#ReadingChallenge #Week11 kali ini, saya sempatkan baca buku
satu ini sebagai sebentuk ‘iklan sejenak’ dari buku yang ketebalannya butuh
waktu agak panjang untuk dibaca yang insya Alloh akan di publish suatu hari.
Pemilihan judul ini bukan asal-asalan. Meski temanya kurang ‘seru’,
tetapi ada pesan kuat yang sengaja saya pilih menyikapi situasi saat ini:
“Pelihara TNI! Pelihara angkatan perang kita! Jangan sampai TNI
dikuasai oleh partai politik manapun juga! Ingatlah, bahwa prajurit kita bukan
prajurit sewaan. Bukan prajurit yang mudah dibelokkan haluannya. Kita masuk
dalam tentara karena keinsyafan jiwa dan sedia berkorban bagi bangsa dan
negara.”
–Panglima Besar Jenderal Soedirman–
Pada Pendahuluan buku ini, Penulis berusaha memberikan gambaran
sejarah yang melatarbelakangi perjuangan 1 tahun Pak Dirman, yaitu
ketergabungan beliau dalam PETA bentukan Jepang hingga pengambilalihan komando
perang bentukan Jepang wilayah Banyumas dan sekitarnya seketika saat Proklamasi
diikrarkan. Menjelaskan pula secara singkat sifat dan perawakan tubuhnya.
Pada pembahasan awal, diberikan judul “Sudirman Strateeg yang
Ulung”, di mana mengisahkan beberapa kejadian darurat yang sudah dapat dibaca
proyeksinya oleh Sudirman. Sehingga memang jauh-jauh hari, angkatan perang
sudah dilatih dan dipersiapkan untuk menghadapi kondisi yang cepat berubah,
meskipun para politisi berbeda cara membaca situasinya. Dan nyaris semua
prediksi itu terbukti. Hanya orang yang mahir dalam strategi peranglah yang
mampu membaca situasi.
“Saya akan meninggalkan Yogya, kalau bom pertama sudah meledak,”
(hal. 14) kukuh Sudirman ketika diminta beristirahat total di lereng gunung
yang tenteram sebakda operasi TBC-nya yang menyisakan satu paru-paru lagi.
PERINTAH KILAT No. I/P.B/D/1948
(1) Kita telah diserang. (2) Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo. (3) Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata. (4) Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda. | Dikeluarkan di tempat. | Tanggal 19 Desember 1948 | Jam 08.00 | Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, Letnan Jenderal Sudirman
Instruksi pertama selaku Panglima Angkatan Perang tersebut (hal. 23)
mengisi pembahasan kedua buku ini yang diberi judul “Tidak Bersedia Menyerah”.
Dan dari sanalah gerilya itu bermula.
Jika membaca peta dari alur gerilya Pak Dirman, sungguh luar biasa:
Yogyakarta–Bantul–Parangtritis–Wonosari–Pracimantoro–Wonogiri–Ponorogo–Trenggalek–Tulungagung–Kediri–Gedangklutuk–Wayang–Sawo–Trenggalek–Pringapus–Baturetno–Karangmojo–Prambanan–Yogyakarta.
(hal. 29)
Selepas dari Ponorogo, Pak Dirman dan pasukan terkepung dalam hutan
rotan. Tak ada celah untuk lepas. Hingga Alloh berikan hujan besar berpetir
yang merupakan jalan pertolongan Alloh untuk Pak Dirman meloloskan diri dari
kepungan Belanda.
Perjalanan gerilya ini tak lepas dari infiltrasi. Di Karangnongko
–sebakda dari Kediri, intuisi Pak Dirman akan adanya orang dalam yang
membocorkan keberadaan beliau ke Belanda terbukti dengan siasat pengalihan.
Setelah dari Kediri, beliau lanjutkan ke gunung Wilis dan masuk
Pacitan. Di daerah Sobo, Pak Dirman sempat bermarkas sejenak dengan semua
kelengkapan administrasinya. Kemudian berlanjut ke Pracimantoro dan masuk ke
Yogyakarta. Di sanalah Pak Dirman menerapkan strategi “bajing loncat” dengan
memanfaatkan garis batas demarkasi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Hingga
kemudian memutuskan berpindah dan bermarkas di Kulon Progo. Sampai Belanda
menarik pasukannya meninggalkan Yogyakarta, Markas Besar Komando Djawa (MBKD)
ini tak terdeteksi oleh Belanda.
Secara kronologis, peta perjalanan Pak Dirman seperti berikut:
18 Des. 1948: Jenderal Sudirman dalam keadaan sakit, memegang kendali
pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia.
19 Des. 1948: Yogyakarta diserang Belanda. Dimulailah gerilya.
20 Des. 1948: dari desa Grogol ke desa Panggang berlanjut ke desa
Palihan.
21 Des. 1948: dari Palihan menuju Playen.
22 Des. 1948: dari Semanu ke desa Pracimantoro.
23 Des. 1948: meninggalkan Wonogiri pukul 6.
24 Des. 1948: dari Kediri ke desa Sukorame.
25 Des. 1948: pindah ke desa Karangnongko.
26 Des. 1948: menuju Gunung Wilis.
27 Des. 1948: di desa Giliman, lereng Gunung Wilis.
28 Des. 1948: ke desa Bajulan dan menginap sampai tanggal 6 Jan.
1949.
6 Jan. 1949: menuju desa Salamjudeg.
7 Jan. 1949: menuju desa Liman.
8 Jan. 1949: menuju desa Serang, puncak Gunung Wilis.
9 Jan. 1949: menuju desa Jambu.
10 Jan. 1949: pindah ke desa Wayang.
11 Jan. 1949: bertemu Menteri Supeno dan Susanto Tirtoprojo di desa
Banyutowo.
12 Jan. 1949: menerima tamu di desa Banyutowo sampai 17 Jan. 1949.
17 Jan. 1949: menuju desa Sedayu.
18 Jan. 1949: Belanda menyerang Sedayu.
20 Jan. 1949: Belanda beroperasi di Sedayu.
21 Jan. 1949: Pak Dirman terkepung Belanda di hutan rotan.
22 Jan. 1949: melakukan barter pakaian untuk dapat makanan ke warga
desa, sebab Pak Dirman tidak makan selama 5 hari.
23 Jan. 1949: berada di desa Jambu.
24 Jan. 1949: menuju desa Warungbung.
25 Jan. 1949: tiba di desa Gunung Tukul dan berlanjut ke desa
Ngendong.
27 Jan. 1949: menuju desa Sawo, berlanjut ke desa Tumpakpelem.
29 Jan. 1949: pindah ke desa Suruhwetan.
30 Jan. 1949: menuju desa Dongko.
31 Jan. 1949: di desa Panggul berlanjut ke desa Badak.
4 Feb. 1949: menuju desa Nogosari (Pacitan).
7 Feb. 1949: menuju desa Pringapus.
15 Feb. 1949: ke desa Gebyur.
18 Feb. 1949: ke desa Sobo, dan tinggal selama sebulan.
17 Mar. 1949: menuju desa Nawangan (Solo) sampai desa Ngambarsari.
21 Mar. 1949: berpindah-pindah tempat selama 10 hari.
31 Mar. 1949: di desa Sobo (Pakis).
1 Apr. 1949: bermarkas di Sobo.
Mengenai sakitnya
Pak Dirman, para dokter sepakat menutup info tersebut, bahkan kepada Pak
Dirman. Hanya pesan-pesan yang harus dipatuhi Pak Dirman yang keluar dari para
dokter. Tetapi pada kondisi yang menghajatkan untuk keamanan negara, Pak Dirman
terpaksa tidak mematuhi saran dokter.
“Kalau di jaman damai, saya akan menuruti saja segala nasehat
dokter. Tetapi kalau seperti sekarang, jaman perang, diharap maaf saja, kalau
saya terpaksa menyalahi nasehat dokter, bahkan sering tidak mengindahkannya.”
Rekomendasi dokter agar Pak Dirman istirahat total, bahkan
disarankan tinggal di lereng gunung yang sejuk dan sepi. Tetapi beliau tolak.
Tiga bulan beliau berbaring istirahat dengan tetap memonitor situasi keamanan
Yogyakarta. Saat bom pertama meledak di Maguwo, beliau bahkan bisa bangkit dari
ranjang yang mengagetkan seluruh tim dokter; menyiapkan diri tetapi dengan
piyamanya kemudian bermantel tebal warna hijau, memakai ikat kepala hitam,
berselop, bertongkat, dan menyelipkan keris. Itulah pakaian kebesaran seorang
Panglima Besar.
Dengan satu paru-paru, beliau pimpin perang gerilya selama 7 bulan
melintasi lereng-lembah, gunung-sawah, kampung-hutan, panas-hujan, lima hari
tak bertemu makanan layaknya di meja makan... Prediksi dokter, Pak Dirman tak
akan bertahan lebih dari 3 bulan dengan sakitnya. Semangat pantang menyerah
demi negara dan ketawakalan beliau kepada Alloh-lah yang membuktikan bahwa 7
bulan dapat beliau lewati dengan tanpa gangguan kesehatan yang dikhawatiri para
dokter.
Kepedulian orang-orang dekat Pak Dirman juga datang dari Kolonel
Gatot Subroto melalui surat:
“...tidak asing bagi saya, tentu saya juga mempunyai pendirian begitu. Semua-semuanya Tuhan yang menentukan, tetapi sebagai manusia diharuskan ikhtiar. Begitu dengan keadaan adikku. Karena kesehatannya terganggu, harus ikhtiar. Mengaso. Sungguh-sungguh jangan menggalih (Jawa= melakukan pekerjaan) apa-apa. Laat alles waaien.
“...tidak asing bagi saya, tentu saya juga mempunyai pendirian begitu. Semua-semuanya Tuhan yang menentukan, tetapi sebagai manusia diharuskan ikhtiar. Begitu dengan keadaan adikku. Karena kesehatannya terganggu, harus ikhtiar. Mengaso. Sungguh-sungguh jangan menggalih (Jawa= melakukan pekerjaan) apa-apa. Laat alles waaien.
Ini bukan supaya jangan mati konyol. Tetapi supaya cita-cita adik
tercapai. Meskipun buah-buahnya kita tidak turut memetik, melihat pohonnya
subur, kita merasa gembira dan mengucapkan banyak terima kasih pada Tuhan yang
Maha Kuasa. Ini kali saya selaku Saudara tua dari adik, minta ditaati...” (hal.
82)
Ada hal yang patut kita ambil pelajaran dari pola hidup Pak Dirman:
...betapa inginnya merasakan rokok menyan kegemarannya, tetapi
dilarang dokter. Akhirnya beliau berkata, “Mas dokter, coba isap rokok menyan
itu. Saya hanya ingin menghirup baunya saja!” (hal. 87)
“Suatu ketika,
Pak Dirman –walau dalam keadaan sakit– sempat menulis surat untuk Presiden guna
memohon kenangan sebuah pipa (rokok) yang terbuat dari siung ikan duyung...
Sang rokok yang sudah lama terpaksa ditinggalkan.” (hal. 88)
29 Januari 1950
selepas maghrib, Sang Jenderal Besar itupun menghadap Alloh. Ia tak
meninggalkan apa-apa. Hanya pesan perjuangan yang terus berkumandang. Mirip.
Mirip jalan hidup Nabi Muhammad saw.
Judul:
1948-1949; Dari Atas Tandu Pak Dirman Memimpin Perang Rakyat Semesta
(Gerilya)
Penulis: N.S.S. Tarjo
Cetakan: X, tahun 1984
Tebal: vii+144 hal.
Dimensi: 14,5x20,5 cm
Penerbit: Yayasan Wiratama 45 Yogyakarta
Resentator: Harmasto Hendro Kusworo
Foto: koleksi pribadi saat berkunjung di rumah Pak Dirman di
Purbalingga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar