Syari’at puasa diperintahkan kepada umat-umat sebelum kita. Al-Qur’an Al-Karim secara eksplisit menyebutkan bahwa kita wajib berpuasa sebagaimana dahulu puasa itu diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita.
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ
“Sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelummu.” (QS. Al-Baqoroh: 183)
Dan di dalam keterangan Al-Qur’an atau pun hadits nabawi, kita menemukan beberapa keterangan tentang ritual puasa pada nabi-nabi terdahulu atau agama-agama samawi sebelumnya.
Yang pertama kali berpuasa di bulan Romadhon adalah nabi Nuh ‘alaihissalam, yaitu ketika dia keluar dari bahteranya. Mujahid berkata bahwa telah tegas pernyataan dari Alloh SWT bahwa setiap umat telah ditetapkan untuk berpuasa Romadhon, dan sebelum masa Nabi Nuh sudah ada umat manusia.[1]
1. Puasa Nabi Daud
Di masa lalu, ibadah puasa telah Alloh syari’atkan kepada Nabi Daud ‘alaihissalam dan umatnya. Mereka diwajibkan melaksanakan ibadah puasa untuk seumur hidup, dengan setiap dua hari sekali berselang-seling. Sedang kita hanya diwajibkan puasa satu bulan saja dalam setahun, yaitu bulan Romadhon.
Puasa Daud ini disyari’atkan lewat beberapa hadits Rosululloh SAW, diantaranya:
أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلامُ وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ : وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْل وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
Dari ‘Abdulloh bin Amru rodhiyallohu ‘anhu berkata bahwa Rosululloh SAW bersabda, “Sholat (sunnah) yang paling dicintai oleh Alloh adalah sholat (seperti) Nabi Daud as. Dan puasa (sunnah) yang paling dicintai Alloh adalah puasa (seperti) Nabi Daud ‘alaihissalam. Beliau tidur separuh malam, lalu sholat 1/3-nya dan tidur 1/6-nya lagi. Beliau puasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Bukhori)
Selain itu juga ada hadits lainnya yang menegaskan pensyari’atan puasa Daud:
صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا فَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلامُ وَهُوَ أَفْضَل الصِّيَامِ فَقُلْتُ : إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَل مِنْ ذَلِكَ . فَقَال النَّبِيُّ rلاَ أَفْضَل مِنْ ذَلِكَ
Dari Ibnu ‘Umar rodhiyallohu ‘anhu berkata bahwa Rosululloh SAW bersabda, “Puasalah sehari dan berbukalah sehari. Itu adalah puasanya nabi Daud as dan itu adalah puasa yang paling utama.” Aku menjawab, “Aku mampu lebih dari itu”. Nabi SAW bersabda, “Tidak ada lagi yang lebih utama dari itu”. (HR. Bukhori)
Bagi kita umat Nabi Muhammad SAW, puasa seperti Nabi Daud ini tidak diwajibkan. Beliau SAW hanya menjadikan puasa ini sebagai puasa sunnah.
2. Puasa Maryam
Puasa juga Alloh SWT syari’atkan kepada Maryam, wanita suci yang mengandung bayi Nabi Isa ‘alaihissalam. Hal itu bisa kita baca di dalam Al-Quran Al-Karim, bahkan ada surat khusus yang diberi nama surat Maryam.
Namun bentuk atau tata cara puasa yang dilakukan Maryam bukan sekedar tidak makan atau tidak minum. Lebih dari itu, syari’atnya menyebutkan untuk tidak boleh berbicara kepada manusia.
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا
Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (QS. Maryam: 26)
Dan karena sedang berpuasa yang tidak membolehkan makan, minum, dan berbicara itulah maka ketika ditanya tentang siapa ayah dari putera yang ada di gendongannya, Maryam saat itu tidak menjawab dengan perkataan. Maryam hanya menunjuk kepada Nabi Isa, anaknya itu, lalu Nabi Isa yang masih bayi itu pun menjawab semua pertanyaan kaumnya.
يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَن كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا
“Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina,” maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?” Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Alloh, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi.” (QS. Maryam: 28-30)
3. Katholik
Agama Kristen Katholik merupakan sekte dan pecahan dari agama Nasroni yang mengalami banyak distorsi dalam ritual ibadah. Berpuasa diwajibkan bagi penganutnya pada hari tertentu, tetapi bentuknya macam-macam. Salah satunya berpuasa tidak memakan daging dalam sehari. Ada juga yang berpuasa tidak makan apa-apa kecuali minum air.
Lucunya, ketentuan puasa ditetapkan bukan lagi oleh Alloh atau Nabi Isa, tetapi ditetapkan oleh pemuka agama. Pada tahun 1966, Paus Paul VI menukar peraturan ketat berpuasa dalam agama Katholik Kristian. Dia menentukan aturan puasa bergantung kepada situasi ekonomi setempat, dan semua penganut Katholik berpuasa secara sukarela.
Di Amerika Serikat, hanya terdapat dua hari yang wajib berpuasa, yaitu Rabu Ash dan Good Friday. Dan hari Jumat Lent adalah hari menahan diri dari memakan daging.
Penganut Roman Katholik juga diwajibkan mematuhi Puasa Eukaris yang bermakna tidak mengambil apa-apa melainkan minum air atau obat selama sejam sebelum Eukaris (Holy Communion).
Amalan pada masa dulu adalah berpuasa dari tengah malam sehingga pada hari upacara tersebut tetapi karena upacara pada waktu tengah hari menjadi kebiasaan, berpuasa untuk ini diubah kepada berpuasa selama tiga jam. Peraturan terkini menetapkan bahwa berpuasa hanya selama sejam, walaupun begitu beberapa penganut Katholik masih mematuhi peraturan lama.
4. Yahudi
Puasa untuk umat Yahudi bermakna menahankan diri keseluruhannya dari makanan dan minuman, termasuk dari meminum air. Menggosok gigi diharamkan pada puasa hari besar Yom Kippur dan Tisha B’Av, tetapi dibenarkan pada puasa hari kecil.
Dalam teknis puasa mereka juga disebutkan bahwa memakan obat pada umumnya tidak dibenarkan, kecuali bila ada rekomendasi dari dokter. Umat Yahudi yang mengamalkan ritual ini, berpuasa sampai enam hari dalam satu tahun.
Perbedaan
Lalu apa beda puasa kita sebagai Muslim dengan puasa yang dilakukan agama lain?
Tentu saja sangat berbeda. Tata cara puasa yang kita lakukan mempunyai rujukan baik waktu, teknis, aturan, dan segala detailnya, yaitu apa yang ditetapkan oleh Rosululloh SAW.
Kita sebagai Muslim meski berpuasa seperti agama lain, tetapi bentuk puasa kita sangat spesifik, unik, dan khusus. Tidak bisa disejajarkan begitu saja dengan jenis puasa agama lain.
1. Lebih Ringan
Perbedaan yang paling terasa antara puasa yang disyari’atkan kepada umat Nabi Muhammad SAW dengan puasa-puasa yang disyari’atkan kepada umat terdahulu adalah dari segi keringanannya.
Di dalam rangkaian ayat tentang kewajiban puasa di bulan Romadhon, Alloh SWT telah menegaskan bahwa Dia menginginkan kemudahan bagi kita dalam puasa ini.
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Alloh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqoroh: 185)
Dan dibandingkan dengan puasa yang Alloh SWT tetapkan buat Maryam, dimana puasanya akan menjadi batal kalau berbicara, puasa yang disyari’atkan buat umat Nabi Muhammad SAW jauh lebih ringan, karena berbicara itu tidak membatalkan puasa.
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا
“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (QS. Maryam: 26)
Selain itu juga puasa yang disyari’atkan buat kita ini dipenuhi dengan berbagai macam rukhshoh atau keringanan. Misalnya, orang yang sakit, musafir dan orang yang tidak mampu, dibolehkan tidak puasa, walau pun nanti wajib mengganti baik dengan qodho’ atau dengan membayar fidyah.
Dan salah satu bentuk keringanan puasa buat umat Nabi Muhammad SAW adalah diharamkannya puasa wishol, yaitu puasa terus menerus tanpa berbuka dan sahur. Puasa itu memang dibolehkan bagi beliau SAW, karena beliau mendapat makanan dari Alloh SWT. Namun bagi umatnya, puasa dengan cara menyakiti diri seperti itu termasuk haram hukumnya.
نَهَاهُم النَّبِيُّ عَنِ الوِصاَلَ رَحْمَةً لَهُمْ فَقَالُوا: إِنَّكَ تُوَاصِلْ؟ قَالَ: إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِيْنِي
Rosululloh SAW melarang para shahabat berpuasa wishol sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka. Para shahabat bertanya, “Anda sendiri berpuasa wishol?” Beliau SAW menjawab, “Aku tidak seperti kalian. Sesungguhnya Alloh memberiku makan dan minum”. (HR. Bukhori dan Muslim)
2. Lebih Sedikit
Dibandingkan dengan jumlah hari yang Alloh SWT tetapkan buat umat lain, puasa yang diwajibkan buat kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW jumlahnya hanya sedikit.
Hal itu terungkap ketika Alloh SWT berfirman:
أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ
“Hanya dalam beberapa hari yang tertentu.” (QS. Al-Baqoroh: 184)
Umat Rosululloh SAW ini hanya diwajibkan puasa di bulan Romadhon saja, sementara sebelas bulan lainnya tidak wajib. Tentu cara seperti ini jauh lebih ringan dari puasa yang Alloh SWT wajibkan kepada Nabi Daud ‘alaihissalam dan umatnya.
Meski pun mereka diwajibkan puasa berselang-seling sehari puasa dan sehari tidak, namun mereka diwajibkan berpuasa sepanjang tahun seumur hidup.
3. Disyari’atkan Makan Sahur
Selain masalah keringanan, perbedaan yang lainnya adalah disyari’atkannya makan sahur sesaat sebelum dimulainya puasa.
Meski pun makan sahur itu hukumnya sunnah, namun secara tegas Rosululloh SAW menyebutkan bahwa makan sahur itu adalah hal yang membedakan antara puasa kita dengan puasa orang-orang terdahulu, khususnya agama ahli kitab, baik Nasroni maupun Yahudi.
Hal itu bukan sekedar karangan para ulama, melainkan benar-benar Rosululloh SAW sendiri yang menyebutkan dalam sabda beliau:
فَصْل مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْل الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Yang membedakan antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)
Dari hadits ini kita jadi tahu, rupanya umat-umat lain itu meski diwajibkan berpuasa, tetapi mereka tidak disyariatkan untuk melaksanakan makan sahur.
Dan pada kenyataannya, hikmah dari makan sahur itu akhirnya akan dirasakan sendiri oleh kita sebagai umat Muhammad SAW, yaitu puasa kita menjadi lebih kuat. Sebagaimana sabda beliau:
اسْتَعِينُوا بِطَعَامِ السَّحَرِ عَلَى صِيَامِ النَّهَارِ وَبِالْقَيْلُولَةِ عَلَى قِيَامِ اللَّيْل
“Mintalah bantuan dengan menyantap makan sahur agar kuat puasa di siang hari. Dan mintalah bantuan dengan tidur sejenak siang agar kuat sholat malam.” (HR. Ibnu Majah)
Wallohu a’lam bishshowab.
Ahmad Sarwat, Lc., MA
[1] Al-Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, jilid 1 hal. 47
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ
“Sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelummu.” (QS. Al-Baqoroh: 183)
Dan di dalam keterangan Al-Qur’an atau pun hadits nabawi, kita menemukan beberapa keterangan tentang ritual puasa pada nabi-nabi terdahulu atau agama-agama samawi sebelumnya.
Yang pertama kali berpuasa di bulan Romadhon adalah nabi Nuh ‘alaihissalam, yaitu ketika dia keluar dari bahteranya. Mujahid berkata bahwa telah tegas pernyataan dari Alloh SWT bahwa setiap umat telah ditetapkan untuk berpuasa Romadhon, dan sebelum masa Nabi Nuh sudah ada umat manusia.[1]
1. Puasa Nabi Daud
Di masa lalu, ibadah puasa telah Alloh syari’atkan kepada Nabi Daud ‘alaihissalam dan umatnya. Mereka diwajibkan melaksanakan ibadah puasa untuk seumur hidup, dengan setiap dua hari sekali berselang-seling. Sedang kita hanya diwajibkan puasa satu bulan saja dalam setahun, yaitu bulan Romadhon.
Puasa Daud ini disyari’atkan lewat beberapa hadits Rosululloh SAW, diantaranya:
أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلامُ وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ : وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْل وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
Dari ‘Abdulloh bin Amru rodhiyallohu ‘anhu berkata bahwa Rosululloh SAW bersabda, “Sholat (sunnah) yang paling dicintai oleh Alloh adalah sholat (seperti) Nabi Daud as. Dan puasa (sunnah) yang paling dicintai Alloh adalah puasa (seperti) Nabi Daud ‘alaihissalam. Beliau tidur separuh malam, lalu sholat 1/3-nya dan tidur 1/6-nya lagi. Beliau puasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Bukhori)
Selain itu juga ada hadits lainnya yang menegaskan pensyari’atan puasa Daud:
صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا فَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلامُ وَهُوَ أَفْضَل الصِّيَامِ فَقُلْتُ : إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَل مِنْ ذَلِكَ . فَقَال النَّبِيُّ rلاَ أَفْضَل مِنْ ذَلِكَ
Dari Ibnu ‘Umar rodhiyallohu ‘anhu berkata bahwa Rosululloh SAW bersabda, “Puasalah sehari dan berbukalah sehari. Itu adalah puasanya nabi Daud as dan itu adalah puasa yang paling utama.” Aku menjawab, “Aku mampu lebih dari itu”. Nabi SAW bersabda, “Tidak ada lagi yang lebih utama dari itu”. (HR. Bukhori)
Bagi kita umat Nabi Muhammad SAW, puasa seperti Nabi Daud ini tidak diwajibkan. Beliau SAW hanya menjadikan puasa ini sebagai puasa sunnah.
2. Puasa Maryam
Puasa juga Alloh SWT syari’atkan kepada Maryam, wanita suci yang mengandung bayi Nabi Isa ‘alaihissalam. Hal itu bisa kita baca di dalam Al-Quran Al-Karim, bahkan ada surat khusus yang diberi nama surat Maryam.
Namun bentuk atau tata cara puasa yang dilakukan Maryam bukan sekedar tidak makan atau tidak minum. Lebih dari itu, syari’atnya menyebutkan untuk tidak boleh berbicara kepada manusia.
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا
Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (QS. Maryam: 26)
Dan karena sedang berpuasa yang tidak membolehkan makan, minum, dan berbicara itulah maka ketika ditanya tentang siapa ayah dari putera yang ada di gendongannya, Maryam saat itu tidak menjawab dengan perkataan. Maryam hanya menunjuk kepada Nabi Isa, anaknya itu, lalu Nabi Isa yang masih bayi itu pun menjawab semua pertanyaan kaumnya.
يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَن كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا
“Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina,” maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?” Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Alloh, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi.” (QS. Maryam: 28-30)
3. Katholik
Agama Kristen Katholik merupakan sekte dan pecahan dari agama Nasroni yang mengalami banyak distorsi dalam ritual ibadah. Berpuasa diwajibkan bagi penganutnya pada hari tertentu, tetapi bentuknya macam-macam. Salah satunya berpuasa tidak memakan daging dalam sehari. Ada juga yang berpuasa tidak makan apa-apa kecuali minum air.
Lucunya, ketentuan puasa ditetapkan bukan lagi oleh Alloh atau Nabi Isa, tetapi ditetapkan oleh pemuka agama. Pada tahun 1966, Paus Paul VI menukar peraturan ketat berpuasa dalam agama Katholik Kristian. Dia menentukan aturan puasa bergantung kepada situasi ekonomi setempat, dan semua penganut Katholik berpuasa secara sukarela.
Di Amerika Serikat, hanya terdapat dua hari yang wajib berpuasa, yaitu Rabu Ash dan Good Friday. Dan hari Jumat Lent adalah hari menahan diri dari memakan daging.
Penganut Roman Katholik juga diwajibkan mematuhi Puasa Eukaris yang bermakna tidak mengambil apa-apa melainkan minum air atau obat selama sejam sebelum Eukaris (Holy Communion).
Amalan pada masa dulu adalah berpuasa dari tengah malam sehingga pada hari upacara tersebut tetapi karena upacara pada waktu tengah hari menjadi kebiasaan, berpuasa untuk ini diubah kepada berpuasa selama tiga jam. Peraturan terkini menetapkan bahwa berpuasa hanya selama sejam, walaupun begitu beberapa penganut Katholik masih mematuhi peraturan lama.
4. Yahudi
Puasa untuk umat Yahudi bermakna menahankan diri keseluruhannya dari makanan dan minuman, termasuk dari meminum air. Menggosok gigi diharamkan pada puasa hari besar Yom Kippur dan Tisha B’Av, tetapi dibenarkan pada puasa hari kecil.
Dalam teknis puasa mereka juga disebutkan bahwa memakan obat pada umumnya tidak dibenarkan, kecuali bila ada rekomendasi dari dokter. Umat Yahudi yang mengamalkan ritual ini, berpuasa sampai enam hari dalam satu tahun.
Perbedaan
Lalu apa beda puasa kita sebagai Muslim dengan puasa yang dilakukan agama lain?
Tentu saja sangat berbeda. Tata cara puasa yang kita lakukan mempunyai rujukan baik waktu, teknis, aturan, dan segala detailnya, yaitu apa yang ditetapkan oleh Rosululloh SAW.
Kita sebagai Muslim meski berpuasa seperti agama lain, tetapi bentuk puasa kita sangat spesifik, unik, dan khusus. Tidak bisa disejajarkan begitu saja dengan jenis puasa agama lain.
1. Lebih Ringan
Perbedaan yang paling terasa antara puasa yang disyari’atkan kepada umat Nabi Muhammad SAW dengan puasa-puasa yang disyari’atkan kepada umat terdahulu adalah dari segi keringanannya.
Di dalam rangkaian ayat tentang kewajiban puasa di bulan Romadhon, Alloh SWT telah menegaskan bahwa Dia menginginkan kemudahan bagi kita dalam puasa ini.
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Alloh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqoroh: 185)
Dan dibandingkan dengan puasa yang Alloh SWT tetapkan buat Maryam, dimana puasanya akan menjadi batal kalau berbicara, puasa yang disyari’atkan buat umat Nabi Muhammad SAW jauh lebih ringan, karena berbicara itu tidak membatalkan puasa.
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا
“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (QS. Maryam: 26)
Selain itu juga puasa yang disyari’atkan buat kita ini dipenuhi dengan berbagai macam rukhshoh atau keringanan. Misalnya, orang yang sakit, musafir dan orang yang tidak mampu, dibolehkan tidak puasa, walau pun nanti wajib mengganti baik dengan qodho’ atau dengan membayar fidyah.
Dan salah satu bentuk keringanan puasa buat umat Nabi Muhammad SAW adalah diharamkannya puasa wishol, yaitu puasa terus menerus tanpa berbuka dan sahur. Puasa itu memang dibolehkan bagi beliau SAW, karena beliau mendapat makanan dari Alloh SWT. Namun bagi umatnya, puasa dengan cara menyakiti diri seperti itu termasuk haram hukumnya.
نَهَاهُم النَّبِيُّ عَنِ الوِصاَلَ رَحْمَةً لَهُمْ فَقَالُوا: إِنَّكَ تُوَاصِلْ؟ قَالَ: إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِيْنِي
Rosululloh SAW melarang para shahabat berpuasa wishol sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka. Para shahabat bertanya, “Anda sendiri berpuasa wishol?” Beliau SAW menjawab, “Aku tidak seperti kalian. Sesungguhnya Alloh memberiku makan dan minum”. (HR. Bukhori dan Muslim)
2. Lebih Sedikit
Dibandingkan dengan jumlah hari yang Alloh SWT tetapkan buat umat lain, puasa yang diwajibkan buat kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW jumlahnya hanya sedikit.
Hal itu terungkap ketika Alloh SWT berfirman:
أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ
“Hanya dalam beberapa hari yang tertentu.” (QS. Al-Baqoroh: 184)
Umat Rosululloh SAW ini hanya diwajibkan puasa di bulan Romadhon saja, sementara sebelas bulan lainnya tidak wajib. Tentu cara seperti ini jauh lebih ringan dari puasa yang Alloh SWT wajibkan kepada Nabi Daud ‘alaihissalam dan umatnya.
Meski pun mereka diwajibkan puasa berselang-seling sehari puasa dan sehari tidak, namun mereka diwajibkan berpuasa sepanjang tahun seumur hidup.
3. Disyari’atkan Makan Sahur
Selain masalah keringanan, perbedaan yang lainnya adalah disyari’atkannya makan sahur sesaat sebelum dimulainya puasa.
Meski pun makan sahur itu hukumnya sunnah, namun secara tegas Rosululloh SAW menyebutkan bahwa makan sahur itu adalah hal yang membedakan antara puasa kita dengan puasa orang-orang terdahulu, khususnya agama ahli kitab, baik Nasroni maupun Yahudi.
Hal itu bukan sekedar karangan para ulama, melainkan benar-benar Rosululloh SAW sendiri yang menyebutkan dalam sabda beliau:
فَصْل مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْل الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Yang membedakan antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)
Dari hadits ini kita jadi tahu, rupanya umat-umat lain itu meski diwajibkan berpuasa, tetapi mereka tidak disyariatkan untuk melaksanakan makan sahur.
Dan pada kenyataannya, hikmah dari makan sahur itu akhirnya akan dirasakan sendiri oleh kita sebagai umat Muhammad SAW, yaitu puasa kita menjadi lebih kuat. Sebagaimana sabda beliau:
اسْتَعِينُوا بِطَعَامِ السَّحَرِ عَلَى صِيَامِ النَّهَارِ وَبِالْقَيْلُولَةِ عَلَى قِيَامِ اللَّيْل
“Mintalah bantuan dengan menyantap makan sahur agar kuat puasa di siang hari. Dan mintalah bantuan dengan tidur sejenak siang agar kuat sholat malam.” (HR. Ibnu Majah)
Wallohu a’lam bishshowab.
Ahmad Sarwat, Lc., MA
[1] Al-Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, jilid 1 hal. 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar