Ada
satu kaidah yang senantiasa ditekankan ‘Umar ibn al-Khoththob bagi
kemashlahatan sebuah ummat; kekuatan yang terpadu dengan kesholihan dan
kelemahan yang menjadi ciri kebathilan. Begitulah seharusnya, karena syari’at
ini tidak utopis untuk kemudian mencitakan ‘Negara Malaikat’. Sampai kapan
juga, dalam tiap manusia dan masyarakat, potensi negatif akan tetap ada. Yang
ditugaskan ‘Umar adalah konsep realistisnya; potensi kesholihan itu menjadi kinesi
besar kemajuan dengan percepatan tertentu, sedangkan sang kebathilan dimasukkan
ke zona lembam dalam diam.
Da’wah
kini ditantang untuk membuktikan ideologi dan metodologinya dalam amal nyata
pengelolaan hajat hidup masyarakat. Dulu, kita boleh mencukupkan diri dengan
tertanamnya keyakinan Islam sebagai solusi dan tersebarnya fikroh kesholihan.
Kini, masyarakat bertanya, “Di manakah bukti keunggulan sistem Islam dalam
mengatur urusan kami?”
Lalu
apakah kita bisa membuktikannya jika tak memasuki inner circle pengelolaan publik itu? Oh, bahkan Yusuf pun takkan
bisa membuktikan bahwa dia yang seorang Muslim itu amanah dan kompeten jika tak
memegang kuasa perbendaharaan negara. Dalam konteks wilayah pengelolaan publik
seperti sebuah kota, maka sebuah jama’ah da’wah memerlukan diri untuk tak hanya
memperjuangkan Furqon, tapi juga
mengelola Sulthon. Itulah energi
pembangkit untuk menjamakkan kesholihan dan membekuk kebathilan sebagaimana
dimaksud ‘Umar; kekuasaan. Maka benarlah ‘Utsman ibn ‘Affan sang penulis wahyu,
“Dengan kekuasaan lah, Alloh menegakkan apa-apa yang tak bisa ditegakkan hanya
dengan al-Qur’an.”
Bagaimana
kesholihan bisa menyatu dengan kekuasaan? Idealnya, tentu mutlak. Kekuasaan adalah
milik da’wah, oleh da’wah, dan untuk da’wah. Tetapi Rosululloh mencontohkan
pada kita bahwa berserikat adalah jalan yang setapak demi setapak kita
upayakan, hingga da’wah itu men-shibghoh
perserikatan, dan perserikatan itu men-shibghoh
alam semesta dengan nilai kesholihan. Dari Siroh Nabawi, kita berkaca tentang
prinsip-prinsipnya.
1. Da’wah adalah Da’wah
Ada
satu pesan yang menjadi manifesto paling sederhana da’wah kita, “Perbaiki
dirimu, dan ajak yang selainmu!” Dalam terjemah yang lebih luas di ranah
pengelolaan publik, kalimat “Ashlih
nafsaka wad’u ghoiroka!” itu tentu bermakna melibatkan semua pihak yang
peduli pada perbaikan kondisi. Pun ketika untuk menuju kekuasaan, sebuah da’wah
harus bekerjasama dengan pihak lain, itupun dalam konteks da’wah. Minimal dalam
dua sisi. Pertama, menda’wahi pihak
yang diajak bekerjasama hingga mereka ter-shibghoh
dengan nilai-nilai Ilahiyah. Dan kedua,
bersama dengan rekan seperjuangan yang terda’wahi itu memperbesar peluang
menangnya kesholihan di panggung kuasa pengelolaan publik.
Terra Incognita, ke sanalah da’wah
menuju. Ke tempat di mana selama ini bicara kesholihan adalah tabu. Adalah
Shofwan ibn ‘Umayyah yang musyrik, mulanya meminjamkan ratusan baju besi kepada
Nabi dengan sistem sewa. Pasca-perang, ketika dilihatnya akhlaq sang Nabi dalam
memenuhi perjanjian, ia menyatakan keislamannya, tentu disertai ketulusan untuk
menjihadkan semua hartanya dalam da’wah. Dan kini, tanpa sewa.
2. Mendahulukan
Tercegahnya Kerusakan
Dar’ul mafasid
muqoddamun ‘alaa jalbil mashoolih. Ini kaidah yang indah dalam menentukan
suatu keputusan. “Menolak kerusakan itu, didahulukan daripada teraihnya
kebaikan-kebaikan.” Kaidah ini sesungguhnya tercermin dari keseluruhan teks
piagam Madinah yang kita kutip sebagian kecilnya berikut ini:
“…
Sesungguhnya orang Yahudi wajib mengeluarkan dana bersama kaum Muslimin selama
mereka diperangi oleh musuh. Orang Yahudi Bani Auf merupakan satu bangsa
bersama kaum Muslimin. Bagi Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama
mereka. Budak-budak dan jiwa mereka terlindungi, kecuali bagi orang yang
berbuat dan melakukan tindak kejahatan…”
Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
memasuki Madinah sebagai seorang pendatang, tetapi telah memiliki pengikut yang
banyak. Nilai tawar itulah yang kemudian beliau pakai untuk menyusun pakta
kerjasama yang kuat antara beliau dengan semua kelompok berpengaruh di Madinah.
Mereka terikat olek kepentingan yang sama untuk menjadikan Madinah sebagai
tempat tinggal bersama, yang tetap kondusif dan aman dari gangguan musuh.
Substansi ini lebih bersifat mencegah kerusakan.
Sebenarnya,
selain dalam “What” dan “How”, kaidah ini dipakai oleh jama’ah da’wah untuk
merumuskan kerjasama mereka dengan siapapun. “Who”-nya juga. Sesungguhnya dalam
konteks Islam dan da’wah, mencegah kemunkaran dan kerusakan itu didahulukan
daripada meraih kebaikan-kebaikan. Seperti apa pemimpin yang akan dipilih? Jika
ada dua pilihan, di mana yang satu berkompeten dalam menebar kebaikan namun tak
mampu bersikap terhadap kemunkaran, sementara satu pihak lagi adalah orang yang
mampu mencegah kerusakan meski kemampuannya menebar kebakan belum teruji, mana
yang dipilih? Jawabannya sama, “Dar’ul
mafasid muqoddamun ‘alaa jalbil mashoolih.”
Pilihlah
pencegah kemunkaran! Karena sesungguhnya, kemashlahatan sejati di sisi Alloh
hanya dapat diraih dalam kondisi kemunkaran dan kerusakan minimal. Di situlah barokah
Alloh dikaruniakan, bukan pada orang yang menebar pembangunan dan
kebaikan-kebaikan namun tak mempedulikan kemunkaran. Barokah Alloh turun, pada
ketaqwaan: takut yang sangat pada Alloh untuk mendurhakai-Nya.
“Jika sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat
Kami itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. al-A’roof: 96)
3. Ikatan Kontrak
yang Kuat
Sulitnya
sebuah jama’ah da’wah bekerjasama dengan selain mereka, kadang berlatar asumsi
bahwa tidak ada kata ‘pengkhianatan’ dalam kamus pihak-pihak itu. Akan jadi
lucu, jika kemudian pengkhianatan terjadi, hanya kita yang bisa berteriak,
“Kami dikhianati!” Lalu mereka bertanya, “Apanya? Ini tidak diatur dalam
butir-butir kontrak meski kemudian menguntungkan kami dan merugikan kalian?”
Nah,
Rosululloh memberikan teladan bahwa sebuah kontrak tak boleh memberi celah bagi
pihak yang diajak bekerjasama untuk menelikung. Tugas kita, menutup semua celah
itu, bukan dengan sekedar percaya pada komitmen awal. Bahkan kalau perlu,
siapkan kekuatan pemaksa agar mereka selalu mentaati kontraknya. Subhanalloh, perhatikan bunyi surat
teguran beliau ketika Yahudi Bani Nadhir diintimidasi Quroisy agar berkhianat
pada Sang Nabi. Syaikh Munir al-Ghodhban mengutipnya dalam Manhaj al-Haroki,
“Telah sampai
kepadaku berita tentang ancaman Quroisy kepada kalian. Ternyata rencana jahat
mereka terhadap kalian tidak lebih hebat daripada rencana jahat kalian terhadap
diri kalian sendiri. Kalian bahkan ingin memerangi anak-anak dan
saudara-saudara kalian sendiri, yakni penduduk Madinah!”
4. Ketegasan dalam
pengkhianatan
Lelaki
tampan itu tampak pucat. Dari atas kudanya ia terus menggumamkan doa, “Ya Alloh,
berikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan urusan dengan Bani Quroizhoh!”
Dan hari itu, lukanya yang terus mengalirkan darah dari nadi yang pecah dibebat
kuat-kuat. Ia, Sa’d ibn Mu’adz Rodhiyallohu
‘Anhu, pemimpin Aus, datang sebagai hakim yang ditunjuk Rosululloh dan
diridhoi Yahudi Bani Quroizhoh untuk menyelesaikan sengketa pengkhianatan
mereka dalam Perang Khondaq. Sebenarnya, Rosululloh sendiri berhak untuk
memutuskan vonisnya. Hanya saja ada makna lebih dalam di sana: penghormatan,
meredam gejolak, dan memuaskan semua pihak.
“Sambutlah
Sayyid kalian…!” begitu Rosululloh berujar ketika melihatnya datang tertatih.
Bani Quroizhoh menerima Sa’d menjadi hakim, karena suku Aus adalah sekutu
mereka di masa Jahiliyah. Para pemuka Aus pun berpesan pada Sa’d agar bertindak
bijaksana, mengingat Rosululloh telah menyerahkan urusan ini kepadanya agar dia
berbuat baik terhadap sekutu-sekutunya.
Tapi
apa kata Sa’d sebagai vonis? “Telah tiba saatnya bagi Sa’d untuk tak lagi
mempedulikan cercaan para pencela dalam memutuskan hukum karena Alloh. Semua
laki-laki di antara Bani Quroizhoh harus dibunuh! Anak-anak dan wanita-wanita
mereka jadikan tawanan! Dan harta mereka disita!”
“Sungguh,”
kata Rosululloh, “Engkau telah memberikan keputusan menurut hukum Alloh.” Beberapa
hari setelah itu, sang hakim terus terbaring sakit di tenda Rufaidah. Darah
terus mengalir dari lukanya hingga seorang shohabiyah berkata, “Bagai sebuah
selokan!” Akhirnya ruhnya pergi menemui Alloh dalam keadaan ridho lagi
diridhoi. Kedahsyatan kematiannya pun, sampai-sampai membuat ‘Arsy berguncang.
“’Arsy berguncang,” kata Sang Nabi, “Ketika ruh Sa’d ibn Mu’adz diangkat ke
langit!”
5. Mendesain selalu
Keteladanan Baru
Tantangan
selalu muncul saat kita memasuki wilayah baru. Bahkan dalam hal yang sangat
sederhana. Saat kita sedang membangun kebiasaan bangun malam untuk menghadap
Alloh dalam tahajjud, rasa-rasanya tantangan kita ada pada daya diri untuk
bangun dan melangkah ke tempat wudhu. Tetapi begitu kebiasaan bangun itu
tersistemkan dalam tubuh kita, tantangan baru muncul: mengapa sholat kita
terasa kering? Dulu, ketika bangun terasa sulit, sholat kita rasa-rasanya lebih
khusyu’ daripada kini.
Demikian
pula di wilayah baru pengelolaan publik. Kita harus semakin cerdas mendesain
keteladanan baru. Dulu, demonstrasi memperjuangkan kepentingan masyarakat
menjadi istimewa. Dulu, anggota dewan yang mengembalikan uang tidak jelas
menjadi keteladanan yang sangat istimewa. Dulu, anggota dewan yang menolak KunKer (kunjungan kerja) tanpa agenda
nyata, itu istimewa. Dulu, partai yang memiliki layanan sosial adalah
keteladanan istimewa. Dulu, partai yang menerjunkan satgasnya ke lokasi bencana
adalah keteladanan istimewa. Kini? Nanti dulu. Masyarakat semakin menganggapnya
sebagai hal yang biasa karena tak hanya partai da’wah yang bisa melakukannya.
Tentu, kita syukuri hal itu sebagai suatu keberhasilan da’wah, bahwa kini
–terlepas apapun motifnya- ada lebih banyak kepedulian.
Selanjutnya,
sesudah bersyukur tentu prinsip ‘yakhtaliyatun
wa lakin yatamayyazun’. Bagaimana agar identitas da’wah tidak kabur karena
kurangnya keteladanan. Nah, seperti ‘Umar mencegah para panglimanya memiliki
tanah agar mereka tak kehilangan daya ekspansi, jama’ah da’wah perlu terus
membangun sistem yang mendukung terciptanya keteladanan baru yang tak usang tak
lekang dari para kader da’wah yang mengelola kepentingan publik, yang
menggiatkan penguatan struktur, maupun yang bergerilya di ranah sya’biyah.
Selamat
berserikat. Seperti kata Dr. Surahman Hidayat, “Tanggung jawab ini kita bagi
bersama, tapi kita tetap sebagai pionernya!” Inilah serikat, untuk kuasa
kesholihan. []
Sumber:
Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim
karya Salim A. Fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar