Pada akhirnya, jumlah komunitas Muslim
menjadi terlalu besar untuk diabaikan seluruh suku Quroisy. Awalnya, para Muslim
bisa melakukan sholat berjamaah di area terpencil di pinggir kota. Namun saat
pengikut sholatnya semakin banyak peluang mereka terlihat jadi semakin besar. Itulah
tepatnya yang terjadi saat sekelompok Muslim yang sedang sholat terlihat oleh
para pemuja berhala, dan reaksi pertama mereka adalah mengolok-olok Muslim
serta peribadatannya. Awalnya, orang-orang Quroisy cukup puas memandang
komunitas kecil tersebut sebagai abnormalitas yang dapat diolok-olok, sampai
mereka menyadari keseriusan gagasan baru itu. Monoteisme, keadilan sosial, kesetaraan
dan kepatuhan terhadap aturan Tuhan yang kesemuanya mengancam teori-teori suku Quroisy
di mata banyak anggota mereka yang terkemuka, solusi untuk menyingkirkan agama
baru, dan gerakan sosial ini
adalah dengan menyingkirkan sumbernya: Muhammad.
Namun masyarakat Arab masih memiliki
struktur dan aturan. Meskipun Muhammad seorang yatim-piatu ia berada di bawah
perlindungan pamannya, Abu Tholib, yang merupakan pemimpin klan Quroisy Bani Hasyim.
Abu Tholib sendiri menolak memeluk Islam, tetapi martabat dan penghargaannya
terhadap adat istiadat sosial Arab menuntut agar ia melindungi keponakannya. Lebih
jauh lagi, terdapat sebuah aturan Arab kuno yang menyatakan bahwa jika Muhammad
dibunuh, klannya diizinkan untuk mengejar pembunuhnya, dan oleh karena itu, perang
sipil bisa pecah di jalanan Makkah. Jadi Muhammad sendiri tidak bisa disentuh
tetapi perlindungan yang dia nikmati tidak meluas ke para pengikutnya, yang kebanyakan
tidak memiliki perlindungan klan atau keluarga mana pun. Orang-orang Quroisy
memutuskan untuk mengancam dan menganiaya mereka dengan harapan dapat mencegah
orang-orang lain bergabung dengan agama baru ini. Umat Muslim dilecehkan dan
dianggap tidak memiliki hak yang sama dengan kaum politeis di Makkah. Meskipun Muhammad
sendiri mendapat perlindungan, ia tak berdaya menghentikan penindasan terhadap
pengikutnya.
Suku Quroisy juga mengambil langkah-langkah
lain yang mencegah penyebaran agama baru ini di luar Makkah. Sekelompok
pengungsi Muslim yang melarikan diri ke Abisiniah dijanjikan perlindungan oleh
raja Kristennya, sang Negus. Orang-orang Quroisy mengirimkan utusan mengejar
mereka berharap dapat meyakinkan sang raja untuk melepaskan perlindungannya dan
mengirim para Muslim ke Makkah untuk menjalani hukuman. Namun Negus mendengar
sepupu Muhammad, Ja’far, melaporkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang keyakinan Islam
sehubungan dengan Isa dan Maryam, sehingga dia menolak untuk mengabaikan teman monoteisnya,
dan orang-orang Quroisy harus kembali ke Makkah dengan tangan hampa. Namun
bahkan jika para Muslim ini tidak melarikan diri ke negeri-negeri jauh, Islam
masih dapat menyebar keluar Makkah. Ada ribuan orang Arab yang mengunjungi kota
tersebut setiap tahunnya, dan jika sejumlah pendatang mendengar pesan Muhammad
serta melihat ketidakmampuan suku Quroisy mencegah keluarnya ide-ide tak
ortodoks ini, status suku Quroisy sebagai salah satu suku terkemuka di Semenanjung
akan mulai melemah. Sebagai kemungkinan lain, para pengunjung akan mempercayai Muhammad,
menerima agamanya, dan membawa ajaran tersebut kembali ke kampung halaman
masing-masing, menyebarkan Islam di luar Makkah, sehingga sulit untuk
menghentikannya.
Semua ini mengarah pada tindakan ekstrem
yang diambil oleh suku Quroisy. Pada tahun 617, sekitar 7 tahun setelah
diturunkannya wahyu pertama, suku Quroisy memutuskan untuk melakukan boikot
total terhadap klan Muhammad, Bani Hasyim, yang mayoritas menganut Islam. Tak
seorang pun boleh mengadakan transaksi dagang ataupun menikah dengan anggota
klan tersebut. Mereka bahkan diusir ke lembah tandus tepat di luar Makkah. Ini
menimbulkan efek kemanusiaan yang buruk bagi komunitas Muslim. Perlakuan buruk
ini mendatangkan kelaparan, isolasi sosial, serta masalah ekonomi bagi umat Muslim,
dan bahkan non-Muslim yang kebetulan menjadi bagian dari Bani Hasyim, seperti Abu
Tholib. Segelintir Muslim yang tidak termasuk dalam klan Bani Hasyim, seperti Abu
Bakar, Umar, dan Utsman, melakukan segala yang mereka bisa untuk membekali
kelompok pembuangan ini dengan melangkahi aturan-aturan boikot, meskipun dengan
kerugian pribadi yang amat besar. Boikot ini menguras seluruh komunitas Muslim,
tidak hanya anggota klan Bani Hasyim, tetapi juga yang lainnya. Pada akhirnya, upaya
boikot ini gagal membujuk Muhammad agar tidak melanjutkan dakwahnya. Dan
setelah 1 tahun pelaksanaannya, aturan ini pun diakhiri. Terlepas dari
upaya-upaya suku Quroisy, justru ada semakin banyak orang yang memeluk Islam. Boikot
juga memperlihatkan kekuatan ikatan dalam komunitas yang masih muda ini, karena
mereka yang bukan bagian dari klan Bani Hasyim bersedia mengorbankan kekayaan
serta keselamatan masing-masing demi membantu saudara seiman yang dizholimi. Dalam
kasus ini, salah satu konsep inti Islam–bahwa kesetiaan terhadap agama
melampaui kesetiaan terhadap suku atau keluarga– ditunjukkan dengan sangat
jelas.
Namun demikian, boikot tersebut bukannya
tak membawa dampak sama sekali. Bertahun-tahun tidak diberi akses ke makanan
dan tempat tinggal disertai siksaan fisik, akhirnya memakan korban di kalangan
kaum Muslim. Pengasingan tersebut barangkali turut berperan dalam kematian
istri Rosululloh, Khodijah, pada tahun 619. Khodijah adalah pemeluk Islam
pertama dan ia mendampingi Muhammad melalui kesukaran yang ditimbulkan suku Quraisy.
Selama tahun-tahun awal, Rosululloh sangat membutuhkan dukungan emosional dari Khodijah
yang membesarkan semangatnya untuk terus berjuang melawan penzholiman. Muhammad
sangat kehilangan istrinya, tetapi rasa kehilangannya tidak sampai di situ. Segera
setelah kematian sang istri, paman yang telah melindunginya, Abu Tholib, jatuh
sakit dan akhirnya meninggal dunia. Meskipun Abu Tholib tidak memeluk Islam, dia
mengalami siksaan seperti anggota Bani Hasyim lainnya dan tidak pernah
melepaskan perlindungan terhadap sang keponakan. Selain menjadi kehilangan emosional
lain bagi Muhammad, kematian Abu Tholib juga memiliki dampak besar bagi
komunitas Muslim. Tanpa seorang pemimpin yang kuat, tak ada yang dapat
melindungi Muhammad dan seluruh komunitas Muslim dari para pemimpin Quroisy, yang
semakin terang-terangan melakukan serangan terhadap umat Muslim, secara verbal
maupun fisik. Terlepas dari rasa cintanya terhadap kota Makkah, Muhammad
memutuskan untuk mencari kota lain yang dapat menerimanya dan memberinya lebih
banyak kebebasan dalam menyampaikan dakwah dibanding dengan suku Quroisy. Secara
alami, pilihannya jatuh ke Tho’if, sebuah kota yang dipimpin oleh suku Tsaqif, yang
berjarak 65 km di tenggara Makkah. Ia berkendara ke Tho’if dan menemui ketiga
saudara yang memimpin suku. Dengan tegas mereka menolak usulan Muhammad agar
mereka memeluk Islam dan menolak untuk memberinya segala bentuk perlindungan. Yang
menjadikan masalah lebih buruk lagi, dalam perjalanannya keluar dari kota dan kembali
ke Makkah, berpenduduk Tho’if berkumpul untuk melontarkan batu dan caci maki
kepadanya, membuatnya berdarah-darah pada saat dia aman dari jangkauan kota. Menurut
tradisi Islam, konon Nabi Muhammad dikunjungi oleh malaikat Jibril yang
bertanya apakah ia ingin Jibril meremukkan kota Tho’if diantara dua gunung
sebagai hukuman atas perlakuan mereka terhadap sang utusan Tuhan, Muhammad menolaknya,
menyatakan bahwa ia berharap salah satu keturunan mereka akan memeluk Islam. Peristiwa
ini akan memainkan peranan besar dalam koneksi spiritual antara Muslim India
dan Rosululloh pada abad-abad berikutnya.
Setelah kehilangan dukungan keluarganya, ditolak
mentah-mentah oleh suku-suku yang berdekatan, dan menyaksikan pengikutnya
sendiri mendapat perlakuan buruk karena keyakinan mereka, Muhammad sadar akan
perlunya perubahan radikal jika ingin Islam terus bertahan. Kesempatan untuk
perubahan ini datang dari sebuah kota oasis yang berjarak 300 km di utara Makkah,
Yatsrib. Dua suku utamanya, Auz dan Khozroj terlibat dalam perang saudara yang
berlarut-larut, yang berubah mematikan pada tahun 610-an. Yang lebih memperburuk
situasi, beberapa suku Yahudi juga yang tinggal di Yatsrib mengalami kesulitan
hidup berdampingan dengan suku Arab setempat. Reputasi Muhammad sebagai seorang
pria yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan sudah terkenal luas di Yatsrib.
Dan pada tahun 620, beberapa warga terkemuka dari kota itu pergi ke Makkah dan
memintanya pindah ke Yatsrib untuk bertindak sebagai pemimpin sekaligus
mediator pertikaian mereka. Muhammad menerima tawaran tersebut dan mendorong
pengikutnya di Makkah untuk berhijrah bersamanya ke tempat yang berada diluar
jangkauan suku Quroisy. Muhammad sendiri merupakan salah satu orang terakhir
yang meninggalkan Makkah pada tahun 622, ketika ia melakukan perjalanan bersama
sahabatnya, Abu Bakar, hampir tidak lolos dari rencana suku Quroisy untuk
membunuhnya sebelum ia sempat angkat kaki di Yatsrib yang namanya segera diubah
menjadi Madinah Al-Munawaroh (Kota yang Bercahaya) yang secara resmi dikenal
sebagai Madinah (kota), Muhammad akan menemukan rasa aman dan kemampuan untuk
menyebarkan ajaran Islam jauh dari tekanan suku Quroisy.
Oleh: Firas Alkhateeb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar