ALKISAH, seorang Yahudi
begitu bersedih. Dari ketiga putranya, yang bungsu pindah agama menjadi seorang
Kristen. Dia termenung di sinagog besar mengadu pada YHWH, Tuhannya. “Tuhan, mengapa Kau biarkan salah satu anakku memasuki
jalan sesat dengan menjadi seorang Kristen.” Pengaduannya terputus, tiba-tiba
ia mendengar sebuah suara entah dari mana. “Mendingan juga kamu, anak masih dua
yang beriman. Lha Aku, anak-Ku satu-satunya
saja masuk Kristen dan jadi Tuhan di sana. Celaka beybeh.”
Yang begini-begini,
sumbernya ya Gus Dur.
The first Christian. Begitulah Karen Armstrong menyebut
Paulus. Lalu Yesus? Jelas, Yesus seorang Yahudi. Ia lahir sebagai Yahudi, hidup
sebagai Yahudi, dan -menurut Armstrong- mati sebagai Yahudi. Menganalisis setiap
kalimat yang keluar dari Yesus -sementara begitu saja saya menyebutnya-, dan
membandingkannya dengan apa yang ‘dikredokan’ oleh Paulus sebagai pondasi besar
kekristenan membuat kita terperangah. Selalu bertolak belakang!
Lukas 16:17 mencatat
kata-kata Yesus, “Lebih mudah langit dan bumi lenyap daripada satu titik dari
hukum Taurot batal,” Matius 5:17-18 juga mencatat, “Janganlah kamu menyangka
bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurot atau kitab para Nabi. Aku datang
bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapkannya. Karena aku berkata
kepadamu, “Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi, satu iota atau
satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurot, sebelum semuanya
terjadi.” Sementara Yohannes 7:49 mencatat, “Tetapi orang banyak ini yang tidak
mengenal hukum Taurot, terkutuklah mereka!”
Itu Yesus. Apa kata
Paulus? Beda lagi. Dalam I Korintus 15:56, Paulus mengatakan, “Sengat maut
adalah dosa. Dan kuasa dosa adalah hukum Taurot.” Dalam Roma 4:15, ia
berpandangan, “Karena hukum Taurot membangkitkan murka, tetapi di mana tidak
ada hukum Taurot, di situ tidak ada juga pelanggaran.”
Setelah beropini
bahwa hukum Taurot itu menyusahkan, Paulus berkata dalam Roma 7:6, “Tetapi
sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurot, sebab kita telah mati bagi
dia yang mengurung kita, yang sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan
baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurot.” Sebelumnya,
dalam Roma 6:14, Paulus mengatakan, “Sebab kamu tidak akan lagi dikuasai oleh
dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurot, tetapi di bawah kasih
karunia.” Puncaknya, sambil menanamkan doktrin ketuhanan Yesus, Paulus berkata
dalam Efesus 2:15, “Sebab dengan mati-Nya sebagai manusia, Ia telah membatalkan
hukum Taurot dengan segala segi dan ketentuannya.”
Beberapa contoh
kecil ini cukup membuat orang berkesimpulan, jika Yesus adalah Kristus, maka
Paulus adalah Anti-Kristus. Bagaimana bisa Paulus, seorang Yahudi dari Tarsus
yang sebelumnya dikenal sebagai penganiaya murid-murid Yesus itu bisa memutar
balik semua dasar kekristenan?
Karen Armstrong
mencatat setelah penelusurannya bertahun-tahun terhadap sejarah awal
kekristenan, “Saya kini mengetahui bahwa surat-surat rosul Paulus merupakan
dokumen Kristen paling awal yang masih ada dan bahwa Injil, yang semuanya
ditulis bertahun-tahun setelah kematian Paulus sendiri, ditulis oleh
orang-orang yang telah mengadopsi versi Kristennya Paulus. Bukannya Paulus
menyimpangkan Injil, tetapi -lebih dari itu-, Injil-lah yang justru memperoleh
visinya dari Paulus.” (Karen Armstrong; The
Spiral Staircase, My Climb Out of Darkness, hal 428)
Maka kecelakaan yang besarlah bagl orang-orang yang
menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Alloh”,
(dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.
Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan
mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang
mereka kerjakan. (Qs. al-Baqoroh[2]: 79)
Awalnya, inilah
agama yang ditindas di seantero Imperium
Romanum. Hingga, Konstantin, Kaisar cerdik itu membutuhkan stabilitas di
negerinya yang mau tak mau harus dimulai dari perangkulan terhadap komunitas Kristen
yang makin membesar. Atas prakarsanya, Konsili Nicea di tahun 327 M memvoting
dasar-dasar kekristenan tentang ketuhanan Yesus, dosa waris, dan penebusan
dosa. Semuanya hanyalah paganisasi sebagaimana dikehendaki oleh Konstantin.
David Fiedler memberi sampul bukunya Ancient
Cosmology and Early Christian Symbolism dengan tulisan plesetan dominan “Jesus Christ, Sun of God.” Ya, karena semua yang diatributkan
pada Yesus, -dari tanggal lahir, tempat lahir, hingga hari ibadah Sunday-,
adalah atribut Sol Invictus, dewa
matahari yang dipuja Konstantin.
Maka, walk out-lah Arius, Imam Alexandria dan
pengikutnya yang tetap bersikukuh meyakini kenabian Yesus. Tragis, ia dibantai
rezim Konstantin yang kemudian mengambil hasil konsili Nicea sebagai agama negara.
Maka ketika Rosululloh Muhammad menulis surat untuk Heraclius, kaisar Romawi di
masanya, beliau tak lupa untuk menuliskan kalimat, “Masuklah Islam, niscaya Alloh
akan melimpahkan kebaikan kepada tuan dua kali lipat. Namun jika tuan
berpaling, maka tuan akan menanggung dosa atas Arisiyin.” Arisiyin berarti para
pengikut Arius yang dibantai.
Inilah sebuah agama
yang dihasilkan dari konspirasi. Umberto Eco dalam Il Namo della Rossa menyindirnya sebagai ‘derma Konstantin’. Sementara
dalam The Da Vinci Code, Dan Brown
menyebutnya ‘kelicikan Konstantin, Sang Kaisar Pagan’.
Unik juga. Modus
operandi yang sama, dicobakan seorang Yahudi lain kepada agama Islam yang
dibawa Muhammad Shollalloohu ‘Alaihi wa
Sallam. Namanya ‘Abdullah ibn Sabaa. Tetapi ia tak sesukses Paulus. Ia
hanya berhasil membangun sebuah sistem kepercayaan yang di kemudian hari
disebut sebagai Syi’ah. Jika objek Paulus adalah diri Yesus, maka ‘Abdulloh ibn
Sabaa menggunakan ‘Ali ibn Abi Tholib.
Al-Qodhi Abu Ya’la
ketika menjelaskan fitnah besar yang melanda kaum Muslimin di masa khilafah ‘Ali
ibn Abi Tholib menyebut dengan jelas peran ‘Abdulloh ibn Sabaa. Satu kisahnya
yang terkenal, ketika ‘Ali dan pasukannya memasuki ‘Iraq pasca tahkim (arbitrase), ‘Abdulloh menghasut
sekelompok orang untuk bersujud pada ‘Ali, yang disebutnya sebagai ‘Pemegang
washiat Nabi, orang yang dipilih untuk menggantikan beliau, imam junjungan kaum
beriman, manifestasi Alloh di muka bumi’.
Ketika mendapati
orang-orang itu sujud, ‘Ali sangat marah dan memerintahkan untuk membakar
mereka. Maka ‘Abdulloh ibn Sabaa kembali beraksi, “Aku telah mendengar hadits
dari Nabi Shollalloohu ‘Alaihi wa Sallam
bahwasanya beliau bersabda, ‘Tidak akan menyiksa dengan api kecuali Alloh.’
Adakah kita kenal ‘Ali selain sebagai sosok ini?”
Inilah dasar bagi
salah satu sekte paling ekstrim dalam Syi’ah; Kaisaniyah yang sampai
menempatkan kedudukan ‘Ali sebagai manifestasi Alloh. Guntur adalah geramnya,
dan halilintar adalah cambuk ‘Ali yang murka pada para durjana. Tentu saja
kerahasiaan keyakinan yang terlindungi oleh taqiyyah
menyebabkan munculnya berbagai aliran Syi’ah yang sangat banyak dari yang paling
moderat hingga paling ekstrim. Tapi pilar ajaran mereka tiga: ‘ishmah, ruj’ah, dan taqiyyah. Masing-masing
bermakna bahwa para Imam itu bersih dari dosa, kembalinya imam yang menghilang,
dan kebolehan menyembunyikan keyakinan jika merasa terancam.
Leopold Weiss,
Yahudi Polandia yang mengganti namanya menjadi Muhammad Assad setelah meraih
hidayah mengisahkan perjalanannya di Iran dalam The Road to Mecca. Alangkah kontrasnya kegembiraan dan keriangan
khas suku-suku Arab gurun yang ditemuinya di Hijjaz dan Najd dengan kemurungan
dan kesayuan yang menjadi lekatan di wajah orang-orang Iran. Secara fisik
mereka gagah, tapi tidak tegap. Kesedihan yang parah. Seolah mendung selalu
bergayut di raut muka itu. Ada apa ini? Adakah hubungannya dengan perayaan ratap
duka yang senantiasa mereka lakukan di tanggal 10 Muharrom untuk mengenang
syahidnya Husain di Karbala?
Ya. Tepatnya bukan
hubungan sebab akibat, tapi sama-sama akibat. Akibat dari sebuah shock budaya dan shock peradaban. Sebuah frustrasi atas kekalahan peradaban mereka
yang begitu agung dalam memori, peradaban Imperium Persia Sassaniyah. Ketika
angkatan perang Kholifah ‘Umar dipimpin Sa’d ibn Abi Waqqosh menaklukkan
kekaisaran ini dan sekaligus membawakan Islam, kultus Zoroaster telah memasuki
palung kebekuan, sehingga ia tak mampu melakukan perlawanan terhadap ide dinamis
baru dari jazirah Arab. Peremajaan sosial dan intelektual yang sedang
berkecambah di titik balik itu tiba-tiba larut oleh serbuan kekuatan baru yang
sungguh-sungguh berbeda.
Islam hadir
menghancurkan sistem kasta bangsa Iran kuno dan menghadirkan satu sistem sosial
yang egaliter dan bebas. Islam membuka celah baru bagi berkembangnya
energi-energi kebudayaan yang sejak lama menggelegak diam tak tentu bentuknya. Tetapi
kultus keagungan keturunan Darius dan Xerxes yang tak serta merta terpinggir,
seolah diputus, dipenggal antara hari kemarin dan esok. Hari ini, oleh Islam.
Suatu bangsa yang memiliki watak begitu halus, telah mendapatkan ekspresinya
dalam dualisme asing agama Zand dan
pemujaan pantheistis terhadap keempat unsur -udara, air, api, dan tanah-, kini
dihadapkan pada kesederhanaan Islam dengan monotheisme tak kenal kompromi. Peralihan
itu, kata Leopold Weiss, terlalu tajam dan perih.
Lebih dari itu, ada
perasaan terpendam mendalam ketika mereka mengidentikkan kemenangan cita Islam
sebagai kekalahan peradaban mereka. Perasaan sebagai bangsa yang dikalahkan dan
kehancuran tak kenal ampun terhadap wadah warisan peradaban mereka memperparah
keberantakan mereka, sehingga Islam, yang bagi bangsa-bangsa lain adalah
pembebasan dan rangsang kemajuan, menjadi sebuah kerinduan supernatural dan simbolik
yang samar.
Syi’ah, yang digarap
‘Abdulloh ibn Sabaa menawarkan sesuatu yang lebih dekat dengan masa lalu
jiwa-jiwa kalah ini. Doktrin mistik, manifestasi Tuhan dalam jasad-jasad
terpilih yang agung, kesemuanya disambut sebagai jalan tengah untuk Islam yang
lebih ‘ramah’ terhadap kejiwaan dan kemasyarakatan mereka. Syi’ah, yang hampir
menyerupai pendewaan terhadap ‘Ali dan keturunannya itu, menyembunyikan cita benih
inkarnasi dan penjelmaan kembali terus menerus. Suatu cita yang sangat asing
bagi Islam, tetapi sangat akrab bagi kalbu bangsa Iran. Syi’ah menawarkan ratap
duka atas Husain sebagai cermin kepedihan atas kekalahan jiwa yang telah terjadi
saat ‘Umar menaklukkan peradaban lama mereka. Begitu seterusnya.
Oh, kini mudah
menjawab, mengapa meski Syi’ah membenci Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman sebagai
perampas hak ‘Ali, kebencian itu dibidikkan lebih ganas kepada ‘Umar. Mengapa
bukan Abu Bakr si ‘perampas’ pertama? Karena, ‘Umarlah yang meleburkan
kebanggaan psikologis bangsa Iran itu, sesuatu yang diterakan dalam jiwa
sebagai kenangan pahit; Imperium Sassaniyah. Dan ‘Umar pun syahid di mihrob, di
tangan seorang budak Iran bernama Firouz.[]
Sumber: Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar