Rabu, 12 Desember 2018

Nabi Muhammad saw; Kelahiran yang Mengancam


Nabi Muhammad lahir di Makkah sekitar tahun 570 M. Beliau berasal dari klan Bani Hasyim, salah satu klan dari suku Quroisy yang terhormat di Makkah –yang waktu itu merupakan pusat perdagangan serta keagamaan di jantung Semenanjung Arab. Terletak sekitar 80 km dari pantai Laut Merah, kota lembah itu sangat diuntungkan dengan perdagangan utara-selatan yang menghubungkan bangsa Romawi di utara dan Yaman di selatan. Namun, Makkah jauh terpisah dari kedua tempat itu. Dikelilingi oleh ratusan kilometer gurun pasir memungkinkannya untuk terbebas dari kendali atau pengaruh asing mana pun. Makkah terhubung secara internasional dan pada saat yang sama juga terisolasi. Tetapi dalam hal agama, tempat itu merupakan titik pusat bagi seluruh kelompok masyarakat di Semenanjung Arab. Di sanalah Ka’bah berada dan disana pulalah ibadah ziarah yang menarik masyarakat Arab dari seluruh semenanjung dilaksanakan setiap tahun. Jadi, meskipun masyarakat berada cukup jauh dari jangkauan kendali kekaisaran Byzantium dan Persia, letaknya cukup sentral untuk memiliki dampak besar bagi masyarakat Arab. Kedua karakteristik ini akan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam.

Kehidupan Awal
Kehidupan awal Muhammad ditandai oleh kesukaran dan kehilangan. Ayahnya, Abdulloh, meninggal sebelum dia dilahirkan saat melakukan perjalanan dagang ke Yatsrib, di sebelah utara Makkah. Ibunya, Aminah, meninggal ketika usianya 6 tahun, dan Muhammad akhirnya ditanggung serta dibesarkan oleh sang kakek, Abdul Mutholib. Dua tahun kemudian, kakeknya juga meninggal dan Muhammad pun tinggal bersama paman dari pihak ayah, Abu Tholib. Meskipun termasuk dalam suku Quroisy yang kaya, Muhammad tidak tumbuh besar bergelimang harta. Mengingat statusnya sebagai anak yatim-piatu dan asalnya dari klan Bani Hasyim –yang dipandang sebagai cabang rendah dari suku Quroisy– dirinya bukan termasuk bagian kelas penguasa. Namun demikian, sewaktu kecil ia pernah menyertai pamannya dalam berbagai perjalanan dagang ke Suriah, yang memperkenalkan dirinya ke tradisi nomaden kuno bangsa Arab. Reputasinya sebagai pedagang jujur membuatnya dikenal dengan dua julukan: ash-Shodiq dan Al-Amin, yang berarti “yang benar dan yang dapat dipercaya”. Dengan demikian, Muhammad memperoleh penghormatan dari suku Quroisy dan sering dipercayai memegang uang serta melakukan transaksi bisnis, dan dalam banyak kasus diminta bertindak sebagai arbiter. Pada usia dua puluhan, Muhammad sudah menjadi pedagang sukses, bekerja sebagai agen bagi seorang janda kaya bernama Khodijah. Pada akhirnya, reputasinya sebagai pria jujur dan dapat diandalkan menarik perhatian sang atasan, dan ketika usia Muhammad 25 tahun, Khodijah melamarnya. Muhammad menerima lamaran tersebut meskipun wanita itu jauh lebih tua darinya.

Meskipun dikelilingi oleh masyarakat politeis penyembah berhala, Muhammad muda tidak terlibat dalam kegiatan agama suku Quroisy. Bagi sebagian besar bangsa Arab, pesan monoteistik Ibrohim dan Isma’il hanya tinggal kenangan samar, namun masih ada segelintir orang yang menganggapnya penting. Kaum ini disebut sebagai Hunafa’ (dengan bentuk tunggal Hanif), yang berarti “monoteis”. Mereka menolak menerima ratusan berhala baru dan kayu sebagai Tuhan. Muhammad merupakan salah seorang diantaranya. Alih-alih ikut menyembah berhala yang begitu merajalela di masyarakat, Muhammad memilih menyendiri.  Ia terbiasa mengasingkan diri ke sebuah gua di puncak gunung sekitar 5 km dari pusat Makkah, bertafakur dan merenungkan kondisi masyarakat serta kepercayaan yang mengelilinginya di Makkah.

Wahyu Pertama
Menurut tradisi Islam, pada 610, saat menyendiri di gua yang sudah sering dikunjunginya, Muhammad mengalami sesuatu yang baru. Sesosok malaikat mendatanginya di gua tersebut, dan berkata, “Bacalah!” Muhammad menanggapi bahwa dirinya tidak bisa membaca seperti sebagian besar masyarakat Makkah, Muhammad buta huruf. Sekali lagi malaikat itu memintanya membaca. Lagi-lagi, Muhammad menjawab bahwa ia tidak bisa membaca. Untuk ketiga kalinya, malaikat itu tetap memintanya membaca. Dan untuk ketiga kalinya pula, tanggapannya tetap sama. Kemudian sang malaikat membacakan ayat-ayat Al-Qur’an pertama yang diwahyukan kepada Muhammad:

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq: 1-5)

Muhammad pun mengikuti ucapan sang malaikat yang kemudian memberitahukan bahwa dirinya bernama Jibril, malaikat yang dikirim oleh Alloh dan menyatakan bahwa Muhammad adalah utusan Alloh. Dalam keadaan terguncang dan ketakutan, Muhammad bergegas pulang, tidak tahu harus melakukan apa. Ia punditenangkan oleh Khodijah yang mempercayai penuturan sang suami. Khodijah menanyai sepupunya yang akrab dengan naskah-naskah Yahudi serta Nasrani tentang makna dari pertemuan tersebut. Begitu sang sepupu mendengar apa yang telah terjadi, dia langsung mengakui Muhammad sebagai utusan Tuhan pada masanya, seperti Musa dan Isa sebelum dirinya. Setelah ditenangkan oleh istri dan sepupunya, Muhammad menerima misi yang diembannya sebagai utusan Tuhan, dan kehidupannya sebagai Nabi pun dimulai.

Orang pertama yang mendengar dan mengakui kenabian Muhammad adalah Khodijah, yang bisa dibilang langsung memeluk Islam sekembalinya sang suami dari gua. Tak lama kemudian, Muhammad memperkenalkan agama baru ini kepada orang-orang terdekatnya. Sahabat-sahabat Muhammad –Abu Bakar; sepupunya, Ali; dan pelayan rumahnya, Zaid– menghormati serta mempercayainya, dan dengan demikian langsung mengakuinya sebagai Nabi. Mereka mulai menyebarkan wahyu itu pada orang-orang terdekat mereka sendiri dan secara perlahan-lahan jumlah orang yang mengakui kenabian Muhammad semakin besar. Upaya-upaya dakwah pertama dilakukan secara diam-diam, mengingat Makkah pada saat itu merupakan masyarakat politeistik, dan ide tentang satu Tuhan yang menggantikan banyak berhala di dalam Ka’bah tak pelak lagi dianggap sebagai ancaman. Dengan demikian, bulan-bulan dan tahun-tahun pertama perkembangan Islam dilakukan dalam kelompok rahasia dan tersembunyi, yang mencemaskan reaksi masyarakat terhadap mereka, namun tetap tunduk terhadap ide-ide agama baru ini. Mereka pun disebut sebagai Muslim yang berarti “orang yang tunduk”. Kata Islam sendiri –yang menjadi akar kata Muslim– menandakan penyerahan diri terhadap Tuhan dan kehendak-Nya.

Celakalah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Ia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthomah. (QS. Al-Humazah: 1-4)

Pada saat yang sama ide-ide inti Islam mulai terbentuk melalui penyampaian Wahyu yang berkesinambungan yang akan disampaikan ke seluruh masyarakat monoteisme ketat yang sangat berbeda dari kepercayaan yang berlaku di Makkah merupakan tema utamanya menurut Muhammad, hanya ada satu Tuhan. Berhala-berhala yang disembah oleh penduduk Makkah tidak lebih dari patung batu dan kayu yang tak berguna, dan tidak mampu membawa manfaat bagi siapa pun. Ayat-ayat itu juga mengingatkan tentang Hari Pembalasan, ketika semua jiwa akan dibawa ke hadapan Tuhan untuk ditimbang amal perbuatannya. Mereka yang percaya kepada Tuhan dan melakukan amal baik, akan memasuki surga yang kekal. Mereka yang tidak percaya, akan dimasukkan ke neraka dan menjalani siksaan abadi. Namun Islam tidak melulu mengurusi teologi dan kehidupan akhirat. Ayat-ayat pertama juga mengecam penyakit sosial yang melanda Makkah. Dengan meningkatnya kemakmuran dari rute dagangan, kesenjangan kelas sosial di dalam masyarakat pun semakin mencolok. Golongan kaya akan menggunakan harta mereka untuk membiayai lebih banyak kafilah yang pada akhirnya akan mendatangkan kekayaan lebih besar. Sedangkan golongan miskin akan semakin terpinggirkan. Kondisi kekurangan tersebut akan berlipat ganda jika mereka tidak termasuk ke dalam klan penguasa. Al-Qur’an menyatakan bahwa pengabaian terhadap fakir miskin seperti itu merugikan pembentukan tatanan sosial yang adil, dan akan mendapat hukuman di akhirat. Baru bertahun-tahun kemudian, aturan yang berkaitan dengan kemasyarakatan ditegakkan. Namun sejak awal jelas, bahwa kedatangan Muhammad tidak saja untuk mengubah keyakinan keagamaan tiap individu, tetapi juga masyarakat itu sendiri.

Wahyu-wahyu yang pertama diturunkan terus mengulang-ulang tema ini selama beberapa kali. Ayat dan surat yang diturunkan di Makkah yang dapat ditemukan menjelang akhir Al-Qur’an cenderung pendek-pendek dan langsung ke titik permasalahan. Sifat Al-Qur’an ini sesuai bagi komunitas Muslim yang baru lahir yangkeberadaannya masih belum diketahui oleh seluruh kota. Ketika berada didekat sesama umat, para Muslim akan mendiskusikan wahyu-wahyu terakhir di antara mereka sendiri dan mengajarkannya terhadap satu sama lain. Ketika berada di sekitar non-Muslim, mereka harus menyembunyikan percakapan serta keyakinan mereka. Lagi pula ide-ide baru ini akan mengancam tatanan sosial Makkah yang sudah mapan. Kesetaraan sosial, ekonomi, dan kesukuan dianggap menyimpang oleh anggota suku Quroisy yang kaya dan berkuasa. Revolusi sosial jarang diterima oleh mereka yang memegang kekuasaan.

Bahkan jika Muhammad tidak menganjurkan perubahan apapun dalam masyarakat, keyakinan baru itu sendiri merupakan ancaman bagi posisi ekonomi dan sosial para penganut politeis. Karena Ka’bah, Makkah merupakan pusat keagamaan bagi bangsa Arab di seantero Semenanjung Arab. Setahun sekali orang-orang Arab akan bepergian ke Makkah untuk melakukan ziarah dan menyembah ratusan berhala yang dipajang di sekitar Ka’bah. Keadaan ini menguntungkan suku Quroisy. Perdagangan adalah hasil samping alami dari perziarahan; dengan begitu banyaknya orang dari negeri-negeri jauh berada di tempat dan waktu yang sama, secara alami berkembanglah pasar yang membuat Makkah menjadi titik pusat politik, ekonomi, serta agama di tanah Arab. Sebagai fasilitator, perdagangan suku Quroisy mendapat keuntungan yang sangat besar. Namun demikian, pesan Muhammad menolak arti penting berhala, menekankan keesaan Tuhan. Tanpa berhala, tak akan ada perziarahan. Tanpa perziarahan, tak akan ada perdagangan. Ini bukan skenario yang menyenangkan bagi Quroisy, dan pengikut awal Muhammad menyadarinya. Karena alasan ini, tidak ada yang berani menyebut-nyebut soal agama baru di sekitar para pemimpin suku. Komunitas Muslim masih cukup kecil dan lemah, sehingga belum mampu terlibat dalam konflik ideologis dengan orang-orang yang memegang kekuasaan. Terutama mengingat fakta bahwa kebanyakan Muslim pertama dianggap sebagai kelas sosial terendah. Budak, pelayan, dan orang-orang miskin merupakan mayoritas dalam komunitas Muslim awal. Mereka tertarik oleh kesetaraan manusia dihadapan Tuhan dan sifat egaliter dari agama baru tersebut, tempat kekayaan dan status sosial tidaklah menentukan nilai seseorang.

Oleh: Firas Alkhateeb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar