Kamis, 13 Desember 2018

Penindasan Pasca Wahyu


Pada akhirnya, jumlah komunitas Muslim menjadi terlalu besar untuk diabaikan seluruh suku Quroisy. Awalnya, para Muslim bisa melakukan sholat berjamaah di area terpencil di pinggir kota. Namun saat pengikut sholatnya semakin banyak peluang mereka terlihat jadi semakin besar. Itulah tepatnya yang terjadi saat sekelompok Muslim yang sedang sholat terlihat oleh para pemuja berhala, dan reaksi pertama mereka adalah mengolok-olok Muslim serta peribadatannya. Awalnya, orang-orang Quroisy cukup puas memandang komunitas kecil tersebut sebagai abnormalitas yang dapat diolok-olok, sampai mereka menyadari keseriusan gagasan baru itu. Monoteisme, keadilan sosial, kesetaraan dan kepatuhan terhadap aturan Tuhan yang kesemuanya mengancam teori-teori suku Quroisy di mata banyak anggota mereka yang terkemuka, solusi untuk menyingkirkan agama baru, dan gerakan sosial ini adalah dengan menyingkirkan sumbernya: Muhammad.

Namun masyarakat Arab masih memiliki struktur dan aturan. Meskipun Muhammad seorang yatim-piatu ia berada di bawah perlindungan pamannya, Abu Tholib, yang merupakan pemimpin klan Quroisy Bani Hasyim. Abu Tholib sendiri menolak memeluk Islam, tetapi martabat dan penghargaannya terhadap adat istiadat sosial Arab menuntut agar ia melindungi keponakannya. Lebih jauh lagi, terdapat sebuah aturan Arab kuno yang menyatakan bahwa jika Muhammad dibunuh, klannya diizinkan untuk mengejar pembunuhnya, dan oleh karena itu, perang sipil bisa pecah di jalanan Makkah. Jadi Muhammad sendiri tidak bisa disentuh tetapi perlindungan yang dia nikmati tidak meluas ke para pengikutnya, yang kebanyakan tidak memiliki perlindungan klan atau keluarga mana pun. Orang-orang Quroisy memutuskan untuk mengancam dan menganiaya mereka dengan harapan dapat mencegah orang-orang lain bergabung dengan agama baru ini. Umat Muslim dilecehkan dan dianggap tidak memiliki hak yang sama dengan kaum politeis di Makkah. Meskipun Muhammad sendiri mendapat perlindungan, ia tak berdaya menghentikan penindasan terhadap pengikutnya.

Suku Quroisy juga mengambil langkah-langkah lain yang mencegah penyebaran agama baru ini di luar Makkah. Sekelompok pengungsi Muslim yang melarikan diri ke Abisiniah dijanjikan perlindungan oleh raja Kristennya, sang Negus. Orang-orang Quroisy mengirimkan utusan mengejar mereka berharap dapat meyakinkan sang raja untuk melepaskan perlindungannya dan mengirim para Muslim ke Makkah untuk menjalani hukuman. Namun Negus mendengar sepupu Muhammad, Ja’far, melaporkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang keyakinan Islam sehubungan dengan Isa dan Maryam, sehingga dia menolak untuk mengabaikan teman monoteisnya, dan orang-orang Quroisy harus kembali ke Makkah dengan tangan hampa. Namun bahkan jika para Muslim ini tidak melarikan diri ke negeri-negeri jauh, Islam masih dapat menyebar keluar Makkah. Ada ribuan orang Arab yang mengunjungi kota tersebut setiap tahunnya, dan jika sejumlah pendatang mendengar pesan Muhammad serta melihat ketidakmampuan suku Quroisy mencegah keluarnya ide-ide tak ortodoks ini, status suku Quroisy sebagai salah satu suku terkemuka di Semenanjung akan mulai melemah. Sebagai kemungkinan lain, para pengunjung akan mempercayai Muhammad, menerima agamanya, dan membawa ajaran tersebut kembali ke kampung halaman masing-masing, menyebarkan Islam di luar Makkah, sehingga sulit untuk menghentikannya.

Semua ini mengarah pada tindakan ekstrem yang diambil oleh suku Quroisy. Pada tahun 617, sekitar 7 tahun setelah diturunkannya wahyu pertama, suku Quroisy memutuskan untuk melakukan boikot total terhadap klan Muhammad, Bani Hasyim, yang mayoritas menganut Islam. Tak seorang pun boleh mengadakan transaksi dagang ataupun menikah dengan anggota klan tersebut. Mereka bahkan diusir ke lembah tandus tepat di luar Makkah. Ini menimbulkan efek kemanusiaan yang buruk bagi komunitas Muslim. Perlakuan buruk ini mendatangkan kelaparan, isolasi sosial, serta masalah ekonomi bagi umat Muslim, dan bahkan non-Muslim yang kebetulan menjadi bagian dari Bani Hasyim, seperti Abu Tholib. Segelintir Muslim yang tidak termasuk dalam klan Bani Hasyim, seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman, melakukan segala yang mereka bisa untuk membekali kelompok pembuangan ini dengan melangkahi aturan-aturan boikot, meskipun dengan kerugian pribadi yang amat besar. Boikot ini menguras seluruh komunitas Muslim, tidak hanya anggota klan Bani Hasyim, tetapi juga yang lainnya. Pada akhirnya, upaya boikot ini gagal membujuk Muhammad agar tidak melanjutkan dakwahnya. Dan setelah 1 tahun pelaksanaannya, aturan ini pun diakhiri. Terlepas dari upaya-upaya suku Quroisy, justru ada semakin banyak orang yang memeluk Islam. Boikot juga memperlihatkan kekuatan ikatan dalam komunitas yang masih muda ini, karena mereka yang bukan bagian dari klan Bani Hasyim bersedia mengorbankan kekayaan serta keselamatan masing-masing demi membantu saudara seiman yang dizholimi. Dalam kasus ini, salah satu konsep inti Islam–bahwa kesetiaan terhadap agama melampaui kesetiaan terhadap suku atau keluarga– ditunjukkan dengan sangat jelas.

Namun demikian, boikot tersebut bukannya tak membawa dampak sama sekali. Bertahun-tahun tidak diberi akses ke makanan dan tempat tinggal disertai siksaan fisik, akhirnya memakan korban di kalangan kaum Muslim. Pengasingan tersebut barangkali turut berperan dalam kematian istri Rosululloh, Khodijah, pada tahun 619. Khodijah adalah pemeluk Islam pertama dan ia mendampingi Muhammad melalui kesukaran yang ditimbulkan suku Quraisy. Selama tahun-tahun awal, Rosululloh sangat membutuhkan dukungan emosional dari Khodijah yang membesarkan semangatnya untuk terus berjuang melawan penzholiman. Muhammad sangat kehilangan istrinya, tetapi rasa kehilangannya tidak sampai di situ. Segera setelah kematian sang istri, paman yang telah melindunginya, Abu Tholib, jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Meskipun Abu Tholib tidak memeluk Islam, dia mengalami siksaan seperti anggota Bani Hasyim lainnya dan tidak pernah melepaskan perlindungan terhadap sang keponakan. Selain menjadi kehilangan emosional lain bagi Muhammad, kematian Abu Tholib juga memiliki dampak besar bagi komunitas Muslim. Tanpa seorang pemimpin yang kuat, tak ada yang dapat melindungi Muhammad dan seluruh komunitas Muslim dari para pemimpin Quroisy, yang semakin terang-terangan melakukan serangan terhadap umat Muslim, secara verbal maupun fisik. Terlepas dari rasa cintanya terhadap kota Makkah, Muhammad memutuskan untuk mencari kota lain yang dapat menerimanya dan memberinya lebih banyak kebebasan dalam menyampaikan dakwah dibanding dengan suku Quroisy. Secara alami, pilihannya jatuh ke Tho’if, sebuah kota yang dipimpin oleh suku Tsaqif, yang berjarak 65 km di tenggara Makkah. Ia berkendara ke Tho’if dan menemui ketiga saudara yang memimpin suku. Dengan tegas mereka menolak usulan Muhammad agar mereka memeluk Islam dan menolak untuk memberinya segala bentuk perlindungan. Yang menjadikan masalah lebih buruk lagi, dalam perjalanannya keluar dari kota dan kembali ke Makkah, berpenduduk Tho’if berkumpul untuk melontarkan batu dan caci maki kepadanya, membuatnya berdarah-darah pada saat dia aman dari jangkauan kota. Menurut tradisi Islam, konon Nabi Muhammad dikunjungi oleh malaikat Jibril yang bertanya apakah ia ingin Jibril meremukkan kota Tho’if diantara dua gunung sebagai hukuman atas perlakuan mereka terhadap sang utusan Tuhan, Muhammad menolaknya, menyatakan bahwa ia berharap salah satu keturunan mereka akan memeluk Islam. Peristiwa ini akan memainkan peranan besar dalam koneksi spiritual antara Muslim India dan Rosululloh pada abad-abad berikutnya.

Setelah kehilangan dukungan keluarganya, ditolak mentah-mentah oleh suku-suku yang berdekatan, dan menyaksikan pengikutnya sendiri mendapat perlakuan buruk karena keyakinan mereka, Muhammad sadar akan perlunya perubahan radikal jika ingin Islam terus bertahan. Kesempatan untuk perubahan ini datang dari sebuah kota oasis yang berjarak 300 km di utara Makkah, Yatsrib. Dua suku utamanya, Auz dan Khozroj terlibat dalam perang saudara yang berlarut-larut, yang berubah mematikan pada tahun 610-an. Yang lebih memperburuk situasi, beberapa suku Yahudi juga yang tinggal di Yatsrib mengalami kesulitan hidup berdampingan dengan suku Arab setempat. Reputasi Muhammad sebagai seorang pria yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan sudah terkenal luas di Yatsrib. Dan pada tahun 620, beberapa warga terkemuka dari kota itu pergi ke Makkah dan memintanya pindah ke Yatsrib untuk bertindak sebagai pemimpin sekaligus mediator pertikaian mereka. Muhammad menerima tawaran tersebut dan mendorong pengikutnya di Makkah untuk berhijrah bersamanya ke tempat yang berada diluar jangkauan suku Quroisy. Muhammad sendiri merupakan salah satu orang terakhir yang meninggalkan Makkah pada tahun 622, ketika ia melakukan perjalanan bersama sahabatnya, Abu Bakar, hampir tidak lolos dari rencana suku Quroisy untuk membunuhnya sebelum ia sempat angkat kaki di Yatsrib yang namanya segera diubah menjadi Madinah Al-Munawaroh (Kota yang Bercahaya) yang secara resmi dikenal sebagai Madinah (kota), Muhammad akan menemukan rasa aman dan kemampuan untuk menyebarkan ajaran Islam jauh dari tekanan suku Quroisy.

Oleh: Firas Alkhateeb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar