Begitu posisinya di Madinah
sudah kuat, Muhammad akhirnya dapat menghadapi orang-orang Quroisy dalam
kedudukan yang setara. Dengan keyakinan terhadap stabilitas negara Muslim dan
diilhami oleh wahyu terakhir yang menjanjikan datangnya kemenangan, Muhammad
pun berangkat bersama 1500 pasukannya ke Makkah pada tahun 628. Namun kepergiannya
ini tidaklah untuk berperang. Mereka mengenakan pakaian peziarah sederhana, dan
hanya membawa pedang bepergian. Tidak ada baju besi, tidak ada kavaleri, dan
tidak ada bendera perang. Muhammad berharap memperoleh akses ke Makkah dan Ka'bah
dengan damai untuk melakukan ziarah. Ia berkemah di luar perbatasan Makkah, di
Hudaibiyyah, menunggu izin kaum Quroisy untuk memasuki tanah suci.
Penduduk Makkah yang
tentunya tercengang oleh kelancangan kaum Muslimin –hanya 6 tahun setelah
pelarian mereka dari Makkkah– menghadapi pilihan yang sulit. Jika mereka
membiarkan Muhammad dan pengikutnya memasuki Makkah, mereka akan terlihat lemah
di mata suku-suku Arab lainnya, karena tidak dapat mencegah pasukan yang hampir
tak bersenjata memasuki kota. Di sisi lain, peran utama mereka di Makkah adalah
untuk memfasilitasi ziarah bagi siapa saja, tugas yang mereka emban dengan
sangat serius. Pada akhirnya mereka mengikuti negosiasi perjanjian dengan Muhammad.
Mereka sepakat untuk mengosongkan Makkah selama 3 hari, sehingga Muhammad dan
umat Muslim dapat menyelesaikan ziarah –pada tahun berikutnya. Muhammad harus
kembali ke Madinah pada tahun tersebut tanpa dapat menginjak kampung halamannya.
Selanjutnya, mereka pun sepakat melakukan gencatan senjata. Makkah dan Madinah (serta
suku-suku yang berafiliasi dengan mereka) akan menahan diri untuk tidak
berperang selama 10 tahun. Beberapa Muslim jelas tidak puas dengan isi Perjanjian
Hudaibiyyah, setelah mengharapkan akses langsung ke Makkah atau bahkan
penaklukan kaum Quroisy sepenuhnya.
Tapi perjanjian itu
menyediakan jeda yang berharga dari konflik, sehingga Muhammad memiliki
kesempatan untuk memperluas Islam jauh melampaui Madinah. Kini, tanpa ancaman
perbedaan pendapat internal dan invasi eksternal, ia memiliki kebebasan untuk
mengirim pendakwah-pendakwahnya ke sepenjuru Semenanjung Arab dan bahkan keluar
kekaisaran Byzantium dan Persia di utara. Suku-suku Baduy beralih menganut Islam
secara massal, bersekutu dengan Rosululloh. Bahkan beberapa orang Makkah mulai
memeluk Islam. Kholid bin Walid dan Amru bin Ash –dua komandan militer terbesar
Quroisy– meninggalkan Makkah dan bergabung dengan Muhammad di Madinah pada
tahun-tahun setelah Perjanjian Hudaibiyyah. Perjanjian ini memang gagal
memberikan umat Islam kontrol langsung atau situs paling suci mereka, tapi
memungkinkan Islam tumbuh dengan pesat di seluruh Arab. Perkembangan ini sangat
mencemaskan kelompok garis keras di Makkah, yang hanya beberapa tahun
sebelumnya berharap dapat mengakhiri Islam.
Kemudian, kesucian
gencatan senjata itu sempat ternodai hanya 2 tahun setelah penandatanganannya.
Suku yang bersekutu dengan kaum Quroisy melancarkan serangan mendadak terhadap
suku yang bersekutu dengan Muhammad di luar perbatasan Makkah. Tindakan ini
melanggar kesepakatan yang telah menjanjikan perdamaian total selama 10 tahun.
Dengan batalnya perjanjian itu, Muhammad dapat memanggil sekutu-sekutu barunya
di seluruh Semenanjung untuk ikut serta dalam perjalanan menuju Makkah. Namun
kali ini, mereka tidak akan berpergian dengan niat damai sebagai peziarah. Muhammad
akhirnya berada dalam posisi memegang kekuasaan. Ribuan umat Islam dari seluruh
Semenanjung sekarang berada di bawah perintahnya, terikat oleh aliansi dan
pertobatan untuk bergabung dengan pasukannya setiap saat dibutuhkan. Pada titik
ini, orang-orang Makkah tahu benar bahwa mereka tak dapat mengalahkan militer Rosululloh.
Yang terjadi adalah Makkah melawan puluhan suku lainnya, yang bersatu untuk
pertama kalinya dalam sejarah Arab. Upaya negosiasi antara Muhammad dengan kaum
Quroisy pun berakhir gagal. Dan pada awal tahun 630, pasukan yang terdiri atas
lebih dari 10.000 Muslim yang didatangkan dari seluruh penjuru Arabia, ber-longmarch
menuju kota suci.
Mayoritas penduduk Makkah
menyadari bahwa sia-sia saja melakukan perlawanan. Selain sejumlah pertempuran
kecil, pasukan Muhammad memasuki Makkah tanpa pertumpahan darah. Kemenangan
dalam kembali ke tempat kelahirannya, dipandang oleh para pengikut Muhammad
sebagai kemenangan akhir Islam melawan kemusyrikan, kebenaran melawan kebatinan.
Ratusan berhala yang dipajang di sekitar Ka'bah, dihancurkan. Membuat tempat kudus
peribadatan kaum Muslim itu diperuntukkan bagi satu Tuhan. Bagi banyak orang di
Makkah –termasuk pemimpin kaum Quroisy, Abu Sufyan, penaklukan menyeluruh ini
merupakan tanda bahwa berhala yang mereka sembah tidak lebih dari sekadar
patung batu dan kayu yang kasar. Mereka pun menyerahkan diri kepada Muhammad –orang
yang pernah mereka tindas, mereka usir dari kota, dan mereka perangi. Muhammad
pada gilirannya terbukti menjadi penakluk yang toleran. Sebagian besar penduduk
Makkah selamat tanpa terluka, tindakan yang dipandang mengagumkan oleh
orang-orang yang terbiasa dengan perang antarsuku brutal yang tidak menunjukkan
belas kasihan. Sekali lagi, Muhammad menetapkan contoh bahwa kenabiannya
menandai awal era baru dengan aturan serta kebiasaan baru pula. Periode jahiliyah
pra-Islam –yang berarti kebodohan– akan selamanya ditinggalkan.
Kembalinya Muhammad ke Makkah
dipandang luar biasa hanya karena situasi kehidupannya pada tahun-tahun
sebelumnya. Tepat 8 tahun setelah pelariannya di tengah malam dari para penindas,
Muhammad kembali ke kampung halamannya sebagai pemimpin yang berjaya dengan ribuan
prajurit. Di Makkah, ia berkembang dari seorang pedagang terpercaya menjadi
pemberontak yang tidak diinginkan terhadap politeisme, menjadi musuh yang jauh,
menjadi penakluk yang murah hati atas tanah kelahirannya sendiri. Tidak
diragukan lagi, aksesi secepatnya dalam meraih kekuasaan dan kemampuannya untuk
menghancurkan persaingan suku lama di bawah bendera persatuan dalam Islam di
pandang sebagai mukjizat dan tanda-tanda kenabian oleh banyak orang. Kaum Muslim
pada masa itu –termasuk mereka yang telah menderita selama bertahun-tahun awal
penindasan di Makkah dan orang-orang yang baru memeluk Islam setelah penaklukan
kota– menyakini ada sesuatu yang istimewa tentang Islam. Di mata mereka, agama
tersebut dibimbing dan dilindungi oleh Tuhan, dan mereka sedang berada dalam
sebuah misi khusus untuk menyebarkan agama sejati ini ke seluruh dunia. Pola
pikir tersebut akan memainkan peran besar dalam cara pandang umat Muslim
terhadap diri mereka sendiri di panggung dunia sepanjang sejarah.
Oleh: Firas Alkhateeb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar