Di tanah ‘Utsmani
ini
Yesus dilahirkan dan
diangkat ke surga
Cahaya Tuhan turun
pada Musa
Bahtera Nuh berlabuh
Dan dari Nyanyian
Daud hnga lenguh Sokrates
Akal dan agama
saling menjaga
Ulurkan tanganmu, Oo
tanah airku
Ke kebun sang Nabi
Gosokkan tubuhmu,
hitam, ke Ka’bah suci
(Nanik Kemal, 1881)
Arti
penting karya Denys Lombard, Le Sultanat
d’ Atjeh au temps d’Iskandar Muda (1607-1636), terutama tentu untuk
meruntuhkan asumsi serampangan Snouck Hurgronje dalam De Atjehers yang menyebut kejayaan Aceh zaman Iskandar Muda
hanyalah dongeng. Ketika Lombard melakukan penelitian dan mempublikasikannya di
tahun 1963, buku Snouck masih ‘kitab suci’ tentang studi Aceh. Oh, tapi lebih
penting lagi, dalam edisi terjemahan Indonesia, ilustratornya, atas izin The
Bodleian Library, University of Oxford, memilih surat Iskandar Muda pada Raja
James I dari Inggris yang bertanda tahun 1615 sebagai latar sampul. Wah!
Aceh
sangat kuat dalam hal politik luar negeri. Memang wilayah daratnya ‘hanya’
membentang dari Johor, Pahang, dan Kedah di Malaya, hingga Deli, Barus, Tiku,
dan Pariaman di Sumatera Utara dan Barat. Tetapi seorang sejarawan sempat
menyebut, Samudera Hindia seluruhnya, hingga pantai Madagaskar dan laut Arab,
berada di bawah pengawasan angkatan laut Aceh. Tak heran, kita bisa menelisik
sumber sejarah akurat tentang korespondensi intens Iskandar Muda dengan
Inggris, Perancis, Spanyol, dan terutama super-state
Islam ketika itu, Kesultanan Turki ‘Utsmani.
Jika
Kesultanan Aceh Darus Salaam memilih menjadi mitra bagi Kesultanan ‘Utsmani,
maka tidak demikian dengan kesultanan-kesultanan di Jawa. Mulanya memang,
da’wah Jawa didesain oleh Sultan Muhammad II dari Turki dengan mengirim
beberapa ‘ulama. ‘Ulama-‘ulama itu menjadi Wali
Sono, penguasa wilayah-wilayah kecil; Ampel, Gresik, Kudus, Muria. Kata
‘Wali’, kita sering mendengar dalam sejarah Khulafaur Rosyidin berarti kepala
wilayah. Kita pun masih punya istilah ‘walikota’. Mungkin terpeleset lidah
sekaligus mistisisasi angka sembilan sehingga para ‘ulama itu disebut Wali Songo. Yang jelas, sono-sono itu bergabung membentuk
Kesultanan Demak.
Keterputusan
hubungan agaknya membuat Mataram –pelanjut Demak dan Pajang- diperintah bukan
oleh orang bergelar Sultan. Tapi Panembahan.
Hingga Panembahan Hanyokrokusumo dengan itikad sangat baik pada tahun 1641
mengirim dutanya kepada Sultan Rum –begitulah Sultan-sultan ‘Utsmani dikenal di
Nusantara- untuk mendapat pengesahan gelar Sultan. Dan itu artinya, Mataram
kembali mendudukkan diri sebagai bawahan bagi superstate Kesultanan ‘Utsmaniyah. Lihatlah lukisan sejarah tentang
penyerbu Batavia tahun 1628-1629 ini, yang mahkotanya sangat kentara sebagai ‘tarbusy’, topi khas Turki.
Hubungan
itu terputus lagi. Pengganti Sultan Agung, Amangkurat I, yang dalam Babad
dikisahkan membantai ribuan orang termasuk ratusan ‘ulama Giri, dan melewati
mayat-mayat bergelimang darah dengan menyingsingkan kainnya menggunakan gelar
khas Jawa; Susuhunan, artinya ‘yang
dimohon’.
Seabad
kemudian, dengan mendandani seorang pelaut Arab yang terdampar di pantai utara
Jawa sebagai ‘utusan Sultan Rum’, Belanda mengakhiri perang yang dikobarkan
Pangeran Mangkubumi. Utusan palsu itu, meyakinkan sang pangeran bahwa Sultan
Rum akan memberikan gelar Sultan padanya, sebagai ahli waris Sultan Agung, jika
dia mengakhiri perang dan menerima Perjanjian Gianti. Maka berdirilah
Kasultanan Yogyakarta dengan legalitas dari ‘Sultan Rum, dari Negara Atas
Angin.’ Gelar ‘Sultan’ yang diikuti kata-kata ‘Abdurrohman, Sayyidin Panotogomo, Kholifatulloh Tanah Jawa’
kembali bergema.
Tigapuluh
tahun setelah mangkatnya Hamengkubuwono I, kesultanan yang ditinggalkannya
mulai bergolak untuk melahirkan pahlawan baru. Cicitnya, Diponegoro, yang telah
dua kali menolak ditawari menjadi Hamengkubuwono IV, yang memimpin perlawanan
paling berdarah terhadap Belanda, memakai gelar yang sangat menarik dalam
pentahbisan Sultan di Matesih; ‘Abdul
Hamid Herucokro Kabirul Mukmin Sayyidin Panotogomoning Jowo Kholifat Rosulillah
Sain.
Mengapa
memilih nama ‘Abdul Hamid? Polycarpus
Swantoro dalam Dari Buku ke Buku Sambung
Menyambung Menjadi Satu, dan Saleh As’ad Djamhari dalam disertasinya yang
berjudul Strategi Menjinakkan Diponegoro
sepakat, bahwa Diponegoro lahir di masa pemerintahan Sultan ‘Abdul Hamid I di
Turki ‘Utsmaniyah. Kata ‘Sain’, menurut
Swantoro, kemungkinan adalah pengucapan Jawa atas kata Arab ats-Tsanii, yang berarti, ‘yang kedua’.
Panembahan Kabirul Mukmin juga
menarik, ditambah lagi penggantian kata Kholifatulloh
dengan Kholifat Rosulillah. Ini
menunjukkan pengaruh riwayat hadits yang lebih dalam. Adakah Diponegoro pernah
mendengar atsar Abu Bakr,
“Kholifatulloh hanyalah Dawud ‘Alaihis
Salaam.”?
Nah,
lebih menarik lagi fakta yang disampaikan Djamhari, bahwa hierarkis
kepangkatan, susunan militer, pakaian seragam, bahkan nama korps dalam pasukan
Diponegoro sangat jauh dari bau Jawa maupun Eropa. Misalnya, Diponegoro
didampingi oleh empat Alibasah.
Mereka membawahi beberapa Basah. Dan
komandan terendahnya disebut Angadaulah
dan Dulah. Itu, tentu saja adalah
pengucapan Jawa untuk kata Turki Ali
Pasha, Pasha, dan Agha Daulah.
Dalam barisan ini ada korps Bulkiya, Turkiya, Harkiya, dan Borjomu’ah. Nah,
yang ini persis dengan susunan militer Janissarie, pasukan elit Sultan Turki.
Kalau
ingin melihat pakaian seragam prajurit Diponegoro, tergambar jelas dalam
lukisan Raden Saleh berjudul Historische
Tableu, die Gefangennachmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro –yang
mewakili nasionalisme kita- dan bahkan lukisan karya Nicolaas Pieneman –yang
menjadi versi resmi pemerintahan Belanda-. Sangat santri, dan sangat tidak
‘nJawani’. Yang ini dibahas dalam buku Peter B. Carey, Asal-usul Perang Jawa.
Darimana
Diponegoro memahami hal-hal ini? Djamhari pun belum bisa memastikan, kecuali
catatan kabur tentang berlabuhnya ‘tiga kapal raksasa’ di pantai selatan Jawa
di saat perang sedang ramai-ramainya. Yang jelas, pangeran dari Kesultanan
Yogyakarta ini sejak kecil sangat dekat dengan para ‘ulama. Kalau kita menonton
film Kingdom of Heaven garapan Ridley
Scott, terlihat bahwa di samping Salahuddin selalu berdiri seorang ‘ulama muda
yang penuh semangat jihad, yang kadang mendebat sengit bila Salahuddin bicara
tentang perdamaian. Seperti Salahuddin, Diponegoro punya Kiai Mojo. Simak saja
jawaban sang ‘Alim berwajah tampan yang tersurat dalam babad ketika menjawab
tawaran damai Jenderal de Kock.
Ngantepi
Islamnya samya
Nglampahi
parentah dalil
Ing
Qur’an pan Ayat Katal
Bersama
memantapkan Islamnya
Melaksanakan
perintah dalil
Dalam
al-Qur’an surat at-Taubah
Memang
tidaklah berlebihan, ketika kita memandang bahwa sebuah superstate Islam sangat bernilai dalam menaungi kehidupan kaum
Muslimin di seluruh dunia. Meski, -sesuai hadits Rosululloh- saya kurang sreg
menyebut Turki ‘Utsmani sebagai khilafah, tetapi peran yang diembannya begitu
indah, dan terasa di sini, di Nusantara yang puluhan ribu kilometer jaraknya
dari Seraglio Sultan di istana
Topkapi yang dihilirmudiki 5000 pelayan.
Dari
luar keindahannya, ada yang harus kita akui bahwa sistem Mulk, kerajaan, dan
bukan Khilafah, yang menopang superstate
Islam terakhir ini memperkecil kemungkinan terpilihnya orang terbaik untuk
memerintah. Ada Sultan-sultan sholih yang bertahta di sana. Tapi ada pula yang
untuk berkuasa harus mencekik puluhan sudara kandungnya. Hingga tahun 1603,
Sultan Ahmad I naik tahta, dan ia tak mau ada darah tertumpah. Maka dibangunlah
paviliun khusus bagi para pangeran, agar mereka menikmati hidup dan melupakan
perebutan kuasa. Kelak, calon Sultan juga diambil dari paviliun ini, lalu
merosotlah Turki di bawah Sultan-sultan yang terlambat belajar tata
pemerintahan.
Kita
kelanai zaman yang lebih awal tentang nilai sebuah superstate Islam. Ahmad Thomson dalam Islam in Andalus mengutip Ibn ‘Arobi tentang suatu kejadian di masa
Kholifah an-Nashir ‘Abdurrohman III (912-960), ketika duta besar Negara-negara
Eropa datang berkunjung. Sebenarnya pelik juga karena di masa ini, ada 2 orang
lagi yang menggunakan gelar Kholifah selain an-Nashir; al-Muqtadir di Baghdad
dari keluarga ‘Abbasiyah, dan al-Mahdi di Qoyrowan dari Syi’ah. An-Nashir-lah
orang pertama yang memakai gelar Kholifah pada keluarga ‘Umayyah di Andalusia
gara-gara mendengar pengangkatan al-Mahdi yang Syi’ah. Semula, ijma’
menyebutkan yang berhak menyandang gelar Kholifah dan Amirul Mukminin hanyalah
yang melayani dua kota suci, Makkah dan Madinah yang saat itu berada dalam
pengawasan ‘Abbasiyah.
“Sepanjang
jalan,” tulis Ahmad Thomson tentang kejadian itu, “Mulai dari gerbang kota
Cordoba hingga gerbang Madinatuz Zahro, yang berjarak kira-kira 1 pasarange, -sekitar 22 km-, dibariskan
dua jajar pasukan di tiap sisinya. Para prajurit ini, mengangkat tinggi-tinggi
pedang mereka yang telanjang, berat dan panjang, hingga ujung-ujungnya saling
bersentuhan membentuk semacam atap.
Dengan
menelusupi jajaran pedang berkilat yang rasanya tak habis-habis itu, para duta
besar telah merasakan teror tak terlukiskan. Tanah yang mereka lewati dilapisi
kain brokat, dari mulai gerbang kota hingga tempat penerimaan tamu. Pada
interval-interval tertentu di seberang jalan, disediakan tempat duduk bagi para
pejabat, yang karena kemewahan bahan dan dekorasinya telah mereka kira sebagai
singgasana. Para duta besar itu berlutut menjatuhkan diri, yang segera disambut
dengan ucapan santun, “Bangunlah… Ini hanyalah pelayannya pelayan dari pelayan
Kholifah…”
Sungguh
sebenarnya mereka tak sanggup mengangkat muka. Tetapi pemandangan Madinatuz
Zahro terlalu menakjubkan untuk dilewatkan meski dengan lirik-lirik sekilas.
Ada 13.750 pelayan laki-laki, 3.350 perwira muda dan sida-sida Sclavonia, ada
6.314 dayang-dayang di harem, dan sesekali terlihat kerumunan para qodhi,
khothib, ‘ulama, dan penyair berjalan dengan anggunnya melewati
balairung-balairung yang megah, ruang penyokong yang mewah, dan halaman-halaman
yang luas bertaman jelita. Memikirkan bagaimana memberi makan dan pakaian pada
semua orang ini saja sudah membuat para duta besar itu pusing.
Berdampingan
dengan istana, tampak sebuah taman dengan danau buatan yang di tengahnya
dibangun sebuah ruang musim panas dari kaca buram dihiasi emas. Arsiteknya
begitu baik merencanakan bangunan ini, sehingga dengan hukum geometri tertentu
air danau dinaikkan hingga mencapai puncak kubah melalui ruang musim panas ini
dan kemudian mengucur di kedua sisinya, bergabung lagi dengan air danau. Dalam
ruangan ini, kita dapat duduk tanpa tersentuh air yang mengitari dari semua
sisi, dan menghirup udara segar musim hangat. Kadangkala, lilin dinyalakan di
dalam ruangan dan menghasilkan efek mengagumkan dari dinding yang transparan
itu.
Balairung
Kholifah, genteng penutupnya terbuat dari emas dan perak murni, dan terdapat
sebuah kolam besar berisi air raksa di tengah-tengah ruangan ini; pada tiap
sisi di kedelapan pintu memancang lengkungan gading dan kayu hitam, dihiasi
emas dan berbagai jenis batu mulia, menyandar pada tiang-tiang beraneka ragam
marmer, pualam, dan kristal bening. Pantulan sinar mentari pun sudah cukup
menyilaukan, ditambah lagi, jika Kholifah ingin meminta tamunya pergi, ia
tinggal memerintahkan agar air raksa dalam kolam digerakkan, hingga tercipta
efek sorotan cahaya dan seolah-olah seisi ruangan itu bergerak dengan suatu
poros mengikuti arah matahari dan mengerikan.
Akhirnya
para duta besar itu sampai di suatu ruangan yang mencolok sederhana, lantainya
bertabur pasir. Di tengahnya seorang lelaki duduk lesehan di lantai dengan
kepala condong ke depan. Pakaiannya terbuat dari kain kasar berlengan pendek
tak berlapis-lapis. Semua yang dikenakannya berharga tak lebih dari 4 dirham.
Di hadapannya terdapat sebuah mushhaf, sebilah pedang, dan perapian kecil.
“Inilah
Sang Kholifah!” pemandu memberitahu. Maka tiba-tiba mereka menyungkur sujud.
Sebelum mereka sempat menggumamkan kata apa pun, Kholifah berkata, “Alloh telah
memerintahkan kami, wahai kalian, untuk menyeru bangsamu pada ini!” sambil
menunjuk mushhaf. “Jika kalian menolaknya, kami akan memerangi kalian dengan
ini!” ia menunjuk pedang. “Dan celakalah kalian jika terbunuh. Karena kalian
akan terbakar dalam ini!” ia menunjuk api.
Teror
puncak akhirnya menyergap para utusan itu. Kholifah memerintahkan mereka dibawa
keluar sebelum sempat mengatakan apapun. Kemudian traktat disodorkan, dan
mereka menandatanganinya gemetaran, lengkap dengan semua syarat yang diajukan
Kholifah. Tak ada tawar sedikitpun.”
Sejarah
yang eksotis ini, luar biasa. Tetapi agaknya, terus berlaku kaidah sejarah yang
sangat klise itu; kejayaan membunuh semangat juang yang melahirkannya. Dan
kejatuhan pun mendekat. Dalam karya Amin Maalouf, Leon l’ Africain, kita bisa membaca betapa remuknya moralitas tepi
akhir peradaban Andalusia. Maalouf berkisah, bahwa Sultan Granada yang kedua
dari akhir, memiliki seorang isteri yang sangat jelita. Suatu hari, dimintanya
sang isteri mandi di pemandian istana yang bisa diamati dari sebuah ruang
khusus. Di ruang khusus itu, Sang Sultan mengundang semua pejabat tingginya
untuk bersama-sama menyaksikan jelitanya sang isteri. Setelah itu,
dihidangkanlah kepada mereka air bekas mandi sang ratu untuk diminum sebagai
pembuka jamuan. Hanya sang Perdana Menteri –yang Yahudi- yang menolak dengan
kalimat terkenalnya, “Maaf, Yang Mulia, jika saya mencicipi kuahnya, saya
khawatir nanti saya akan menginginkan dagingnya.”
Akhirnya
Granada menyerah pada Ferdinand dari Arragon dan Isabella dari Castillia di
masa pemerintahan sang putera, Sultan Abu ‘Abdillah, alias Boabdil dalam literatur
Barat. Tahun 1492, di sebuah jalan kecil di Sierra Nevada, dalam perjalanan
menuju tempat pengasingannya di Maroko, sang Sultan berhenti sejenak dan
menatap ke belakang, ke arah al-Hambra yang gemilang diterpa cahaya mentari. Ia
terisak. Tempat itu kemudian dikenal sebagai El Ultimo Sospiro del Moro, desah napas terakhir orang Moor.
Mendengar isak sang putera, Ibunda Sultan menggumamkan kalimat yang dikenang
para sejarawan.
“Jangan
kau tangisi seperti perempuan, apa yang tak dapat kau pertahankan sebagai
laki-laki,” katanya. Memang, “Betapa sukarnya terang siang berpamitan dari
Granada!” timpal Federico Garcia Lorca, sastrawan latin itu.
Mari
bercita tentang superstate yang
Islami, meski memang tak ada negara malaikat. []
Sumber:
Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim
karya Salim A. Fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar