Konflik dengan suku Quroisy
belum berakhir dengan hijrahnya Nabi Muhammad saw ke Madinah. Para Muhajirun
masih sulit menerima perlakuan anggota klan mereka di Makkah, sementara para Ansor
bersemangat menghukum siapapun yang pernah menindas saudara seiman mereka yang
baru. Namun Rosululloh belum memberi izin komunitas Muslim untuk berperang. Peperangan
tentu saja merupakan upaya yang serius terutama di Semenanjung Arab, tempat
masih dipegang eratnya aturan-aturan rumit berkaitan dengan kehormatan serta
balas dendam selama berabad-abad. Selain itu, Al-Qur’an sendiri memberi
kesaksian tentang kesetaraan kehidupan dan bertapa tercelanya mengambil nyawa
seseorang secara tidak adil. Oleh karena itu, komunitas Muslim ragu-ragu untuk
menggunakan kekuatan militer melawan Makkah, terlepas dari bertahun-tahun
penindasan yang mereka alami di tangan penduduk Makkah.
Namun situasi tersebut
berubah pada awal masa tinggal Muhammad saw di Madinah. Ia menyampaikan wahyu
baru dari Alloh yang berfirman:
Telah diizinkan berperang
bagi orang-orang yang diperangi. Karena sesungguhnya mereka telah dianiaya dan
sesungguhnya Alloh benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu, yaitu orang-orang
yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali
karena mereka berkata, “Tuhan kami hanyalah Alloh”. (QS Al-Hajj: 3-40)
Ayat-ayat ini menjelaskan
kepada pengingkut Muhammad bahwa peperangan itu diperbolehkan, bahkan
diwajibkan, apabila umat Muslim mengalami penindasan. Ayat tersebut juga
menandakan aspek penting peran Islam di dunia, bahwa agama ini bukan sekadar
seperangkat keyakinan tentang yang tak terlihat, tetapi juga pedoman hidup
secara lengkap yang mencakup segala sesuatunya mulai dari ritual peribadatan
sampai ke hubungan luar negeri dan teologi. Seperti yang mereka lakukan dengan
ajaran lain dalam Al-Qur’an, komunitas Muslim Madinah bersemangat untuk
menunjukkan kelayakan mereka dan mematuhi perintah baru ini.
Kesempatan itu datang pada
tahun 624 ketika komunitas Muslim mengumpulkan pasukan kecil yang berisi
sekitar 300 orang untuk mencegat kafilah milik suku Quroisy yang berjalan
melewati Madinah. Para Muslim tidak dapat mencapai kafilah tersebut dan malah
berakhir berhadapan dengan pasukan koalisi lebih besar yang dikirim untuk
melindungi kafilah tadi. Pada perang Badar sekitar 100 km di barat daya Madinah,
orang-orang Muslim memperoleh kesempatan pertama untuk secara fisik memerangi
mantan penindasan mereka. Meskipun kalah jumlah, pasukan Muslim yang dipimpin
oleh paman Muhammad, Hamzah, berhasil menghancurkan pertahanan Quroisy dan
mengambil beberapa tawanan. Secara monumental, Perang Badar dipandang sangat
penting bagi komunitas Muslim baru di Madinah. Perang tersebut menetapkan kaum Muslim
sebagai kekuatan politik dan militer yang nyata. Dan di lain pihak, berhasil
menurunkan prestise suku Quroisy di seluruh Arab.
Tentu saja orang-orang Quroisy
tidak tinggal diam dipermalukan begitu saja. Setahun kemudian, mereka
mengumpulkan pasukan yang lebih besar, hanya untuk menghancurkan Madinah dalam
rangka merendahkan Muhammad dan membuat kemampuannya untuk melindungi umat
dipertanyakan. Pasukan tersebut ditempatkan beberapa kilometer di utara kota, dalam
bayang-bayang Gunung Uhud yang megah. Di sana mereka dapat dengan mudah
menyerang desa-desa pertanian di sekitar Madinah. Dalam konstitusi Madinah, Muhammad
telah bersumpah untuk melindungi kota serta penduduknya. Dan oleh karena itu, terdorong
mengirimkan angkatan perang dan mengonfrontasi orang-orang Quroisy tadi. Namun
demikian, ada sekelompok orang di dalam kota yang menentang rencana tersebut. Mereka
yakin akan lebih baik jika membiarkan para petani desa membela diri sendiri dan
mempertahankan tentara melindungi kota dari dalam. Mereka bergabung dengan dua
suku Yahudi di kota, yang menolak bergerak ke Uhud memerangi pasukan yang lebih
unggul. Dengan demikian, Muhammad terpaksa berperang ke Uhud dengan jumlah
tentara yang jauh lebih sedikit daripada yang telah ia antisipasi.
Hasil peperangan itu
merupakan pukulan telak bagi kaum Muslim. Orang-orang Makkah yang dipimpin oleh
Kholid bin Walid –yang belakangan akan menganut Islam dan memimpin tentara Muslim
ke Suriah– berhasil mendesak Muslim dari medan perang ke lereng Gunung Uhud. Hamzah,
pahlawan Perang Badar, tewas dalam perang itu dan tubuhnya dimutilasi oleh suku
Quroisy. Muhammad sendiri sempat terkepung bersama segelintir Muslim oleh
orang-orang Makkah dan terluka dengan dalam pertarungan jarak dekat yang
mengikutinya. Orang-orang Quroisy yang telah mengalahkan pasukan Muslim dalam
pertempuran dan ia meyakini bahwa mereka sudah cukup menghancurkan reputasi Muhammad,
mundur kembali ke Makkah.
Perang Uhud tidak berhasil
mengakhiri Islam ataupun otoritas Nabi Muhammad di Madinah sebagaimana yang
diharapkan orang-orang Quroisy, meskipun menunjukkan benih-benih ketegangan
antara orang Muslim dan Yahudi Madinah, yang kebanyakan menolak menghormati
ketentuan Konstitusi serta bergabung dalam pertempuran. Namun jelas, bahwa baik
umat Islam maupun Quroisy tidak akan bisa secara tegas mengalahkan yang lain di
medan perang. Oleh karena itu, kedua belah pihak terpaksa berusaha menggalang
dukungan di antara suku-suku Arab lain. Masing-masing berharap menaikkan
peluang melawan musuh. Orang-orang Quroisy secara khusus berharap memperoleh
dukungan dari suku-suku Yahudi Madinah –yang tampaknya ingin mengusir Rosululloh
dari tengah-tengah mereka. Lima tahun setelah Muhammad hijrah, pasukan Quroisy
mengepung kota Madinah dari utara dan memperoleh bantuan dari salah satu suku Yahudi
Madinah, Bani Quroizhoh, yang tinggal di pinggiran sebelah selatan kota. Bagi
pihak Yahudi, itu pertarungan yang terkalkulasi. Pengepungan itu tampak
menjanjikan. Dan dengan bergabung dengan suku Quroisy, mereka bisa
menyingkirkan Muhammad serta pengikutnya untuk selamanya. Namun demikian, rupanya
persekutuan orang-orang Makkah dengan suku Yahudi itu tidak membuahkan hasil. Muhammad,
atas saran seorang imigran Persia bernama Salman memerintahkan pembangunan
parit di sekitar kota untuk menggagalkan pengepungan Makkah. Perang Parit (Perang
Khondaq) –demikian sebutannya– merupakan kegagalan fatal bagi kaum Quroisy yang
bahkan tidak berhasil menggoyahkan kekuatan Muhammad di kota. Namun keadaannya
bahkan lebih buruk bagi Bani Quroizhoh. Mereka telah melanggar Konstitusi, dan
oleh karenanya harus dikenakan hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Arbitrase untuk kasus ini memutuskan bahwa kaum pria yang telah mengambil
bagian dalam pengepungan untuk di eksekusi, sedangkan wanita dan anak-anak
diasingkan dari kota. Muhammad menetapkan standar yang penting dalam menangani
orang-orang Yahudi Madinah. Ia menegaskan bahwa hukum Islam tidak memiliki
masalah dengan kehadiran non-Muslim yang hidup dalam sebuah negara Muslim. Selama
bertahun-tahun, orang-orang Yahudi Madinah telah di toleransi. Tetapi ketika
mereka gagal mematuhi ketentuan yang berlaku dan mengancam keamanan negara Islam,
hukum pun harus ditegakkan. Seperti setelah perbuatannya yang lain, cara Muhammad
menangani Bani Quroizhoh akan menjadi contoh bagi ratusan tahun hubungan Muslim
dengan non-Muslim.
Oleh: Firas Alkhateeb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar