Selasa, 18 Desember 2018

Kemenangan


Begitu posisinya di Madinah sudah kuat, Muhammad akhirnya dapat menghadapi orang-orang Quroisy dalam kedudukan yang setara. Dengan keyakinan terhadap stabilitas negara Muslim dan diilhami oleh wahyu terakhir yang menjanjikan datangnya kemenangan, Muhammad pun berangkat bersama 1500 pasukannya ke Makkah pada tahun 628. Namun kepergiannya ini tidaklah untuk berperang. Mereka mengenakan pakaian peziarah sederhana, dan hanya membawa pedang bepergian. Tidak ada baju besi, tidak ada kavaleri, dan tidak ada bendera perang. Muhammad berharap memperoleh akses ke Makkah dan Ka'bah dengan damai untuk melakukan ziarah. Ia berkemah di luar perbatasan Makkah, di Hudaibiyyah, menunggu izin kaum Quroisy untuk memasuki tanah suci.

Penduduk Makkah yang tentunya tercengang oleh kelancangan kaum Muslimin –hanya 6 tahun setelah pelarian mereka dari Makkkah– menghadapi pilihan yang sulit. Jika mereka membiarkan Muhammad dan pengikutnya memasuki Makkah, mereka akan terlihat lemah di mata suku-suku Arab lainnya, karena tidak dapat mencegah pasukan yang hampir tak bersenjata memasuki kota. Di sisi lain, peran utama mereka di Makkah adalah untuk memfasilitasi ziarah bagi siapa saja, tugas yang mereka emban dengan sangat serius. Pada akhirnya mereka mengikuti negosiasi perjanjian dengan Muhammad. Mereka sepakat untuk mengosongkan Makkah selama 3 hari, sehingga Muhammad dan umat Muslim dapat menyelesaikan ziarah –pada tahun berikutnya. Muhammad harus kembali ke Madinah pada tahun tersebut tanpa dapat menginjak kampung halamannya. Selanjutnya, mereka pun sepakat melakukan gencatan senjata. Makkah dan Madinah (serta suku-suku yang berafiliasi dengan mereka) akan menahan diri untuk tidak berperang selama 10 tahun. Beberapa Muslim jelas tidak puas dengan isi Perjanjian Hudaibiyyah, setelah mengharapkan akses langsung ke Makkah atau bahkan penaklukan kaum Quroisy sepenuhnya.

Tapi perjanjian itu menyediakan jeda yang berharga dari konflik, sehingga Muhammad memiliki kesempatan untuk memperluas Islam jauh melampaui Madinah. Kini, tanpa ancaman perbedaan pendapat internal dan invasi eksternal, ia memiliki kebebasan untuk mengirim pendakwah-pendakwahnya ke sepenjuru Semenanjung Arab dan bahkan keluar kekaisaran Byzantium dan Persia di utara. Suku-suku Baduy beralih menganut Islam secara massal, bersekutu dengan Rosululloh. Bahkan beberapa orang Makkah mulai memeluk Islam. Kholid bin Walid dan Amru bin Ash –dua komandan militer terbesar Quroisy– meninggalkan Makkah dan bergabung dengan Muhammad di Madinah pada tahun-tahun setelah Perjanjian Hudaibiyyah. Perjanjian ini memang gagal memberikan umat Islam kontrol langsung atau situs paling suci mereka, tapi memungkinkan Islam tumbuh dengan pesat di seluruh Arab. Perkembangan ini sangat mencemaskan kelompok garis keras di Makkah, yang hanya beberapa tahun sebelumnya berharap dapat mengakhiri Islam.

Kemudian, kesucian gencatan senjata itu sempat ternodai hanya 2 tahun setelah penandatanganannya. Suku yang bersekutu dengan kaum Quroisy melancarkan serangan mendadak terhadap suku yang bersekutu dengan Muhammad di luar perbatasan Makkah. Tindakan ini melanggar kesepakatan yang telah menjanjikan perdamaian total selama 10 tahun. Dengan batalnya perjanjian itu, Muhammad dapat memanggil sekutu-sekutu barunya di seluruh Semenanjung untuk ikut serta dalam perjalanan menuju Makkah. Namun kali ini, mereka tidak akan berpergian dengan niat damai sebagai peziarah. Muhammad akhirnya berada dalam posisi memegang kekuasaan. Ribuan umat Islam dari seluruh Semenanjung sekarang berada di bawah perintahnya, terikat oleh aliansi dan pertobatan untuk bergabung dengan pasukannya setiap saat dibutuhkan. Pada titik ini, orang-orang Makkah tahu benar bahwa mereka tak dapat mengalahkan militer Rosululloh. Yang terjadi adalah Makkah melawan puluhan suku lainnya, yang bersatu untuk pertama kalinya dalam sejarah Arab. Upaya negosiasi antara Muhammad dengan kaum Quroisy pun berakhir gagal. Dan pada awal tahun 630, pasukan yang terdiri atas lebih dari 10.000 Muslim yang didatangkan dari seluruh penjuru Arabia, ber-longmarch menuju kota suci.

Mayoritas penduduk Makkah menyadari bahwa sia-sia saja melakukan perlawanan. Selain sejumlah pertempuran kecil, pasukan Muhammad memasuki Makkah tanpa pertumpahan darah. Kemenangan dalam kembali ke tempat kelahirannya, dipandang oleh para pengikut Muhammad sebagai kemenangan akhir Islam melawan kemusyrikan, kebenaran melawan kebatinan. Ratusan berhala yang dipajang di sekitar Ka'bah, dihancurkan. Membuat tempat kudus peribadatan kaum Muslim itu diperuntukkan bagi satu Tuhan. Bagi banyak orang di Makkah –termasuk pemimpin kaum Quroisy, Abu Sufyan, penaklukan menyeluruh ini merupakan tanda bahwa berhala yang mereka sembah tidak lebih dari sekadar patung batu dan kayu yang kasar. Mereka pun menyerahkan diri kepada Muhammad –orang yang pernah mereka tindas, mereka usir dari kota, dan mereka perangi. Muhammad pada gilirannya terbukti menjadi penakluk yang toleran. Sebagian besar penduduk Makkah selamat tanpa terluka, tindakan yang dipandang mengagumkan oleh orang-orang yang terbiasa dengan perang antarsuku brutal yang tidak menunjukkan belas kasihan. Sekali lagi, Muhammad menetapkan contoh bahwa kenabiannya menandai awal era baru dengan aturan serta kebiasaan baru pula. Periode jahiliyah pra-Islam –yang berarti kebodohan– akan selamanya ditinggalkan.

Kembalinya Muhammad ke Makkah dipandang luar biasa hanya karena situasi kehidupannya pada tahun-tahun sebelumnya. Tepat 8 tahun setelah pelariannya di tengah malam dari para penindas, Muhammad kembali ke kampung halamannya sebagai pemimpin yang berjaya dengan ribuan prajurit. Di Makkah, ia berkembang dari seorang pedagang terpercaya menjadi pemberontak yang tidak diinginkan terhadap politeisme, menjadi musuh yang jauh, menjadi penakluk yang murah hati atas tanah kelahirannya sendiri. Tidak diragukan lagi, aksesi secepatnya dalam meraih kekuasaan dan kemampuannya untuk menghancurkan persaingan suku lama di bawah bendera persatuan dalam Islam di pandang sebagai mukjizat dan tanda-tanda kenabian oleh banyak orang. Kaum Muslim pada masa itu –termasuk mereka yang telah menderita selama bertahun-tahun awal penindasan di Makkah dan orang-orang yang baru memeluk Islam setelah penaklukan kota– menyakini ada sesuatu yang istimewa tentang Islam. Di mata mereka, agama tersebut dibimbing dan dilindungi oleh Tuhan, dan mereka sedang berada dalam sebuah misi khusus untuk menyebarkan agama sejati ini ke seluruh dunia. Pola pikir tersebut akan memainkan peran besar dalam cara pandang umat Muslim terhadap diri mereka sendiri di panggung dunia sepanjang sejarah.

Oleh: Firas Alkhateeb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar