JIKA perang Badr
merupakan peneguhan eksistensi da’wah generasi pertama umat ini, setidaknya
kita bisa berkaca untuk memaknai Pemilu 2004 sebagai salah satu peneguhan
eksistensi da’wah kita. Pada perang Badr, kaum muslimin telah membuat terkejut
musuh-musuhnya -kafirin, musyrikin, dan munafiqin- bahwa kekuatan kecil yang
seyogianya bisa dilumat sekali terjang itu mendapatkan pertolongan Alloh berupa
kemenangan atas musuh yang jauh lebih kuat. Tetapi tentu saja, jihad -apalagi
jihad siyasi- tidak berhenti sampai di situ. Tarbiyah qur’aniyah yang
mendidik para sahabat, ridhwaanulloohi
‘alaihim jamii’a, menjadi pelajaran berharga. Bahwa setelah Badr, ada Uhud.
Setelah syukur, ada pembaruan niat. Setelah berita gembira, ada pelurusan shaf.
Setelah takbir, ada istighfar. Dan setelah kemenangan, ada kewaspadaan.
Mudah-mudahan Alloh
karuniakan pemahaman pada kita, sebagaimana mereka -para sahabat- telah
memahaminya dengan pemahaman yang jernih. Agar jalan da’wah yang kita tempuh,
menggaris di atas tapak yang telah mereka ukirkan. Agar jihad dan da’wah ini, berada
di atas manhaj yarq barokah. Pada bahasan kita ini, ada dua hal yang menjadi
fokus perhatian kita: fenomena setelah kemenangan, dan jalan menuju Uhud.
A. Fenomena Setelah Kemenangan
Surat al-Anfaal turun sepanjang perang Badr,
memberikan taujih kepada para mujahidin, meluruskan shof mereka, dan menjaga kedekatan mereka dengan Alloh. Maka akhir
surat ini adalah juga gambaran agung tentang akhir dari peperangan di hari furqon itu. Inilah yang digambarkan surat
al-Anfaal, tentang kondisi
manusia-manusia terbaik itu setelah mereka menang. Tentunya, kondisi kita jauh
lebih parah, ya?
1. Turunnya Semangat
Jika pertempuran
kemarin, sedikit banyak, menjadi orientasi –di samping orientasi akhirat- bagi
para jundi, maka setelah kemenangan, disorientasi sulit dihindari. Apa yang
menjadi tujuan jihad, perlahan mengabur. Lha
wong, sudah menang, terus mau ngapain? Di saat inilah, qiyadah diperintahkan Alloh untuk terus memotivasi dengan akhirat, mengobarkan
semangat mereka, dan menghidupkan tantangan. tantangan da’wah. Agar apa? Agar
ruh jihad para jundi tetap hidup.
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para Mukmin itu untuk
berperang.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 65)
Ayat ini turun dalam
perjalanan pulang dari perang. Unik bukan? Lha
wong pulang perang kok
semangatnya dikobarkan. Tetapi demikianlah. Karena perang antara haq dan bathil
tidak berhenti sebatas kemenangan yang kita tinggalkan, tetapi masih banyak
lagi perang yang akan kita hadapi. Allohu Akbar!
2. Kelemahan dan Pengurangan Beban dari Alloh
Sebelum kemenangan,
pembebanan dari Alloh terhadap orang beriman adalah 1 lawan 10 (Qs. Al-Anfaal [8]: 65). Tetapi ketika
jumlah 20 telah menjadi 100, dan 100 telah menjadi 1000, maka pembebanan dari
Alloh dikurangi hingga menjadi 1 lawan 2 (Qs.
Al-Anfaal [8]: 66). Ini adalah konsekuensi kemenangan: pertambahan kader,
pengayaan amanah, dan sedikit melemahnva ikatan.
“Sekarang Alloh telah meringankan kepadamu dan Dia telah
mengetahui bahwa padamu ada kelemahan.” (Qs.
Al-Anfaal [8]: 66)
Pasca kemenangan,
pembebanan yang melampaui kemampuan pada sebagian, dan kelonggaran amanah pada
sebagian yang lain akan melipatgandakan kerapuhan. Maka distribusi amanah yang
adil, akan meringankan dan menyamankan hati untuk teguh berkomitmen pada jama’ah.
Subhanalloh.
3. Munculnya Syahwat-syahwat
“… Kalian menghendaki harta benda duniawi sedangkan Alloh
menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian). Dan Alloh Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 67)
Selama intikhoob, aneka interaksi para kader
dengan ‘dunia’; harta, wanita, dan kedudukan, sedikit banyak akan membangkitkan
gelombang-gelombang syahwati yang selama ini tersembunyi di balik ghiroh jihad menyala. Sejak kemenangan
itu, kita menyaksikan, alangkah nikmatnya jadi orang berkuasa, dan alangkah
nyamannya punya banyak harta. Sejak kemenangan itu, kita lebih leluasa menatap
wajah tampan berjenggot tipis atau wajah ayu yang sering menunduk semu. Astaghfirulloh.
Saatnya kita
introspeksi, saatnya kita evaluasi, ya akhii, ya ukhti. Adakah teguran Alloh
yang begitu penuh kasih ini mengena pada kita: Kalian menghendaki harta benda duniawi sedangkan Alloh menghendaki (pahala)
akhirat (untuk kalian). Jika ya, sepertinya kita harus banyak berdoa sebagaimana
‘Isa ‘Alaihis Salaam: “Jadilah kehendak-Mu, bukan kehendakku.”
4. Konsolidasi Musuh-musuh Da'wah
Setelah kemenangan
itu, musuh-musuh da’wah telah melihat jelas dengan siapa mereka berhadapan.
Mereka telah menambahkan banyak data dan analisa untuk menakar kekuatan
orang-orang yang dengan gemilang telah menaklukkan mereka di kesempatan pertama.
Inilah saatnya bagi mereka untuk konsolidasi, menyatukan barisan kekufuran, mendayagunakan
setiap sumberdaya yang mereka punya untuk melantakkan da’wah di kesempatan
berikutnya.
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi
pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para Muslimin) tidak
melaksanakan apa yang telah diperintahkan Alloh itu, niscaya akan terjadi
kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Qs. Al-Anfaal [8]: 73)
Inilah Alloh memerintahkan
kita waspada akan makar-makar mereka. Dan peringatan Alloh itu sungguh nyata.
Jika kita tak mentaati Alloh, maka ketertataan yang telah mulai terbangun akan
berantakan kembali, ummat akan kembali dizholimi, dan bumi dipenuhi kekacauan dan
kerusakan yang besar.
B. Jalan Menuju Uhud
Surat Ali ‘Imron
ayat ke-121-179, berbicara khusus mengenai perang Uhud. Ada beberapa taujih Robbani
yang akan kita bicarakan di sini, masih seputar pasca-kemenangan sebagai
persiapan untuk menghadapi pertempuran yang lebih besar. Bahwa, sekali lagi,
dalam proses mensyukuri kemenangan itu, ada banyak hal yang harus kita lakukan
sebagai tarbiyah, tadrib, dan i’dad.
1. Pembinaan Ruhiyah
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan
kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 133)
Pada waktu-waktu
inilah, tadhhiyah tetap diasah dengan
shodaqoh di waktu lapang dan sempit, juga pengendalian hawa nafsu dengan
menahan marah dan memaafkan (Qs. Ali ‘Imron [3]: 134). Kepekaan untuk bertaubat,
beristighfar, merasakan kehadiran dan pengawasan Alloh juga menjadi amalan yang
harus senantiasa dihidupkan (Qs. Ali Imron [3]: 135).
2. Penyadaran Makna Kemenangan dan Kekalahan
“… Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami
pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Alloh
membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian
kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Alloh tidak menyukai
orang-orang yang zholim.” (Qs. Ali ‘Imron
[3]: 140)
3. Kepemimpinan dan Kaderisasi
“ … Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rosul, sungguh
telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rosul. Apakah jika dia mati atau
terbunuh maka kalian akan berbalik ke belakang?” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 144)
Betapa ayat ini
menegaskan jauhnya da’wah dari kultus individu. Da’wah tidak boleh terputus
oleh hilangnya seorang pemimpin. Proses kaderisasi harus diperkuat. Elemen
kaderisasi harus menjadi penopang da’wah yang akan melahirkan ksatria-ksatria
yang segar darahnya, kuat tulangnya, kekar ototnya sekaligus tajam ruh dan fikrohnya
untuk membawa bendera tauhid.
4. Penguatan ‘Amal Jama’i
“Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka
sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena
bencana yang menimpa mereka di jalan Alloh, dan tidak lesu dan tidak (pula)
menyerah (kepada musuh). Alloh menyukai orang-orang yang sabar.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 146)
Setelah kemenangan
itu, maka kerja-kerja da’wah menuntut ‘amal jama’i yang saling menguatkan.
Tidak boleh ada kader yang merasa ‘sendiri’, sehingga melemah karena bala’,
lesu, dan menyerah. Maka penguatan ‘amal jama’i menjadi keniscayaan, sharing-sharing harus dihidupkan, tsiqoh
harus dikuatkan, dan ukhuwwah dikukuhkan simpul-simpulnya.
***
Musuh-musuh da’wah
kini mengetahui dengan siapa mereka berhadapan. Mereka berkonsolidasi.
Musyrikin, munafiqin, kuffar, Yahudi Madinah, semuanya bersekutu dalam konspirasi
keji. Mereka mengagendakan pembahasan khusus tentang jama’ah da’wah ini dalam Munas
partainya, Rakornas organisasinya, dan Raker underbouw-nya. Mereka serius: jama’ah da’wah ini harus dilenyapkan!
Oleh alasan
demikian, jalan menuju Uhud di masa Rosululloh yang hanya berselang satu tahun
setelah Badr itu, begitu penuh dengan aktivitas persiapan yang diarahkan oleh
taujih Robbani. Pada kesempatan yang lalu kita telah menyebutkan empat di
antaranya. Kini kita simak lagi surat Ali ‘Imron yang akan mentaujih kita, apa
yang harus kita lakukan untuk melumpuhkan makar musuh-musuh Alloh.
5. Berhati-hati terhadap Negosiator Kekufuran
Kekuatan dan
kebersatuan jama’ah da’wah ini bertumpu pada ‘aqidah mereka yang suci, tauhid
mereka yang murni, dan ketaatan mereka pada Alloh yang kukuh. Maka syaithon dan
wali-walinya akan bekerja keras supaya simpul agung ini terlepas. Mereka akan
datang. Mereka membawa tawaran-tawaran, rumusan-rumusan kerjasama. Pada lahirnya,
kita melihat mutualisme. Tetapi kebeningan bashiroh
akan mengenalinya sebagai penjerumusan jam’ah da’wah ini dan kader-kadernya pada
maksiat, khianat, hasad, madhorot, dan mafsadat.
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati
orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada
kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 149)
Pada saat-saat
inilah kader jama’ah da’wah harus terus menggali ilmu, menjaga manhaj Alloh
dalam perbaikan masyarakat, dan menjaga kaidah-kaidah interaksi dengan orang
kafir. Saat itulah, harus ada yang senantiasa menggaungkan pemahaman,
menggemakan keyakinan, dan menggerakkan jiwanya. Salah satunya, pesan langit
ini:
“Tetapi (ikutilah Alloh), Alloh-lah Pelindungmu, dan Dialah
sebaik-baik Penolong.” (Qs. Ali ‘Imron
[3]: 150)
6. Menguatkan Tsiqoh
dan Tho’at pada Qiyadah
Setelah kemenangan
kemarin, kita lihat dunia seolah meringkuk di bawah kaki kita. Maka jika kita
tak menggunakannya untuk menguatkan da’wah, musuh-musuh da’wah akan
menggunakannya untuk melemahkan barisan ini. Mereka akan menyebarkan fitnah
tentang pemimpin da’wah berkait dengan dunia, mereka akan menggoda ‘pemanah-pemanah
di atas bukit’ untuk turun gunung, meraup harta rampasan, jangan sampai tak
kebagian.
“Dan sesungguhnya Alloh telah memenuhi janji-Nya kepada
kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan
berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rosul) sesudah Alloh
memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang
menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (Ali ‘Imron [3]: 152)
Maka, wahai pemanah
di atas bukit, tetaplah kita pada tugas yang telah diamanahkan oleh da’wah pada
kita. Meski engkau bukan anggota dewan, meski engkau bukan mereka yang di
depan. Jama’ah da’wah ini adalah kebenaran yang menuntut ketertataan dalam
naungan ridho Alloh. Maka ketika tsiqoh
kita dan tho’at kira pada Qiyadah
hilang, hancurlah barisan itu menunggu kekalahan yang pasti.
Ingatlah, sepahit
apapun tho’at itu terasa, sesungguhnya
apa yang ada di sisi Alloh jauh lebih baik.
Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Alloh atau
meninggal, tentulah ampunan Alloh dan rohmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta
rampasan yang mereka kumpulkan. (Qs. Ali
‘Imron [3]: 157)
7. Bertaubatlah atas Dosa di Masa Lalu!
Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada
hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh syaithon,
disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya
Alloh telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 155)
Ayat ini mengatakan
pada kita, bahwa dosa masa lalu telah mendekatkan frekuensi jiwa kita kepada
godaan syaithon. Maka, inilah saatnya bertaubat. Inilah saatnya istighfar.
Inilah saatnya muhasabah. Agar di saat genting, di saat kita berjuang antara
hidup dan mati, di saat wangi surga di hadapan mata, kita tidak terbelokkan
oleh jerumusan syaithon yang keji. Agar saat berbaris dalam jihad, kita tidak
tiba-tiba lari berpaling. Alangkah ruginya! Na’udzu
billahi min dzalik.
8. Pemeliharaan Amanah-amanah
Saat ini, ada banyak
amanah ummat yang dibebankan pada sebagian kader jama’ah da’wah. Inilah ‘rampasan
perang’ pertama kemarin itu. Maka inilah ujian yang sebenarnya. Adakah tarbiyah
yang mereka timba selama ini menguatkan mereka untuk menunaikan aneka amanah
itu. Dan tentu, adalah kewajiban bagi saudara-saudara yang tulus membersamainya,
untuk senantiasa membantu dan menjaga keterlaksanaan amanah-amanah itu. Dengan
menasehati, mengingatkan, memahamkan, menguatkan.
“… Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan
perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya
itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan
dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (Qs. Ali ‘Imron [3]: 161)
9. Ri’ayah Tarbawiyah
Ini waktunya
mensyukuri tarbiyah. Ini waktunya memaknai kembali urgensi tarbiyah. Ini
waktunya kembali menjadikannya juz’un asaasiyyun.
Biarkan ia mengambil sebagian waktu kita. Biarkanlah ia mengambil sebagian
jasad kita, tenaga, ruh, dan pikiran kita. Karena inilah saatnya menjaga apa
yang selama ini telah menjaga kita. Ini saatnya merecovery tarbiyah kita.
Kembalilah ke pelukan halaqoh.
Sungguh Alloh telah memberi karunia kepada orang-orang
yang beriman ketika Alloh mengutus di antara mereka seorang Rosul dari golongan
mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Alloh, membersihkan
(jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan
sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam
kesesatan yang nyata. (Qs. Ali ‘Imron
[3]: 164)
10. Ini adalah Jama’ah Manusia
Ada
kesalahan-kesalahan. Ada khilaf-khilaf. Ada silap. Itulah dinamika jama’ah da’wah.
Maka itulah dinamika jama’ah manusia. Ada sahabat Rosululloh yang berzina.
Tetapi mereka bertaubat, dan taubatnya mencukupi 70 penduduk Madinah. Bukan
pembenaran, bukan justifikasi. Hanya agar yang sadar memiliki lapang dada pada
saudaranya, mengambil pelajaran, dan terus untuk menjaga dirinya agar tak terjerumus
ke lubang yang sama.
Karena bagaimanapun,
maksiat itu akan menjadi sumber kekalahan jama’ah.
Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan
Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada
musuh-musuhmu (pada peperangan Badr) kamu berkata: “Dari mana datangnya
(kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”.
Sesungguhnya Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Qs. Ali ‘Imron [3]: 165)
Astaghfirulloohal
‘Adhim.
[]
Sumber: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar