PICTURE BRIDE, film
berdasar sejarah migrasi orang-orang Jepang ke Pasifik itu memang memikat. Asli!
Tak heran, dalam Sundance Film Festival 1995, film ini meraih penghargaan
pilihan pemirsa. Kayo Hatta, sang sutradara, yang menggarap film ini sepanjang
tahun 1994 berhasil menghadirkan suatu kisah dramatis tentang wanita-wanita Jepang
yang berani memutuskan menikahi para perantau yang telah lebih dahulu berada di
Hawaii, dengan spekulasi sangat tinggi. Hanya satu informasi yang mereka tahu
tentang calon suaminya: selembar foto! Dan konflik digarap seru, ketika
ternyata foto itu adalah selembar foto yang diamibil 20 tahun yang lalu. Apakah
mereka masih bicara cinta?
Jangan kau kira cinta datang dari keakraban dan
pendekatan yang tekun
Cinta adalah putera dari kecocokan jiwa
Dan jikalau itu tiada
Cinta takkan pernah tercipta, dalam hitungan tahun, bahkan
millenia
(Kahlil Gibran)
Saya punya satu
kisah lagi yang tak kalah menarik dengan Picture
Bride. David Weinlick nama pria itu. Tanggal 13 Juni 1998 jam 11 siang, Dave
berdiri di Mall of America di Minneapolis untuk menikah. Tetapi ia belum tahu
dengan siapa. Sebuah panitia yang dipimpin psikolog tenar Steve Fletcher sedang
memilihkan calon mempelai wanita untuknya melalui serangkaian wawancara dengan
26 orang calon yang telah mendaftar sejak Dave ‘diiklankan’ di televisi. Waow! Acara di mall ini melebihl apa
yang diperkirakan Fletcher, ditonton ribuan orang dan ditayangkan live oleh stasiun televisi dari 6
negara.
Richard Calrlson,
Ph.D., kolega Fletcher yang kita kenal dl Indonesia melalui rangkaian buku
psiko-pop karyanya Don’t Sweat Little Stuff
mengisahkan ketakjubannya bahwa Fletcher dan timnya memulai acara di jam 7
pagi, mulai memilih jam 13.30 siang, dan Elizabeth Runze sang mempelai wanita
terpilih dan dinikahkan dengan Dave tepat pukul 16.00 sore. Satu menit menuju
pernikahan. Sekali lagi “Waow!,” kata Carlson.
Siapa yang was-was
selalu? Tentu saja Steve Fletcher sang comblang yang jauh-jauh hari telah
dikatai bercanda, gila, dan mabuk saat menyelenggarakan acara ini. Selama
beberapa tahun ia terus menjalin komunikasi dengan Dave dan Elizabeth. Ia
selalu bertanya, “Bagaimana?” Dan hingga kini ia tersenyum karena mereka masih
saling mabuk kepayang pada pasangan hidupnya dalam sebuah rumahtangga harmonis
yang sering terasa utopis bagi orang Amerika.
Bagi mereka yang mengupayakan cinta
hanya ada iklim hangat dan iklim sejuk
meski ada goda aurora dan pelangi khatulistiwa
Bagi mereka yang mengupayakan cinta
setiap musim membagi cinderamata
kristal salju, kuntum bunga, pasir pantai, serasah
hangat
juga payung dan layang-layang
Bagi mereka yang mengupayakan cinta di tiap cuaca
cerah berbagi harapan, awan bersulam rohmat,
hujan menyanyi rizqi, badai mengeratkan peluk
dan tiba-tiba, surga mengetuk pintu rumah
Apa rahasia
kesuksesan pernikahan yang kisahnya seperti judul buku saya -Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan-
itu? “Mengapa kau yakin ini akan berhasil?,” tanya teman-teman. Kata Elizabeth,
“Karena aku yakin ini akan berhasil. Sesederhana itu. Aku fokus pada apa yang dibutuhkan
untuk membangun kehidupan bersama yang panjang dan penuh kebahagiaan.” Ya, dia
punya visi.
Bagaimanapun, saya
kagum pada kisah ini. Saya lalu teringat pada beberapa undangan walimah di atas
meja yang mencantumkan ayat Alloh, Surat ar-Ruum ayat 21. “Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian dari anfus
(jiwa-jiwa) kalian sendiri, azwaaj (pasangan hidup), supaya
kalian ber-sakinah kepadanva, dan dijadikan-Nya di antara kalian mawaddah
dan rohmah.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.”
Saya pikir, inilah
yang kita punya. Inilah manhaj yang seharusnya kita jadikan plot (alur) dalam
merayakan cinta. Sedihnya, kebanyakan mereka yang mencantumkannya dengan tinta
emas di atas undangan mewah tak menghayati maknanya. Ringkasnya, ada beberapa
kata kunci yang saya tangkap dari ayat ini.
1. Min anfusikum. Dari jiwa-jiwa kalian. Artinya,
hal pertama yang dibicarakan al-Qur’an tentang pernikahan dua manusia adalah kesejiwaan.
Ruh itu, kata Nabi seperti tentara. Jika kode sama, sandinya nyambung, meskipun belum saling melihat
mereka pasti bersepakat. Jika tidak, ya tembak dulu, urusan belakangan. Kodenya
saja sudah nggak nyambung sih. Nah, apa
sih kode dan sandi untuk ruh? Komitmen kepada Alloh dan agamanya. Itu saja. Itulah
kesejiwaan. Dave dan Elizabeth menunjukkan pada kita bahwa sekedar komitmen
untuk membina rumahtangga bahagia saja bisa sedemikian kuat. Apalagi komitmen
yang lebih besar seperti kesamaan visi untuk memperjuangkan agama Alloh?
2. Azwaajan. Pasangan hidup. Tak
berlama-lama, sesudah kesesuaian jiwa, al-Qur’an segera mengatakan bahwa mereka
menjadi suami isteri. Saya tergelitik dengan pesan Dave yang mengisyaratkan kuatnya
komitmen mengalahkan kekanak-kanakan jiwa. “Orang selalu berpikir,” kata Dave, “Bahwa
kita harus mencari pasangan yang tepat, maka hubungan akan berhasil. Aku ingin
katakan, berhentilah mencari orang yang tepat, dan jadikan orang di samping Anda
yang memang hebat itu menjadi orang yang tepat!” Dave mengajari kita menjadi
manusia yang lebih tinggi, manusia yang ‘menjadikan’, bukan sekedar ‘mencari’.
Dan Dave benar. Ada dua hal di dunia ini. Menikahi orang yang dicintai atau
mencintai orang yang dinikahi. Yang pertama hanyalah kemungkinan. Sedangkan yang
kedua adalah kewajiban.
3. Litaskunuu ilaihaa. Supaya kalian
tenteram, tenang, padanya. Unik sekali. Kata hubung yang dipakai adalah huruf lam (li)
yang menunjukkan otomatis. Kata Alloh, kalau pernikahan dimulai dari kesejiwaan,
maka otomatis seorang suami akan merasakan ketenteraman pada isterinya, dan
seorang isteri akan merasakan ketenangan pada suaminya. Loh, kok banyak
rumahtangga tidak sakinah! Mungkin karena tidak dimulai dari kesejiwaan
sehingga untuk sekedar tenteram saja ikhtiyarnya harus luar biasa keras. Apa sih
sakinah itu? Sederhananya, sakinah inilah yang menyebabkan pernikahan disebut
separuh agama seseorang. Dengannya seorang insan bisa mengoptimalkan potensinya
untuk menjadi ‘Abdulloh (hamba Alloh),
dan kholifah (pengelola nikmat-nikmat-Nya
untuk kemashlahatan alam semesta). Tenteram karena gejolak syahwat telah
menemukan saluran yang halal dan thoyyib, tenang karena ada sahabat lekat yang
siap mendukung perjuangan.
4. Wa ja’ala bainakum mawaddatan. Kemudian
ada yang harus diproses, diupayakan, yakni mawaddah.
Apa itu mawaddah? Wah, bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris memang kekurangan kosakata untuk cinta. Hanya
cinta dan love. Padahal bahasa Arab punya empat belas. Nah, saya membandingkan
pemaknaan Ibnul Qoyyim al-Jauziyah terhadap mawaddah
dalam buku Roudhotul Muhibbin dengan
salah satu jenis cinta yang disebut Erich Fromm dalam The Art of Loving sebagai cinta yang erotis-romantis. Nah, ternyata
bisa disejajarkan. Jadi mawaddah
adalah cinta yang erotis-romantis. Bentuknya bias ekspresi yang paling bathin
sampai paling zhohir, dari yang sifatnya emosional hingga seksual. Inilah mawaddah.
5. Wa (ja’ala bainakum) rohmatan. Yang
harus diusahakan bukan Cuma mawaddah
tapi juga rohmah. Ini juga cinta lho, bukan sekedar kasih sayang. Cinta yang
bagaimana? Cinta yang seperti lagu, kasih ibu kepada beta tak terhingga
sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari
dunia. He he, jadi ingat waktu TK. Inilah cinta yang memberi -bukan meminta-,
berkorban –bukan menuntut-, berinisiatif -bukan menunggu-, dan bersedia, -bukan
berharap-harap. Erich Fromm menyebutnya cinta keibuan.
Nah, sekilas inilah
alur perayaan cinta yang dituntunkan al-Qur’an. Jika kita mendesain perayaan
cinta dengan plot ini, tanpa bermaksud lancang pada Alloh saya berani menjamin
bahwa dalam pernikahan kita bisa menemukan Bahagianya
Merayakan Cinta, buku saya yang keempat itu.
Nah, kok banyak
pernikahan yang error! Biasanya karena plotnya kacau. Pernikahan tidak dimulai
dengan kesejiwaan tapi justru dengan mawaddah,
Sebelum menikah mereka sudah menikmati cinta yang erotis-romantis. Entah apa
namanya. Pacaran. TTM. HTS. Semuanya adalah mawaddah.
Tanpa sakinah, apalagi rohmah.
Perhatian, kado,
bunga, coklat, kedekatan, kholwat.,
bersentuhan, pandangan. Itu semua mawaddah.
Bahkan sms berisi nasehat “Bertaqwalah pada Alloh”, missedcall tahajjud, hadiah buku dan kaset nasyid berjudul Jagalah
Hati, dan seterusnya, itu juga mawaddah.
Bentuknya saja yang berbeda. Yang satu bunga dan coklat valentine. Yang lain
buku dan kaset da’wah. Tetapi sensasi yang dirasakan oleh pemberi dan penerima
sebenarnya sama: mawaddah. Demi Alloh,
silakan pasang ECG (Electro Cardiograph)
di jantungnya dan EEG (Electro
Encephalograph) di otaknya. Sinyal yang dihasilkan persis. Artinya sensasi yang
dirasakan sama.
Nah, hati-hati
dengan mawaddah. Biasanya meski
engkau, wahai aktivis da’wah, memulai dengan kesejiwaan, coba-coba mencicipi mawaddah sebelum dihalalkan akan
mengaburkan kesejiwaan itu dan membuat segalanya berantakan. Celakalah mereka
yang menikmati mawaddah sebelum
waktunya!
Katakan, “Aamiin.”
[]
Sumber: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar