Nabi Muhammad lahir di Makkah sekitar tahun
570 M. Beliau berasal dari klan Bani Hasyim, salah satu klan dari suku Quroisy
yang terhormat di Makkah –yang waktu itu merupakan pusat perdagangan serta
keagamaan di jantung Semenanjung Arab. Terletak sekitar 80 km dari pantai Laut Merah,
kota lembah itu sangat diuntungkan dengan perdagangan utara-selatan yang
menghubungkan bangsa Romawi di utara dan Yaman di selatan. Namun, Makkah jauh
terpisah dari kedua tempat itu. Dikelilingi oleh ratusan kilometer gurun pasir
memungkinkannya untuk terbebas dari kendali atau pengaruh asing mana pun. Makkah
terhubung secara internasional dan pada saat yang sama juga terisolasi. Tetapi
dalam hal agama, tempat itu merupakan titik pusat bagi seluruh kelompok
masyarakat di Semenanjung Arab. Di sanalah Ka’bah berada dan disana pulalah
ibadah ziarah yang menarik masyarakat Arab dari seluruh semenanjung
dilaksanakan setiap tahun. Jadi, meskipun masyarakat berada cukup jauh dari
jangkauan kendali kekaisaran Byzantium dan Persia, letaknya cukup sentral untuk
memiliki dampak besar bagi masyarakat Arab. Kedua karakteristik ini akan
memainkan peran penting dalam penyebaran Islam.
Kehidupan Awal
Kehidupan awal Muhammad ditandai oleh
kesukaran dan kehilangan. Ayahnya, Abdulloh, meninggal sebelum dia dilahirkan
saat melakukan perjalanan dagang ke Yatsrib, di sebelah utara Makkah. Ibunya, Aminah,
meninggal ketika usianya 6 tahun, dan Muhammad akhirnya ditanggung serta
dibesarkan oleh sang kakek, Abdul Mutholib. Dua tahun kemudian, kakeknya juga
meninggal dan Muhammad pun tinggal bersama paman dari pihak ayah, Abu Tholib. Meskipun
termasuk dalam suku Quroisy yang kaya, Muhammad tidak tumbuh besar bergelimang
harta. Mengingat statusnya sebagai anak yatim-piatu dan asalnya dari klan Bani
Hasyim –yang dipandang sebagai cabang rendah dari suku Quroisy– dirinya bukan
termasuk bagian kelas penguasa. Namun demikian, sewaktu kecil ia pernah
menyertai pamannya dalam berbagai perjalanan dagang ke Suriah, yang memperkenalkan
dirinya ke tradisi nomaden kuno bangsa Arab. Reputasinya sebagai pedagang jujur
membuatnya dikenal dengan dua julukan: ash-Shodiq dan Al-Amin,
yang berarti “yang benar dan yang dapat dipercaya”. Dengan demikian, Muhammad
memperoleh penghormatan dari suku Quroisy dan sering dipercayai memegang uang
serta melakukan transaksi bisnis, dan dalam banyak kasus diminta bertindak
sebagai arbiter. Pada usia dua puluhan, Muhammad sudah menjadi pedagang sukses,
bekerja sebagai agen bagi seorang janda kaya bernama Khodijah. Pada akhirnya, reputasinya
sebagai pria jujur dan dapat diandalkan menarik perhatian sang atasan, dan
ketika usia Muhammad 25 tahun, Khodijah melamarnya. Muhammad menerima lamaran
tersebut meskipun wanita itu jauh lebih tua darinya.
Meskipun dikelilingi oleh masyarakat politeis
penyembah berhala, Muhammad muda tidak terlibat dalam kegiatan agama suku Quroisy.
Bagi sebagian besar bangsa Arab, pesan monoteistik Ibrohim dan Isma’il hanya
tinggal kenangan samar, namun masih ada segelintir orang yang menganggapnya
penting. Kaum ini disebut sebagai Hunafa’ (dengan bentuk tunggal Hanif),
yang berarti “monoteis”. Mereka menolak menerima ratusan berhala baru dan kayu
sebagai Tuhan. Muhammad merupakan salah seorang diantaranya. Alih-alih ikut
menyembah berhala yang begitu merajalela di masyarakat, Muhammad memilih menyendiri.
Ia terbiasa mengasingkan diri ke sebuah
gua di puncak gunung sekitar 5 km dari pusat Makkah, bertafakur dan merenungkan
kondisi masyarakat serta kepercayaan yang mengelilinginya di Makkah.
Wahyu Pertama
Menurut tradisi Islam, pada 610, saat
menyendiri di gua yang sudah sering dikunjunginya, Muhammad mengalami sesuatu
yang baru. Sesosok malaikat mendatanginya di gua tersebut, dan berkata, “Bacalah!”
Muhammad menanggapi bahwa dirinya tidak bisa membaca seperti sebagian besar
masyarakat Makkah, Muhammad buta huruf. Sekali lagi malaikat itu memintanya
membaca. Lagi-lagi, Muhammad menjawab bahwa ia tidak bisa membaca. Untuk ketiga
kalinya, malaikat itu tetap memintanya membaca. Dan untuk ketiga kalinya pula, tanggapannya
tetap sama. Kemudian sang malaikat membacakan ayat-ayat Al-Qur’an pertama yang
diwahyukan kepada Muhammad:
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu
yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq: 1-5)
Muhammad pun mengikuti ucapan sang malaikat
yang kemudian memberitahukan bahwa dirinya bernama Jibril, malaikat yang
dikirim oleh Alloh dan menyatakan bahwa Muhammad adalah utusan Alloh. Dalam
keadaan terguncang dan ketakutan, Muhammad bergegas pulang, tidak tahu harus
melakukan apa. Ia punditenangkan oleh Khodijah yang mempercayai penuturan sang
suami. Khodijah menanyai sepupunya yang akrab dengan naskah-naskah Yahudi serta
Nasrani tentang makna dari pertemuan tersebut. Begitu sang sepupu mendengar apa
yang telah terjadi, dia langsung mengakui Muhammad sebagai utusan Tuhan pada
masanya, seperti Musa dan Isa sebelum dirinya. Setelah ditenangkan oleh istri
dan sepupunya, Muhammad menerima misi yang diembannya sebagai utusan Tuhan, dan
kehidupannya sebagai Nabi pun dimulai.
Orang pertama yang mendengar dan mengakui
kenabian Muhammad adalah Khodijah, yang bisa dibilang langsung memeluk Islam
sekembalinya sang suami dari gua. Tak lama kemudian, Muhammad memperkenalkan
agama baru ini kepada orang-orang terdekatnya. Sahabat-sahabat Muhammad –Abu
Bakar; sepupunya, Ali; dan pelayan rumahnya, Zaid– menghormati serta
mempercayainya, dan dengan demikian langsung mengakuinya sebagai Nabi. Mereka
mulai menyebarkan wahyu itu pada orang-orang terdekat mereka sendiri dan secara
perlahan-lahan jumlah orang yang mengakui kenabian Muhammad semakin besar. Upaya-upaya
dakwah pertama dilakukan secara diam-diam, mengingat Makkah pada saat itu
merupakan masyarakat politeistik, dan ide tentang satu Tuhan yang menggantikan
banyak berhala di dalam Ka’bah tak pelak lagi dianggap sebagai ancaman. Dengan
demikian, bulan-bulan dan tahun-tahun pertama perkembangan Islam dilakukan
dalam kelompok rahasia dan tersembunyi, yang mencemaskan reaksi masyarakat
terhadap mereka, namun tetap tunduk terhadap ide-ide agama baru ini. Mereka pun
disebut sebagai Muslim yang berarti “orang yang tunduk”. Kata Islam sendiri –yang
menjadi akar kata Muslim– menandakan penyerahan diri terhadap Tuhan dan
kehendak-Nya.
Celakalah bagi setiap
pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Ia
mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya
dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthomah. (QS. Al-Humazah: 1-4)
Pada saat yang sama ide-ide inti Islam
mulai terbentuk melalui penyampaian Wahyu yang berkesinambungan yang akan disampaikan
ke seluruh masyarakat monoteisme ketat yang sangat berbeda dari kepercayaan
yang berlaku di Makkah merupakan tema utamanya menurut Muhammad, hanya ada satu
Tuhan. Berhala-berhala yang disembah oleh penduduk Makkah tidak lebih dari
patung batu dan kayu yang tak berguna, dan tidak mampu membawa manfaat bagi
siapa pun. Ayat-ayat itu juga mengingatkan tentang Hari Pembalasan, ketika
semua jiwa akan dibawa ke hadapan Tuhan untuk ditimbang amal perbuatannya. Mereka
yang percaya kepada Tuhan dan melakukan amal baik, akan memasuki surga yang
kekal. Mereka yang tidak percaya, akan dimasukkan ke neraka dan menjalani
siksaan abadi. Namun Islam tidak melulu mengurusi teologi dan kehidupan akhirat.
Ayat-ayat pertama juga mengecam penyakit sosial yang melanda Makkah. Dengan
meningkatnya kemakmuran dari rute dagangan, kesenjangan kelas sosial di dalam
masyarakat pun semakin mencolok. Golongan kaya akan menggunakan harta mereka
untuk membiayai lebih banyak kafilah yang pada akhirnya akan mendatangkan
kekayaan lebih besar. Sedangkan golongan miskin akan semakin terpinggirkan. Kondisi
kekurangan tersebut akan berlipat ganda jika mereka tidak termasuk ke dalam klan
penguasa. Al-Qur’an menyatakan bahwa pengabaian terhadap fakir miskin seperti
itu merugikan pembentukan tatanan sosial yang adil, dan akan mendapat hukuman
di akhirat. Baru bertahun-tahun kemudian, aturan yang berkaitan dengan
kemasyarakatan ditegakkan. Namun sejak awal jelas, bahwa kedatangan Muhammad
tidak saja untuk mengubah keyakinan keagamaan tiap individu, tetapi juga
masyarakat itu sendiri.
Wahyu-wahyu yang pertama diturunkan terus
mengulang-ulang tema ini selama beberapa kali. Ayat dan surat yang diturunkan
di Makkah yang dapat ditemukan menjelang akhir Al-Qur’an cenderung pendek-pendek
dan langsung ke titik permasalahan. Sifat Al-Qur’an ini sesuai bagi komunitas Muslim
yang baru lahir yangkeberadaannya masih belum diketahui oleh seluruh kota. Ketika
berada didekat sesama umat, para Muslim akan mendiskusikan wahyu-wahyu terakhir
di antara mereka sendiri dan mengajarkannya terhadap satu sama lain. Ketika
berada di sekitar non-Muslim, mereka harus menyembunyikan percakapan serta
keyakinan mereka. Lagi pula ide-ide baru ini akan mengancam tatanan sosial Makkah
yang sudah mapan. Kesetaraan sosial, ekonomi, dan kesukuan dianggap menyimpang oleh
anggota suku Quroisy yang kaya dan berkuasa. Revolusi sosial jarang diterima
oleh mereka yang memegang kekuasaan.
Bahkan jika Muhammad tidak menganjurkan
perubahan apapun dalam masyarakat, keyakinan baru itu sendiri merupakan ancaman
bagi posisi ekonomi dan sosial para penganut politeis. Karena Ka’bah, Makkah
merupakan pusat keagamaan bagi bangsa Arab di seantero Semenanjung Arab. Setahun
sekali orang-orang Arab akan bepergian ke Makkah untuk melakukan ziarah dan
menyembah ratusan berhala yang dipajang di sekitar Ka’bah. Keadaan ini
menguntungkan suku Quroisy. Perdagangan adalah hasil samping alami dari perziarahan;
dengan begitu banyaknya orang dari negeri-negeri jauh berada di tempat dan
waktu yang sama, secara alami berkembanglah pasar yang membuat Makkah menjadi
titik pusat politik, ekonomi, serta agama di tanah Arab. Sebagai fasilitator,
perdagangan suku Quroisy mendapat keuntungan yang sangat besar. Namun demikian,
pesan Muhammad menolak arti penting berhala, menekankan keesaan Tuhan. Tanpa
berhala, tak akan ada perziarahan. Tanpa perziarahan, tak akan ada perdagangan.
Ini bukan skenario yang menyenangkan bagi Quroisy, dan pengikut awal Muhammad
menyadarinya. Karena alasan ini, tidak ada yang berani menyebut-nyebut soal
agama baru di sekitar para pemimpin suku. Komunitas Muslim masih cukup kecil
dan lemah, sehingga belum mampu terlibat dalam konflik ideologis dengan
orang-orang yang memegang kekuasaan. Terutama mengingat fakta bahwa kebanyakan Muslim
pertama dianggap sebagai kelas sosial terendah. Budak, pelayan, dan orang-orang
miskin merupakan mayoritas dalam komunitas Muslim awal. Mereka tertarik oleh
kesetaraan manusia dihadapan Tuhan dan sifat egaliter dari agama baru tersebut,
tempat kekayaan dan status sosial tidaklah menentukan nilai seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar