Rabu, 17 April 2013

Setelah Badr


JIKA perang Badr merupakan peneguhan eksistensi da’wah generasi pertama umat ini, setidaknya kita bisa berkaca untuk memaknai Pemilu 2004 sebagai salah satu peneguhan eksistensi da’wah kita. Pada perang Badr, kaum muslimin telah membuat terkejut musuh-musuhnya -kafirin, musyrikin, dan munafiqin- bahwa kekuatan kecil yang seyogianya bisa dilumat sekali terjang itu mendapatkan pertolongan Alloh berupa kemenangan atas musuh yang jauh lebih kuat. Tetapi tentu saja, jihad -apalagi jihad siyasi- tidak berhenti sampai di situ. Tarbiyah qur’aniyah yang mendidik para sahabat, ridhwaanulloohi ‘alaihim jamii’a, menjadi pelajaran berharga. Bahwa setelah Badr, ada Uhud. Setelah syukur, ada pembaruan niat. Setelah berita gembira, ada pelurusan shaf. Setelah takbir, ada istighfar. Dan setelah kemenangan, ada kewaspadaan.

Mudah-mudahan Alloh karuniakan pemahaman pada kita, sebagaimana mereka -para sahabat- telah memahaminya dengan pemahaman yang jernih. Agar jalan da’wah yang kita tempuh, menggaris di atas tapak yang telah mereka ukirkan. Agar jihad dan da’wah ini, berada di atas manhaj yarq barokah. Pada bahasan kita ini, ada dua hal yang menjadi fokus perhatian kita: fenomena setelah kemenangan, dan jalan menuju Uhud.

A. Fenomena Setelah Kemenangan

Surat al-Anfaal turun sepanjang perang Badr, memberikan taujih kepada para mujahidin, meluruskan shof mereka, dan menjaga kedekatan mereka dengan Alloh. Maka akhir surat ini adalah juga gambaran agung tentang akhir dari peperangan di hari furqon itu. Inilah yang digambarkan surat al-Anfaal, tentang kondisi manusia-manusia terbaik itu setelah mereka menang. Tentunya, kondisi kita jauh lebih parah, ya?

1. Turunnya Semangat

Jika pertempuran kemarin, sedikit banyak, menjadi orientasi –di samping orientasi akhirat- bagi para jundi, maka setelah kemenangan, disorientasi sulit dihindari. Apa yang menjadi tujuan jihad, perlahan mengabur. Lha wong, sudah menang, terus mau ngapain? Di saat inilah, qiyadah diperintahkan Alloh untuk terus memotivasi dengan akhirat, mengobarkan semangat mereka, dan menghidupkan tantangan. tantangan da’wah. Agar apa? Agar ruh jihad para jundi tetap hidup.

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para Mukmin itu untuk berperang.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 65)

Ayat ini turun dalam perjalanan pulang dari perang. Unik bukan? Lha wong pulang perang kok semangatnya dikobarkan. Tetapi demikianlah. Karena perang antara haq dan bathil tidak berhenti sebatas kemenangan yang kita tinggalkan, tetapi masih banyak lagi perang yang akan kita hadapi. Allohu Akbar!

2. Kelemahan dan Pengurangan Beban dari Alloh

Sebelum kemenangan, pembebanan dari Alloh terhadap orang beriman adalah 1 lawan 10 (Qs. Al-Anfaal [8]: 65). Tetapi ketika jumlah 20 telah menjadi 100, dan 100 telah menjadi 1000, maka pembebanan dari Alloh dikurangi hingga menjadi 1 lawan 2 (Qs. Al-Anfaal [8]: 66). Ini adalah konsekuensi kemenangan: pertambahan kader, pengayaan amanah, dan sedikit melemahnva ikatan.

“Sekarang Alloh telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 66)

Pasca kemenangan, pembebanan yang melampaui kemampuan pada sebagian, dan kelonggaran amanah pada sebagian yang lain akan melipatgandakan kerapuhan. Maka distribusi amanah yang adil, akan meringankan dan menyamankan hati untuk teguh berkomitmen pada jama’ah. Subhanalloh.

3. Munculnya Syahwat-syahwat

“… Kalian menghendaki harta benda duniawi sedangkan Alloh menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian). Dan Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 67)

Selama intikhoob, aneka interaksi para kader dengan ‘dunia’; harta, wanita, dan kedudukan, sedikit banyak akan membangkitkan gelombang-gelombang syahwati yang selama ini tersembunyi di balik ghiroh jihad menyala. Sejak kemenangan itu, kita menyaksikan, alangkah nikmatnya jadi orang berkuasa, dan alangkah nyamannya punya banyak harta. Sejak kemenangan itu, kita lebih leluasa menatap wajah tampan berjenggot tipis atau wajah ayu yang sering menunduk semu. Astaghfirulloh.

Saatnya kita introspeksi, saatnya kita evaluasi, ya akhii, ya ukhti. Adakah teguran Alloh yang begitu penuh kasih ini mengena pada kita: Kalian menghendaki harta benda duniawi sedangkan Alloh menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian). Jika ya, sepertinya kita harus banyak berdoa sebagaimana ‘Isa ‘Alaihis Salaam: “Jadilah kehendak-Mu, bukan kehendakku.”

4. Konsolidasi Musuh-musuh Da'wah

Setelah kemenangan itu, musuh-musuh da’wah telah melihat jelas dengan siapa mereka berhadapan. Mereka telah menambahkan banyak data dan analisa untuk menakar kekuatan orang-orang yang dengan gemilang telah menaklukkan mereka di kesempatan pertama. Inilah saatnya bagi mereka untuk konsolidasi, menyatukan barisan kekufuran, mendayagunakan setiap sumberdaya yang mereka punya untuk melantakkan da’wah di kesempatan berikutnya.

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para Muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Alloh itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 73)

Inilah Alloh memerintahkan kita waspada akan makar-makar mereka. Dan peringatan Alloh itu sungguh nyata. Jika kita tak mentaati Alloh, maka ketertataan yang telah mulai terbangun akan berantakan kembali, ummat akan kembali dizholimi, dan bumi dipenuhi kekacauan dan kerusakan yang besar.

B. Jalan Menuju Uhud

Surat Ali ‘Imron ayat ke-121-179, berbicara khusus mengenai perang Uhud. Ada beberapa taujih Robbani yang akan kita bicarakan di sini, masih seputar pasca-kemenangan sebagai persiapan untuk menghadapi pertempuran yang lebih besar. Bahwa, sekali lagi, dalam proses mensyukuri kemenangan itu, ada banyak hal yang harus kita lakukan sebagai tarbiyah, tadrib, dan i’dad.

1. Pembinaan Ruhiyah

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 133)

Pada waktu-waktu inilah, tadhhiyah tetap diasah dengan shodaqoh di waktu lapang dan sempit, juga pengendalian hawa nafsu dengan menahan marah dan memaafkan (Qs. Ali ‘Imron [3]: 134). Kepekaan untuk bertaubat, beristighfar, merasakan kehadiran dan pengawasan Alloh juga menjadi amalan yang harus senantiasa dihidupkan (Qs. Ali Imron [3]: 135).

2. Penyadaran Makna Kemenangan dan Kekalahan

“… Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Alloh membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Alloh tidak menyukai orang-orang yang zholim.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 140)

3. Kepemimpinan dan Kaderisasi

“ … Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rosul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rosul. Apakah jika dia mati atau terbunuh maka kalian akan berbalik ke belakang?” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 144)

Betapa ayat ini menegaskan jauhnya da’wah dari kultus individu. Da’wah tidak boleh terputus oleh hilangnya seorang pemimpin. Proses kaderisasi harus diperkuat. Elemen kaderisasi harus menjadi penopang da’wah yang akan melahirkan ksatria-ksatria yang segar darahnya, kuat tulangnya, kekar ototnya sekaligus tajam ruh dan fikrohnya untuk membawa bendera tauhid.

4. Penguatan ‘Amal Jama’i

“Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Alloh, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Alloh menyukai orang-orang yang sabar.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 146)

Setelah kemenangan itu, maka kerja-kerja da’wah menuntut ‘amal jama’i yang saling menguatkan. Tidak boleh ada kader yang merasa ‘sendiri’, sehingga melemah karena bala’, lesu, dan menyerah. Maka penguatan ‘amal jama’i menjadi keniscayaan, sharing-sharing harus dihidupkan, tsiqoh harus dikuatkan, dan ukhuwwah dikukuhkan simpul-simpulnya.

                                                                                       ***

Musuh-musuh da’wah kini mengetahui dengan siapa mereka berhadapan. Mereka berkonsolidasi. Musyrikin, munafiqin, kuffar, Yahudi Madinah, semuanya bersekutu dalam konspirasi keji. Mereka mengagendakan pembahasan khusus tentang jama’ah da’wah ini dalam Munas partainya, Rakornas organisasinya, dan Raker underbouw-nya. Mereka serius: jama’ah da’wah ini harus dilenyapkan!

Oleh alasan demikian, jalan menuju Uhud di masa Rosululloh yang hanya berselang satu tahun setelah Badr itu, begitu penuh dengan aktivitas persiapan yang diarahkan oleh taujih Robbani. Pada kesempatan yang lalu kita telah menyebutkan empat di antaranya. Kini kita simak lagi surat Ali ‘Imron yang akan mentaujih kita, apa yang harus kita lakukan untuk melumpuhkan makar musuh-musuh Alloh.

5. Berhati-hati terhadap Negosiator Kekufuran

Kekuatan dan kebersatuan jama’ah da’wah ini bertumpu pada ‘aqidah mereka yang suci, tauhid mereka yang murni, dan ketaatan mereka pada Alloh yang kukuh. Maka syaithon dan wali-walinya akan bekerja keras supaya simpul agung ini terlepas. Mereka akan datang. Mereka membawa tawaran-tawaran, rumusan-rumusan kerjasama. Pada lahirnya, kita melihat mutualisme. Tetapi kebeningan bashiroh akan mengenalinya sebagai penjerumusan jam’ah da’wah ini dan kader-kadernya pada maksiat, khianat, hasad, madhorot, dan mafsadat.

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 149)

Pada saat-saat inilah kader jama’ah da’wah harus terus menggali ilmu, menjaga manhaj Alloh dalam perbaikan masyarakat, dan menjaga kaidah-kaidah interaksi dengan orang kafir. Saat itulah, harus ada yang senantiasa menggaungkan pemahaman, menggemakan keyakinan, dan menggerakkan jiwanya. Salah satunya, pesan langit ini:

“Tetapi (ikutilah Alloh), Alloh-lah Pelindungmu, dan Dialah sebaik-baik Penolong.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 150)

6. Menguatkan Tsiqoh dan Tho’at pada Qiyadah

Setelah kemenangan kemarin, kita lihat dunia seolah meringkuk di bawah kaki kita. Maka jika kita tak menggunakannya untuk menguatkan da’wah, musuh-musuh da’wah akan menggunakannya untuk melemahkan barisan ini. Mereka akan menyebarkan fitnah tentang pemimpin da’wah berkait dengan dunia, mereka akan menggoda ‘pemanah-pemanah di atas bukit’ untuk turun gunung, meraup harta rampasan, jangan sampai tak kebagian.

“Dan sesungguhnya Alloh telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rosul) sesudah Alloh memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (Ali ‘Imron [3]: 152)

Maka, wahai pemanah di atas bukit, tetaplah kita pada tugas yang telah diamanahkan oleh da’wah pada kita. Meski engkau bukan anggota dewan, meski engkau bukan mereka yang di depan. Jama’ah da’wah ini adalah kebenaran yang menuntut ketertataan dalam naungan ridho Alloh. Maka ketika tsiqoh kita dan tho’at kira pada Qiyadah hilang, hancurlah barisan itu menunggu kekalahan yang pasti.

Ingatlah, sepahit apapun tho’at itu terasa, sesungguhnya apa yang ada di sisi Alloh jauh lebih baik.

Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Alloh atau meninggal, tentulah ampunan Alloh dan rohmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 157)

7. Bertaubatlah atas Dosa di Masa Lalu!

Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh syaithon, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Alloh telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 155)

Ayat ini mengatakan pada kita, bahwa dosa masa lalu telah mendekatkan frekuensi jiwa kita kepada godaan syaithon. Maka, inilah saatnya bertaubat. Inilah saatnya istighfar. Inilah saatnya muhasabah. Agar di saat genting, di saat kita berjuang antara hidup dan mati, di saat wangi surga di hadapan mata, kita tidak terbelokkan oleh jerumusan syaithon yang keji. Agar saat berbaris dalam jihad, kita tidak tiba-tiba lari berpaling. Alangkah ruginya! Na’udzu billahi min dzalik.

8. Pemeliharaan Amanah-amanah

Saat ini, ada banyak amanah ummat yang dibebankan pada sebagian kader jama’ah da’wah. Inilah ‘rampasan perang’ pertama kemarin itu. Maka inilah ujian yang sebenarnya. Adakah tarbiyah yang mereka timba selama ini menguatkan mereka untuk menunaikan aneka amanah itu. Dan tentu, adalah kewajiban bagi saudara-saudara yang tulus membersamainya, untuk senantiasa membantu dan menjaga keterlaksanaan amanah-amanah itu. Dengan menasehati, mengingatkan, memahamkan, menguatkan.

“… Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 161)

9. Ri’ayah Tarbawiyah

Ini waktunya mensyukuri tarbiyah. Ini waktunya memaknai kembali urgensi tarbiyah. Ini waktunya kembali menjadikannya juz’un asaasiyyun. Biarkan ia mengambil sebagian waktu kita. Biarkanlah ia mengambil sebagian jasad kita, tenaga, ruh, dan pikiran kita. Karena inilah saatnya menjaga apa yang selama ini telah menjaga kita. Ini saatnya merecovery tarbiyah kita. Kembalilah ke pelukan halaqoh.

Sungguh Alloh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Alloh mengutus di antara mereka seorang Rosul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Alloh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 164)

10. Ini adalah Jama’ah Manusia

Ada kesalahan-kesalahan. Ada khilaf-khilaf. Ada silap. Itulah dinamika jama’ah da’wah. Maka itulah dinamika jama’ah manusia. Ada sahabat Rosululloh yang berzina. Tetapi mereka bertaubat, dan taubatnya mencukupi 70 penduduk Madinah. Bukan pembenaran, bukan justifikasi. Hanya agar yang sadar memiliki lapang dada pada saudaranya, mengambil pelajaran, dan terus untuk menjaga dirinya agar tak terjerumus ke lubang yang sama.

Karena bagaimanapun, maksiat itu akan menjadi sumber kekalahan jama’ah.

Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badr) kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 165)

Astaghfirulloohal ‘Adhim. []


Sumber: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar