi Fawa’id Muslim, 8/106]
Masih dalam hadits yang disampaikan oleh Abu Dzar rodhiyallohu ‘anhu, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Senyumanmu di wajah saudaramu (seagama) adalah sedekah.” (HR. At-Tirmidzi)
Maksud hadits di atas, engkau menampakkan wajah cerah, berseri-seri dan penuh senyuman ketika bertemu dengan saudaramu akan dibalas dengan pahala sebagaimana engkau diberi pahala karena mengeluarkan sedekah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Al-Birr wash Shilah, bab Ma Ja’a fi Shona’i Al-Ma’ruf, ketika membahas hadits di atas)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin rohimahulloh berkata, “Sepantasnya ketika seseorang bertemu saudaranya ia menunjukkan rasa senang dan menampakkan wajah yang manis/cerah serta bertutur kata yang baik. Karena yang demikian ini merupakan akhlak Nabi. Tentunya, sikap seperti ini tidak merendahkan martabat seseorang bahkan justru mengangkatnya. Ia pun mendapatkan pahala di sisi Alloh subhanahu wa ta’ala dan mengikuti sunnah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau selalu cerah wajahnya, tidak kusut ketika bertemu orang lain, dan beliau banyak melempar senyuman. Karena, itu sepantasnya seseorang berjumpa saudaranya dengan wajah yang cerah dan mengucapkan ucapan yang baik. Sehingga dengannya ia dapat meraih pahala, rasa cinta, dan kedekatan hati; di samping jauh dari sikap takabbur dan merasa tinggi dari hamba-hamba Alloh subhanahu wa ta’ala yang lain. (Syarhu Riyadhush Sholihin, 2/500)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar