Kenabian itu
‘mempersiapkan’ Khilafah selama 22 tahun.
Maka, tanpa
kenabian, berapa lama waktu yang kita perlukan untuk mempersiapkan Khilafah
yang semisalnya?
Novel
Leon l’ Africain karya Amin Maalouf,
bagi saya adalah novel yang cerdas memilih setting politik. Sangat eksotis!
Bayangkan
bahwa kisah dimulai dengan periode reconquesta,
bersatunya Ferdinand of Arragon dan Isabella of Castillia membentuk Spanyol dan
implikasinya yang mengerikan bagi seluruh Muslim dan Yahudi di seluruh daratan
Andalus. Kisah dilanjutkan dengan pelarian mereka di Afrika Utara. Mesir saat
itu berada di bawah kekuasaan Sultan-sultan Mamalik yang memerintah atas nama
kholifah boneka, sisa keturunan terakhir ‘Abbasiyah. Ketika Sultan Salim I
menaklukkannya, gelar kholifah dipersatukannya kembali atas nama wangsa
‘Utsmaniyah, untuk dirinya. Kisah berlanjut hingga masa kekuasaan Sulaiman I
al-Qonuni yang berbarengan dengan ekspansi besar-besaran Charles V dari Holy
Roman Empire. Di dalamnya terselip intrik-intrik besar di Vatikan, ketika Paus
Leo X (1513-1521) dengan semangat glamornya membangun Basilica St. Peter hingga
Martin Luther mengobarkan reformasi gereja dan pasukan petaninya berhasil
merangsek ke kediaman Paus Clementius VII (1523-1534), kastil San Angelo.
Eksotis sekali!
Di
novel ini, terkisah Hasan ibn Muhammad al-Wazzan, sang tokoh utama, dihadapkan
pada Paus Leo X setelah dijual sebagai budak oleh bajak laut religius –mungkin
mereka generasi awal Mafioso ala The
Godfathernya Mario Puzo-. Jawabannya sangat menarik ketika ditanya tentang
sistem kekuasaan Islam. “Tanah air kami adalah peradaban tak tertandingi dengan
kemakmuran dan keadilan yang tergelar, ketika kekuasaan ada di tangan para
Kholifah. Begitu para Sultan mengambil alihnya, dua hal itu adalah kenangan dan
impian.” Meski sempat dibaptis sebagai Johannes Leo de Medici, Hasan tak
kehilangan kerinduan pada sebuah kehidupan di bawah naungan khilafah. Menarik
sekali.
Baik.
Mari kita bicara tentang kekholifahan dari sumber yang tak tercela dan dari
lisan yang tak berdusta. Dia, Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda,
“Akan berlangsung
masa nubuwwah pada kalian menurut apa yang dikehendaki Alloh, lalu Alloh
mengangkatnya ketika Ia menghendaki mengangkatnya. Kemudian akan berlangsung
khilafah di atas minhaj nubuwwah menurut kelangsungan yang dikehendaki Alloh,
lalu Alloh mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan
berlangsung kerajaan yang menggigit menurut kelangsungan yang dikehendaki
Alloh. Lalu Alloh akan mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya.
Kemudian akan berlangsung kerajaan sewenang-wenang menurut kelangsungan yang
dikehendaki Alloh. Lalu Alloh mengangkatnya ketika Ia menghendaki. Kemudian
akan berlangsung khilafah di atas minhaj nubuwwah. Lalu beliau diam.” (HR. Ahmad)
Nubuwwah
berlangsung selama 22 tahun lebih. Lalu tentang khilafah, diriwayatkan bahwa
Ummu Aiman rodhiyallohu ‘anha, wanita
yang mengasuh Rosululloh dan ibu dari pahlawan belia Usamah ibn Zaid itu,
berkisah bahwa dia telah mendengar Rosululloh bersabda bahwa Khilafah
berlangsung selama tigapuluh tahun. “Semula kukira hanya sampai masa ‘Umar,”
demikian Ummu Aiman suatu hari berkata, “Ternyata kuhitung lagi dan dia sampai
pada akhir hayat ‘Ali.”
Nah,
itulah mengapa ‘ulama Ahlus Sunnah lalu sepakat, khilafah rosyidah ada pada empat shohabat utama tersebut. Lalu
Mu’awiyah adalah sebaik-baik raja, yang memerintah dengan menggigit sunnah
sekuat-kuatnya. Dan seterusnya.
Nubuwwah
Nabi tentang kembalinya khilafah setelah fase-fase berat yang dilalui ummat, adalah
bara yang terus menyala di dada para pejuang Islam dan kader da’wah. Harapan
besar itu seperti yang saya pelajari di matakuliah Komputasi Dasar dan Komputasi
Numeris; y=f(x). Kita tahu x, kita tahu inputnya, kita tahu kondisi
awalnya. Kita tahu y, kita tahu
outputnya, kita tahu hasil akhirnya. Yang kita cari dan coba temukan adalah f-nya, fungsi yang mengantarkan x pada y. Mungkin dengan trial dan error. Tapi dalam kasus khilafah, kita
punya model yang mungkin lebih sederhana namun tetap relevan: Siroh Nabawiyah.
Secara
nakal, saya akan menyebut bahwa pada masa Rosululloh, inputnya tentu kondisi
masyarakat di masa jahiliyah. Jika kita pandang wafatnya Rosululloh, alias
sempurnanya turun wahyu, dan dengan kata lain dimulainya khilafah Abu Bakr
sebagai output, maka kita tahu apa fungsi yang mengantarkannya; kenabian. Kini
pun sama. Inputnya ya kondisi kita sekarang, outputnya juga khilafah lagi.
Prosesnya? Tentu bukan kenabian. Tetapi alurnya harus mirip; da’wah yang sesuai
sunnah dalam panduan Siroh Nabawiyah. Apa itu? Dengan sangat menyederhanakan,
saya ambil rosam ustadz Mohammad
Fauzil ‘Adhim tentang kepemimpinan Rosululloh sebagai ringkasan fungsi besar
itu:
1. Makkah Awal:
Motivasi
Ayat-ayat
yang turun pada fase ini adalah motivasi amal yang luar biasa. Gambaran surga
dan neraka ditampakkan dengan abstraksi yang sangat rendah dan mudah ditangkap
akal. Maka pada tahap ini semua shohabat beramal dan bekerja. Dan uniknya,
kerja-kerja itu kebanyakan kerja sosial yang bahkan disebut eksplisit dalam
wahyu: menyantuni fakir, memelihara yatim, membebaskan budak, menyambung
kerabat, dan lainnya. Pembangunan kredibilitas sistem dan personal telah
dimulai.
2. Makkah Akhir:
Edukasi
Pada
fase inilah, tarbiyah diintensifkan. Halaqoh
di rumah al-Arqom dibawa keluar untuk bertemu dengan realita. Kader-kader
da’wah terdidik bukan hanya dengan pembacaan wahyu, tapi juga dengan tazkiyah,
dan pengajaran berbagai hikmah yang mereka dapati dari pertentangan antara al-Haq dan al-Bathil.
3. Hijroh: Instruksi
Ada
ketaatan yang diuji, ada kedisiplinan dan keteraturan shoff yang bisa
dievaluasi. Hijroh adalah pengujian untuk soliditas barisan. Dan mulai saat
ini, institusi komando mulai ditegakkan sebagai pilar awal daulah yang
sebenarnya.
4. Madinah Awal:
Diskusi
Di
sini dimulai babak baru. Da’wah tanpa kuasa tak kenal kompromi. Tapi pada satu
titik memulai penegakan institusi, kekokohan internal difokuskan dan ancaman
eksternal sementara direduksi dengan diskusi. Maka lahirlah Piagam Madinah,
traktat perjanjian damai, bahkan syuro
untuk menggelar perang yang menghadirkan tokoh besar munafiq.
5. Madinah Akhir:
Inspirasi
Pada
titik inilah Rosululloh dan para shohabat adalah inspirasi. Mungkin ada
orang-orang berkompeten di luar sana yang lalu menerima hidayah karena objektif
menilai perjuangan beliau. Maka Makkah pun menyerahkan jantung hatinya; Kholid,
panglima terhebat, ‘Amr ibn al-‘Ash diplomat terlihai, dan ‘Utsman ibn Tholhah,
tokoh strategis pemegang kunci Ka’bah. Bersiaplah untuk itu, wahai kader
da’wah.
Nah,
bisakah dikatakan bahwa kerja menuju khilafah hanyalah kerja politik? Saya
kira, lebih tepat disebut kerja da’wah. Maka, terperangah saya ketika membaca
satu bagian artikel di situs www.hayatulislam.net
di bawah judul Apakah Khilafah Itu?
Ada tertulis, “Jadi, mendirikan khilafah paling tepat dilakukan oleh sebuah
kelompok politik. Tidak tepat bila mendirikan khilafah ditempuh melalui jalur
selain politik, misalnya jalur yang dilakukan kelompok yang mengadakan kegiatan
sosial kemasyarakatan –seperti membangun sekolah dan rumah sakit; membantu
fakir miskin, anak-anak yatim atau orang-orang jompo dan sebagainya, atau
kelompok yang bergerak dalam peribadatan dan amalan-amalan sunnah, atau
kelompok yang menerbitkan buku-buku keislaman, mentakhrij hadits-hadits Nabi,
dan sebagainya. Memang, semua itu adalah amal sholih, bukan amal salah. Namun
tidak tepat kalau itu dimaksudkan sebagai langkah atau jalur menuju berdirinya
khilafah.”
Sebenarnya,
saya salut bahwa kini dalam tataran amal mulai ada kerja-kerja sosial, sudah
ada Tabbani Masholih. Tapi jika
secara konseptual begitu, yang kita tawarkan terlalu simplitis dan mengejek
pada ummat yang akan memberikan kepercayaan pada sebuah Daulah Khilafah. “Kalau Anda tak berlatih dan tak terlatih mengurus
hal-hal publik untuk kami, kelak dalam kekuasaan Anda, siapa yang akan
mengurusnya? Apa kita akan mengulang kesalahan sejarah dengan menyerahkannya
pada orang-orang Majusi seperti beberapa masa khilafah ‘Abbasiyah dan
orang-orang Yahudi pada masa khilafah ‘Umayyah di Andalusia? Tidak. Itu terlalu
mengerikan!”
Berdebat
tanpa amal sungguh saya benci. Tetapi saya berharap slogan itu diganti. “Khilafah is the Only Solution”,
tidaklah menggambarkan cita perjuangan peradaban Islam. Itu hanya teriakan “y!”. Padahal sekali lagi, yang kita
perlukan adalah “f”. Bagi ummat ini,
khilafah adalah sistem terbaik, cara –bukan solusi, apalagi tujuan- untuk
merumuskan dan menjalankan solusi-solusi besar bagi permasalahan ummat, bahkan
dunia. Maka khilafah bukanlah sesuatu yang instan menyelesaikan persoalan. Tak
ada serta-merta di sini. Kerja-kerja itu harus dimulai sejak sekarang. Tak
hanya menyiapkan perangkat sistem, tapi juga sumberdaya pengelolanya. Seorang
Muslim yang mu’min lagi muttaqin.
Seorang profesional yang muhsin,
seorang sholih yang mushlih.
Nah,
jika saya ringkas, agaknya sikap kita terhadap khilafah ada dalam empat poin
berikut ini.
1.
Khilafah itu adalah satu keniscayaan nubuwwat,
realistis, dan bukan utopia.
2.
Khilafah itu memerlukan sebab. Maka kewajiban kita adalah berpartisipasi dalam
mengikhtiyarkan sebabnya. Bukan menunggu berpangku tangan.
3.
Khilafah itu bukan ‘solusi jadi’ atas permasalahan ummat. Tetapi alat yang
dipakai untuk merumuskan dan menjalankan solusi. Maka dia membutuhkan banyak
sekali perangkat.
4.
Sumberdaya yang akan mengelola perangkat-perangkat dalam khilafah haruslah:
a.
Kapabel dan kredibel. Maka dibutuhkan tarbiyah
yang membuat mereka tumbuh, berkembang, berdaya, terjaga, dan tertokohkan.
b.
Kompeten. Maka dibutuhkan banyak kader da’wah yang terdidik ahli, spesialis
berwawasan luas untuk mengisi kualifikasi di berbagai bidang pelayanan ummat.
c.
Profesional dan Well-trained. Maka
dibutuhkan banyak eksperimen, latihan, dan pembelajaran yang diperoleh melalui
pengelolaan publik dalam organisasi da’wah, lembaga pelayanan, dan terlebih
lagi institusi pemerintahan daerah maupun pusat.
d.
Terorganisir. Maka dibutuhkan satu ‘amal
jama’i yang menopang segala aktivitas persiapan menuju khilafah.
Begitulah.
Hingga nantinya, kata Hasan al-Banna, kita menyelesaikan tahap tugas Ustadziyatul ‘Alam. Khilafah itu bukan
berdiri angkuh dan berteriak nyaring di atas tahta dan mahkota, tetapi bekerja
keras dan tersenyum ramah menjadi teladan semesta. Hingga nantinya, kata Anis
Matta, ada satu titik di mana manusia tak bisa lagi membedakan pesona kebenaran
Islam dengan pesona keagungan seorang Muslim. Itulah kemenangan, dan Alloh
tempat memohon pertolongan.
Dinukil
dari buku Saksikan bahwa Aku Seorang
Muslim karya Salim A. Fillah terbitan Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar