Senin, 10 Desember 2018

Arab pada Zaman Pra-Islam (Era Jahiliyah)

Lanskap Hijjaz yang berpegunungan dan gersang bukanlah lingkungan yang menunjang banyak kehidupan. Terletak di Semenanjung Arab bagian barat, daratan ini dapat dilukiskan lewat dua kata: gersang dan panas. Pada musim panas, suhu udara biasanya meningkat hingga lebih dari 37 derajat Celcius dengan curah hujan yang sedikit. Lebih jauh ke timur, gumuk-gumuk pasir tiada akhir menandai lanskap yang tandus dan tanpa permukiman permanen. Namun dari lanskap yang keras inilah pada awal tahun 600-an, sebuah gerakan baru muncul; gerakan yang akan mengubah alur sejarah di Semenanjung Arab dan sekitarnya.

Geografi
Semenanjung Arab mencakup wilayah seluas dua juta kilometer persegi di sudut barat daya Asia. Terletak di antara Asia, Afrika, dan Eropa. Daratan itu memiliki keunikan dalam hubungannya dengan ketiga benua di Dunia Lama. Terlepas dari posisinya, Semenanjung Arab seringkali diabaikan oleh orang luar. Orang-orang Mesir Kuno lebih suka memperluas wilayah ke tanah Bulan Sabit Subur dan Nubia daripada menjelajah ke gurun pasir Arab. Alexander Agung melewatinya pada tahun 300-an SM dalam perjalanan menuju Persia dan India. Kekaisaran Romawi pernah berusaha menginvasi Semenanjung tersebut melalui Yaman pada tahun 20-an SM, namun tidak dapat menyesuaikan diri dengan lanskapnya yang keras. Dan oleh sebab itu, urung menaneksasi wilayah tersebut.

Sebenarnya, wajar saja jika orang-orang luar mengabaikan Semenanjung Arab ini. Iklimnya yang kering sangat tidak bersahabat, bahkan bagi bangsa nomaden yang tinggal di sana. Angin monsun membawa hujan musiman ke pesisir sebelah selatan Semenanjung pada musim gugur, tetapi hujannya tertahan oleh lanskap yang meninggi dengan cepat dan tidak pernah terlalu jauh mencapai gurun. Demikian halnya dengan hujan-hujan dari laut Mediterania yang hampir tidak menyentuh tepi utara gurun Arab. Hasilnya, hampir sebagian besar wilayah Semenanjung tetap gersang sepanjang tahun. Ada jaringan sungai kering disebut wadi yang mengalir di seluruh daratannya. Namun hampir tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai sungai. Ketika awan berkumpul dan hujan pun turun, wadi-wadi tadi menjadi saluran air yang deras, penting bagi pertumbuhan tanaman musiman yang berhasil berkembang di lahan kering ini. Namun demikian, begitu musim basah berakhir, wadi-wadi ini kembali ke kondisi keringnya yang biasa, tak lagi berperan sebagai sumber air. Sungai-sungai kering ini tidak seperti oasis-oasis yang lebih bisa diandalkan. Oasis merupakan lahan subur kecil yang dikelilingi oleh bentangan luas padang pasir. Oasis mampu menampung komunitas kecil atau sebagai titik arah bagi musafir, tetapi hampir tidak cukup untuk menghidupi masyarakat yang maju dan besar.

Bangsa Arab
Lingkungan merupakan faktor yang sangat dominan dalam pembentukan suatu peradaban seperti yang terjadi dengan masyarakat Arab. Seluruh unsur kehidupan bangsa ini berputar di sekitar lingkungan keras tempat mereka tinggal. Karena padang-padang pasir tidak mampu mendukung peradaban yang mapan, bangsa Arab hidup berpindah-pindah dalam upaya mencari lahan subur bagi hewan ternak. Salah satu terus etimologi label “Arab bahkan berpendapat bahwa kata itu sendiri berasal dari akar Semit yang berarti mengembara atau nomaden”. Bangsa Arab akan melewatkan berbulan-bulan musim panas di sekitar oasis atau sumur yang dapat mereka andalkan tahun demi tahun, berusaha mempertahankan perbekalan dan air dengan hidup berhemat. Setelah musim panas berakhir, mereka akan bermigrasi ke selata,n ke dekat Yaman, tempat hujan turun pada musim gugur dan tersedia lahan subur untuk ternak. Padang rumput tadah hujan menyediakan cukup pangan bagi ternak domba, kambing, dan unta untuk bertahan hidup melewati bulan-bulan musim dingin sangat masyarakat Arab mendirikan tenda sementara. Pada waktu hujan berhenti dan kekeringan melanda pada musim semi, bangsa Arab kembali ke oasis dan sumur masing-masing untuk melewatkan musim panas. Siklus keras ini telah menjadi kebiasaan bagi bangsa Arab nomaden sejak dahulu kala dan dipertahankan oleh orang-orang Arab Badui yang masih hidup di gurun gurun pasir.

Pada zaman pra-Islam, keramahtamahan dipandang sangat penting sampai-sampai seorang tamu di rumah sebuah keluarga Arab akan dijamin keamanan serta perlindungannya sekurangnya tiga hari sebelum bahkan maksud kedatangannya ditanyain. Tradisi ini terus dipertahankan oleh Rosululloh saw yang menyatakan bahwa seorang tamu berhak di jamu selama 3 hari.

Gurun pasir bukanlah tempat yang bisa dilalui seorang diri. Dengan begitu banyak ancaman terhadap keberlangsungan hidup bangsa Arab, kerjasama masyarakat merupakan hal yang sangat penting. Ketergantungan pada kerabat adalah baris pertama pertahanan terhadap kelaparan dan sengatan panas terus menerus yang mengancam kelangsungan hidup. Keluarga-keluarga diharapkan saling berbagi sumber daya dan tempat tinggal, dan konsep individualisme murni sangatlah dikecam. Oleh karena itu, keluarga −dan secara lebih luas, suku berfungsi sebagai unit sosial paling penting di dalam masyarakat Arab. Kelompok-kelompok keluarga mengembara bersama-sama dan disebut sebagai qobilah atau kafilah atau klan. Beberapa klan terdiri atas satu suku yang dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Syaikh. Identitas kesukaan dan rasa memiliki merupakan hal vital dalam dunia pra-Islam menjadi bagian sebuah suku akan mendatangkan perasaan terlindungi, dukungan, dan kesempatan ekonomi. Suku-suku akan berperang dengan satu sama lain untuk melindungi salah seorang anggota mereka dan perang antarsuku merupakan hal yang sangat lazim sebelum kedatangan Islam. Persaingan memperebutkan lahan penggembalaan dan ternak biasanya membuat suku-suku berperang, dan itu bisa berlangsung selama bertahun-tahun serta menimbulkan banyak korban jiwa di kedua pihak. Bagi masyarakat Arab, perjuangan merupakan hal yang konstan melawan alam maupun manusia.

Dalam masyarakat nomaden, kesukaan seperti ini sulit untuk mengungkapkan jiwa artistic. Mereka hampir tidak memiliki sumber daya dan waktu yang diperlukan untuk menciptakan patung serta lukisan seperti masyarakat pada peradaban Mesir dan Yunani Kuno. Namun hasrat alami manusia untuk mencari keindahan tidak serta merta padam oleh gurun pasir. Sebagai gantinya, mereka menciptakan bentuk seni yang berbeda: bahasa. Barangkali melebihi bahasa manapun di dunia, bahasa Arab sendiri merupakan bentuk ungkapan artistik. Struktur kata dan kalimatnya luwes, menciptakan banyak cara yang berbeda bagi seseorang untuk mengungkapkan satu gagasan yang sama. Oleh sebab itu, secara alami syair menjadi seni de facto-nya khazanah Arab; syair-syair epos panjang yang memuliakan suku serta kepahlawanan dalam perang merupakan karya seni terbesar mereka. Penyair-penyair terbaik dipandang sebagai selebritas dalam segala hal. Kata-kata mereka dikenang oleh masyarakat dan diulang-ulang sampai generasi demi generasi. Tujuh syair Arab yang paling terkenal pada zaman pra-Islam adalah syair Al-Mu’allaqot yang berarti digantungkan”, karena syair-syair itu secara harfiah digantungkan di dinding Ka’bah di Makkah, atau secara metaforis digantung di hati semua orang Arab atas penghormatan mereka terhadap media puisi. Meskipun sudah menjadi masyarakat sastra yang maju, kepenulisan jarang ada di Semenanjung Arab. Bentuk tertulis bahasa itu hadir pada tahun 500-an, namun jarang dipelajari. Masyarakat Arab sudah merasa puas hanya dengan hafalan. Mereka mampu menghafal syair berjumlah ribuan baris di luar kepala, sehingga dapat mengulanginya lagi bagi generasi di masa depan. Hafalan terbukti akan menjadi kemampuan vital ketika Islam tiba di Semenanjung pada tahun 600-an.

Dalam hal agama, masyarakat Arab zaman pra-Islam hampir secara eksklusif menganut politeisme. Tradisi Islam meyakini bahwa Nabi Ibrohim alaihissalam dan putranya, Ismail, membangun Ka’bah di lembah Makkah pada masa-masa kuno sebagai rumah persembahan bagi Tuhan yang Maha Esa. Kabah dibangun sebagai bangunan persegi polos di atas pondasi yang diletakkan oleh manusia pertama, yakni Adam. Dari tempat suci ini Ismail menyampaikan ajaran monoteistik kepada masyarakat Arab yang menerima dirinya sebagai bagian dari mereka. Namun demikian, selama berabad-abad, keturunan Ismail memutarbalikkan ajaran-ajaran monoteistiknya. Berhala batu dan kayu diukir untuk mewakili sifat-sifat Tuhan. Belakangan, berhala tersebut dibuat untuk melambangkan tuhan-tuhan tersendiri sepenuhnya. Pada zaman Rosululloh saw ada 360 tuhan di dalam Ka’bah. Namun demikian, pesan Nabi Ibrohim dan Nabi Isma’il tidak sepenuhnya hilang dari masyarakat Arab. Kedua nabi tersebut masih dipandang sebagai tokoh yang dihormati dan bahkan sejumlah ajaran mendasarnya masih dipertahankan oleh masyarakat. Mereka benar-benar percaya kepada Tuhannya Ibrohim dan Isma’il yang disebut “Alloh” dalam bahasa Arab. Namun mereka meyakini bahwa Alloh hanya salah satu dari sekian banyak tuhan lain yang dilambangkan dengan berhala. Sistem kepercayaan ini sangat berbeda dari monoteisme tegas yang diajarkan oleh kedua nabi, dan mencerminkan pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan Sumeria di utara. Ada komunitas Kristen dan Yahudi terisolasi di Semenanjung Arab yang juga menghormati kedua nabi tadi, namun persamaannya hanya sampai di situ. Segelintir penganut monoteis Arab cenderung menghindari asimilasi sepenuhnya dengan orang-orang Arab penyembah berhala, dan sebagai gantinya menciptakan komunitas terisolasi mereka sendiri.

Tetangga-tetangga Arab
Meskipun terletak di tengah-tengah gurun pasir Semenanjung Arab jauh dari peradaban yang lebih maju, bangsa Arab tidak sepenuhnya terisolasi dari tetangga-tetangganya. Pada decade-dekade pertama Masehi, bangsa Romawi telah menjadi kekuatan adidaya kawasan di sepanjang perbatasan sebelah utara Semenanjung setelah berhasil menekan sejumlah pemberontakan Yahudi di provinsi Syria Palestina, Romawi menegaskan kontrol di area tersebut bagi masyarakat Badui Arab, mereka merupakan mitra dagang yang kaya dan kuat di utara. Para pedagang secara berkala melintasi bagian barat Semenanjung dari Yaman di selatan menuju Suriah di utara, memperdagangkan barang dari tempat-tempat sangat jauh seperti India dan Italia. Bangsa Romawi cukup puas untuk berada di wilayah Tanah Bulan Sabit Subur yang lebih ramah dan akrab dan membiarkan mitra Arab nomaden mereka yang berdagang dengan negeri-negeri jauh.

Di sebelah timur laut Semenanjung terdapat Plato Iran. Kebangkitan Dinasti Sassaniyah di Persia pada 200 M memicu pertikaian satu abad antara Romawi dan Persia yang pada akhirnya akan berimbas pada bangsa Arab. Perbatasan antara dua kekaisaran besar itu berfluktuasi, tapi secara umum letaknya di gurun Suriah di sebelah utara Semenanjung Arab. Masing-masing kekuatan adidaya itu berusaha berada di atas angin dengan memanfaatkan suku-suku Arab −biasanya suku yang sudah menganut agama kristen− sebagai proksimat. Tertarik memanfaatkan konflik ini demi kepentingan mereka sendiri, dua konfederasi suku Arab berkembang menjadi negara klien bagi kedua kekuatan adidaya tadi. Ghassanid mendirikan kerajaan yang kini merupakan negara modern Yordania, Suriah, dan Palestina, dan mereka bertindak sebagai buffer bagi Kekaisaran Romawi. Di lain pihak, Laksmid mengendalikan Mesopotamia sebelah selatan dan melayani bangsa Persia. Kedua kerajaan Arab itu banyak dipengaruhi oleh penguasa masing-masing yang menghabiskan dana amat besar untuk mempersenjatai pengikut mereka dalam menghadapi musuh. Namun pertikaian terus-menerus tersebut perlahan membuat keempat belah pihak kepayahan. Pada awal tahun 600-an, bangsa Romawi dan Persia kelelahan karena telah berperang selama berpuluh-puluh tahun dan melemah dibalik fasad kekuatan militernya. Kerajaan Ghassanid dan Laksmid juga merasakan tekanan akibat perang karena mereka sekadar pion dalam konflik berkelanjutan ini. Namun demikian, sebagian besar suku Arab menghindari konflik eksternal antara dua kekuatan kekaisaran tersebut. Mereka lebih tertarik untuk melanjutkan perdagangan menguntungkan dengan kedua pihak yang berperang, alih-alih membantu salah satunya untuk meraih kemenangan.

Di sebelah utara Semenanjung terdapat Kerajaan Aksum di Abisinia yang kini bernama Ethiopia. Terletak di pegunungan Abisinia yang tinggi, Aksum merupakan negara dagang kuat yang menghubungkan kerajaan-kerajaan Afrika pedalaman, rute laut Samudra Hindia, serta bagian selatan Semenanjung Arab. Karena berada di persimpangan jalur dagang, kerajaan tersebut memiliki pengaruh besar terhadap pedagang Arab, yang berhubungan dengan warga Aksum di Yaman. Seperti Roma, Aksum merupakan kekaisaran Kristen yang telah lama bersitegang dengan Persia pada berbagai kesempatan. Pengendalian rute perdagangan yang melalui Yaman merupakan sumber konstan pertikaian, karena kedua belah pihak berupaya menggamit pemimpin lokal menjadi pengikut masing-masing.

Dalam dunia yang semakin mengglobal pada awal tahun 600-an, masyarakat Arab menyadari posisi tetangganya dan terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa di luar Semenanjung Arab. Karena berada di persimpangan antara tiga negara adidaya, masyarakat Arab jadi menyadari politik internasional dan memiliki kemampuan untuk memanfaatkan rivalitas tersebut demi keuntungan mereka sendiri. Namun terlepas dari lokasi yang sulit, bangsa Arab tetap aman di kedalaman gurun pasir. Mereka menyebut Semenanjung tersebut sebagai Jaziratul Arab, yang berarti “Pulaunya orang-orang Arab karena penghuninya sangat terisolasi. Letak yang terisolasi ini terbukti sangat menguntungkan. Lingkungan yang keras mencegah negara-negara di sekitar menginvasi serta menduduki tanah Arab. Cara hidup dan siklus tradisional bangsa Arab untuk mengembara seringnya tidak terpengaruh oleh politik dan perang kawasan.

Dalam lingkungan yang tersembunyi ini, sebuah gerakan akan bangkit pada awal tahun 600-an dan membawa implikasi besar terhadap negara-negara di sekitarnya, dan pada akhirnya terhadap seluruh dunia. Gerakan tersebut akan mengubah takdir bangsa Arab selamanya, mengembangkan dan menggunakan kemampuan unik mereka serta menghapuskan ciri-ciri budaya negatif yang menjadikan mereka bangsa pengembara yang gemar berperang. Faktor geografis, iklim, budaya, sekaligus politik mengarah pada terciptanya lingkungan sempurna tempat Islam mampu bangkit menjadi sebuah kekuatan dunia lebih cepat daripada gerakan, agama, atau kekaisaran apapun di dalam sejarah dunia. Gerakan tersebut akan menyebar keluar dari padang pasir Arabia ke Kekaisaran Romawi serta Persia yang babak belur, menaklukkan berbagai wilayah dan mengasimilasi beragam suku bangsa, menciptakan sebuah kerajaan yang membentang dari Spanyol hingga India pada awal tahun 700-an −kerajaan terbesar di dunia pada saat itu. Pertumbuhan eksponensial dalam kekuasaan dan peradaban ini bukanlah sesuatu yang dapat dibayangkan oleh bangsa Arab dari awal tahun 600-an, yang sibuk berjuang untuk bertahan hidup. Semua itu bermula dari kedatangan seorang lelaki yang membawa pesan ke revolusioner serta janji akan takdir yang baru bagi orang-orang Arab, takdir di luar gurun gurun Arab: Muhammad.

Oleh: Firas Alkhateeb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar