Senin, 11 Juli 2016

Puasa Nabi Adam as Hingga Nabi Muhammad saw

Puasa adalah salah satu dari tiga ibadah yang sama tuanya dengan umur manusia di muka bumi ini. Dua ibadah lainnya adalah sholat, seperti disebutkan dalam surat Al-Mudatstsir [74]: 40-43, dan Qurban seperti disebutkan dalam surat Al-Ma’idah [5]: 27. Sementara ibadah puasa terdapat dalam surat Al-Baqoroh [2]: 183 yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.

Sejarawan Muslim Ibnu Katsir meyakini bahwa ajaran puasa sudah ada sejak zaman Adam dan Hawa. Menurut dia, Adam berpuasa selama tiga hari setiap bulan sepanjang tahun.

Ada pula yang mengatakan, Adam berpuasa pada 10 Muharrom sebagai rasa syukur karena bertemu dengan istrinya, Hawa, di Arofah. Sementara yang lain berpendapat, Nabi Adam berpuasa sehari semalam pada waktu dia diturunkan dari taman surga oleh Alloh.

Ada juga yang mengatakan Adam berpuasa 40 hari 40 malam setiap tahun. Pendapat lainnya mengatakan Adam berpuasa dalam rangka mendoakan putra-putrinya.

Selain itu, ada yang menjelaskan, Adam berpuasa pada hari Jum’at untuk mengenang peristiwa penting, yakni dijadikannya dia oleh Alloh, hari diturunkannya ke bumi, dan diterimanya taubat Adam oleh Alloh.

“Sesungguhnya Alloh menjadikan Adam pada hari Jum’at, diturunkan di bumi pada hari Jum’at, dia bertaubat kepada Alloh atas dosanya memakan buah khuldi pada hari Jum’at dan wafat pun pada hari Jum’at.” (HR. Bukhori).

Walaupun dalam Al Qur’an maupun Hadits tidak dijelaskan bagaimana bentuk puasa Adam dan generasi sesudahnya, tetapi ada petunjuk-petunjuk bahwa agama-agama yang dibawa oleh para rosul terdahulu itu adalah agama monotheisme yang mengajarkan kepercayaan pada keesaan Tuhan (Alloh).

Contohnya adalah Nabi Nuh yang berpuasa selama tiga hari setiap bulan sepanjang tahun, seperti puasanya Nabi Adam. Puasa inilah yang kita kenal dengan puasa putih yang juga sunnah untuk dikerjakan pada setiap tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan dalam kalender hijriyah.

Nabi Nuh juga memerintahkan kaumnya untuk menyembah Alloh dan berpuasa ketika mereka berbulan-bulan hidup terkatung-katung di dalam perahu besar di tengah samudera luas akibat bencana banjir besar, seraya bertobat kepada Alloh.

Nabi Daud juga melanjutkan tradisi puasa dengan cara sehari puasa dan sehari berbuka. Dalam pernyataannya Nabi Daud as berkata, “Adapun hari yang aku berpuasa di dalamnya adalah untuk mengingat kaum fakir, sedangkan hari yang aku berbuka untuk mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakan oleh Alloh SWT.” Pernyataan Nabi Daud as tersebut ditegaskan oleh Rosululloh SAW dalam sabdanya, “Sebaik-baiknya puasa adalah puasa Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka.” (HR. Muslim).

Al-Qurthubi, dalam kitab Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, menyebutkan bahwa Alloh Swt telah mewajibkan, puasa kepada Yahudi selama 40 hari, kemudian umat nabi Isa selama 50 hari. Tetapi kemudian mereka merubah waktunya sesuai keinginan mereka. Jika bertepatan dengan musim panas mereka menundanya hingga datang musim bunga. Hal itu mereka lakukan demi mencari kemudahan dalam beribadah. Itulah yang disebut nasi’ seperti disebutkan dalam surat At-Taubah: 37 yang artinya: 
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Alloh mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Alloh…”

Hal itu menggambarkan betapa umat Yahudi selalu menghindarkan diri untuk melaksanakan ibadah dengan sempurna sesuai aturan Tuhan. mereka menginginkan puasa dilaksanakan selalu pada musim dingin atau musim bunga yang siangnya lebih pendek dari malam, berbeda dengan puasa pada musim panas, di samping suhu yang panas siang juga lebih panjang dari malam hari. Sehingga, puasa akan terasa sangat sulit dan melelahkan. 

Namun, begitulah hikmahnya Alloh memerintahkan puasa berdasarkan perjalanan bulan bukan matahari agar puasa dirasakan pada semua musim dan semua kondisi. Sebab, jika puasa berdasarkan perjalanan matahari, maka ibadah puasa akan selalu berada dalam satu keadaan. Jika tahun ini puasa di mulai pada musim panas, maka selamanya puasa akan berada pada musim panas. Berbeda dengan perjalanan bulan yang selalu berubah, di mana jika tahun ini puasa dilaksanakan pada musim panas, maka tahun depan atau beberapa tahun kemudian puasa akan dilaksanakan pada musim dingin atau semi dan seterusnya. Begitulah yang disebutkan Alloh swt, dalam surat Al-Baqoroh: 185 yang artinya “…karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu…”

Menurut para ahli tafsir, Musa dan kaum Yahudi telah melaksanakan puasa selama 40 hari (QS. Al-Baqoroh: 40). Salah satunya jatuh pada tanggal 10 bulan Muharrom yang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas kemenangan yang diberikan oleh Alloh SWT dari kejaran Fir’aun. Puasa 10 Muharrom ini dikerjakan oleh kaum Yahudi Madinah dan Rosululloh saw menegaskan umat Islam lebih berhak berpuasa 10 Muharrom dari pada kaum Yahudi karena hubungan keagamaan memiliki kaitan yang lebih erat dibandingkan dengan hubungan kesukuan. Untuk membedakannya, Rosululloh saw kemudian mensyari’atkan puasa sunnah tanggal 9 dan 10 Muharrom, selain untuk membedakan puasa kaum Yahudi, juga ungkapan simbolik kemenangan kebenaran atas kebatilan.

Umat Yahudi juga diperintahkan berpuasa 1 hari pada hari ke-10 bulan ke-7 dalam hitungan bulan mereka selama sehari semalam. Sementara masyarakat Mesir kuno, Yunani, Hindu, Buddha, juga melaksanakan puasa berdasarkan perintah tokoh agama mereka.

Umat Nashroni juga berpuasa dalam hal-hal tertentu, seperti puasa daging, susu, telur, ikan, bahkan berbicara. Seperti yang pernah dilakukan Maryam ibu Nabi Isa as sebagaimana firman Alloh Swt dalam surat Maryam [19]: 26 yang artinya: “…Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini".

Sebelum puasa Romadhon diwajibkan pada tahun ke-2 Hijriyah, Rosul SAW telah memerintahkan kaum Muslimin puasa Asyuro tanggal 9 dan 10 Muharrom. Namun begitu perintah puasa Romadhon tiba, puasa Asyuro menjadi puasa sunnah. Tingginya tingkat kesulitan dalam melaksanakan puasa Romadhon menjadikan syari’at ini turun belakangan setelah perintah haji, sholat, dan zakat. Wajar jika kemudian ayat-ayat tentang puasa Romadhon turun secara berangsung-angsur: Pertama, perintah wajib puasa Romadhon dengan pilihan. (QS. Al-Baqoroh: 183-184).

Kaum Muslimin boleh memilih berpuasa atau tidak berpuasa, namun mereka yang berpuasa lebih utama dan yang tidak berpuasa diharuskan membayar fidyah. Kedua, kewajiban berpuasa secara menyeluruh kepada kaum Muslimin, dengan pengecualian bagi orang-orang yang sakit dan bepergian serta manula yang tidak kuat lagi berpuasa (QS. Al-Baqoroh: 185).

Awal mulanya kaum Muslimin berpuasa sekitar 22 jam karena setelah berbuka mereka langsung berpuasa kembali setelah sholat Isya. Namun, setelah sahabat ‘Umar bin Khoththob mengungkapkan kejadian mempergauli istrinya pada satu malam Romadhon kepada Rosul SAW, turunlah QS. Al-Baqoroh: 187 yang menegaskan halalnya hubungan suami-istri di malam Romadhon dan ketegasan batas waktu puasa yang dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari. Inilah syari’at puasa dalam Islam yang menyempurnakan tradisi puasa seluruh agama samawi yang ada sebelumnya.

Mengetahui sejarah puasa umat terdahulu penting untuk diketahui agar kita jangan mencontoh puasa umat lalu, seperti umat Yahudi yang memilih waktu puasa seenaknya bukan menurut aturan Alloh. Sebab, ibadah yang lakukan dengan “kelicikan” kerugiannya akan diderita oleh manusia itu sendiri. Kita juga harus menyadari bahwa puasa adalah ibadah yang pelaksanaannya menuntut keimanan dan kesadaran. Ibadah puasa adalah untuk manusia itu sendiri. Bukankah Alloh menegaskan bahwa tujuan puasa adalah untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Puasa akan menjadikan manusia berubah dari tingkat mukmin menjadi muttaqin.

Untuk bisa berubah ke arah dan bentuk yang lebih baik, bukan hanya manusia yang berpuasa, akan tetapi sebagian binatang pun ketika bermetamorfosis (mengubah wujud) juga berpuasa, seperti halnya kupu-kupu yang berubah dari ulat yang bentuk dan rupanya jelek dan berjalan melata, menjadi seekor kupu-kupu yang bersayap dan berwarna indah serta bisa terbang karena berpuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar