Selasa, 18 Desember 2018

Peperangan


Konflik dengan suku Quroisy belum berakhir dengan hijrahnya Nabi Muhammad saw ke Madinah. Para Muhajirun masih sulit menerima perlakuan anggota klan mereka di Makkah, sementara para Ansor bersemangat menghukum siapapun yang pernah menindas saudara seiman mereka yang baru. Namun Rosululloh belum memberi izin komunitas Muslim untuk berperang. Peperangan tentu saja merupakan upaya yang serius terutama di Semenanjung Arab, tempat masih dipegang eratnya aturan-aturan rumit berkaitan dengan kehormatan serta balas dendam selama berabad-abad. Selain itu, Al-Qur’an sendiri memberi kesaksian tentang kesetaraan kehidupan dan bertapa tercelanya mengambil nyawa seseorang secara tidak adil. Oleh karena itu, komunitas Muslim ragu-ragu untuk menggunakan kekuatan militer melawan Makkah, terlepas dari bertahun-tahun penindasan yang mereka alami di tangan penduduk Makkah.

Namun situasi tersebut berubah pada awal masa tinggal Muhammad saw di Madinah. Ia menyampaikan wahyu baru dari Alloh yang berfirman:

Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi. Karena sesungguhnya mereka telah dianiaya dan sesungguhnya Alloh benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu, yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, “Tuhan kami hanyalah Alloh”. (QS Al-Hajj: 3-40)

Ayat-ayat ini menjelaskan kepada pengingkut Muhammad bahwa peperangan itu diperbolehkan, bahkan diwajibkan, apabila umat Muslim mengalami penindasan. Ayat tersebut juga menandakan aspek penting peran Islam di dunia, bahwa agama ini bukan sekadar seperangkat keyakinan tentang yang tak terlihat, tetapi juga pedoman hidup secara lengkap yang mencakup segala sesuatunya mulai dari ritual peribadatan sampai ke hubungan luar negeri dan teologi. Seperti yang mereka lakukan dengan ajaran lain dalam Al-Qur’an, komunitas Muslim Madinah bersemangat untuk menunjukkan kelayakan mereka dan mematuhi perintah baru ini.

Kesempatan itu datang pada tahun 624 ketika komunitas Muslim mengumpulkan pasukan kecil yang berisi sekitar 300 orang untuk mencegat kafilah milik suku Quroisy yang berjalan melewati Madinah. Para Muslim tidak dapat mencapai kafilah tersebut dan malah berakhir berhadapan dengan pasukan koalisi lebih besar yang dikirim untuk melindungi kafilah tadi. Pada perang Badar sekitar 100 km di barat daya Madinah, orang-orang Muslim memperoleh kesempatan pertama untuk secara fisik memerangi mantan penindasan mereka. Meskipun kalah jumlah, pasukan Muslim yang dipimpin oleh paman Muhammad, Hamzah, berhasil menghancurkan pertahanan Quroisy dan mengambil beberapa tawanan. Secara monumental, Perang Badar dipandang sangat penting bagi komunitas Muslim baru di Madinah. Perang tersebut menetapkan kaum Muslim sebagai kekuatan politik dan militer yang nyata. Dan di lain pihak, berhasil menurunkan prestise suku Quroisy di seluruh Arab.

Tentu saja orang-orang Quroisy tidak tinggal diam dipermalukan begitu saja. Setahun kemudian, mereka mengumpulkan pasukan yang lebih besar, hanya untuk menghancurkan Madinah dalam rangka merendahkan Muhammad dan membuat kemampuannya untuk melindungi umat dipertanyakan. Pasukan tersebut ditempatkan beberapa kilometer di utara kota, dalam bayang-bayang Gunung Uhud yang megah. Di sana mereka dapat dengan mudah menyerang desa-desa pertanian di sekitar Madinah. Dalam konstitusi Madinah, Muhammad telah bersumpah untuk melindungi kota serta penduduknya. Dan oleh karena itu, terdorong mengirimkan angkatan perang dan mengonfrontasi orang-orang Quroisy tadi. Namun demikian, ada sekelompok orang di dalam kota yang menentang rencana tersebut. Mereka yakin akan lebih baik jika membiarkan para petani desa membela diri sendiri dan mempertahankan tentara melindungi kota dari dalam. Mereka bergabung dengan dua suku Yahudi di kota, yang menolak bergerak ke Uhud memerangi pasukan yang lebih unggul. Dengan demikian, Muhammad terpaksa berperang ke Uhud dengan jumlah tentara yang jauh lebih sedikit daripada yang telah ia antisipasi.

Hasil peperangan itu merupakan pukulan telak bagi kaum Muslim. Orang-orang Makkah yang dipimpin oleh Kholid bin Walid –yang belakangan akan menganut Islam dan memimpin tentara Muslim ke Suriah– berhasil mendesak Muslim dari medan perang ke lereng Gunung Uhud. Hamzah, pahlawan Perang Badar, tewas dalam perang itu dan tubuhnya dimutilasi oleh suku Quroisy. Muhammad sendiri sempat terkepung bersama segelintir Muslim oleh orang-orang Makkah dan terluka dengan dalam pertarungan jarak dekat yang mengikutinya. Orang-orang Quroisy yang telah mengalahkan pasukan Muslim dalam pertempuran dan ia meyakini bahwa mereka sudah cukup menghancurkan reputasi Muhammad, mundur kembali ke Makkah.

Perang Uhud tidak berhasil mengakhiri Islam ataupun otoritas Nabi Muhammad di Madinah sebagaimana yang diharapkan orang-orang Quroisy, meskipun menunjukkan benih-benih ketegangan antara orang Muslim dan Yahudi Madinah, yang kebanyakan menolak menghormati ketentuan Konstitusi serta bergabung dalam pertempuran. Namun jelas, bahwa baik umat Islam maupun Quroisy tidak akan bisa secara tegas mengalahkan yang lain di medan perang. Oleh karena itu, kedua belah pihak terpaksa berusaha menggalang dukungan di antara suku-suku Arab lain. Masing-masing berharap menaikkan peluang melawan musuh. Orang-orang Quroisy secara khusus berharap memperoleh dukungan dari suku-suku Yahudi Madinah –yang tampaknya ingin mengusir Rosululloh dari tengah-tengah mereka. Lima tahun setelah Muhammad hijrah, pasukan Quroisy mengepung kota Madinah dari utara dan memperoleh bantuan dari salah satu suku Yahudi Madinah, Bani Quroizhoh, yang tinggal di pinggiran sebelah selatan kota. Bagi pihak Yahudi, itu pertarungan yang terkalkulasi. Pengepungan itu tampak menjanjikan. Dan dengan bergabung dengan suku Quroisy, mereka bisa menyingkirkan Muhammad serta pengikutnya untuk selamanya. Namun demikian, rupanya persekutuan orang-orang Makkah dengan suku Yahudi itu tidak membuahkan hasil. Muhammad, atas saran seorang imigran Persia bernama Salman memerintahkan pembangunan parit di sekitar kota untuk menggagalkan pengepungan Makkah. Perang Parit (Perang Khondaq) –demikian sebutannya– merupakan kegagalan fatal bagi kaum Quroisy yang bahkan tidak berhasil menggoyahkan kekuatan Muhammad di kota. Namun keadaannya bahkan lebih buruk bagi Bani Quroizhoh. Mereka telah melanggar Konstitusi, dan oleh karenanya harus dikenakan hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Arbitrase untuk kasus ini memutuskan bahwa kaum pria yang telah mengambil bagian dalam pengepungan untuk di eksekusi, sedangkan wanita dan anak-anak diasingkan dari kota. Muhammad menetapkan standar yang penting dalam menangani orang-orang Yahudi Madinah. Ia menegaskan bahwa hukum Islam tidak memiliki masalah dengan kehadiran non-Muslim yang hidup dalam sebuah negara Muslim. Selama bertahun-tahun, orang-orang Yahudi Madinah telah di toleransi. Tetapi ketika mereka gagal mematuhi ketentuan yang berlaku dan mengancam keamanan negara Islam, hukum pun harus ditegakkan. Seperti setelah perbuatannya yang lain, cara Muhammad menangani Bani Quroizhoh akan menjadi contoh bagi ratusan tahun hubungan Muslim dengan non-Muslim.


Oleh: Firas Alkhateeb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar